Kamis, 21 Januari 2010

WH Memperkosa, Tuntut Tanggung Jawab ALYASA' ABU BAKAR DKK

Pasca terjadinya kasus pemerkosaan yang terjadi terhadap seorang perempuan malang yang menjadi tahanan WH (POLISI MORAL). Di Aceh banyak sekali nada kemarahan yang ditujukan kepada lembaga ini. Mayoritas menumpahkan rasa geram kepada dua personel WH yang kurang ajar itu.

Secara umum, pendapat yang banyak beredar di dalam masyarakat Aceh adalah; " dalam kasus ini yang salah adalah personil WH, bukan lembaganya" .

Saya secara pribadi sangat tidak sepakat dengan pendapat itu.

Menurut saya dengan adanya kejadian ini yang salah justru keputusan untuk membentuk lembaga ini dengan tergesa-gesa yang sama sekali tidak urgens kebutuhannya. Yang salah dengan terjadinya kasus ini adalah orang-orang yang mendesain penerapan QANUN syari'at Islam dengan tergesa-gesa. Tanpa terlebih dahulu mempersiapkan segala infrastruktur pendukungnya.

Soal penerapan Syari'at Islam versi Aceh ini sendiri sebenarnya meninggalkan banyak pro dan kontra. Yang paling banyak mengemuka dan menjadi pertanyaan banyak orang adalah soal urgensi penerapan pasal-pasal yang dicakup dalam Syari'at Islam versi Aceh ini yang hanya mengurusi masalah remeh temeh, soal perjudian, relasi perempuan dan laki-laki dan shalat jum'at yang pelaksanaannya lebih banyak menyasar masyarakat kelas bawah.

Prioritas pilihan ini menjadi aneh karena faktanya semua masalah yang diatur dalam pasal-pasal Syari'at itu selama ini bukanlah masalah yang sudah sedemikian parah dan akut di Aceh, yang sebegitu parahnya merusak segala sendi kehidupan orang Aceh sampai-sampai pasal-pasal hukum konvensional tidak mampu lagi menanganinya, membuat rakyat Aceh begitu tertekan dan menderita sehingga untuk menanganinya pemerintah terpaksa harus membuat satu aturan 'istimewa'.

Sebaliknya, masalah di Aceh yang terlihat mengemuka dan memerlukan penanganan khusus dan membutuhkan undang-undang khusus justru menyangkut perilaku aparat dan para pengambil kebijakan yang sering membuat program yang tidak membumi, yang pelaksanaannya lebih banyak berorientasi 'proyek' yang menguntungkan kroni-kroni yang dekat dengan penguasa, bukan untuk kepentingan orang banyak.

Di Aceh, begitu banyak masalah yang membuat masyarakat tertekan. Ada banyak daerah yang belum memiliki akses jalan, bahkan banyak daerah yang belum tersentuh aliran listrik. Kualitas pendidikan di banyak daerah juga begitu memprihatinkan. Masalah lingkungan juga demikian, kita melihat kekuatan pemerintah menjadi begitu mandul ketika berhadapan para cukong kayu.

Pasca tsunami, masyarakat melihat begitu banyak pejabat yang kelebihan uang. Banyak yang tidak malu memamerkan perilaku bermewah-mewahan. Ada banyak anak yatim yang dieksploitasi, tahanan politik yang masih belum dibebaskan dan banyak masalah lagi yang memang langsung bersentuhan dengan masyarakat yang penangannya memerlukan kesigapan pemegang kebijakan alias penguasa. Yang justru saking parahnya kita merasa untuk masalah itu diperlukan undang-undang khusus.

Jadi kalau penerapan syari'at Islam di Aceh ini sasarannya memang untuk kemaslahatan umat dan menegakkan kehormatan ISLAM, kenapa yang menjadi PRIORITAS penerapannya adalah mengejar-ngejar perempuan dan urusan pribadi orang?...Kenapa Syari'at Islam ini tidak memprioritaskan mengejar kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang membuat sengsara banyak orang?

Keanehan dalam penentuan prioritas inilah yang membuat saya melihat si pembuat Qanun Syari'at Islam versi Aceh ini persis seperti orang nyinyir sok idealis yang saya temui di facebook beberapa hari yang lalu. Yang karena baru mendapat pelatihan investigasi oleh seorang mentor asal Amerika yang kebetulan pernah menyoroti permasalahan uang kecil kembalian pembayaran listrik di negaranya lalu jadi ikut-ikutan menyoroti kinerja PLN dengan mempermasalahkan, uang 100 - 500 rupiah yang tidak dikembalikan tiap kali pembayaran listrik bulanan. Yang untuk mengatasinya cukup mengorbankan para KEROCO alias pegawai-pegawai kelas rendahan. Ketika kita menanyakan alasannya untuk memprioritaskan masalah ini, dengan fasih si orang ini mengemukukakan alasan-alasan yang khas Amerika, tanpa merasa perlu memahami bahwa kondisi dan permasalahan kelistrikan di Aceh sama sekali berbeda, sehingga membutuhkan prioritas penanganan yang berbeda pula.

Begitu pula dengan para desainer Syari'at Islam versi Aceh ini, ketika kita tanyakan tentang urgensi penerapan undang-undang ini, dengan fasih mereka mengutip sejumlah ayat Qur'an dan Hadits sahih yang mendukung penerapan Qanun itu, tanpa merasa perlu memahami bahwa permasalahan, situasi dan kondisi Aceh saat ini membutuhkan prioritas yang berbeda.

Pemilihan prioritas seperti ini, ditambah dengan ketergesaan penerapan Qanun ini tanpa kesiapan infrastuktur dan tanpa kesiapan mentalitas personel yang memadai. Membuat banyak orang merasa penerapan Qanun ini hanyalah sekedar upaya dari para pembuat keputusan itu untuk menegaskan identitas keacehan yang melekat dengan Islam. Tapi oleh mereka, identitas keacehan yang melekat dengan Islam ini dipahami hanya sebatas penampilan kulit luar. Sehingga tidak bisa tidak, hal ini membuat banyak orang yang menilai bahwa penerapan Syari'at Islam versi Aceh ini tidak lebih dari sebuah proyek mercu suar yang lebih bersifat KOSMETIK daripada menyembuhkan.

Terbukti, kemudian ketika Syari'at Islam versi Aceh yang sejak ide pembentukannya banyak menuai kontroversi ini diterapkan, kita sama sekali tidak melihat adanya perubahan signifikan terhadap kesejahteraan dan kenyamanan hidup orang Aceh.

Pasca diterapkannya 'Syari'at Islam' versi Aceh ini, yang paling jelas kita lihat terjadi dalam masyarakat Aceh adalah; banyaknya perempuan baik-baik yang dicap TIDAK TERHORMAT. Kita melihat banyak perilaku barbar main hakim sendiri yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat terhadap para pasangan yang secara "syari'at Islam" dicap melanggar SUSILA.

Rekruitmen anggota WH ini sendiri banyak bermasalah. Yang merekrut dan mempekerjakan mereka tidak bisa menjamin bahwa Polisi Moral yang dibayar untuk mengawasi moral orang lain ini terdiri dari orang-orang yang mampu menjaga moralnya sendiri. Ini terbukti dari kejadian beberapa waktu yang lalu saat seorang anggota WH tertangkap basah sedang berbuat mesum di dalam toilet. Dan terakhir adalah kejadian perkosaan terhadap seorang tahanan perempuan ini, kejadian yang membuat kita semua orang Aceh merasa marah dan dipermalukan.

Dalam setiap kebudayaan dan masyarakat, selalu ada laki-laki dan perempuan yang tidak terhormat. Tapi dalam setiap kebudayaan dan masyarakat, hampir selalu, bukan laki-laki tapi hanya 'kehormatan' perempuanlah yang banyak menjadi sorotan masyarakat. Setiap kebudayaan dan masyarakat memiliki standar sendiri untuk menilai 'kehormatan' perempuan. setiap kebudayaan dan masyarakat memang rata-rata memandang nilai 'kehormatan' perempuan berdasarkan tingkah laku keseharian dan cara berpakaian.

Di Amerika, seorang artis yang bergoyang erotis memamerkan bagian-bagian sensitifnya di depan umum, seperti Beyonce dengan goyang pinggul erotisnya atau Madonna dengan berbagai kontroversinya pun masih dianggap terhormat.

Terhadap perempuan semacam ini, laki-laki Amerika tidak berani bertindak cabul, tapi beda halnya dengan pandangan dan perlakuan mereka terhadap pelacur dan pemain film porno. Orang Amerika tidak segan-segan menunjukkan 'mupeng'nya.

Lain tempat, lain pula standarnya.

Di beberapa kota besar di Indonesia, umumnya masyarakatnya punya standar tersendiri dalam menilai 'kehormatan' seorang perempuan. Para laki-laki punya banyak istilah untuk menyebut perempuan-perempuan yang dianggap bisa dijadikan pelampiasan birahi secara bebas atau berbayar. Istilah ini mulai dari Lonte dan pelacur yang paling kasar sampai ke istilah-istilah yang dihaluskan seperti 'bispak', 'ayam' dan sebagainya.

Dulu, dalam masyarakat Aceh, perempuan dipandang sebagai perempuan kurang baik, kalau berpakaian terbuka, suka berbicara nyerempet-nyerempet, terhadap perempuan seperti ini, banyak laki-laki yang tidak terhormat yang berani menunjukkan birahi secara terang-terangan.

Sementara itu asal berpakaian tertutup dan berbicara sopan, meskipun rambut terbuka, seorang perempuan masih dipandang sebagai perempuan baik-baik, laki-laki yang mengenalnya menaruh hormat pada perempuan semacam ini dan tidak akan berani berbuat macam-macam.

Tapi pasca berlakunya Syari'at Islam ini, tidak lagi. Standar bagi seorang perempuan untuk bisa dianggap sebagai perempuan TERHORMAT secara resmi dinaikkan.

Perempuan tak berjilbab, otomatis dicap sebagi perempuan tidak baik, khusus di Aceh barat malah meskipun mengenakan jilbab tapi memakai celana panjang bukan rok, tetap dikategorikan sebagai perempuan tidak terhormat, apalagi perempuan yang berboncengan dengan laki-laki dengan muhrim. Di masyarakat akar rumput banyak berkembang pemahaman seperti ini, mereka beranggapan perempuan yang berpacaran bukanlah perempuan baik-baik sehingga tidak perlu dihormati dan bisa dianggap sebagai 'milik umum'.

Pasca diterapkannya hukum syari'at Islam, melihat perempuan seperti ini tidak sedikit laki-laki tidak terhormat yang merasa tertantang untuk berbuat macam-macam.

Karena itulah, ketika aib pemerkosaan yang dilakukan personel WH ini saya justru sama sekali tidak menyalahkan personil WH pelaku pemerkosaan itu. Sebab saat menangkap perempuan itu, saya sangat yakin kalau para personel WH yang termasuk golongan laki-laki tidak terhormat ini membayangkan bahwa si perempuan ini adalah jenis perempuan yang'bisa dipakai'. Aparat WH termasuk golongan laki-laki tidak terhormat ini sama sekali tidak salah berpandangan demikian, karena secara Syari'at Islam yang diformalkan di Aceh, perempuan malang itu memang secara resmi dicap demikian.

Itulah sebabnya, mwenurut saya, yang perlu kita persalahkan dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang mendesain undang-undang yang bersifat KOSMETIK yang membuat gadis malang itu menjadi mendapat CAP demikian. Yang perlu kita persalahkan dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang membuat ketiga personil WH bejat itu memiliki KUASA untuk menahan seorang perempuan malang. Yang perlu kita persalahkan dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang secara fisik tidak ada di tempat itu, tapi tanpa ide konyol dan kebijakan tidak bijak mereka keluarkan, peristiwa biadab dan memalukan itu tidak akan pernah ada.

MEREKA-MEREKA inilah yang harus bertanggung jawab dan diminta pertanggung jawaban atas hancurnya kehormatan gadis malang yang diperkosa personel WH itu.

Mereka-mereka inilah yang seharusnya merasa malu dan menyembunyikan wajah dalam-dalam atas terjadinya peristiwa biadab yang mencoreng muka Aceh ini, bukannya malah menyalahkan keroco, sementara mereka sendiri dengan santai dan sok santunnya berceramah tentang moral dari mimbar ke mimbar.

Jadi kalau ada orang yang perlu dimintai tanggung jawab atas PERBUATAN BIADAB yang dilakukan oleh aparat WH itu, maka orang itu adalah ALYASA' ABU BAKAR dan kawan-kawan.

Dengan adanya kasus ini, ALYASA' ABU BAKAR dan kawan-kawan harus dibuat benar-benar MENGERTI dan SADAR, bahwa akibat dari Qanun Syari'at Islam yang tujuannya cuma untuk maksud KOSMETIK, yang penerapannya mereka paksakan ini. SEORANG PEREMPUAN ACEH telah hancur secara psikologis, kehilangan kehormatan, cita-cita dan masa depan.


Wassalam

Win Wan Nur
Orang Aceh Beragama ISLAM

Tidak ada komentar: