Di hari keduaku di Ubud Writers & Readers Festival 2008, banyak sekali acara menarik. Salah satunya adalah penuturan kisah-kisah rimba oleh Butet Manurung di Pondok Pekak. Istri dan anakku sangat tertarik untuk menghadiri acara yang dimulai jam 2.00 siang itu. Sementara jam 2.30, di tempat lain tepatnya di HSBC juga ada acara yang tidak kalah menariknya .
Acara di HSBC ini membicarakan tentang ketangguhan anak-anak dalam menghadapi hidup. Acara yang dimoderatori oleh Melani Budianta, kritikus sastra yang juga pengajar di fakultas sastra UI ini menghadirkan tiga penulis. Mereka adalah ; Naldo Rei mantan pejuang kemerdekaan Timor Timur yang menceritakan pengalaman traumatisnya dalam sebuah buku autobiografi yang diterbitkan di Australia berjudul 'Resistance: A Childhood Fighting for East Timor. Lalu ada Andrea Hirata Penulis novel fenomenal 'Laskar Pelangi' dan Triyanto Triwikromo penulis kumpulan cerita pendek 'Anak-Anak Mengasah Pisau'.
Karena ada dua acara yang berdekatan dan keduanya terlalu menarik untuk dilewatkan, akhirnya kami sepakat untuk memisahkan diri. Jam 2.00 aku antar anak dan istriku ke pondok pekak. Karena hari Sabtu, Rayhan yang sekarang bekerja di Jungle Joe, sebuah LSM Asing yang bergerak di bidang lingkungan yang berkantor di Ubud, hari ini libur. Karena itu dia juga bisa datang ke acaranya Butet ini dengan membawa anak tertuanya, Hiawatha.
Di pondok pekak, seperti biasa, begitu datang dan Rayhan bertemu dengn istriku, mereka berdua langsung ngobrol panjang lebar. Omongannya nggak jauh-jauh dari soal tumbuh kembang anak, obrolan khas sesama ibu-ibu. Anakku juga begitu, langsung punya kesibukan sendiri main dengan Hiawatha.
Aku tinggal di sana bersama-sama dengan mereka selama 15 menit lalu kemudian berangkat ke HSBC yang letaknya cukup jauh dari pondok pekak untuk menghadiri temu wicara dengan tiga penulis yang kusebutkan di atas.
Dengan membaca biodata ketiga pembicara di buku panduan yang dikeluarkan panitia Ubud Writers & Readers, terlihat jelas biodata Andrea Hiratalah yang paling mentereng secara akademis. Triyanto di biodatanya tertulis saat ini dia mengajar menulis kreatif di Universitas Diponegoro. Tapi di situ tidak dijelaskan statusnya di sana itu dosen tetap atau cuma sekedar diperbantukan. Sayapun agak kesulitan menduga jabatan Triyanto di sana karena di biodatanya Triyanto sama sekali tidak menjelaskan dia lulusan apa dan lulus dengan predikat apa.
Dalam biodata Naldo bahkan sama sekali tidak menjelaskan latar belakang yang ada kaitannya dengan bidang akademis.
Dari ketiga penulis ini, hanya Andrea Hirata yang di biodatanya menuliskan latar belakang akademis pendidikan tingginya secara lengkap dan cukup detail. Di biodatanya itu tertulis bahwa Andrea Hirata adalah Master of Science di bidang ekonomi telekomunikasi dari Sorbonne (France) dan Sheffield (UK), yang keduanya dia selesaikan dengan predikat cum laude. Tapi dengan latar belakang akademis sementereng itu, Andrea sendiri lebih suka disebut sebagai scientist backpacker, ini juga dia sebutkan di biodatanya.
Ketika sampai di hotel dan iseng-iseng kubaca satu persatu biodata para peserta yang diundang untuk menghadiri Ubud Writers & Readers Festival 2008. Nama, foto dan biodata peserta di cetak di buku panduan resmi. Aku menemukan fakta menarik, bahwa ternyata biodata Andrea Hirata bukan hanya paling mentereng jika dibandingkan dengan dua penulis lain yang sama-sama berbicara di acara yang sama dengannya ini. Bahkan ternyata dibandingkan dengan biodata dari seluruh peserta Ubud Writers & Readers Festival 2008 yang berjumlah 96 orang dan berasal dari 21 negara inipun. Secara akademis, biodata Andrea Hiratalah yang paling mentereng. Selain Andrea Hirata, dari ke 96 orang peserta itu, tidak satupun yang menuliskan predikat kelulusannya dari pendidikan tinggi.
Malah, dari ke 96 orang peserta itu, selain Andrea Hirata. Hanya Melanie Budianta yang juga sama-sama berasal dari Indonesia dan sekaligus menjadi moderator acara ini, yang di biodata menyebutkan latar belakang pendidikan tingginya. Yaitu Ph.D dari Cornell University. Gelar akademis ini didapatkan Melanie pada tahun 1992.
Peserta lain, di buku panduan resmi Ubud Writers & Readers Festival 2008. Pada kolom biodata hanya memaparkan karya-karya yang sudah pernah mereka buat.Peserta lain ini salah satunya adalah Helena Norberg-Hodge dari USA, seorang analis terkemuka mengenai ekonomi global yang merupakan peraih Alternative Nobel Prize berkat karya-karyanya semacam 'Ancient Future' dan 'Bringing The Economy Food Home'. Di biodatanya, Helena Norberg-Hodge sama sekali tidak menjelaskan dia lulusan universitas mana dan lulus dengan predikat apa.
Sampai di HSBC yang merupakan pusat dari semua kegiatan Ubud Writers & Readers Festival, kulihat suasana sangat ramai. Banyak penulis-penulis yang cukup dikenal berkumpul di sana.
Tapi tampaknya dari sekian banyak orang yang ada di sana, yang paling menonjol dan paling banyak menyedot perhatian adalah Andrea Hirata yang saat itu mengenakan jaket 'Army Look' dan topi baret warna hitam. Di sana, kulihat Andrea begitu sibuk, tidak henti-hentinya melayani permintaan foto dan tanda tangan di buku maupun di kaos penggemarnya yang rata-rata cewek ABG yang diantar oleh orang tua mereka. Melihat gaya berpakaian dan logat bahasanya sepertinya para ABG ini berasal dari Jakarta.
Melihat ramainya kerumunan itu, iseng-iseng 'cok manfaat' aku juga masuk kedalam kerumunan para ABG kinyes-kinyes dan wangi itu dan ikut minta foto bersama dengan Andrea. Di foto itu aku bergaya sok kenal sok dekat dengan Andrea Hirata. Aku merangkul bahu Andrea sambil tersenyum dengan senyum palsu yang dipaksakan, Andrea juga sama. Persis seperti pose khas seorang fans yang mendapat kesempatan langka sekali seumur hidup untuk berfoto dengan artis idolanya.
Aku sengaja masuk kekerumunan ABG itu dan ikut minta berfoto bersama dengan Andrea, selain 'cok manfaat' juga karena kupikir foto sok akrabku bersama Andrea Hirata sang penulis karya fenomenal ini lumayan juga buat dipamerkan ke beberapa temanku yang merupakan penggemar buku Laskar Pelangi dan sangat mengagumi kehebatan Andrea Hirata penulisnya.
Selesai berfoto dengan Andrea, aku langsung masuk ke dalam ruangan utama HSBC, tempat acara temu wicara akan dilangsungkan. Dalam ruangan ini, kulihat sebagian besar isinya adalah orang asing. Orang Indonesia hanya sekitar sepertiganya. Aku mencari-cari tempat yang strategis untuk duduk. Di deretan kursi paling depan, di samping seorang ibu berambut pirang.
Aku melihat ada satu kursi kosong, tapi ada kertas di atasnya. Aku segera menuju ke sana, lalu bertanya kepada seorang ibu setengah baya berambut pirang yang duduk disebelahnya apakah sudah ada orang yang menempati kursi yang kuincar itu. Ketika ibu itu menjawab belum, aku langsung duduk.
Lima menit kemudian, ketiga pembicara bersama moderator sudah duduk di sofa di depan kami, dengan latar belakang banner Ubud Writers & Readers Festival 2008. Tidak lama kemudian acara dibuka oleh Melani Budianta dengan memperkenalkan satu persatu pembicara. Dimulai dari Triyanto Triwikromo dan diakhiri dengan Andrea Hirata. Naldo mendapat giliran pertama untuk berbicara dilanjutkan dengan Triyanto dan diakhiri Andrea. Melanie memilih Andrea menjadi pembicara terakhir karena dia menganggap Andrea Hirata merupakan sosok paling terkenal diantara ketiga penulis ini.
Ketika acara sudah berjalan, terlihat jelas kalau popularitas di dalam ruangan ini tidak sama dengan popularitas di luar ruangan tadi. Jika di luar ruangan tadi Andrea Hirata yang menjadi bintang dan paling banyak menyedot perhatian pengunjung, maka di dalam ruangan ini justru Naldo yang sosoknya paling tidak dikenal dan asing jika dibandingkan Andrea dan Triyanto yang paling banyak mendapat atensi.
Meskipun di kalangan peserta dewasa dalam ruangan ini Laskar Pelangi-nya Andrea kurang mendapat atensi, tapi sebenarnya dalam ruangan ini penggemar Andrea banyak sekali. Hanya saja, mungkin karena bahasa yang dipakai dalam acara ini adalah Bahasa Inggris, fans Andrea dalam ruangan ini yang kebanyakan adalah ABG Jakarta yang rata-rata mengaku sangat terinspirasi oleh optimisme yang diusung Andrea dalam Laskar Pelangi itu kurang bisa terlibat aktif. Sehingga dalam acara temu wicara ini Andrea Hirata terlihat jadi agak terisolasi.
Penuturan Naldo tentang pengalaman pribadinya sebagai pejuang kemerdekaan Timor Timur yang sejak umur 6 bulan sudah dibawa orang tuanya bergerilya di dalam hutan, tumbuh besar bersama gerilyawan Fretilin dan mendapatkan nilai-nilai perjuangan langsung dari pelaku perjuangan, sangat menarik perhatian para pengunjung yang hadir.
Dalam bukunya Naldo juga mengisahkan pengalamannya selama 15 kali masuk penjara selama masa pendudukan Indonesia atas negaranya . Yang membuat buku Naldo menjadi sangat menarik adalah karena pengalaman traumatisnya yang nyata berhasil dengan jujur dia tuangkan ke dalam buku. Padahal jelas dalam proses penulisannya tentu dia harus mengorek kembali luka-luka batin yang pernah dia alami dan rasakan.
Latar belakang proses penulisan seperti itu membuat buku karya Naldo ini menjadi sangat menarik untuk dijadikan kajian psikologis post-traumatis pasca konflik. Sehingga tidaklah mengherankan kalau sekarang banyak fakultas psikologi di beberapa universitas luar negeri yang menjadikan buku Naldo yang dilarang beredar di Indonesia ini sebagai bacaan wajib.
Dalam sesi tanya jawab, dari ketiga penulis yang ada, Naldo pulalah yang paling banyak mendapat pertanyaan dari pengunjung, disusul oleh Triyanto.
Ketika sampai di sesi tanya jawab, seorang penanya menanyakan kepada Naldo apakah menulis buku itu merupakan salah satu proses dalam caranya melakukan penyembuhan dari trauma yang dia alami, Naldo menjawab iya. Menurut Naldo cara penyembuhan trauma tidaklah efektif dengan cara melupakan apa yang pernah dialami, tapi trauma hanya bisa disembuhkan dengan cara menerima semua kenangan buruk masa lalu itu sebagai bagian dari proses yang menjadikan dirinya seperti hari ini.
Di awal ceritanya, Naldo mengatakan dia baru berumur 6 bulan saat Timor Timur diekspansi oleh Indonesia. Mendengar penuturan itu, maka aku pikir Naldo yang umurnya kurang lebih sama seperti aku. Karenanya, Naldo yang menjalani masa pendidikannya di Timor Timur, tentu juga seperti aku. Mendapatkan pendidikan dengan sistem dan kurikulum standar Indonesia.
Ketika pada masa itu aku menerima doktrin tentang nilai-nilai luhur budaya Bangsa Indonesia yang jika dianalisa secara jernih dan tanpa prasangka akan terlihat jelas sangat didominasi oleh nilai-nilai adiluhung suku Jawa. Naldopun pasti juga juga demikian. Nilai-nilai itu kami terima terutama melalui mata pelajaran PMP yang kami dapatkan sejak SD dan penataran P4 yang wajib kami ikuti di setiap jenjang pendidikan mulai dari SMP, SMA sampai Kuliah.
Karena itu aku sangat tertarik untuk mengetahui apakah tata nilai dan doktrin yang dijejalkan ke kepalanya secara sistematis melalui kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia itu ada 'tersangkut' atau tertinggal dalam pribadinya setelah negaranya tidak lagi menjadi bagian dari 'Wawasan Nusantara'. Dan itu pulalah yang kutanyakan kepada Naldo.
Lalu karena Naldo yang berambut panjang ala Eurico Guteres ini mengawali sesi bicara dengan membaca mantra-mantra asli Timor dalam bahasa tetun tampaknya begitu bangga dengan statusnya sebagai warga Timor Timur. Aku jadi penasaran, jadi aku juga bertanya, apakah selama masa dia mengalami pendidikan Indonesia itu, pernah, sekali saja dia merasa sebagai orang Indonesia?
Jawaban Naldo ketika merespon pertanyaan-pertanyaanku itu sangat menarik, menurut Naldo sejak dia pertama kali bisa mengingat dia sudah berada di dalam hutan di bawa bergerilya oleh orang tuanya. Ketika dia masih sangat kecil bapaknya tertembak oleh TNI, luka yang dia dapatkan dari masa pendudukan Indonesia itu terlalu dalam untuknya untuk dapat membuat dirinya merasa sebagai orang Indonesia.
Soal pendidikan Indonesia yang dia dapatkan, itu adalah karena suruhan dari seniornya sesama pejuang kemerdekaan Timor Timur, supaya nanti kalau Timor-timur merdeka dia bisa lebih berguna dalam hal-hal yang ada hubungannya dengan diplomatik, supaya dia bisa mengerti bahasa Indonesia dan bisa mempelajari kelemahan Indonesia. Oleh seniornya Naldo disarankan untuk sementara mengesampingkan rasa benci terhadap pemerintah dan tentara Indonesia yang telah membunuh bapaknya. Yang penting menurut seniornya bagaimana Naldo bisa mengambil manfaat sebanyak mungkin dari musuh mereka, sekalian mempelajari kelemahan mereka.
Dengan cara pandang yang seperti itu, meskipun sejak kecil secara sistematis dia didoktrin tentang wawasan nusantara, Indonesia tanah pusaka dan segala doktrin standar lainnya. Naldo seumur hidupnya tidak pernah sekalipun merasa dirinya sebagai orang Indonesia. Oleh Naldo, segala macam nilai dan doktrin ideologi yang sangat Njawani yang dia dapatkan melalui pelajaran PMP dan penataran P4 itu hanya dianggap sebagai sebuah hapalan, nilai-nilai doktrinal itu tidak sedikitpun yang sangkut apalagi sampai mempengaruhi tata nilai pribadinya.
Triyanto, dalam bukunya 'anak-anak mengasah pisau' juga mengusung tema yang tidak konvensional yang juga tidak kalah menariknya dibandingkan tema yang diusung Naldo dalam bukunya. sepertinya Naldo mendapat atensi lebih dibandingkan Triyanto, hanya karena Triyanto bercerita dalam bahasa Melayu. Cerita Triyanto dalam bahasa Melayu itu diterjemahkan oleh seorang wanita bule yang mengerti bahasa Melayu. Sayangnya penerjemah yang sudah agak berumur ini sepertinya agak kesulitan menerjemahkan ide-ide Triyanto ke dalam bahasa Inggris, lengkap dengan spiritnya. Padahal spirit itulah yang merupakan kekuatan utama buku Triyanto.
Dalam cerita fiksinya ini Triyanto menceritakan dunia anak-anak dengan cara pandang yang terbalik dengan pandangan umum tentang dunia dan cara pandang anak-anak yang polos, ceria dan penuh optimisme memandang masa depan.
Di bukunya yang berlatar belakang sebuah kawasan di Salatiga di awal tahun 80-an ini, Triyanto bercerita tentang anak-anak yang tumbuh di daerah 'pinggiran peradaban' dalam artian anak-anak yang tumbuh di lingkungan kriminal, di lingkungan tempat tinggal para jambret, perampok, pencuri dan pelacur. Anak-anak yang tumbuh besar dengan pemandangan sehari-hari melihat mayat bertato tergeletak di pinggir jalan karena ditembak oleh petrus, atau anak-anak pelacur yang terbiasa melihat ibunya ditiduri sembarang lelaki.
Dengan jujur dan apa adanya Triyanto menggambarkan bagaimana wajah dunia dilihat dari kacamata anak-anak ini adalah sama sekali tidaklah polos, tapi penuh warna dan sangat berbeda dengan pandangan umum masyarakat 'normal' atau 'yang mengaku normal' yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas keberadan lingkungan seperti itu. Cita-cita tertinggi dan nilai prestise dari anak-anak yang tumbuh di lingkungan ini bukanlah cita-cita dan nilai prestise yang sama seperti yang dimiliki oleh anak-anak yang tinggal di lingkungan 'normal', yang bercita-cita standar ingin menjadi dokter, insinyur atau astronot.
Di kisah-kisah dalam bukunya, Triyanto menuliskan bahwa cita-cita anak-anak yang besar di lingkungan seperti ini adalah bagaimana supaya setelah besar bisa menjadi rampok yang hebat atau menjadi pelacur sukses. Prestise dalam kacamata anak-anak ini adalah menjadi perampok tidak pernah bisa tertangkap dan menjadi pelacur yang banyak didatangi pelanggan.
Triyanto juga banyak mendapat pertanyaan, bukunya yang isinya sangat pesimistik berkebalikan dengan optimisme yang diusung oleh Laskar Pelanginya Andrea Hirata juga mendapat banyak atensi, banyak pertanyaan menarik yang diajukan pengunjung pada Triyanto yang dijawab oleh Triyanto dengan jawaban-jawaban yang sangat cerdas dan logis.
Misalnya ketika ditanya apakah buku yang dia tulis itu sepenuhnya berdasarkan cara pandang atau perspektif anak kecil yang besar di lingkungan itu di awal tahun 80-an, atau sebenarnya cara pandang di buku itu telah dipengaruhi dan telah bercampur opini dan perspektif orang dewasa di tahun 2000-an.
Triyanto menjawab, tentu saja dalam buku itu disamping perspektif anak kecil juga berisi beberapa opini dan cara pandangnya sebagai orang dewasa. Tapi menurut Triyanto dia percaya kalau pengalaman masa lalu itu sekecil apapun tetap akan berpengaruh terhadap cara pandang hari ini. Masalahnya, masa lalu dari perspektif anak-anak yang sebenarnya sangat ingin dia ungkapkan, tidak semua rahasia masa lalu itu mampu dia munculkan dalam buku. Karena menurut Triyanto setiap kali dia ingin mengungkapkan rahasia masa lalu terutama yang berhubungan dengan luka batin selalu saja dia menemui hambatan dan keterhalangan. Menurut Triyanto lagi, keterhalangan itu menimbulkan kekosongon, kekosongan inilah yang diisi oleh opini dan perspektif orang dewasa.
Triyanto juga menjelaskan, melalui bukunya ini dia juga ingin menunjukkan kalau di tempat yang menjadi latar belakang tulisannya itu 'Agama', baik itu kristen ataupun Islam. Sama sekali tidak bisa diandalkan untuk menolong anak-anak yang tumbuh di lingkungan itu untuk tumbuh menjadi lebih baik.
Di tempat itu, agama sama sekali tidak bisa menolong anak-anak itu keluar dari kemiskinan. Untuk bisa hidup anak-anak itu tidak bisa mengandalkan agama, untuk bertahan hidup mereka harus menjadi penjahat dan pelacur. Karena itu menurut Triyanto puncak spiritual tertinggi anak-anak itu bukanlah menjadi ustadz atau pendeta, tapi sukses menjadi penjahat atau pelacur.
Ketika ditanya apakah dengan terbitnya buku yang dia tulis, dia berharap akan ada perubahan yang signifikan terhadap situasi yang dialami masyarakat di tempat yang dia jadikan latar belakang tulisannya. Triyanto menjawab dengan jujur "tidak ada sama sekali".
Menurut Triyanto ketika menulis, dia sama sekali tidak berharap yang muluk-muluk. Tujuannya menulis buku itu semata-mata hanya untuk menulis dan memaparkan apa yang dia rasakan dan apa yang pernah dia lihat, hanya itu saja. Alasannya kenapa buku itu tidak membawa perubahan apapun bagi masyarakat yang jadi latar belakang tulisannya. Kata Triyanto, budaya membaca bukanlah bagian dari budaya masyarakat yang dia jadikan latar belakang bukunya demikian juga dengan PEMDA yang sebenarnya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas keberadaan lingkungan seperti itu. Masalah dengan PEMDA adalah, di samping aparatnya tidak memiliki minat baca, sastra dan khususnya buku yang ditulis oleh Triyanto ini sama sekali tidak ada nilainya jika 'di proyekkan', jadi buku ini ya sama sekali tidak ada pengaruhnya kata Triyanto. Hari ini anak-anak itu tetap seperti itu dan besokpun tetap begitu.
Triyanto juga mengaku ketika menulis itu dia juga sadar sepenuhnya buku yang mengusung pesimisme seperti bukunya tidak akan terlalu banyak menarik minat pembaca, sebagaimana Laskar pelangi milik Andrea Hirata.
Selain kepada kedua penulis yang saya sebutkan, tentu saja ada juga beberapa pertanyaan yang diajukan oleh pengunjung pada Andrea Hirata, salah satu pertanyaan itu mirip dengan pertanyaan yang diajukan kepada Triyanto tentang perspektif anak dan prespektif orang dewasa itu, Triyanto menjawab pertanyaan ini setelah sebelumnya pertanyaan itu dijawab oleh Andrea dengan jawaban versinya sendiri.
Mungkin karena dua hari sebelumnya di sesi yang lain Andrea yang banyak dikritik karena bukunya itu terlalu 'smart' bahkan sampai nama-nama pohonpun ditulis dalam bahasa latin, yang akibatnya jadi terasa janggal kalau itu cerita seperti itu diceritakan melalui kacamata anak-anak yang masih SD.
Maka, hari ini Andrea mengawali pembicaraannya dengan mengatakan bahwa sebenarnya Novel Laskar pelangi ini sama sekali tidak dia maksudkan untuk diterbitkan. Menurut Andrea, sebenarnya Novel ini dia maksudkan hanyalah sebagai hadiah buat gurunya Ibu Mus. Dengan jujur pula Andrea mengakui kalau Laskar Pelangi adalah Novel karya penulis pemula.
Ketika pada acara ini ada lagi seorang pengunjung menanyakan pertanyaan yang mirip seperti dua hari sebelumnya, tentang kejanggalan Laskar Pelangi yang maksudnya menggambarkan suasana dalam perspektif anak tapi yang keluar malah prespektif orang dewasa berpendidikan tinggi. Andrea mengatakan dia agak kesulitan menggambarkan keadaan dalam novelnya semata dari kacamata masa kecilnya tanpa terpengaruh pandangan masa dewasa.
Berdasarkan komentar Andrea dua hari sebelumnya itu pula, seorang penanya menanyakan kenapa Andrea tidak menulis otobiografi saja seperti Naldo, karena kalau Laskar Pelangi bukan fiksi adalah sah-sah saja pandangan masa kecil bercampur dengan pandangan ketika dewasa, tidak terlihat aneh seperti di Laskar Pelangi yang merupakan cerita fiksi.
Pertanyaan ini dijawab oleh Andrea dengan sangat diplomatis "Laskar Pelangi itu biografi tapi menurut orang lain itu fiksi, saya katakan fiksi kata orang itu auto biografi". Lalu ketika jawaban itu dikejar oleh penanya lain dengan menanyakan kira-kira berapa persen komposisi fiksi dan berapa persen komposisi biografinya dalam Laskar Pelangi. Andrea menjawab "Laskar Pelangi bukanlah akuntansi sehingga kita tidak bisa membuat persentasi-persentasi seperti itu dengan ukuran yang tepat".
Dari sedikit pertanyaan yang diajukan untuk Andrea, yang paling menarik adalah pertanyaan yang diajukan oleh perempuan asal Belitong bernama Linda Christanti, seorang aktivis HAM dan aktivis gerakan perempuan yang juga penulis cerita pendek yang pernah memenangkan penghargaan dari KOMPAS untuk cerita pendek terbaik dan juga pemenang penghargaan prestisius 'Khatulistiwa Award' untuk kategori cerita Fiksi.
Linda yang sekarang tinggal di Neusu Banda Aceh, mempertanyakan bagaimana asal-usulnya Andrea mendapatkan komentarnya yang dimuat di sampul belakang buku ketiga Andrea yang berjudul 'Edensor'. Di sampul belakang 'Edensor' tertulis komentar dari Linda Christanti yang berbunyi "Andrea Hirata mebuatku mabuk kepayang". Linda merasa penting untuk menanyakan itu di forum ini karena dia merasa sama sekali tidak pernah menulis komentar apapun untuk buku Andrea manapun apalagi sampai membuatnya mabuk kepayang.
Pertanyaan Linda yang memiliki ciri fisik kulit putih bersih, bermata sipit dan berumur kurang lebih sama dengan Andrea ini dijawab dengan sangat unik, puitis dan cenderung 'ganjen' oleh Andrea Hirata. "soal yang Linda tanyakan itu, apakah di masa lalu Linda pernah mabuk kepayang kepada saya atau tidak?... silahkan Linda sendiri yang menjawab, jangan tanyakan pada saya ", kata Andrea dengan gestur yang romantis .
Jawaban dan bahasa tubuh Andrea saat menjawab pertanyaan ini tak pelak membuat ingatan saya langsung melayang kepada adegan film Laskar Pelangi, saat Ikal 'keracunan kuku' ketika oleh Bu Mus dia disuruh membeli kapur ditoko kelontong milik pedagang cina yang diperankan oleh Robby Tumewu. Dan bukan hanya saya yang berpikiran seperti itu. Tepat setelah habis acara, Linda langsung mendapat telepon dari Nyata, sebuah tabloid gosip terbitan Jakarta, untuk meminta wawancara.
Ketika sehabis acara kami berbincang-bincang bersama para pembicara, moderator dan pengunjung acara tadi di bawah tenda di luar gedung HSBC. Linda mengatakan dia menolak permintaan wawancara Tabloid Nyata itu. Saat kami menggodanya jangan-jangan memang benar bahwa dia adalah tokoh 'Aling' dalam Laskar Pelangi, Linda menunjukkan wajah kurang senang, lalu secara tegas dia menolak spekulasi itu.
Malam harinya, ketika aku bersama anak dan istri makan malam di Warung Padang milik orang Bali, di persimpangan Jalan Hanuman. Aku bertemu kembali dengan Linda yang datang bersama Naldo, Azhari 'komunitas tikar pandan' serta seorang wartawan tempo dan seorang lagi yang aku lupa nama dan profesinya. Karena temanya masih hangat, kami kembali membicarakan soal spekulasi bahwa Aling adalah Linda. Istriku menggoda Linda dengan meminta Linda menunjukkan kukunya.
Linda yang kebetulan belum menonton film Laskar Pelangi karena di Banda Aceh, kota tempatnya berdomisili yang pemerintahnya menerapkan Syariat Islam tidak memperbolehkan adanya gedung bioskop dalam kota, sama sekali tidak mengerti apa maksud permintaan istriku yang memintanya untuk menunjukkan kuku.
Yang jelas menurut Linda, dia baru sekali bertemu Andrea Hirata dalam sebuah pesawat dalam perjalanan dari Banda Aceh. Saat itu Andrea memintanya membaca bukunya yang kemudian diberi judul 'Edensor' itu, tapi Linda belum sempat membacanya. Bahkan menurut Linda, sebelumnya dia sama sekali belum pernah saling kenal dengan Andrea Hirata. Karena itulah
Linda merasa sangat heran dan terganggu dengan komentar norak yang mengatasnamakan dirinya, seperti hantu tiba-tiba muncul di sampul belakang 'Edensor'.
Selesai makan kami masih terus mengobrol dengan tema yang lari kemana-mana, Naldo bercerita tentang pergolakan politik di Timor Timur saat ini, bagaimana sekarang Australia sedang berusaha menancapkan kuku di Timor Timur dengan mempengaruhi tokoh politik di sana. Menurut Naldo Australia pulalah yang bertanggung jawab dalam pendongkelan Mar'ie Alkatiri yang sangat peduli pada nasib warga Timor Timur dari kursi PM. Menurut Naldo, tujuan utama pendongkelan ini tentu saja untuk menguasai minyak di celah Timor. Australia tahu persis Alkatiri yang orang kiri sama sekali tidak bisa diajak kompromi dengan mengorbankan kepentingan rakyat Timor Timur, beda dengan Xanana Gusmao yang sangat kanan dan sekarang beristrikan orang Australia.
Tidak terasa kami ngobrol sampai lama sekali sampai anakku tertidur sendiri di pangkuanku. Kami baru berhenti waktu pegawai warung makan ini memberi isyarat kalau warungnya akan tutup. Melihat isyarat itu kami segera berinisiatif untuk membayar makanan, tapi Azhari yang tampaknya sedang berkelimpahan duit dengan sigap melarang. Azhari memaksa untuk mentraktir kami semua, 'paksaan' yang tentu saja dengan senang hati kami terima dengan lapang dada.
Setelah Azhari membayar semua yang kami makan dan kami minum, lalu kamipun kembali ke Hotel masing-masing. Sebelum berpisah, kepada Linda dan Azhari aku berjanji akan mengontak mereka untuk ngobrol lagi sambil ngopi di Solong kalau nanti satu saat aku berkesempatan pulang ke Banda Aceh. Dan kalau itu benar terjadi, mudah-mudahan Azhari lagi-lagi berkelimpahan duit dan memaksa lagi untuk membayari 'sanger' dan 'asoe kaya'.
Akhirnya aku berharap, semoga tahun depan aku punya waktu luang dan berkesempatan hadir kembali di Ubud Writers & Readers Festival 2009.
Minggu, 26 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar