Jumat, 31 Oktober 2008

Pendakian Jalur Selatan Leuser di Akhir Abad ke-20

Sekitar akhir periode 80-an sampai pertengahan tahun 90-an. Jalur selatan Leuser merupakan jalur pendakian yang paling menantang bagi para pendaki gunung dari kelompok manapun di Nusantara. Jalur selatan Leuser yang masih perawan ini mengundang rasa penasaran para pendaki gunung dari pelosok Nusantara karena tingkat kesulitannya yang tinggi. Cuaca di hutan yang lembab ini tidak bisa ditebak, cuaca cerah bisa dengan cepat berubah hujan. Anak-anak sungai yang tergambar di peta saat dijumpai ternyata banyak yang kering. Sehingga air adalah masalah besar dalam pendakian melalui hutan hujan tropis yang dijuluki paru-paru dunia ini.

Banyak pendaki yang melalui jalur ini yang karena kehausan terpaksa minum air dari kubangan badak atau babi, yang mereka temui di sepanjang perjalanan. Tidak jarang pendaki yang melewati jalur ini, untuk mendapatkan air harus memeras lumut yang menutupi batang-batang pohon, sialnya kadang pohon yang ditutupi lumut ini adalah rotan yang dipenuhi duri, sehingga ketika digenggam tanpa ampun duri-duri itu menancap di daging setelah menembus kulit. Jika beruntung, kadang pendaki bisa menemukan tumbuhan kantong semar. Tumbuhan pemakan serangga yang dalam kantongnya berisi air dan banyak bangkai serangga. Bagi pendaki yang kehausan, air penuh bangkai serangga yang disaring dengan mitela penutup kepala ini, beribu kali lebih segar dan nikmat dibandingkan air mineral kemasan merk Aqua.

Belum lagi jika kita bicara terjalnya medan, banyak jurang yang harus dituruni dan dipanjat kembali untuk bisa mencapai kaki Leuser. Hanya untuk sampai di kaki Leuser saja, kira-kira ada delapan gunung dan bukit yang harus dinaik turuni. Beberapa gunung dan bukit itu bahkan lebih tinggi dari Gunung Seulawah. Gunung berapi yang bisa kita lihat dari kota Banda Aceh.

Kesulitan ini masih ditambah lagi dengan banyaknya binatang-binatang yang cukup mengganggu perjalanan. Di sepanjang perjalanan dalam hutan Leuser, kita sering menemui ular hitam berkepala dan berekor merah. Di tanah dan rumput basah, pacat, binatang lunak penghisap darah tak terhitung jumlahnya. Bekas gigitan binatang ini menimbulkan rasa gatal dan perih di kulit yang tak hliang berminggu-minggu. Apalagi kalau yang menggigit itu adalah jenis pacat daun atau kadang kami sebut pacat terbang. Rasa perih dan sakitnya bisa berlipat-lipat. Belum lagi kalau sedang sial menginjak sarang tawon tanah yang satu buah gigitannya bisa menimbulkan demam panas dan jika bekas sengatannya terkena air. Di tempat bekas sengatan itu akan bolong besar dan bengkak selama berhari-hari.

Bukan hanya binatang yang menjadi masalah, di beberapa lokasi di hutan Leuser juga tumbuh tanaman yang dalam bahasa Aceh disebut 'Jelatang' atau 'Latong' dalam bahasa Gayo. Jika terkena kulit, sengat daun tumbuhan ini bisa menyebabkan gatal dan rasa perih yang meninggalkan bekas luka seperti luka bakar. Jauh lebih parah dibandingkan luka bekas gigitan pacat daun.

Sampai tahun 1994, belum ada satu manusiapun yang mampu mencapai puncak Leuser melalui jalur selatan ini. Jalur ini juga sudah banyak memakan korban jiwa. Salah satunya adalah Rika Pandayana, cucu dari mantan Kapolri Anton Soedjarwo. Lalu di tahun 1993 bersamaan dengan pendakian yang dilakukan oleh pendahulu kami, Team Pendakian Gunung Leuser 1993 UKM-PA Leuser Unsyiah (TPGL' 93). Jalur selatan kembali memakan satu korban jiwa. Kali ini korbannya bernama Hendra Budhi, anggota pecinta alam dari Universitas Borobudur. Hendra meninggal di hari ke 85 pendakian mereka. Dari kabar sekilas yang saya dengar, kabarnya Hendra meninggal karena Hipoksia, atau penyakit kekurangan oksigen. Tapi informasi yang saya dengar itu hanya desas-desus, karena saat kejadian itu saya belum menjadi anggota pecinta alam. Jadi anggota tim pendaki Universitas Borobudur tentu lebih paham informasi yang sebenarnya tentang kematian Hendra.

Sebelum meninggal, Hendra dan anggota team mereka yang lain sempat bertemu dan berfoto bersama dengan anggota TPGL' 93 UKM PA Leuser Unsyiah yang saat itu dalam perjalanan turun, mereka gagal mencapai puncak karena kehabisan logistik.

Anggota TPGL' 93 sampai kehabisan logistik, karena memang biaya ekspedisi kami sangat kecil, maklumlah biaya ekspedisi kami dikeluarkan dari kantong sendiri. Hasil dari menyisihkan uang saku kiriman orang tua. Senior-senior di organisasi kami yang didirikan tahun 1986 ini, saat itu belum terlalu mapan secara ekonomi. PR III bidang kemahasiswaan yang membawahi unit kegiatan seperti kami bukannya mendukung, justru cenderung menghalangi kegiatan kami. Mengandalkan sponsor dari berbagai produk dan perusahaan juga mustahil. Maklumlah Aceh adalah provinsi pinggiran yang menjadi daerah istimewa hanya istimewa di mulut dan di kertas, bukan dalam pelaksanaan seperti di Jogja.

Di Aceh, tidak ada perusahaan besar atau perusahaan multi nasional di bidang perdagangan yang beroperasi. Akibatnya kegiatan ekonomi di Aceh juga tidak berkembang. Meskipun Aceh kaya dengan komoditas tapi komoditas itu harus diekspor melalui Medan.
Pelabuhan untuk ekspor di Aceh seolah sengaja di matikan. Tidak pernah ada niat dari pemerintah untuk membangun pelabuhan ekspor di Aceh. Pada masa itu ada desas-desus terdengar kalau sebenarnya pernah ada ide untuk membangun pelabuhan seperti itu di Aceh, tapi ide itu dijegal oleh DPR RI karena mereka disuap oleh para mafia komoditas di Medan.

Sebab kalau Aceh punya pelabuhan sendiri, para mafia komoditas di Medan akan kesulitan mendapatkan komoditas untuk mereka ekspor. Komoditas itu misalnya seperti Kopi. Kalau Aceh punya pelabuhan sendiri. Eksportir Kopi asal Medan yang mengekspor kopi dengan merk Lintong, Mandheling Pawani atau Sidikalang tentu kelimpungan. Karena Kopi yang mereka ekspor dengan brand-brand nama-nama tempat di Sumatera Utara itu sebenarnya 90% berasal dari tanah Gayo.

Benar, di Aceh Utara dan Aceh Timur ada perusahaan nasional dan multi nasional yang bergerak di bidang Perminyakan dan Gas dengan omzet trilyunan rupiah per bulan. Tapi kami sendiri asing dengan perusahaan-perusahaan itu. Di Lhokseumawe yang merupakan pusat produksi dan manajeman perusahaan-perusahaan itu. Lokasi perumahan karyawan mereka saja ditembok tinggi dan dijaga anggota militer selama 24 jam. Hal itu dilakukan agar orang-orang Aceh yang tinggal di sekitar perusahaan itu tidak mengganggu kenyamanan mereka.

Hampir tidak ada alumni universitas kami yang merupakan universitas terbesar dan terbaik di Aceh yang memegang posisi penting di perusahaan-perusahaan yang beroperasi di bumi Iskandar Muda itu. Ketika ada lowongan kerjapun publikasinya selalu hanya dilakukan di Jakarta, tidak pernah ada publikasi lowongan kerja untuk perusahaan-perusahaan itu di Aceh.

Test masukpun selalu dilakukan di Jakarta. Tidak heran kalau mayoritas pekerja di perusahaan-perusahaan itu berasal dari pulau Jawa. Sehingga dibanding kami, justru mahasiswa dari universitas-universitas di jawa yang lebih mudah mendapat dukungan dana dari Arun, Mobil atau Pertamina, perusahaan-perusahaan skala raksasa yang beroperasi di Aceh. Itu terjadi karena mereka memiliki jaringan dan informasi yang didapatkan melalui alumni mereka yang memiliki jabatan penting di perusahaan-perusahaan itu.

Itulah sebabnya organisasi mahasiswa dari sebuah universitas terbesar di Aceh, dengan jumlah mahasiswa sekitar 30.000 orang semacam kami. Kesulitan mendapatkan dana untuk melakukan suatu kegiatan. Akibat dari kecilnya dana untuk bekal ekspedisi kami. Ketika melakukan pendakian, setiap anggota Team kami harus membawa sendiri seluruh peralatan. Dalam teknik mendaki gunung, cara seperti ini disebut Alpine Tactic. Keberhasilan mendaki dengan taktik seperti ini sangatlah prestisius. Tapi kami mendaki dengan menggunakan taktik ini bukan karena alasan prestisiusnya itu tapi murni karena motif EKONOMI.

Untuk melakukan pendakian melalui jalur selatan Leuser. Setiap anggota team membawa ransel sebesar lemari di punggung. Berat ransel-ransel itu antara 35 sampai 40 Kg. Ransel seberat itu kami gotong karena sepanjang perjalanan kami harus membawa beras, alat masak, bahan bakar dan barang-barang konsumsi lain untuk kebutuhan selama satu bulan, ditambah peralatan menginap, pakaian dan tentu saja AIR.

Apa yang kami alami berbeda dengan yang dialami oleh team dari Universitas Borobudur yang mendaki beberapa hari lebih lambat di belakang kami. Selama mendaki, anggota Team pendakian Universitas Borobudur hanya menggendong ransel kecil yang berisi peralatan pribadi. Air dan bahan makanan bagi mereka disuply oleh team porter yang terdiri dari penduduk desa peulumat, desa terakhir sebelum pendakian. Para penduduk itu mereka sewa untuk membawa barang-barang kebutuhan itu. Perbedaan teknik mendaki inilah yang membuat team kami harus mundur setelah 15 hari pendakian, sementara mereka mampu bertahan selama 85 hari.

Kualitas makanan yang mereka makan selama ekspedisipun tentu berbeda dengan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh team kami. Misalnya seperti cerita Jojo, nama panggilan akrab dari salah seorang anggota TPGL'93 yang juga adalah ketua Umum UKM PA Leuser Unsyiah saat saya bergabung menjadi anggota dulu. Jojo bercerita, ketika mereka bertemu tim Universitas Borobudur, ada salah seorang anggota team Universitas Borobudur yang sedang berayun santai di Hammock di lokasi istirahat yang mereka buat begitu lapang bersih dari berbagai semak dan pohon perdu sehingga tampak seperti sebuah lokasi perladangan baru. Pemandangan yang aneh bagi anggota kami yang juga anggota kelompok pecinta alam yang memaknai kata pecinta alam itu sebagai orang yang mencintai alam.

Jojo melihat anggota tim Universitas Borobudur itu bersantai mendengarkan walkman sambil melemparkan sesuatu kepada temannya, satu-satunya anggota team mereka yang berjenis kelamin perempuan (belakangan, ketika heboh evakuasi jasad Hendra Budhi, kami tahu kalau cewek itu bernama Lala) " Nih buat loe, tinggal satu". Katanya, dan si cewek itupun menangkap dengan sigap. Yang dilemparkan itu adalah coklat Toblerone ukuran besar dan dia katakan tinggal satu. "Berarti mereka punya beberapa Toblerone dalam satu hari itu", Pikir Jojo waktu itu. Sementara anggota kami hanya mampu mengkonsumsi coklat sebatang per orang perhari dan coklat yang kami konsumsipun adalah coklat cap Ayam atau cap Musang yang sebatangnya berharga 100 perak.

Anggota tim kami yang melihat adegan itu hanya bisa menelan air ludah. Tapi khas orang Aceh, menunjukkan kelemahan atau kekurangan di depan orang asing adalah pantangan. 'Biar Miskin asal Sombong' begitulah prinsip kami di Leuser. Karena itulah, sehabis berfoto dan sedikit mengobrol dengan mereka, memberikan informasi kenapa tim kami harus pulang, masalah apa yang di hadapi. Ketika oleh tim Universitas Borobudur, anggota TPGL'93 diajak 'makan bareng', anggota kami menolak dan buru-buru minta diri untuk melanjutkan perjalanan, dengan alasan sudah kenyang karena baru makan. Padahal tidak lama kemudian Jojo dan kawan-kawannya mencari tempat yang agak jauh agar tidak dilihat anggota Team Universitas Borobudur, sambil berharap-harap cemas agar tidak terpergok oleh salah seorang anggota Team Universitas Borobudur, mereka membuka bekal nasi dalam plastik yang dimasak tadi pagi sebelum berangkat dengan lauk 7 batang ikan teri.

Perbedaan kualitas konsumsi itu sangat mudah dimengerti kalau kita membandingkan biaya ekspedisi yang mereka keluarkan dengan yang kami keluarkan. Dari cerita yang kudengar dari anggota team pendukung kami yang bersiaga di desa Peulumat untuk menghadapi berbagai situasi darurat yang dialami oleh team inti. Darzam, yang menjadi anggota Team pendukung itu mengatakan, dalam bincang-bincang dengan team pendukung Universitas Borobudur. Kalau saat itu, untuk melakukan ekspedisi Leuser mereka menghabiskan dana sebanyak 32 juta rupiah (saat itu kurs rupiah sekitar Rp.1.800/US Dollar). Bandingkan dengan kami yang nekat melakukan ekspedisi selama sebulan dengan anggota team sebanyak 8 orang tidak termasuk anggota team pendukung, dengan biaya 250 ribu rupiah.

Konsekwensi dari ekspedisi dengan anggaran minim seperti itu adalah; anggota team yang bisa ikut dalam ekspedisi harus benar-benar diseleksi dengan ketat. Hanya anggota yang bermental dan berfisik 'badak' saja yang boleh ikut dalam ekspedisi berbahaya semacam ini. Anggota yang mampu menggendong lemari di jalur terjal dan licin selama satu bulan penuh.

Tapi, meskipun sudah berangkat dengan anggota terpilih. Bermental dan berfisik 'Badak' TPGL'93 UKM-PA Leuser Unsyiah tetap gagal mencapai puncak Leuser karena kekurangan logistik. Mereka harus pulang karena tertahan di Bukit Setan* yang saat ini di kenal sebagai tempat angker di jalur selatan Leuser.

Sebenarnya saya sering tertawa mendengar penuturan beberapa orang yang pernah mendaki Leuser dari jalur selatan ini ketika mereka menceritakan tentang suasana seram di Bukit Setan.

Saya tertawa karena nama Bukit Setan ini sendiri sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh anggota TPGL'93 untuk menamai sebuah bukit indah yang tanahnya ditutupi lumut seperti permadani yang baru bisa dicapai setelah menempuh 9 hari perjalanan dari Peulumat.
Anggota TPGL'93 menamai bukit indah itu sebagai Bukit Setan; karena saat mereka sampai di sana. Ketika Puncak Leuser kelihatan jelas dan sangat mudah melakukan reseksi (orientasi lokasi pendakian di peta) dan di sana terlihat ada punggungan menuju ke Puncak leuser. Saat mereka berjalan yang maksudnya menuju ke Puncak Leuser melalui arah punggungan yang ada di peta, mereka yang berjalan di bawah rimbunan pepohonan tidak berhasil menemukan punggungan yang terlihat di peta. Yang terjadi mereka justru berjalan berhari-hari tapi ternyata hanya berputar dan kembali ke tempat yang sama di tempat mereka memulai perjalanan.

Setahun berikutnya agustus 1994, UKM-PA Leuser kembali melakukan ekspedisi besar di jalur ini, tim tahun 1994 itu kembali melewati jalur yang sama. Di sini kami menemukan, bahwa penyebab berputar-putarnya anggota TPGL'93 di jalur itu adalah karena waktu itu mereka berusaha mencari punggungan bukit yang tergambar di peta . Mereka tidak turun ke dalam jurang yang terletak di lereng utara Bukit Setan. Sebuah jurang dalam dan berkabut, yang dari atas terlihat sangat menyeramkan, seperti jurang di film-film horor tentang drakula dan vampire. Padahal jurang dalam yang di dasarnya mengalir sungai itulah satu-satunya jalur yang bisa dilewati untuk menuju ke puncak Leuser. Di peta yang dibuat berdasarkan foto udara, jurang yang sempit dan dalam itu tidak terlihat karena tertutup rindang pepohonan, sehingga tampak seperti sebuah punggungan.

Karena tersesat dan berputar-putar mencari punggungan yang tergambar di peta itulah. Di laporan setelah pendakian mereka, anggota TPGL'93 menamai bukit indah tempat mereka tersesat itu sebagai 'Bukit Setan'.

Ketika laporan ini banyak diminta dan dipakai sebagai acuan oleh team pendaki lain dari seluruh Nusantara yang hendak melakukan ekspedisi ke Leuser, melekatlah nama bukit itu sebagai BUKIT SETAN. Sejak saat itu tampaknya pula banyak orang yang percaya kalau bukit yang indah itu adalah tempat bersemayamnya makhluk halus dan merupakan tempat angker di jalur selatan. Saya sering mendengar cerita dari anggota pendaki dari organisasi lain yang menceritakan kalau bulu kuduk mereka merinding saat berada di tempat itu. Ketika semakin banyak pendaki lain yang mendaki Leuser melalui jalur selatan, nama itu makin melekat dan mulai banyak cerita seram yang berkembang tentang bukit itu. Begitulah sejarahnya kenapa bukit indah ini sampai sekarang dinamakan BUKIT SETAN. (mudah-mudahan cerita ini tidak dibaca oleh Punjabi, Parwez and The Gang, kalau mereka membacanya saya takut nanti mereka malah terinspirasi dan membuat sinetron tentang Hantu Bukit Setan atau cerita-cerita hantu tentang arwah pendaki gunung yang meninggal).

Tahun 1993, anggota TPGL'93 UKM-PA Leuser Unsyiah pulang dari ekspedisi dengan membawa kegagalan, tapi semua anggota tim selamat. Baru setahun kemudian pada tanggal 14 agustus 1994, UKM PA Leuser Unsyiah melalui pendakian yang dilakukan oleh Team Ekspedisi Jalur Selatan Leuser 1994 (EJSL' 94) yang juga diperkuat 3 anggota veteran TPGL'93 mampu mencapai puncak Leuser melalui jalur selatan.

Kebetulan, saya yang saat itu masih bersatus LM atau Leuser Muda juga bergabung di dalam team yang terdiri dari 9 orang ditambah satu orang pawang itu. Saat itu dalam team EJSL' 94, saya bertugas sebagai anggota seksi perlengkapan sekaligus co-navigator.

Keberhasilan kami dalam pendakian kali ini juga mancatatkan sejarah; Asih Budiati teman seangkatan saya di Diksar X UKM PA Leuser Unsyiah, satu-satunya anggota perempuan di tim ini. Tercatat sebagai PEREMPUAN PERTAMA yang mencapai Puncak Leuser dan Puncak Loser melalui jalur selatan.

Wassalam
Win Wan NurAnggota Team EJSL'94 UKM-PA Leuser Unsyiah

3 komentar:

Ini ceritaku mengatakan...

Salam,cerita yg sungguh luar biasa. saya jadi tertarik ingin mendaki leuser.tapi mungkin masih harus banyak persiapan.

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

cerita yang bagus. hanya saja terlalu banyak isu kedaerahan yang tidak perlu dan "gap" antara pendaki lokal dan pendaki luar pulau. Yang ironisnya justru mengindikasikan kecemburuan sebagai wujud dari kelemahan.