Selasa, 09 Desember 2008

Idul Adha di Lampu'uk

Lampu'uk adalah sebuah kemukiman (kumpulan beberapa desa) yang cukup ramai, terletak 15 Kilometer dari Banda Aceh ke arah Meulaboh.

Dalam wilayah kemukiman ini terdapat salah satu pantai tercantik di Aceh. Pantai Lampu'uk yang terkenal dengan pasir putih dan ikan bakarnya. Mirip-mirip Jimbaran di Bali. Salah satu ujung pantai ini terhenti di sebuah bukit bernama Goh Leumo yang dalam bahasa Melayu berarti Punuk Sapi. Di ujung pantai yang terhenti di Goh Leumo ini terdapat salah satu tebing paling menarik untuk dipanjat karena di bagian atas tebing ini terdapat apa yang dalam istilah Rock Climbing disebut 'Over Hang' dan 'Roof' dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Kedua istilah yang saya sebutkan tadi digunakan untuk menggambarkan satu bagian tebing yang sebegitu curamnya sampai sudutnya mencuat ke luar, seperti menggantung dan sisi paling curam sebuah tebing yang saking curamnya sampai berbentuk seperti atap.

Dulu saat aku masih mahasiswa, aku sangat sering mengunjungi Lampu'uk. Entah itu untuk berenang di pantainya, belajar surfing, memanjat tebing bersama Rakai, seorang temanku di UKM PA Leuser, memperlancar bahasa Inggris dengan cara mengajak ngobrol cewek-cewek bule berbikini yang menginap di Joel Bungalow atau sekedar menikmati sunset sambil meniup 'didgeridoo'.

Kadang aku datang ke Lampu'uk di hari Jum'at. Kalau itu terjadi aku biasanya shalat Jum'at di mesjid Lampu'uk yang cukup besar dengan bentuk luar sekilas sangat mirip dengan mesjid Baiturrahman di pusat kota Banda Aceh.

Shalat Jum'at di Lampu'uk tidak boleh terlambat karena kalau terlambat kita tidak akan mendapatkan tempat di dalam mesjid yang cukup besar ini. Kemukiman Lampu'uk yang saat itu terdiri dari tiga desa memiliki penduduk tidak kurang dari 4000 orang yang hampir semua kaum laki-lakinya shalat jum'at di mesjid ini.

26 Desember 2004, Tsunami melanda Aceh. Lampu'uk yang terletak tepat di pinggir pantai ini adalah salah satu tempat yang paling parah dihantam tsunami. Aku lihat di televisi kemukiman Lampu'uk rata dengan tanah. Satu-satunya bangunan yang masih berdiri tegak adalah mesjid tempat aku sering melakukan shalat Jum'at dulu. Mesjid ini juga sangat sering kulihat di berbagai koran, majalah atau karya fotografi yag menggambarkan ganasnya Tsunami.

4 tahun setelah Tsunami, aku kembali ke Lampu'uk. Penampilan fisik kemukiman ini sudah sangat jauh berbeda dengan yang pernah kuingat dulu. Tidak satupun rumah di pinggir jalan yang dulu kujadikan sebagai penanda lokasi yang masih berdiri. Sekarang seluruh rumah di Lampu'uk bentuknya seragam. Rumah-rumah itu adalah bantuan dari pemerintah Turki. Dibandingkan rumah-rumah bantuan di daerah lain. Rumah bantuan di Lampu'uk ini kondisinya terlihat jauh lebih baik. Satu-satunya yang tetap mengingatkanku pada suasana Lampu'uk lama adalah banyaknya sapi yang berkeliaran di jalanan yang jika kita tidak hati-hati mengemudi terutama di malam hari kita bisa tiba-tiba menabraknya.

Kemarin di malam menjelang hari raya Idul Adha, aku menginap di Lampu'uk di salah satu rumah bantuan Turki itu yang disewa oleh seorang temanku yang berasal dari Canada. Malam menjelang hari raya, hujan turun sangat deras. Sampai jam 6 pagi kulihat belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Aku sempat berpikir tidak akan pergi shalat Ied. Tapi kira-kira jam 7 hujan mereda meskipun masih turun rintik-rintik tapi tidak selebat sebelumnya dan akupun memutuskan untuk pergi Shalat Ied.

Shalat Ied untuk kemukiman Lampu'uk dilaksanakan di Mesjid Lampu'uk tempat aku sering shalat jum'at dulu. Biasanya Shalat Ied dilakukan di luar ruangan. Untuk kemukiman Lampu'uk dulunya Shalat Ied biasa dilakukan di lapangan bola Seri Musim. Di lapangan inilah Irwansyah, mantan pemain nasional sekaligus striker andalan Persiraja Banda Aceh yang hilang saat Tsunami belajar bermain bola. Kupikir kali ini Shalat Ied dilakukan di mesjid Lampu'uk karena alasan hujan. Bagiku sendiri berarti Shalat Ied di Lampu'uk ini akan menjadi Shalat Ied kedua yang aku lakukan di dalam ruangan setelah Shalat Ied hari raya Idul Fitri yang baru lalu aku laksanakan di mesjid desa Randu Agung di Banyuwangi.

Aku yang berangkat ke mesjid jam 7.30 sambil berpikir kalau aku pasti tidak akan mendapat tempat lagi dalam ruangan Mesjid. Aku bayangkan kalau Shalat Jum'at yang cuma dihadiri jama'ah laki-laki saja penuh sesak apalagi Shalat Ied yang dihadiri laki-laki dan perempuan. Karena merasa kemungkinan aku harus shalat di luar dengan resiko berbasah ria kalau hujan tiba-tiba turun, aku berangkat Shalat dengan mengenakan jacket parasut yang tahan air. Tapi saat tiba di mesjid aku mendapati jama'ah Shalat Ied yang datang belum terlalu ramai. Mesjid terisi belum sampai setengahnya padahal beberapa saat lagi Shalat Ied akan segera dimulai. Bentuk Mesjid ini secara garis besar masih persis sama seperti sebelum Tsunami dulu dengan penambahan beberapa dekorasi di sana sini.

Tidak berapa lama Shalat Ied langsung dimulai dengan jumlah jama'ah yang belum juga bertambah. Aku Shalat dengan menyimpan penasaran, apakah setelah tsunami, setelah Aceh diguyur uang milyaran dollar, didatangi ribuan pekerja asing yang membawa budaya baru semangat keislaman orang-orang Lampu'uk menjadi sebegitu rendahnya sampai-sampai Shalat Ied di mesjid inipun hanya didatangi sangat sedikit orang.

Selesai Shalat seperti biasa dilanjutkan dengan khotbah yang disampaikan dalam bahasa Aceh. Penghotbah yang tampil kali ini adalah seorang lulusan pesantren yang sepanjang khotbahnya memuji-muji kualitas seorang lulusan pesantren yang menganjurkan para jama'ah untuk memasukkan anaknya ke sekolah agama bukan sekolah umum. karena menurutnya dengan belajar di sekolah agama masa depan di akhirat kelak akan terjamin. Sepanjang khotbah aku masih penasaran dan tidak habis pikir kenapa jama'ah Shalat Ied di mesjid ini sangat sedikit.

Selesai Shalat, seluruh Jama'ah membentuk lingkaran dan saling bersalaman satu persatu. Semua wajah tampak begitu cerah dan gembira. Persis sama seperti suasana hari raya dimanapun yang pernah kualami entah itu di Indonesia ataupun di luar negeri. Aku yang tampak aneh sendiri dengan pakaian jacket parasut tahan air dan bercelana jeans langsung dikenali oleh penduduk Lampu'uk sebagai orang luar.

Dalam kumpulan jama'ah Shalat Ied di mesjid Lampu'uk ini aku melihat seorang jama'ah yang juga berpakaian tidak kalah anehnya dibandingkan aku, yang juga beda sendiri dibandingkan jama'ah yang lain. Bersorban ala Pangeran Diponegoro, mirip seperti patung ulama di depan kantor Kodim Banyuwangi, bedanya sorban si jama'ah ini berwarna abu-abu. Dia mengenakan jubah yang panjangnya sampai di atas mata kaki, juga berwarna abu-abu dengan wajah yang dihiasi jenggot beberapa lembar yang dipaksakan tumbuh panjang di dagunya. Saat giliranku bersalaman dengannya jama'ah bersorban yang juga seperti aku, sama-sama terlihat aneh dan mencolok dalam kumpulan jama'ah lain yang berkemeja dan bersarung ini memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan sinis yang kutanggapi dengan senyuman sambil melanjutkan acara bersalaman dengan jama'ah yang lain.

Selesai bersalaman, seorang jama'ah yang berumur sekitar 60-an tahun yang bahan pakaiannya terlihat lebih berkualitas dibandingkan bahan pakaian jema'ah lain dan raut wajah yang tampak berwibawa mendekatiku. "Tinggal di mana dik?", tanyanya. Aku menjawab kalau aku tinggal di rumah temanku yang berasal dari Canada itu dan bapak itupun mengangguk. Lalu tanpa merasa perlu menanyakan nama dan asalku darimana bapak ini mengajakku untuk mampir ke rumahnya dan mengundangku makan di sana. Karena menurut beliau saat ini tidak ada warung yang buka, aku pasti akan kelaparan kalau berharap makan di warung. Bapak ini tahu persis kalau temanku itu tidak masak di rumahnya.

Alasan si bapak yang mengajakku dengan penuh ketulusan ini terlalu kuat untuk aku tolak dan akupun mengikuti si bapak ini ke rumahnya yang juga merupakan rumah bantuan dari pemerintah Turki dengan bendera Turki yang bergambar bulan bintang yang mirip seperti bendera GAM yang terbuah dari ukiran beton terpampang di dinding di atas pintu depan rumah. Tapi meskipun bentuk dasarnya sama rumah bapak ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa dan ruangannya juga sudah diperbesar di bagian belakang. Bentuk pagar, taman dan dekorasi dalam ruangan rumah bapak ini yang dihiasi lampu kristal dan gorden berbahan mahal menunjukkan kalau secara ekonomi si bapak ini relatif lebih berada dibandingkan rata-rata penduduk Lampu'uk lainnya.

Saat masuk ke dalam rumah, aku bersalaman dengan seluruh anggota keluarga bapak ini termasuk istri dan anak perempuannya. Sebelumnya aku sempat menduga kalau setelah penerapan Syari'at Islam ala wahabi, perempuan di Aceh juga tidak mau lagi bersalaman dengan laki-laki sebagaimana kebiasaan teman-temanku anggota PKS. Tapi ternyata tidak, orang Aceh di Lampu'uk ini masih tetap seperti dulu.

Kami duduk di ruang tamu sambil makan makanan kecil khas lebaran yang karena perbedaan status ekonomi, kualitasnya jauh lebih baik dibandingkan kudapan khas lebaran yang dihidangkan padaku oleh penduduk desa Randu Agung saat lebaran Idul Fitri yang lalu. Bapak ini menceritakan kalau nyaris seluruh keluarganya habis hilang saat tsunami. Beliau sendiri selamat karena pada saat kejadian beliau yang masih berstatus pegawai Bank BRI sedang menghadiri acara pertandingan olahraga yang diselenggarakan oleh kantornya di kota Banda Aceh. Saat itu beliau menghadiri acara itu bersama istrinya dan anak perempuannya yang menyalamiku tadi. Dan sekarang hanya mereka bertigalah sisa keluarga beliau yang masih hidup. Semua anggota keluarga beliau yang lain hilang bersama tsunami. Tapi saat menceritakan ini seperti orang-orang Aceh lain yang pernah aku tanyai. Aku sama sekali tidak melihat ada gurat kesedihan di wajah bapak ini ketika menceritakan peristiwa itu.

Melalui bapak ini pula aku mengetahui alasan kenapa jama'ah Shalat Ied di mesjid tadi sangat sedikit. Menurut Bapak ini jama'ah Shalat Ied tadi sedikit karena memang penduduk Lampu'uk sekarang sudah sangat sedikit. Sebagai gambaran bapak ini mengatakan penduduk Desa Meunasah Bale, desa tempat beliau tinggal dulu sebelum Tsunami lebih dari 1200 orang tapi sekarang tidak sampai 300 orang. Desa sebelahnya Meunasah Baro dari sekitar 800-an orang sekarang tinggal sekitar 200-an. Ternyata itulah alasan sedikitnya jama'ah Shalat Ied tadi, bukan karena semangat keisalaman orang Lampu'uk yang sudah sedemikian rendah.

Kami berhenti mengobrol saat anak perempuan beliau masuk ke ruang tamu dan mengatakan makanan sudah siap dan mempersilahkan kami untuk makan. Akupun makan di sana dengan lauk daging olahan bumbu Aceh yang khas. Ditambah sebuah menu asing yang tidak pernah aku temui sebelumnya dalam menu di rumah-rumah orang Aceh. Sup Udang yang rasanya mirip Tom Yam Kung. Tapi Sup Udang bikinan anak perempuan bapak ini yang berumur sekitar 18 tahun yang memiliki wajah sekilas mirip Asmirandah, artis sinetron yang membintangi iklan Indosat ini jauh lebih enak, malah sejujurnya bagiku ini adalah Sup Udang terenak di dunia. Setidaknya sejauh yang pernah aku cicipi.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

1 komentar:

iroels mengatakan...

Waduh........ setelah membaca tulisan sampai habis... seakan teringat masa2 kuliah dulu di aceh, rasanya pengen mengulang kembali masa2 lalu, aceh memang indah & bersahaja... beda dengan suasana di jakarta yg suasananya yg maceeet & stress, terima kasih Bang Wen (dimanadikaukini?),

Salam
Iroel (iroels2008@yahoo.co.id)