Selasa, 25 November 2008

Represi Kultural, Minorities Within Minorities dan Isu ALA

Tanggal 19 November yang lalu, bertempat di Hotel Hermes Palace, saya mengikuti konferensi internasional yang diprakakarsai oleh Interpeace dan ASEM networks. Konferensi yang diberi tema “Locals, “Outsiders” and Conflict ini salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi baru dan analisa yang solid tentang bagaimana komunitas lokal dan komunitas pendatang mempengaruhi dinamika perdamaian dan konflik.

Berbeda dengan diskusi di acara peluncuran buku yang saya hadiri dua hari sebelumnya, dalam konferensi yang dihadiri oleh banyak ahli dari berbagai negara dengan membawa informasi dan pengalaman masing-masing dalam memetakan dan menangani konflik ini saya menemukan banyak informasi baru yang dapat digunakan untuk memetakan dan menemukan solusi yang tepat untuk menangani situasi perpolitikan Aceh saat ini.

Khusus untuk memahami permasalahan yang terjadi di kampung halaman saya berkaitan dengan isu ALA. Saya merasa sangat tertarik pada makalah dari dua pembicara dalam konferensi ini. Pertama makalah dari pembicara asal Aceh, Dr.Humam Hamid yang dan yang kedua adalah makalah dari pembicara asal Barcelona, Dr.Jordi Urgell.

Dalam makalahnya dia beri judul ‘Dynamics of Ethnic Relationships in Aceh’ Dr.Humam mengatakan bahwa berkembangnya isu diskriminasi etnis di Aceh belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah dan masyarakat Aceh pesisir yang merupakan etnis dominan di provinsi ini yang kurang menghormati budaya etnis minoritas yang juga merupakan penduduk asli provinsi Aceh.

Makalah Dr.Humam ini menarik bagi saya karena ide-ide yang ditulis Dr.Humam dalam makalahnya banyak yang sejalan dengan pandangan saya selama ini. Misalnya dalam berbagai tulisan yang saya post di blog saya www.winwannur.blogspot.com dan www.gayocare.blogspot.com, saya selalu membedakan antara Aceh sebagai sebuah wilayah dan Aceh sebagai sebuah etnis. Aceh sebagai etnis adalah Orang Aceh yang tinggal di pesisir, sedangkan Aceh sebagai sebuah wilayah adalah Aceh yang dihuni oleh 9 macam etnis penduduk asli.

Seperti yang sering saya nyatakan dalam berbagai tulisan saya. Dalam makalahnya Dr.Humam juga menjelaskan hal yang sama. Sayangnya menurut Dr.Humam kenyataan ini tidak disadari atau pura-pura tidak disadari oleh etnis Aceh dan juga pemerintah Aceh yang didominasi oleh orang Aceh yang berasal dari etnis Aceh.

Dalam kultur yang plural seperti di Aceh ini idealnya etnis-etnis minoritas yang juga merupakan penghuni asli wilayah Aceh diberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan diri baik secara politik, ekonomi maupun budaya.

Saya sangat setuju dengan pandangan Dr.Humam karena kenyataannya dominasi suku Aceh dalam setiap aspek kehidupan di provinsi ini memang sangat terasa. Bahkan dalam hal berkesenianpun. Ketika orang Aceh memperkenalkan kesenian Aceh ke dunia luar, baik dalam maupun luar negeri. Yang selalu ditonjolkan adalah kesenian Aceh pesisir. Seolah-olah semua kesenian yang ada di Aceh ini hanyalah kesenian milik Aceh pesisir. Padahal kesenian etnis lain juga banyak yang tidak kalah menariknya. Misalnya dalam seni tari selain Seudati yang merupakan tari klasik Aceh pesisir dan berbagai tarian Aceh pesisir kreasi baru lainnya. Sebenarnya di Aceh ada banyak tarian klasik dari suku lain misalnya Saman Gayo, Tari Bines dan Tari Guel yang berasal dari Gayo. Saya yakin ada banyak tarian asli Aceh lain milik suku Tamiang, Singkil, Kluet, Aneuk Jamee dan lain-lain, tapi semua jarang sekali ditampilkan sehingga orang luar hanya mengenal kesenian Aceh hanyalah kesenian Aceh pesisir.

Orang Gayo yang merupakan etnis terbesar kedua di provinsi ini setelah ertnis Aceh seringkali merasa mereka direpresi oleh suku Aceh secara kultural. Banyak orang Gayo yang merasa eksistensi kultural mereka diabaikan oleh orang Aceh. Tapi di sisi lain orang Gayo melihat beberapa karya budaya mereka dibajak dan diakui sebagai karya budaya milik suku Aceh. Misalnya banyak seni tari Aceh kreasi baru sebenarnya adalah tarian modifikasi dari tarian klasik milik suku Gayo terutama tari Saman Gayo. Tapi oleh seniman yang menciptakannya tarian hasil modifikasi itu dinamai dengan berbagai nama khas Aceh pesisir tanpa sedikitpun menjelaskan bahwa tarian itu adalah hasil adaptasi dari tari Gayo klasik yang bernama tari Saman. Karena tidak ada penjelasan, para penonton yang menikmati tarian itu merasa seolah-olah bahwa tarian yang mereka saksikan dengan penuh kekaguman itu adalah tarian klasik Aceh pesisir. Ini sangat menyakitkan bagi orang Gayo.

Hal yang sama juga terjadi dengan karya seni bordir khas orang Gayo yang disebut Kerawang Gayo. Karya seni Kerawang Gayo ini adalah karya cipta kebanggaan orang Gayo. Motif-motif bordirannya yang khas dapat kita lihat dalam sertiap pakaian adat orang Gayo. Tapi ketika belakangan orang-orang Aceh pesisir mulai mempelajari teknik pembuatan kerawang dan mulai memproduksi kerajinan kerawang. Merekapun mulai memperkenalkannya karya seni ini sebagai Kerawang Aceh. Sama seperti dalam hal tarian dalam hal inipun orang Gayo yang minoritas merasa dirampok.

Kebetulan dalam konferensi ini panitia menghadirkan pertunjukan tarian Aceh sebagai selingan saat jeda menjelang coffee break pertama. Salah satu tari yang ditampilkan adalah tarian Aceh kreasi baru yang banyak menampilkan gerakan-gerakan Saman Gayo dalam koreografinya. Dalam sesi tanya jawab dan diskusi, saat saya menanggapi pemaparan makalah Dr. Humam. Tarian yang ditampilkan ini langsung saya angkat sebagai salah satu contoh kurangnya penghormatan terhadap budaya minoritas.

Dalam forum yang dihadiri oleh peserta dari berbagai negara ini saya katakan bahwa tarian itu adalah salah satu bentuk pembajakan terhadap karya seni milik suku minoritas oleh suku mayoritas. Ketika menyebut kata pembajakan dalam forum ini saya menggunakan kata ‘hijack’ bukan ‘piracy’. Kata ini saya pilih karena saya menganggap kata ‘hijack’ lebih tepat untuk menggambarkan kasarnya aktivitas pembajakan kultural yang dilakukan oleh suku Aceh terhadap karya seni orang Gayo ini.

Pernyataan saya itu sepenuhnya diamini oleh Dr.Humam. Beliau sama sekali tidak menampik apa yang saya paparkan, malah beliau menambahkan kalau selama ini memang banyak hambatan kultural dan dominasi etnis Aceh pesisir yang membuat etnis-etnis minoritas di provinsi ini merasa asing di tanah mereka sendiri.

Setelah hal itu saya ungkapkan di forum ini, banyak peserta konferensi dari luar negeri yang mendekati saya untuk menanyakan lebih jauh tentang tari Saman Gayo yang gerakan-gerakannya dibajak oleh tari Aceh yang kami saksikan tadi dan dengan senang hati saya jelaskan. Sayangnya tidak semua konferensi internasional tentang Aceh atau pertunjukan seni Aceh dihadiri oleh orang Gayo.

Perasaan-perasan negatif yang dirasakan oleh etnis minoritas seperti ini, jika terus dibiarkan terjadi di provinsi yang pernah lama berada dalam situasi konflik ini tidak bisa tidak, pasti akan menghadirkan konflik baru antara mayoritas dengan minoritas. Bibit-bibit konflik ini sudah mulai disemai dengan cara mengeksploitir isu dominasi suku Aceh atas suku Gayo oleh orang-orang yang menamakan dirinya pejuang ALA.

Sebenarnya situasi seperti yang kita alami di Aceh sekarang ini adalah situasi yang jamak terjadi di wilayah dunia manapun yang pernah mengalami konflik vertikal.

Dr.Jordi Urgell dari School for a Culture of Peace, Autonomous University of Barcelona yang juga menjadi pembicara dalam konferensi yang saya hadiri ini. Dalam makalahnya yang dia beri judul ‘Minorities Within Minorities in South East Asia’, mengatakan bahwa dalam banyak konflik antara pusat yang mayoritas dengan daerah yang merupakan minoritas yang terjadi di berbagai belahan dunia. Banyak dari konflik itu terjadi disebabkan oleh cara pemerintah sebuah negara yang memperlakukan kelompok minoritas dengan cara pikir dan pola perlakuan ala kelompok mayoritas di negara tersebut.

Tapi ketika konflik terselesaikan dengan memberi keleluasaan dan kekuasaan yang lebih besar kepada kelompok yang minoritas secara nasional. Hal ini seringkali dirasa sebagai ancaman oleh kelompok yang merupakan minoritas secara lokal (minorities within minorities). Konflik sering terjadi karena kelompok yang merupakan minoritas secara nasional yang kini menjadi mayoritas secara lokal melalui kekuasaan yang lebih besar yang baru mereka dapatkan memperlakukan minorities within minorities ini seperti mereka dulu diperlakukan oleh kelompok mayoritas nasional sehingga minorities within minorities merasa terancam eksistensinya.

Perlakuan ini misalnya bisa dilihat dari sikap Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh di depan publik yang sering tidak menunjukkan rasa hormat kepada suku-suku Aceh minoritas. Sikap itu mereka tunjukkan dengan perilaku berbahasa mereka yang hanya mau berbahasa Aceh kepada orang Aceh mana saja yang menjadi lawan bicara mereka, tidak peduli asal-usul sukunya.

Situasi seperti ini seringkali membuat minorities within minorities merasa lebih terjamin eksistensinya ketika kelompok yang minoritas secara nasional ini masih dalam posisi minoritas.

Fenomena inilah yang terjadi di Aceh sekarang, jadi isu ALA yang terjadi sekarangpun harus kita lihat dari kacamata minorities within minorities ini dan penyelesaian masalahnyapun tidak bisa kita lepaskan dari bingkai ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Abdi Dalem Keraton Jogja dan 'Borobudur Gayo'

Beberapa hari setelah kunjungan kami ke Borobudur, aku bersama klienku berkunjung ke Kraton Yogyakarta, dalam kunjungan ke keraton ini kami tidak bersama-sama dengan Pak Bekti. Di sini kami langsung ditemani oleh Guide resmi Keraton yang berpakaian batik warna merah. Guide inilah yang menjelaskan setiap detail bangunan, pernak-pernik dan adat dalam keraton.

Dalam lingkungan keraton yang luasnya 1 kilometer persegi ini terdapat banyak sekali bangunan-bangunan dengan berbagai fungsi.

Di setiap bangunan dan halaman yang sangat bersih dalam lingkungan keraton ini aku melihat banyak sekali pekerja yang ternyata adalah para abdi dalem keraton. Mereka berpakaian biru dengan blangkon dan sarung khas jawa. Mereka ada yang sekedar duduk khusuk seperti bersemedi, bersila langsung di atas pasir tanpa alas, ada yang menyapu halaman, membersihkan debu yang melekat di instrument musik dan perabotan milik keraton dan ada pula yang membaca buku-buku yang ditulis dalam huruf sanskerta dan bahasa jawa.

Pemandangan seperti ini jauh lebih menarik perhatianku daripada sekedar mendengarkan penjelasan guide tentang sejarah dan seluk-beluk keraton, bagiku Manusia adalah bagian paling menarik dari seluruh alam semesta.

Sebelumnya, aku sudah sering mendengar cerita tentang bagaimana taatnya para abdi dalem ini kepada sultan junjungan mereka. Tapi rasanya tentu berbeda kalau aku mendengarkan cerita itu langsung dari orangnya. Karena saat ini aku berada di keraton ini aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenallangsung manusia yang disebut Abdi Dalem ini. Aku ingin merasakan langsung emosi mereka merasakan sendiri bagaimana bentuk ketaatan mereka yang melegenda terhadap raja junjungan mereka.

Aku mendekati seorang Abdi Dalem yang sedang membersihkan debu di salah satu bangunan keraton, aku duduk di sampingnya dan mulai mengajaknya bercakap-cakap. Aku menanyakan nama dan bertanya bagaimana ceritanya dia bisa menjadi seorang Abdi dalem di keraton ini. Namanya Pak Muchlosid, dia mengaku telah menjadi Abdi dalem di keraton ini sejak beberapa tahun yang lalu.

Pak Muchlosid bercerita kalau sekarang di Keraton ini sekarang ada peraturan yang mensyaratkan bahwa yang boleh melamar untuk menjadi Abdi Dalem harus yang berumur di bawah 40 tahun. Mendengar ini aku merasa penasaran dan menanyakan jumlah gaji yang diterimanya. Ketika itu kutanyakan, Pak Muchlosid dengan bangga mengatakan kalau dia tidak digaji apa-apa. Dia bekerja sebagai Abdi Dalem murni karena Lillahi Ta'ala. Pekerjaan sebagai Abdi Dalem yang dia lakukan sejak pagi hingga sore ini adalah bentuk pengabdiannya yang tulus dan tanpa pamrih kepada Sultan junjungannya. Pak Muchlosid pun tampak begitu bangga akan pengambdiannya ini, karena menurutnya sebenarnya banyak sekali orang lain yang berminat menjadi Abdi Dalem tapi ditolak. Kata Pak Muchlosid, dalam keraton ini Abdi Dalemlah yang membutuhkan Keraton, bukan sebaliknya.

Ketika kutanyakan bagaimana caranya dia menghidupi keluarganya kalau seluruh waktu produktifnya dihabiskan dengan bekerja di Keraton ini, Pak Muchlosid menjawab kalau unytuk itu dia memelihara ayam yang dikelola oleh istrinya. Urusan ekonomi keluarga itu sama sekali bukan urusannya. Aku benar-benar takjub mendengar penuturan Pak Muchlosid ini, lebih takjub lagi ketika aku mendengar pengakuan yang sama keluar dari mulut Abdi Dalem lain yang kuajak bicara.

Sehabis dari keraton, kami berjalan-jalan di pasar burung. Pasar ini sangat bersih, sangat berbeda dengan Pajak Petisah di Medan atau Pasar Ampera dekat rumahku di Jakarta. Ketika aku bertanya mengenai hal ini kepada beberapa pedagang yang berjualan di sana, kenapa pasar ini bisa sedemikian bersihnya. Mereka mengatakan, itu karena mereka tidak ingin pasar terlihat kotor jika tiba-tiba Sultan datang berkunjung kesana.

Begitu dahsyatnya pengaruh Sultan dalam kehidupan Orang Jogja, begitu besarnya rasa taat dan rasa hormat mereka kepada raja junjungan mereka. Bahkan Islam, agama yang katanya sangat egaliter dan memandang setiap manusia dengan derajat yang samapun tidak mampu mengikis 'mentalitas borobudur' dari dalam diri orang Jogja. Dengan mentalitas seperti ini tidak heranlah kalau makna Demokrasi bagi orang Jogja yang merupakan salah satu pusat dunia intelektual di Indonesia ini adalah meminta Sultan untuk menjadi penguasa seumur hidup.

Sehabis dari pasar burung, kami kembali ke hotel. Sore harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan menumpang kereta api.

Saat berada dalam gerbong kereta yang membawaku menuju Surabaya. Aku merenungkan apa yang kurasakan dan kualami selama di Jogja. Membayangkan Borobudur yang megah, membayangkan Pak Muchlosid dan para Abdi Dalem lainnya yang memiliki kesetiaan tanpa batas terhadap rajanya.

Kemudian aku mencoba membayangkan apa jadinya jika ada orang yang berencana membangun Borobudur di Aceh. Sekuat apapun aku berusaha aku tidak berhasil membayangkannya. Aku teringat pada ucapan seorang antropolog Belanda bernama Snouck itu, Belanda yang paling dibenci di Aceh ini mengatakan. Orang Gayo adalah 'True Republican'. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hurgronje mengatakan berkebalikan dengan Jawa, Orang Gayo adalah orang-orang yang bebas dari rasa takut terhadap raja atau pemimpinnya. Tidak seperti orang Jawa yang selalu mengatakan 'Inggih' terhadap semua titah rajanya, Orang Gayo selalu berani dan tidak pernah merasa ada beban jika mengatakan hal-hal yang berbeda dengan pendapat pemimpinnya.

Masyarakat dengan karakter jenis ini sampai kapanpun tidak akan pernah mampu membangun karya seni seagung dan seindah Borobudur.

Aku merenung sebentar, lalu kuperhatikan wajah-wajah klien perancisku yang 3 hari belakangan ini terus bersamaku. Wajah-wajah dari orang-orang yang mematuhi apapun yang aku katakan dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan.

Kemudian aku mengingat kembali wajah-wajah mereka yang sangat antusias mendengarkan aku bercerita saat kami mengobrol di Meja makan, saat aku bercerita tentang hal-hal kecil. Tentang diriku, keluarga dan juga tentang putri kecilku yang sekarang tumbuh besar dalam kesadaran sebagai seorang warga dunia yang tidak mengenal batas-batas artifisial yang disebut negara.

Aku juga mengingat saat akupun mendengarkan cerita mereka tentang kampung dan keluarga mereka, tentang budaya minum anggur mereka, tentang keju Perancis yang jenisnya ratusan banyaknya. Seperti mereka yang penuh antusias mendengarkan ceritaku akupun mendengarkan cerita mereka dengan antusiasme yang sama. Saat itu aku dapat merasakan dengan jelas betapa indahnya hidup seperti ini, hidup dalam perasaan setara, tidak ada rasa lebih rendah atau perasaan lebih tinggi sebagai sesama manusia.

Mengingat itu tiba-tiba aku merasa bersyukur, aku sadar Gayo dengan karakter khasnya memang tidak akan pernah bisa membangun karya seni berbentuk fisik yang nyata dan bisa diraba seindah dan seagung Borobudur yang kini menjadi kekagumanku dan juga dunia. Sebuah artefak yang menjadi bukti tingginya peradaban masyarakat yang membangunnya dulu.

Tapi kepadaku dan semua orang Gayo generasi sekarang, muyang datuku berhasil mewariskan karya seni lain yang tidak kalah indah dan agungnya dibandingkan Borobudur. Bedanya karya seni warisan muyang datuku ini hanya dapat dirasakan tapi tidak dapat dilihat dan diraba secara fisik. Karya seni Gayo yang indah dan agung itu adalah mentalitas Gayo yang oleh Hurgronje digambarkan sebagai mentalitas 'TRUE REPUBLICAN' yaitu perasaan setara dalam relasi antar sesama manusia.

Karya seni warisan muyang datuku ini adalah karya seni yang sama seperti yang bisa kita temukan dalam keindahan setiap relief peradaban modern di berbagai belahan dunia.

Inilah 'Borobudur Gayo' warisan muyang datuku yang paling berharga yang akan kujaga baik-baik dan akan kuwariskan kepada gayo-gayo keturunanku.

Wassalam

Win Wan Nur

Senin, 17 November 2008

Banda Aceh dan Pendidikan Pra Sekolah

Setelah tiga hari yang lalu menyaksikan pertunjukan didong jalu antara Sidang Temas melawan Teruna Jaya di gedung Aula SMK Lampineung (dulu STM). Kemarin adalah hari paling mengesankan selama aku berada di Banda Aceh. Kota tempat aku tumbuh menjadi dewasa yang sekarang sudah sangat berubah ini.

Kemarin mulai dari pagi sampai malam kegiatanku benar-benar penuh. Semua kegiatan yang kulakukan kemarin adalah kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin bisa aku dapatkan semasa aku masih tinggal di Banda Aceh dulu.

Pagi hari aku diundang oleh temanku Fitria Warastuti, anak Leuser yang seangkatan denganku di Diksar X UKM-PA Leuser Unsyiah. Fitri alumni teknik sipil Unsyiah angkatan 1993 ini sekarang mengelola sebuah taman kanak-kanak di rumah suaminya di Geuceu. Oleh Fitri aku diundang untuk mengajar di TK yang dia kelola itu karena sehari sebelumnya saat kami bertemu di Lampuuk, kepada Fitri aku pernah bercerita tentang kekagumanku terhadap metode Montessori yang diterapkan di TK tempat anakku bersekolah. Karena itulah pagi kemarin akupun menjadi Guru TK mengajar murid-muridnya sambil membayangkan diriku seperti Miss Valda, guru anakkku di TK Montessori yang sendirian mampu menangani 26 orang Murid yang berasal dari 17 negara.

Siang harinya aku menghadiri acara Launching buku di Taman ratu Safiatuddin dan malamnya aku menghadiri acara pemutaran film di kantor perwakilan Uni Eropa. Kegiatan budaya semacam ini dulunya selama 13 Tahun aku tinggal di Banda Aceh ini sama sekali tidak pernah aku rasakan. Pasca Tsunami Banda Aceh benar-benar menawarkan banyak sekali pilihan.

Pagi hari, saat aku tiba di TK yang dikelola oleh Fitri, kulihat Fitri sedang menghadapi 15 orang muridnya yang berlarian ke sana kemari dalam ruangan kelas yang aslinya adalah ruang tamu rumah milik Kades, suami Fitri yang teman seangkatanku di SMA 2 dan juga di Teknik Sipil Unsyiah.

Fitri kemudian memperkenalkanku kepada anak-anak didiknya yang kecil-kecil mungil yang wajah-wajah polosnya mengingatkanku pada putri kecilku. Kepada anak-anak itu Fitri mengatakan kalau aku akan bercerita kepada mereka. Awalnya aku bingung harus bercerita apa pada anak-anak yang memandangiku dengan penuh rasa ingin tahu itu. Sampai aku melihat seorang anak memegang mainan berbentuk Badak. Aku langsung punya ide untuk bercerita tentang Badak.

Aku teringat pada apa yang dilakukan Miss Valda saat mengajarkan Geografi dan Biologi pada anak-anak di TK Montessori ketika aku dan istriku diundang oleh Montessori untuk mengamati keseharian anak-anak Montessori di sekolah. Kegiatan itu adalah pengganti pembagian raport di sekolah tradisional.Di sana aku lihat Miss Valda mengajarkan hal-hal besar dengan memulai cerita dari hal-hal kecil yang diminati oleh anak-anak itu.

Melihat ada celah untuk itu, aku kemudian meminta Fitri untuk mengambil Globe dan bercerita kalau Globe ini adalah bentuk planet yang kita tinggalkan ini dengan ukuran yang dikecilkan. Aku tahu anak-anak itu tidak memahami ceritaku itu persis seperti yang aku pahami tapi pasti itu akan tercetak dalam ingatan mereka dan nantinya akan menjadi bahan bagi mereka untuk memulai pencarian yang lebih detail ketika mereka sudah lebih besar. Sambil bercerita aku menunjukkan tempat-tempat dimana Badak bisa ditemukan.

Saat aku bercerita beberapa anak mulai bosan, awalnya Fitri membujuk anak itu untuk tetap duduk ditempatnya untuk mendengarkanku. Tapi aku melarangnya, karena memang anak-anak seumuran itu belum boleh dipaksa. Mereka harus dibiarkan memilih kegiatan yang disukainya, untuk anak-anak seumuran ini sebagai guru seharusnya kita hanya boleh memfasilitasi minat mereka, bukan memaksa anak-anak itu melakukan apa yang dimaui oleh orang dewasa.

Murid-murid Fitri yang rata-rata berumur antara 3 sampai 5 tahun ini dalam kategorisasi perkembangan menurut Piaget ada pada Periode Pra Operasional. Pada masa ini bagi anak-anak semua hal yang ada disekitarnya adalah hal yang menarik. Hal-hal yang mereka lihat menarik itu mengundang rasa penasaran dan rasa ingin tahu mereka. Pada masa ini anak-anak ingin selalu mencoba hal-hal baru yang terkadang berbahaya. Pada tahap ini yang bisa dilakukan oleh orang dewasa adalah memberikan dukungan dan menjaga anak-anak itu dari bahaya yang mungkin timbul akibat bedsarnya rasa ingin tahu mereka. Pada masa ini seperti dikatakan Erikson psikolog besar dari aliran psikoanalisa. Pembatasan dan kritik yang berlebihan apalagi pemaksaan hanya akan menyebabkan tumbuhnya rasa ragu dalam diri anak-anak terhadap kemampuan diri mereka sendiri. Karena itulah paksaan dari orang tua kepada anak-anak agar bisa membaca dan menulis di usia seperti ini hanya akan merugikan perkembangan mental si anak di masa depan.

Sekarang ini banyak TK atau lembaga pengajaran anak pra sekolah yang memperlakukan anak-anak secara salah. Anak TK yang secara kognitif sebenarnya perkembangan otaknya belum mampu untuk menerima tekanan sudah dipaksa untuk bisa membaca dan menulis. Akibatnya anak-anak itu mengalami gejala stress dini. Beberapa SD yang kutemui di berbagai daerah bahkan mensyaratkan kemampuan baca tulis bagi calon siswanya. Dengan kurikulum gila yang tidak mempertimbangkan kemamuan real anak ini kita tunggu saja beberapa tahun ke depan bangsa ini pasti akan dipenuhi generasi stress yang mudah mengamuk dan mudah bunuh diri.

Selesai bercerita, kulihat seorang anak yang dari tadi dengan khusuk mendengarkan ceritaku mulai mengantuk. Anak yang wajahnya sangat ganteng, berkulit utih dan berambut pirang yang dibiarkan tumbuh agak panjang ini dari tadi kuperhatikan sangat antusias mendengarkan ceritaku. Tingkahnya juga tidak rewel.

Untuk anak-anak yang mengantuk seperti itu, di sekolah yang dikelola Fitri ini tersedia tempat tidur. Tapi Dafa nama anak ini punya kebiasaan dibuai dulu sebelum tidur. Akupun tanpa ragu menggendong dan membuainya sampai tertidur dalam gendonganku. Entah karena aku teringat anakku atau apa entah kenapa aku merasakan ada rasa sayang saat menggendong anak yang sama sekali tidak rewel ini. Saat dia semakin mengantuk akan dia memandangi mataku dengan tatapannya yang polos sampai matanya redup dan kemudian tertidur pulas dalam gendonganku.

Saat aku akan meletakkannya di tempat tidur Fitri datang dan menanyakan
" Kee tau anak siapa yang kee gendong itu Win?"
"enggak", jawabku jujur.
"itu anak si Ian", kata Fitri menjelaskan.

Aku kaget dan memandangi wajah anak ganteng yang sangat polos dan sekarang tertidur pulas ini. Ternyata anak ganteng yang tadi kugendong dan menimbulkan rasa sayang ini adalah anak salah seorang teman dekatku di Leuser yang pernah bertahun-tahun kost di tempat yang sama denganku Jalan Cumi-cumi no.11 di Lamprit.

Melihat wajah ganteng nan polos yang tertidur dengan damai ini aku langsung teringat pada masa lalu. Rasanya baru kemarin aku dan Ian yang masih lajang dengan kebandelan masing-masing sama-sama didera rasa haus di padang rumput Gle Raja. Rasanya baru kemarin perutku dihajar tinju tentara kompi Rudal di Simpang KKA Lhokseumawe yang marah gara-gara Ian mengemudikan mobilnya terlalu kencang di depan markas mereka.

Aneh rasanya membayangkan itu sambil menyadari kenyataan sekarang ketika kami berdua sudah menjadi bapak-bapak yang memiliki tanggung jawab terhadap makhluk-makhluk mungil yang salah satunya adalah Dafa yang sedang tertidur pulas ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Borobudur Dan Mentalitas Yang Diwariskannya

Dua bulan yang lalu aku kembali mengunjungi Borobudur, kali ini dengan pengetahuan, mentalitas dan maksud yang berbeda. Jika dulu aku ke sana datang dengan status backpacker pemula yang masih norak dan pengetahuan yang masih sangat apa adanya. Kali ini aku datang dengan pemahaman yang sudah jauh lebih baik dan maksud utama kedatangankupun kali ini adalah untuk bekerja. Kali ini tujuan utamaku ke Borobudur adalah untuk mendampingi turis-turis asal perancis yang menjadi klien-ku. Jika sepuluh tahun yang lalu aku ditemani teman-teman dari mapala UGM yang tidak menjelaskan apa-apa tentang Borobudur, kali ini aku ditemani oleh seorang guide professional yang disediakan oleh tur operator yang menjadi partner kerjasamaku di Jogja.

Pak Bekti, guide yang disediakan partner kerjasamaku di Jogja ini sudah bekerja sebagai pemandu wisata sejak tahun 1977. Dia bisa menjelaskan secara komplit setiap detail kecil sejarah Borobudur lengkap dengan kisah dan cerita yang terpahat di relief-relief setiap batu yang menyusun candi spektakuler ini.

Dengan melihat proses pemugaran Borobudur saja, menyaksikan bagaimana ahli arkeologi bersama dengan para ahli dari disiplin ilmu lainnya bekerja sama mencari, mengumpulkan dan kemudian menyusun setiap balok batu bahkan serpihan kecil artefak yang berumur lebih seribu tahun ini. Siapapun orangnya tidak bisa tidak pasti akan terkagum-kagum menyaksikan karya manusia yang berbentuk candi ini. Dengan menyaksikan proses yang dilalui selama pemugaran ini, dengan mudah kita bisa membayangkan betapa besarnya dana yang dikeluarkan untuk merenovasi candi yang lama hilang terkubur tertimbun abu ini.
Proses renovasi ini mengundang kekaguman luar biasa bagiku yang punya latar belakang pendidikan Teknik Sipil karena di sini aku menyaksikan bagaimana dipraktekkannya teknologi modern di bidang rekayasa dipadu dengan kecanggihan ilmu komputer yang dipakai oleh para ahli arkeologi untuk mengidentifikasi dan menempatkan setiap kepingan kecil candi yang pertama kali dibangun di abad ke 8 ini ke tempat yang seharusnya. Meskipun (sayangnya) banyak kepingan candi ini yang sudah tidak utuh lagi akibat kurangnya penghargaan terhadap situs arkeologi semacam ini di masa lalu. Tapi tetap saja hal itu tidak mengurangi kekagumanku pada proses rekonstruksi Candi ini yang sebenarnya telah dimulai sejak zaman Belanda tapi dibongkar dan direkonstruksi kembali karena rekonstruksi zaman Belanda itu tidak memperhitungkan sistem drainase.

Meskipun dulu aku sendiri tidak begitu peduli dan merasakan betapa berharganya situs-situs lama dan legendaris semacam borobudur ini. Tapi dengan pemahaman sekarang, aku benar-benar geram membayangkan apa yang dilakukan orang-orang dan pemerintah masa lalu terhadap situs yang sangat berharga ini. Misalnya dulu batu-batu Borobudur pernah digunakan sebagai batu material bangunan pembuat gerbang di Magelang ini. Tapi yang paling mengenaskan dan mengundang keprihatinan setiap aku berkunjung ke Borobudur adalah menyaksikan patung-patung tanpa kepala yang mengelilingi Borobudur. Patung-patung itu kehilangan kepalanya akibat keserakahan para kolektor kaya yang egois dan tidak bertanggung jawab. Orang-orang kaya nan egois ini adalah dalang dari pencurian terhadap kepala arca-arca yang sangat berharga ini.

Dulu pengawasan terhadap material arkeologis semacam ini sangat lemah, sementara kehidupan masyarakat yang tinggal di sekeliling candi ini dari dulu sampai sekarang tetap begitu-begitu saja, lemah secara ekonomi. Situasi ini dimengerti dengan sangat baik oleh para kolektor benda seni dan sejarah yang tidak bertanggung jawab itu. Mereka kemudian memanfaatkan kemiskinan dan kepolosan warga sekitar Borobudur untuk kepentingan egoistik mereka. Dengan memberikan sedikit uang pada warga yang kurang beruntung secara ekonomi ini dengan jumlah yang tidak lebih dari seratus atau dua ratus ribu rupiah mereka sudah bisa mendapatkan kepala Arca dengan nilai seni dan sejarah yang tak ternilai. Dulu kepala arca-arca itu dipotong karena warga desa yang miskin dan polos itu kesulitan untuk mengangkut satu arca utuh terlalu sulit untuk.

Jika proses rekonstruksinya saja sudah mengundang kekaguman yang luar biasa, apalagi jika kita bayangkan bagaimana proses candi ini dibuat dulunya. Tanpa sadar aku menggeleng-gelengkan kepala setiap kali aku memperhatikan setiap detail konstruksi dan detail pahatan relief-relief Borobudur. Bangunan candi yang luar biasa ini dibangun dengan prinsip-prinsip rekayasa yang sangat jauh berbeda dengan prinsip rekayasa modern yang kupelajari di bangku kuliah dulu. Jika di teknik sipil aku mempelajari, untuk membuat bangunan semacam ini kita menyusunnya dengan besi dan agregat, memperhitungkan kekuatan dan daya tahannya berdasarkan perhitungan kekuatan agregat dan besinya dalam menahan beban yang direncanakan untuk ditanggung bangunan itu. Maka candi yang sudah berumur lebih dari satu millennium ini dibangun dengan cara menyusun balok-balok batu ukuran super besar yang disusun satu persatu dengan kekuatan yang sepenuhnya mengandalkan berat materialnya sehingga membentuk sebuah bangunan spektakuler. Balok-balok batu ukuran jumbo ini diukir dengan ukiran bermutu tinggi dan ditempatkan di tempat semestinya secara sangat detail dan presisi.

Yang menjadi pertanyaan besar sekaligus kekaguman luar biasa bagiku yang pernah mempelajari teknik sipil selama bertahun-tahun dan mempelajari fungsi berbagai alat pengukur, alat berat sebagai pendukung proses pengerjaan suatu proyek konstruksi adalah bagaimana orang-orang masa itu membuat ribuan balok batu dengan ukuran segila itu, mengukirnya dan mengangkutnya ke Borobudur kemudian menempatkan satu persatu di tempat yang seharusnya. Sementara pada masa itu jelas belum ada Theodolit, Back Hoe, Buldozer atau Crane.

Kemudian yang menjadi pertanyaan besar lain bagiku adalah masyarakat jenis macam apa yang mampu membuat bangunan sespektakuler ini tanpa alat-alat modern seperti yang aku sebutkan. Apalagi menurut Pak Bekti, candi yang pertama kali di bangun pada abad ke 8 ini diselesaikan bukan hanya dalam satu generasi, tapi tiga generasi wangsa Syailendra. Dimulai dari masa pemerintahan raja Samaratungga baru bisa diselesaikan pada masa pemerintahan cucunya.

Tidak seperti Pyramid atau Tembok besar yang dalam proses pembuatannya konon meninggalkan kepiluan bagi orang-orang kecil di zaman itu yang dipaksa bekerja dibawah ancaman yang akibatnya bahkan untuk mewujudkan ambisi besar rajanya banyak dari mereka yang kehilangan nyawa.

Menurut Pak Bekti, berdasarkan bukti-bukti sejarah yang didapat melalui penelitian atas literatur yang ditulis pada masa Borobudur dibangun, hal-hal tragis seperti yang terjadi di Cina atau di Mesir pada masa pembangunan Tembok besar dan Pyramid, tidak terjadi di Borobudur.

Pak Bekti menceritakan tidak seperti pembangunan Piramid dan Tembok besar yang konon dengan pemnaksaan, tidak demikian dengan Borobudur. Borobudur dibangun dengan penuh sukarela oleh rakyat Magelang dan sekitarnya pada masa itu. Mereka bekerja membangun Borobudur yang kerumitan dan kesulitannya nyaris tidak masuk akal ini benar-benar atas dasar sukarela dan penuh keikhlasan. Semua mereka lakukan adalah untuk menunjukkan ketaatan mutlak mereka sebagai kawula pada raja junjungan mereka.

Jadi kenapa Borobudur bisa berdiri megah dan menjadi kebanggaan Indonesia, negara yang dibentuk lebih satu milenium setelah Borobudur dibuat?

Selain skill dan kemampuan konstruksi dan ketersediaan material yang dimiliki oleh Syailendra. Pada masa itu yang menjadi faktor utama yang membuat Borobudur bisa berdiri adalah MENTALITAS JAWA, mentalitas taat buta pada junjungan. Saya pikir MENTALITAS JAWA itulah aset terbesar dan paling penting yang dimiliki oleh Wangsa Syailendra masa itu sebagai modal membangun Borobudur.

Mengingat Borobudur yang luar biasa ini proses pembangunannya membutuhkan beberapa generasi, maka tiap generasi yang secara estafet menyelesaikan proyek borobudur ini tentu tidak hanya mewarisi skill dan kemampuan membangun sebuah konstruksi dari generasi sebelumnya. Tapi dalam proses pembangunan Borobudur yang spektakuler ini. Aset tentu saja harus dikelola dengan baik dan harus tetap terjamin kesediaannya sampai candi ini selesai dibuat. Karena itulah Aset paling penting yang harus secara konsisten diturunkan dari generasi ke generasi adalah MENTALITAS JAWA, mentalitas taat mutlak kawula terhadap raja.

Oleh orang Jawa, mentalitas seperti ini tidak hanya diwariskan pada generasi Jawa yang membangun Borobudur tapi terus ditransfer dari generasi ke generasi sehingga 'mentalitas borobudur' menjadi mentalitas khas orang Jawa yang dapat kita saksikan pada perilaku sehari-hari orang Jawa sampai hari ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Minggu, 16 November 2008

Borobudur Dalam Pandangan Orang Aceh

Ketika aku masih duduk di bangku sekolah, Borobudur bagiku hanyalah nama sebuah situs yang harus dihapalkan dalam pelajaran IPS. Saat itu Borobudur bagiku sama seperti Piramid atau Patung Liberty, sama-sama sebuah situs terkenal yang ada diawang-awang yang tidak mengikatku dengan hubungan emosional apapun. Meskipun setiap guruku IPS ku mengatakan Borobudur ini adalah kebanggaan Indonesia dan disebut-sebut oleh sebagai bukti tingginya peradaban bangsa ini di masa lalu. Tapi realitas kesadaranku pada saat itu belum sampai mampu merasakan realitas Borobudur itu sebagai sesuatu yang nyata.

Sejak kecil aku sangat menggemari buku-buku yang bercerita tentang petualangan atau perjalanan ke berbagai daerah dan mengenal latar belakang dan masyarakat yang ada di daerah itu. Saat membaca buku-buku itu aku sering seperti merasakan sendiri antusiasme penulisnya ketika berada di tempat-tempat yang dia ceritakan dalam bukunya. Apalagi ketika SMA aku mulai berkenalan dengan majalah HAI dengan serial balada si Roy nya. Serial di HAI yang kemudian juga dibukukan inilah yang paling bertanggung jawab terhadap pilihan hidup yang kuambil di kemudian hari. Cerita bikinan Gola Gong ini membuatku benar-benar terobsesi untuk menjelajahi berbagai tempat di negeri ini. Hanya saja saat SMA untuk melakukan petualangan seperti itu aku tidak pernah memiliki kesempatan dan dana.

Kesempatan dan dana baru aku dapatkan ketika aku mulai kuliah, atmosfer perkuliahan yang berbeda dengan SMA membuatku bisa menyisihkan uang kiriman orang tua. Saat aku masuk ke fakultas Teknik Unsyiah tahun 1992, waktunya bertepatan dengan Lustrum VI fakultas Teknik Unsyiah. Sepanjang tahun itu banyak sekali kegiatan di fakultas kami. Kegiatan-kegiatan dalam rangka Lustrum VI fakultas Teknik Unsyiah ini memberiku kesempatan untuk mengunjungi berbagai daerah di Aceh, entah itu untuk mengedarkan prosposal ke berbagai instansi dan alumni di daerah atau untuk melakukan survey lapangan di kabupaten tempat kami akan menyelenggarakan kegiatan dengan biaya yang disediakan oleh panitia Lustrum. Dalam masa-masa itu, jika tidak sedang ditugaskan ke daerah-daerah, setiap hari aku nongkrong di kantor senat. Saat itu ketua senat dijabat oleh Bang Onny Vhonna, anak teknik mesin angkatan 1988 yang menamatkan SMA di Jakarta.

Bang Onny ini banyak sekali akalnya, ada saja akalnya untuk mendapatkan uang bagi kesejahteraan anggotanya. Mulai dari meminta dana dari fakultas sampai mengirim proposal ke berbagai instansi di Jakarta. Seringkali proposal itu sebenarnya tidak disetujui oleh pengambil kebijakan di Universitas tapi Bang, Onny tidak pernah kehilangan akal. Pernah untuk kegiatan Lustrum Unsyiah hanya memberi kami izin untuk mengedarkan lima buah Proposal ke beberapa instansi yang disetujui oleh PR III. Tapi karena PR III yang menandatangani proposal itu meminta agar sebelum diedarkan proposal itu terlebih dahulu distempel di bagian tata usaha. Bang Onny melihat peluang, Lembaran proposal itu dia copy menjadi puluhan lembar dengan fotocopy tanda tangan PR III. Lalu dengan sedikit'olah vokal' bang Onny berhasil memperdayai petugas bagian tata usaha untuk meminjamkan stempelnya. jadilah proposal yang beredar yang seharusnya cuma lima menjadi berpuluh-puluh. Kami mendapatkan banyak dana dari situ, karenan banyaknya dana yang di dapat itu. Di kantor senat fakultas teknik selalu tersedia makanan untuk para panitia setiap jadwal makan siang tiba. Jadi aku hampir tidak pernah mengeluarkan uang pribadi untuk membeli makanan sehingga banyak sekali uang kiriman orang tua yang bisa kuhemat.

Uang yang berhasil kuhemat pada masa inilah yang belakangan kugunakan buat merealisasikan obsesi jalan-jalanku. Pada masa-masa awal aku jadi backpacker, tempat yang kukunjungi adalah tempat-tempat yang tidak terlalu jauh dari Banda Aceh, mulai dari Sabang, lalu ke Medan dan sekitarnya seperti Bukit lawang, berastagi, Sipiso-piso sampai ke Prapat.

pada tahun kedua aku kuliah di teknik, aku bergabung dengan UKM-PA Leuser Unsyiah. Sejak itu sebagai anggota UKM-PA Leuser Unsyiah aku banyak mengikuti kegiatan ekspedisi sehingga akupun jadi banyak mengunjungi tempat-tempat di pelosok Aceh terkait dengan aktivitasku di organisasi mahasiswa ini. Pada masa-masa itu pula aku beberapa kali pula dikirim oleh UKM-PA Leuser untuk menjadi peserta pelatihan konservasi di berbagai kota di Indonesia. Seperti juga teman-temanku di Leuser. Pelatihan yang konon merupakan proyek untuk menghabiskan dana dari departemen kehutanan ini adalah tambang uang bagiku yang hanya mendapatkan kiriman uang dari orang tua dalam jumlah pas-pasan. Uang transportasi yang diberikan untuk kami saat menghadiri kegiatan itu selalu jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan uang yang kami keluarkan untuk biaya transportasi saat berangkat ke tempat itu. Di Leuser, uang saku dan uang transportasi dari pelatihan konservasi itu ditambah dengan uang kiriman orang tua yang tidak terpakai selama kegiatan itu biasanya kami pakai untuk membeli berbagai peralatan mendaki gunung atau ditabung untuk jalan-jalan sewaktu liburan.

Meskipun aku selalu menyisihkan uang yang kudapat dari pelatihan konservasi semacam itu, tapi baru sekitar sepuluh tahun yang lalu aku mulai melakukan perjalanan ke luar Sumatera dan kemudian mengunjungi Borobudur untuk pertama kalinya.

Waktu itu seperti biasa saat sedang berjalan-jalan sebagai backpacker ke berbagai kota seperti ini, aku tidak pernah menghitung biaya penginapan dalam daftar pengeluaranku. Setiap kali aku tiba di suatu kota, aku selalu langsung mencari angkutan menuju ke sebuah Universitas yang ada di kota itu, mencari sekretariat Mapala yang selalu disambut dengan hangat dan penuh sukacita oleh anggota mapala di tempat yang kukunjungi itu dan segera pula langsung mendapat teman baru. Begitu pula yang terjadi waktu itu ketika aku tiba di Jogja aku langsung menuju UGM bertanya kepada mahasiswa yang kutemui dimana lokasi sekretariat Mapala UGM dan seperti biasa ketika akhirnya kutemukan teman-teman di sana menyambutku dengan penuh sukacita.

Setelah beberapa hari berada di Jogja teman-teman UGM mengajakku melakukan melakukan arung jeram di kali Elo di Magelang. Sehabis melakukan arung jeram itu mereka mengajakku ke Borobudur. Itulah pertama kalinya aku mengunjungi candi yang selama ini cuma kulihat foto atau gambarnya di televisi.

Saat aku pertama kali mengunjungi Borobudur, kesadaranku sudah mulai bisa menerima kalau candi ini adalah sesuatu yang nyata. Meskipun realitas Borobudur dalam pandanganku saat itu masih berupa realitas yang dangkal, seperti realitas yang ada di kepala seorang turis domestik saat mengunjungi sebuah situs wisata yang memandang sebuah situs wisata menurut cara pandang dengan mentalitas pola prestise khasnya. Yang memahami sebuah situs sebagai sebuah realitas yang terpisah dari dirinya sendiri, tidak menyatu.

Jadi seperti kebanyakan turis domestik lainnya akupun saat itu mengunjungi Borobudur untuk pertama kalinya itu. Aku datang bukan dengan niatan untuk menikmati atau merasakan atmosfernya, memahami kerumitan proses pembuatannya, mengenal latar belakang masyarakat yang membentuknya, sama sekali tidak. Hal yang paling utama yang ingin kulakukan saat berada di sana adalah berfoto dengan latar belakang situs terkenal itu lalu memamerkannya kepada teman dan sanak saudara. Karena aku sadar sepenuhnya dibandingkan banyak teman-temanku di Aceh yang menganggap bahkan berkunjung ke Medan saja sudah merupakan kemajuan luar biasa, aku sangat beruntung bisa berada di situs kebanggaan Indonesia yang terletak di pulau yang merupakan pusat kekuasaan dan peradaban di negara ini.

Belakangan setelah tempat-tempat yang kukunjungi semakin banyak dan menemukan begitu banyak hal menarik di baliknya, aku kadang merasa seharusnya waktu itu aku bisa mengenal Borobudur lebih dalam, tapi kemudian aku menyadari pula kalau saat itu belum lepas dari sindrom backpacker pemula. Tapi satu saat aku tahu pasti aku akan kembali lagi ke tempat ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Selasa, 11 November 2008

Warung Kopi Solong Pasca Tsunami

Setelah hampir 10 tahun kutinggalan,akhirnya aku kembali lagi ke Banda Aceh, kota yang membentukku menjadi manusia dewasa. Ada berbagai perasaan bercampur saat aku tiba di Bandara Iskandar Muda dan menghirup kembali udara Banda Aceh setelah sekian lama. Ada banyak kenangan dan nostalgia di Kota ini. Ada kerinduan pada suasananya, terutama suasana warung kopi. Tapi karena tiba malam hari aku kurang begitu merasakan atmosfer kota ini.

Baru pada keesokan harinya aku bisa merasakan sendiri atmosfer kota yang kucintai ini, Tapi karena banyaknya bangunan dan jalan baru beberapa bagian kota ini sudah tidak kukenali lagi. Dulu, saat aku masih tinggal di sini, warung kopi di Ulee Kareng adalah pusat dari segala informasi dan berkembangnya isu-isu. Mulai dari masalah di kampus, perkembangan politik, peluang kerja sampai informasi tentang cewek cantik mahasiswa baru asal Lhokseumawe yang kos di Lampritpun informasinya dapat ditemukan di warung kopi.

Pelanggan warung kopi ini datang dari berbagai pelosok banda Aceh, mulai dari yang tinggal di Peurada yang hanya sektar 3 kilometer dari UleeKareng sampai yang tinggal di Ajun Atau Ketapang yang jaraknya 20 an Kilometer dari Ulee Kareng.

Dari dulu ada banyak Warung Kopi di Ulee Kareng ini, tapi rata-rata hanya didatangi oleh Pelanggan yang asli warga Ulee Kareng. Dulu hanya ada dua warung Kopi di Ulee Kareng yang pelanggannya merupakan orang luar Ulee Kareng dan nyaris tidak pernah didatangi oleh warga Ulee kareng sendiri. Yang pertama adalah Warung kopi Atlanta yang pelanggannya didominasi oleh anak muda yang berumur antara 18 sampai 30 tahun. Yang kedua Warung Kopi Jasa Ayah yang lebih dikenal dengan nama Solong untuk pelanggan yang lebih dewasa.

Anak muda yang menjadi pelanggan Atlanta rata-rata adalah mahasiswa,terutama Mahasiswa Unsyiah yang kampusnya terletak di Darussalam, 3 kilometer di Utara Ulee kareng. Bagi kami anak Teknik apalagi anak Leuser, Atlanta itu seperti kampus kedua. Mengerjakan PR, membicarakan sidang akhir dan macam-macam urusan kampus banyak kami lakukan di Warung Kopi ini. Saking akrabnya kami dengan Warung Kopi ini sehingga posisi duduk di Warung inipun sudah punya kapling-kapling khusus untuk komunitas tertentu. Kami anak Leuser misalnya duduk di ruangan di samping tempat peracikan kopi yang terpisahkan oleh dinding papan setinggi pinggang dari ruangan utama. Selain di dalam ruangan Pengelola warung ini juga menempatkan kursi dan meja di luar ruangan di bawah pohon-pohon mangga yang tumbuh di sana. Di meja luar ruangan itu adalah kapling dari para selebriti lokal. Para penyiar Radio Flamboyan, radio anak muda paling berpengaruh di Kota ini. Orang-orang biasa seperti kami agak segan untuk bergabung dengan para penyiar top itu yang wajah dan nama-namanya sangat kami kenal dengan baik tapi mereka sendiri sama sekali tidak mengenal kami.

Belakangan, selain Atlanta, di Ulee Kareng bermunculan lagi berbagai warung kopi baru yang menyasar pelanggan anak muda. Misalnya Petuah Toe yang menyasar pelanggan ABG-ABG SMA dan anak gaul. Lalu ada Warung Kopi Terapung yang pangsa pasarnya mirip Atlanta tapi pelanggan terapung secara umum kalau dilihat dari segi penampilan dan pakaian yang dikenakan tampaknya berasal dari kelas ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan Atlanta. Tapi tetap saja warung-warung kopi baru itu tetap tidak bisa mengalahkan dominasi Atlanta dan Solong.

Sayangnya ketika ekskalasi konflik meningkat, entah karena persaingan bisnis yang memanfaatkan situasi atau apa. Atlanta yang material utama bangunannya adalah Kayu dan beratap daun rumbia terbakar habis. Sejak itu pelanggan Atlanta pindah ke Solong yang kabarnya juga masih satu grup kepemilikan dengan Atlanta.

Karena kenangan pada suasana masa lalu itulah ketika sampai di Banda Aceh. Tempat yang pertama kutuju ketika bangun pagi keesokan harinya adalah Solong. Aku ke Solong karena aku tahu dengan datang ke Warung Kopi itu aku tidak perlu mengunjungi rumah teman-teman lamaku satu persatu. Aku akin semua temanku akan ada di Warung kopi ini. Dan ketika aku tiba di Solong dugaanku tepat-setepat-tepatnya. Ketika aku tiba Solong memang dipenuhi teman-teman lama.

Kerinduan yang kurasakan ternyata juga sama dirasakan oleh teman-teman lama itu. Kedatanganku yang tiba-tiba langsung mengundang kehebohan, aku tiba-tiba merasa seperti seorang selebritas kagetan. Seorang teman dengan bercanda bilang kenapa kedatanganku begitu tiba-tiba tanpa diawali sinyal apa-apa, karena menurut dia seharusnya sebeum aku datang ada hujan petir dulu yang mendahului.

Setelah beberapa lama di Solong dan mengobrol dengan teman-teman lama, aku mulai bisa merasakan suasananya dan akupun menemui kenyataan kalau komunitas teman-teman lamaku ini yang dulunya memiliki latar belakang yang sama denganku kini telah berevolusi menjadi komunitas multi dimensi.

Banyak diantara teman-temanku dulu itu yang sekarang bekerja di NGO-NGO asing yang bertebaran di penjuru Aceh sejak terjadinya bencana Tsunami. Kadang teman-teman ini bekerja di NGO yang sama tapi di posisi yang berbeda. Kadang adik kelas yang dulu kami OSPEK sekarang di NGO justru menjadi atasan teman seangkatanku yang dulu meng OSPEK-nya. Beberapa teman sudah menjadi staff tetap di tempatnya bekerja. Sehingga tidak jarang mereka dipekerjakan sebagai ekspatriat di berbagai negara yang merupakan lokasi proyek NGO tempat mereka bekerja. Di sini aku menemui teman yang pernah ditugaskan di New York, Uganda, Thailand, Nepal sampai Mongolia.

Meskipun aku berbicara dengan orang dan komunitas yang sama seperti kutinggalkan sepuluh tahun yang lalu, tapi warna baru yang dibentuk oleh suasana pasca tsunami membuat materi obrolan kami menjadi sangat berbeda. Dulu Banda Aceh benar-benar merupakan kota terpencil, kurang dari 10% anak muda kota ini yang pernah keluar dari Aceh. Realitas teman-temanku ini hanyalah relaitas yang sangat lokal, hanya seputaran Banda Aceh dan sekitarnya, selebihnya adalah reaitas maya yang hanya bisa dilihat di televisi. Bahkan medanpun saat itu bagi orang banda Aceh adalah sebuah kota Modern yang sangat prestisius dan nyrais tak terjangkau, apalagi Jakarta. Karena itulah aku benar-benar kaget dan terkagum-kagum menyaksikan teman yang dulu melongo dan memandangku penuh rasa iri. Iri pada kesempatan dan pengaaman yang kudapatkan dalam perjalanan. Teman yang dengan khusuk mendengarkan ketika aku bercerita tentang suasana dalam bis Kurnia seat 2-1, teman yang dengan wajah penuh kekaguman mendengarkan ketika aku bercerita tentang Gerai KFC yang punya mesin pengering tangan yang mengeluarkan udara hangat. Teman-teman yang dulu terkagum-kagum mendegarkan cerita tentang Jakarta dengan gedung-gedung jangkungnya dan suasana Cafe di Kemang. Sekarang kepadaku bercerita tentang sebuah kampung di Nepal yang penduduknya tidak pernah melihat laut. Bercerita tentang sungai-sungai di Uganda yang masih banyak buayanya. Tentang New York dengan Central Parknya. Peradaban di Aceh benar-benar telah berrevolusi, bukan hanya berevolusi. Tsunami telah membuat Quantum Leap dalam peradaban di Aceh.

Di samping teman-teman di Fakultas Teknik dan UKM-PA Leuser aku juga bertemu dengan teman-teman aktivis yang dulu bersama-sama denganku melakukan berbagai demo saat menuntut reformasi kini telah menjadi pejabat penting di Partai atau Pemerintahan. Beberapa menjadi wartawan, tidak sedikit pula yang sampai saat ini tetap konsisten menggaang massa untuk melakukan demo terhadap kebijakan pejabat-pejabat berbagai instansi yang tidak jarang adalah teman sendiri.

Uniknya meskipun teman-teman itu sekarang sudah berada dalam partai dengan ideologi dan kepentingan yang berbeda. Tapi suasana di meja Solong saat kita mengobrol tetap suasana yang sama seperti 10 tahun yang lalu. Saling ledek dan saling mentertawakan. Misalnya katika kami mentertawakan seorang teman yang layaknya seorang pahlawan besar, sampai-sampai akupun sempat merasa teman ini saat ini sudah sedemikian 'besar'nya. Ternyata dia masih tetap orang yang sama seperti dulu, dia sama sekali tidak mengalami peningkatan wibawa di depan kami teman-teman lamanya.

Lalu kemarin aku membaca korang seorang teman ditetapkan menjadi tersangka kasus unjukrasa terhadap BRA yang melibatkan korban konflik tapi justru di warung kopi ini kutemui duduk semeja sambil ledek dengan teman yang merupakan pejabat yang menjadi sasaran demonya. teman-teman yang sekarang menjadi wartawanpun demikian, di Solong ni pula mereka saling ledek dengan nara sumbernya yang juga kawan lama.

Dahsyatnya efek Tsunami membuat kegiatan di Aceh menjadi kegiatan rekonstruksi sebuah kota yang terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. sehingga tidk heran sekarang banyak teman yang bekerja sebagai kontraktor bangunan. Bukan hanya teman yang satu jurusan denganku Teknik Sipil, Teman dari jurusan teknik Mesin, Teknik Kimia, Ekonomi, Mipa sampai Hukum dan pertanianpun banyak yang kemudian bekerja di proyek-proyek konstruksi. Beberapa dari mereka mengalami banyak masalah dalam pengerjaan dan sekarang dikejar headline. Maka lobi-lobi untuk royek dan segala permasalahannyapun banyak dilakukan di warung kopi ini.

Aku yang dibesarkan oleh kota ini benar-benar terpana menyaksikan revolusi sosial yang begitu cepat ini. Tsunami telah membuat para pelanggan Solong menjadi pribadi yang sangat berbeda, tapi meskipun begitu, semangat dan atmosfer di warung kopi ini, tetap semangat dan atmosfer yang sama seperti yang kutinggalkan 10 tahun yang lalu.

Wassalam

Win Wan Nur

Kamis, 06 November 2008

Fakultas Teknik Unsyiah dan Impian Anak SMA di Banda Aceh

Ketika aku masih SMA, reputasi Fakultas Teknik Unsyiah dan mahasiswanya yang sangat aktif membuat berbagai kegiatan sangatlah mentereng. Kami para cowok jurusan A1 ini bisa dikatakan semuanya bermimpi untuk bisa kuliah di fakultas itu, sementara yang cewek agak terbagi. Cewek yang menonjol kemampuan otaknya juga sama seperti kami para cowok, berharap nantinya setamat SMA bisa kuliah di Fakultas Teknik Unsyiah. Sementara para cewek yang menonjol di segi penampilan, keindahan wajah dan estetika bentuk, bermimpi untuk punya pacar mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah.

Suatu hari, waktu guru yang mengajar di kelasku berhalangan masuk. Aku pernah mengobrol dengan Wirna, teman cewek yang duduk tepat di depanku dan tidak pernah absen mencontek pekerjaanku disetiap ulangan, terutama ulangan bahasa Inggris. Pada waktu itu kami sudah di semester akhir di kelas tiga menjelang Ebtanas jadi kamipun saling bertukar pendapat tentang kemana kami akan melanjutkan setelah SMA. Aku jelas tanpa ragu sedikitpun mengatakan akan melanjutkan ke fakultas teknik, kepada Wirna kukatakan aku akan mengambil jurusan teknik sipil, ITB pilihan pertama dan Unsyiah pilihan kedua.

Wirna, cewek paling cantik di kelasku atau bahkan mungkin di seluruh SMA negeri 2 Banda Aceh yang selalu membawa sisir besar di tasnya dan disetiap waktu luang jeda antar pelajaran selalu menyisir rambut lurusnya yang hitam berkilau panjang sampai ke punggung, sangat mendukung pilihanku. Meskipun Wirna dan juga aku sendiri tidak begitu yakin kalau aku bisa diterima di fakultas itu.

Kalau aku sudah sangat mantap dengan pilihanku, Wirna sendiri cukup tahu diri. Dia sama sekali tidak berniat masuk ke fakultas teknik karena sadar kalau dia sangat lemah di penguasaan ilmu-ilmu eksak, dan sebenarnya dia sendiripun sama sekali tidak berminat pada ilmu-ilmu eksak semacam fisika dan kimia. Dulu ketika kelas satu dia memilih jurusan A1 atau fisika, adalah karena dia sangat yakin tidak akan diterima di jurusan ini. Harapannya kalau tidak diterima di jurusan ini dia akan dibuang ke A2 atau biologi. Tapi saat naik ke kelas dua, ketika siswa dipisahkan sesuai jurusan. Dalam pembagian jurusan, Wirna malah benar-benar diterima di jurusan A1.

Aku ingat waktu kami naik ke kelas dua dulu saat aku dan beberapa teman yang lain memeriksa daftar nama siswa yang sekelas dengan kami. Kami sama sekali tidak melihat daftar nama cowok, tapi hanya fokus pada nama cewek yang ternyata cuma 6 orang dari seluruh 42 siswa di kelas kami, 2 fisik 2. Kami agak sedikit kecewa tapi langsung bersorak kegirangan ketika melihat ada nama Safdwirna Yudiani Putri diantara 6 orang cewek di daftar siswa di kelas kami.

Sejak kelas satu saat pertama kali masuk sekolah, Wirna yang duduk di kelas 1.2 selalu menjadi pembicaraan seluruh cowok di SMA 2 mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. Bahkan kalau kami berkenalan dengan cowok-cowok SMA lainpun, saat kami mengatakan kami bersekolah di SMA 2, pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah "kenal sama Wirna?". Kelas 1.2 sendiri secara ajaib merupakan tempat berkumpulnya hampir seluruh makhluk cantik yang masuk ke SMA 2 pada tahun 1989. Cewek-cewek tercantik angkatan kami, mulai dari Cut Keumala Sari, Lulu dan juga Wirna sendiri berkumpul di kelas itu. Saat naik ke kelas dua, semua makhluk cantik di kelas 1.2 itu masuk ke kelas 2 bio1, kecuali Wirna sendiri yang terdampar di kelas kami.

Kalau kami kegirangan melihat kenyataan itu tidak demikian dengan Wirna, saat itu dia sangat kecewa dan sempat menghadap ke kepala sekolah agar dia bisa dipindahkan ke kelas 2 bio 1. Keinginan Wirna ini langsung mendapat tantangan keras dari kami, seluruh cowok kelas 2 fisik 2, alasan kami, kalau Wirna pindah, komposisi kelas kami akan menjadi sangat tidak seimbang, sehingga kelas kami akan sulit menjalankan tugas sebagai pelaksana upacara bendera, karena tanpa Wirna di kelas kami hanya akan ada 5 cewek. Lagipula kalau Wirna pindah jumlah ceweknya akan ganjil sehingga akan ada satu cewek yang tidak punya teman sebangku, begitu argumen kami. Padahal kalau mau jujur, sebenarnya kami rela-rela saja kalau semua cewek di kelas kami itu pindah ke kelas lain asal Wirna tetap di kelas kami.

Wirna tertunduk lesu ketika kepala sekolah tidak mengabulkan permintaannya, sementara kami semua bersorak kegirangan seperti habis memenangkan Tx 2 Cup. Turnamen sepakbola tidak resmi antar kelas di SMA 2 yang setiap tahunnya diselenggarakan oleh klas 2 fisik 2. Sejak itu kami selalu bisa jumawa kepada anak kelas lain di SMA 2, "bio 1 boleh paling banyak cewek cantiknya, tapi yang paling cantik di SMA 2 ada di kelas kami", FISIK 2... begitu yang sering kami katakan kepada anak-anak kelas lain saat duduk nongkrong sambil akan mie di kantin kak Anik waktu jam istirahat. Ironisnya meskipun kami selalu berkoar-koar seperti itu, dari seluruh cowok kelas kami yang dikenal bandel dan berangasan yang bisa dikatakan seluruhnya merupakan fans berat Wirna. Sampai kami tamat dari SMA 2, tidak ada satupun yang punya nyali (termasuk aku) untuk bilang suka pada Wirna.

Kembali ke obrolan kami, aku dan juga teman-teman sekelasku dan juga termasuk guru-guru kami sebenarnya tidak begitu yakin kalau banyak anak-anak kelas kami akan bisa lulus UMPTN apalagi kalau jurusan yang diambil adalah di Fakultas Teknik Unsyiah. Alasannya masuk ke fakultas favorit itu sangat sulit, saingan kami banyak. Yang paling berat tentu anak-anak dari SMA Negeri 3 Banda Aceh, setiap tahun mereka seolah pindah kelas ke fakultas-fakultas favorit di Unsyiah semacam Kedokteran, Teknik dan Ekonomi. Di fakultas-fakultas yang kurang favorit seperti pertanian, FKH, MIPA dan Hukum pun mereka tetap dominan. Dari seluruh fakultas di Unsyiah, hanya FKIP yang tidak didominasi oleh anak-anak SMA 3. FKIP yang kependekan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ini didominasi oleh anak-anak daerah.

Selain SMA 3, dalam UMPTN kami juga harus bersaing dengan anak-anak dari SMA 1 dan SMA 5 yang juga secara kualitas dianggap lebih tinggi dibandingkan sekolah kami, SMA 2 yang di Banda Aceh lebih dikenal jago dalam bidang olah raga, kebut-kebutan dan tawuran dengan STM.

Selain SMA-SMA yang saya sebutkan, masih ada anak-anak dari SMA di Lhokseumawe, kota yang merupakan lokasi perusahaan-perusahaan multinasional yang kalau ikut memilih fakultas teknik akan merupakan saingan berat kami. Untungnya anak-anak SMA Lhokseumawe yang pintar-pintar yang kebanyakan adalah anak-anak dari pekerja di perusahaan-perusahaan besar itu, kurang begitu berminat kuliah di Banda Aceh. Biasanya mereka lebih memilih kuliah di Medan, Jakarta, Bandung atau Jogjakarta. Anak-anak dari daerah lain meskipun pasti ada beberapa orang yang juga pintar, tapi secara umum anak-aak dari daerah ini tidak begitu kami perhitungkan sebagai saingan dalam UMPTN. Sedangkan SMA 4 dan SMA 6 dianggap kualitasnya masih dibawah atau paling jauh setara dengan kami.

Di SMA 2 sendiri, kualitas siswa-siswa kelas kami dianggap kalah dibandingkan anak-anak 3 fisik 1. Anak kelas kami dikenal bandel seperti anak Sos 2. Kami sekelas pernah diskors dilarang masuk kelas selama dua hari gara-gara sehari sebelumnya kami bolos massal sehabis jam istirahat pertama. Kami sekelas bolos karena ingin menonton film Dono di TPI, stasiun televisi baru yang menanyangkan banyak acara menarik. Kami terpaksa bolos karena TPI hanya tayang di pagi hari di saat jam sekolah, sore dan malam harinya seluruh acara kembali diborong oleh TVRI, satu-satunya stasiun TV yang kami kenal selama ini yang sekarang jadi terlihat membosankan sejak adanya TPI.

Dengan latar belakang seperti itulah, meskipun sangat menginginkan kuliah di Fakultas Teknik Unsyiah aku sendiri sebenarnya tidak yakin bisa diterima, memang dalam daftarku Unsyiah hanya pilihan kedua setelah ITB. Tapi ITB yang pilihan pertama sebenarnya hanya formalitas saja, karena jelas mustahil aku bisa diterima di sana. ITB tetap kujadikan pilihan pertama karena siapa tahu ada mukjizat waktu UMPTN, siapa tahu tiba-tiba berada satu ruangan dengan anak-anak pintar dari SMA 3 dan bisa mendapatan contekan.

Dari seluruh 42 siswa di kelas kami, 3 fisik 2, hanya satu orang yang kami yakini akan lulus UMPTN dan diterima di Fakultas Teknik Unsyiah. Namanya Syahrial yang akrab kami panggil 'Syeh' yang secara fisik dan penampilan terlihat sangat tidak meyakinkan, kurus, lusuh dan sama sekali tidak ada ganteng-gantengnya. Tapi teman sekelas kami yang berasal dari Kluet Utara dan tinggal ngekos di Lam Pulo ini entah kenapa sangat pintar di bidang fisika, kimia dan matematika. Belakangan setelah kuliah, menilik penampilan fisiknya ini, untuk Syahrial aku aku mempopulerkan panggilan 'Levi's' sebagai pengganti panggilan akrab sebelumnya 'Syeh'. Nama baru buatanku ini merupakan kependekan dari 'lemah visik dan syahwat'. (kalo kee baca tulisan ini jangan marah ya vis...he he he).

Menyadari sulitnya persaingan untuk masuk ke Fakultas Teknik Unsyiah, aku sendiri sejujurnya tidak yakin akan lulus, aku katakan ke Wirna kalau seandainya aku tidak lulus, aku akan ke Bandung dan di sana aku akan mengambil kursus intensif persiapan UMPTN selama setahun.

Wirna sendiri, katanya berminat masuk PDPK yang merupakan D3 kesekretariaan di bawah fakultas ekonomi yang penerimaan mahasiswanya di luar jalur UMPTN. Di Unsyiah anak-anak PDPK yang rata-rata cantik ini dikenal sebagai incaran anak-anak teknik. Di Teknik sendiri ada ungkapan "Di Unsyiah Teknik adalah rajanya dan PDPK ratunya". Jadi tanpa dia jelaskanpun, aku jelas paham maksud Wirna memilih masuk ke jurusan itu. Aku makin meyakini alasan ini karena sebelumnya Wirna yang sampai saat kami mengobrol itu belum punya pacar, pernah bilang kalau saat mendengar kata anak teknik dia merasa kesannya orang itu macho sekaligus intelek. Itu kata Wirna, tapi kupikir ada satu alasan lagi yang tidak Wirna katakan, kuliah di Fakultas Teknik Unsyiah artinya masa depan terjamin.

Cewek-cewek dari kebudayaan manapun di muka bumi ini, sebagaimana juga hampir semua makhluk berkelamin betina secara instingtif selalu mencari pejantan yang mampu memberi perlindungan. Bagi manusia modern yang hidup di zaman sekarang, perlindungan yang paling sempurna adalah mapan secara ekonomi. Oleh cewek-cewek seperti Wirna teman saya ini, mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah dianggap akan mampu memberikan perlindungan seperti itu di masa depan.

Dasar dari anggapan bahwa mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah akan mampu memberikan perlindungan seperti itu di masa depan adalah kenyataan yang kami saksikan sendiri pada waktu itu. Di Banda Aceh pada awal tahun 1990-an, tidak ada sejarahnya lulusan Fakultas Teknik Unsyiah khususnya jurusan Teknik Sipil yang menganggur. Sarjana teknik sipil yang baru tamat pada waktu itu biasanya langsung mendapat tawaran kerja dari berbagai pemilik perusahaan konstruksi yang biasanya juga adalah alumni Unsyiah untuk bekerja di tempat mereka. Biasanya dalam waktu kurang setahun si sarjana baru ini sudah bisa membeli mobil dan beberapa tahun kemudian sudah bisa membangun rumah.

Begitulah sejarahnya kenapa aku memilih dan akhirnya benar-benar kuliah di jurusan Teknik Sipil Unsyiah.

Wassalam

Win Wan Nur

Minggu, 02 November 2008

Mountaineering Pendidikan Terbaik Untuk Menjadi Manusia

Tulisanku tentang pendakian jalur selatan Leuser ternyata menggugah memori Jojo, salah seorang anggota TPGL'93 yang namanya kusebut di tulisanku. Dalam balasannya Jojo mengatakan, "Mountaineering selayaknya akan tetap menjadi ibu dari kegiatan kecintaan terhadap alam" dalam balasan ini aku juga mendapati satu kalimat Jojo yang sangat menarik . "Kegagalan pendakian Leuser itu adalah kemenangan terbesar sepanjang hidupku". Kalimat Jojo yang terakhir ini membuatku merenung dan akhirnya membuatku memahami banyak hal yang dulu tidak pernah aku sadari.

Aku sangat setuju dengan Jojo yang mengatakan "Mountaineering selayaknya akan tetap menjadi ibu dari kegiatan kecintaan terhadap alam", malah menurut aku, bukan hanya ibu dari kegiatan kecintaan terhadap alam. Lebih dari itu mountaineering menurutku adalah sekolah terbaik untuk menjadi manusia.

Sering dalam pergaulan sehari-hari dimasyarakat, kita bersikap baik pada tetangga, pada kerabat dan kolega. Sangat sering sikap yang kita tunjukkan itu tidak lain adalah sikap palsu yang kita gunakan dalam menjaga perasaan orang yang kita hadapi, padahal tidak jarang di balik itu kita menyembunyikan kekesalan. Kadang, saking seringnya kita menggunakan sikap palsu seperti itu, kita tidak sadar lagi sifat asli kita seperti apa.

Mountaineering membuat semua karakter asli kita keluar, di Mountaineering kita bisa mempraktekkan langsung bagaimana cara menjaga ego dan emosi. Dalam keadaan capek dan lapar, sopan santun yang biasa kita gunakan sebagai topeng dalam pergaulan di dunia beradab seringkali hilang. Sikap yang muncul ke permukaan adalah sikap yang telanjang cerminan insting asli manusia. Insting yang jika salah kelola bisa menimbulkan konflik antar teman. Mountaineering mengajarkan kita untuk mengelola konflik.

Kalau menurut Jojo, kegagalan pendakian Leuser itu adalah kemenangan terbesar sepanjang hidupnya. Maka bagi aku, EJSL'94 adalah episode paling penting dalam sejarah hidupku karena episode inilah yang telah membuat aku benar-benar menjadi manusia. Episode ini membuatku sadar dengan potensiku yang sebenarnya. EJSL'94 telah mengubah cara pandangku secara keseluruhan terhadap dunia dan terutama terhadap diriku sendiri. Sehingga Win Wan Nur yang turun dari Leuser bukan lagi Win Wan Nur yang sama dan tidak pernah lagi sama dengan dengan Win Wan Nur yang sebelumnya.

Di Banda Aceh, tidak ada yang tahu kalau sebenarnya aku terlahir dengan paru-paru yang kurang sempurna. Saat aku lahir, membran yang menyelimuti paru-paruku tidak menutup paru-paruku dengan baik. Akibat dari masalah membran di paru-paru ini, sampai umur lima tahun aku terus batuk bengek setiap hari. Untuk mengobati penyakitku, orang tuaku sudah membawa aku ke berbagai dokter dan dukun kampung tapi tidak ada yang berhasil mengobati sakitku.

Baru pada umur 5 tahun kakekku membawaku ke seorang dokter Cina bernama Usman Nur yang belakangan ketika aku sudah kuliah beliau membuka praktek akupuntur di Banda Aceh. Untuk memperbaiki membran paru-paruku, oleh dokter Usman Nur aku diberi obat yang harus kuminum 3 kali sehari yang tidak boleh berhenti kuminum sampai aku berumur 18 tahun. Syarat lainnya, sampai kapanpun aku sama sekali TIDAK BOLEH MEROKOK.

Mungkin sampai hari ini banyak anak Leuser dan kawan-kawan yang lain yang merasa bingung dan heran melihat aku tidak pernah merokok sama sekali dan akupun sanggup menahan godaan untuk tidak merokok saat berada diantara teman-temanku yang semuanya perokok. Kalaupun terpaksa merokok, aku hanya menghisap asapnya sampai di mulut dan menghembuskannya lagi. Asap rokok yang kuhisap tidak pernah sampai masuk ke paru-paru. Jadi kalau hari ini masih ada yang penasaran kenapa aku tidak pernah merokok, inilah alasan yang sebenarnya.

Dengan adanya masalah di paru-paruku itu, aku dibesarkan dengan penuh kekhawatiran. Setiap aktifitasku betul-betul diawasi dengan ketat oleh orang tuaku. Aku tidak boleh capek sedikitpun. Kalau aku beraktifitas terlalu aktif atau keluar agak malam, aku langsung diteriaki. Satu teriakan khas ibuku yang terus melekat di ingatanku sampai aku besar adalah 'beden buruk' yang secara harfiah bisa diartikan 'Badan Busuk', tapi maksudnya sebenarnya adalah 'Tubuh yang Rapuh'. Waktu kecil, kalau aku sudah terlalu banyak main ibuku selalu berteriak "hey beden buruk, ulak!... muolok kase mien matukmu", artinya "hey badan busuk, pulang!... makin parah nanti batukmu".

Pada waktu itu, kemanapun aku pergi aku selalu dibekali dengan satu botol plastik berisi obat-obat dari resep Dokter Usman Nur itu. Bahkan kakekku pernah berniat membuatkan kalung dengan liontin berupa botol obat itu untuk kupakai setiap hari, supaya aku tidak pernah lupa mengkonsumsinya setiap habis makan.

Situasi yang kualami berubah jadi sulit dan kompleks ketika aku berumur 12 tahun, aku terkena hepatitis. Masalah dengan hepatitis ini adalah aku tidak boleh mengkonsumsi minyak. Padahal obat yang harus kuminum 3 kali sehari untuk memperbaiki membran paru-paruku itu berbahan dasar minyak.

Menghadapi situasi seperti itu, dokter memutuskan supaya aku berhenti dulu mengkonsumsi obat itu sampai hepatitisku membaik. Sejak saat itu sampai hari ini aku tidak pernah lagi minum obat dari resep dokter Usman Nur.

Sejak mengalami hepatitis itu, kekhawatiran keluargaku terhadap kesehatanku semakin membesar. Aktifitasku semakin ketat diawasi. Dengan seluruh keluarga besarku memperlakukan aku seperti itu sejak aku kecil, akupun percaya kalau tubuhku rentan dan tidak boleh terlalu dipaksa capek.

Sampai kuliah aku tumbuh dengan kepercayaan yang ditanamkan oleh keluargaku kepadaku sejak kecil ini. Akibat dari perlakuan seperti ini, pandanganku terhadap diriku sendiri sangat rendah. Selain takut untuk beraktifitas fisik, pandangan ini juga membuat aku jadi sangat minder terhadap lawan jenis.

Sebenarnya sejak SD, SMP sampai SMA aku pernah beberapa kali merasa suka pada cewek teman sekolahku. Tapi sampai aku tamat SMA tahun 1992, tidak pernah sekalipun aku berani mengungkapkan rasa sukaku pada cewek-cewek yang sempat menarik perhatianku. Padahal kalau kupikir sekarang, sebenarnya kalau aku sedikit memberanikan diri waktu itu peluangku untuk menggaet cewek yang kuincar itu sangat besar. Secara aku punya wajah yang cukup ganteng (aku tahu pasti banyak yang sentimen dan banyak juga yang cukup palak baca pengakuan jujur yang satu ini, tapi sori faktanya aku memang ganteng kok he he he) dan ditambah lagi aku selalu jadi juara kelas sejak SD. Jadi sebenarnya karakterku cukup menjuallah. Tapi itu semua tertutupi dengan sikap minder dengan kondisi tubuhku. Tiap kali mau mendekat ke cewek yang kuincar tiap kali pula yang terpikir di kepalaku, "mana mungkin dia mau sama orang yang paru-parunya bermasalah".

Rendahnya kepercayaan diriku ini mencapai puncaknya pada waktu aku kuliah semester satu. Ketika aku pertama kali memberanikan diri memproklamasikan rasa sukaku pada cewek yang kuincar. Cewek yang kuincar ini namanya Nana kawan seangkatanku di Sipil 92.

Pengakuan jujur lagi, Nana yang nama lengkapnya Mawaddah Noer ini sebenarnya pilihan ketiga dalam daftar cewek incaranku. Tapi untuk yang berada di pilihan pertama dan kedua dalam daftarku ini, sampai hari ini aku sama sekali tidak pernah mengungkapkan apa yang aku rasakan karena aku mundur teratur dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Penolakan Nana yang sebenarnya cuma pilihan ketiga ini betul-betul menjatuhkan rasa percaya diriku sampai ke titik terendah.

Sejak itu, diawali dengan memotong pendek rambutku yang mulai panjang sebagai tanda patah hati (satu tindakan norak yang sampai sekarang aku masih suka malu sendiri membayangkannya), aku mulai bertekad untuk membuktikan diri. Aku mulai mengaktifkan diri di senat yang kumulai dengan bergabung di redaksi FORMAL, majalah kampus kami. Dari aktifitasku di senat, aku mulai akrab dengan banyak senior, salah satunya Bang Onny, ketua senat waktu itu. Bang Onny inilah yang menyemangatiku supaya masuk LEUSER (sebutan akrab kami untuk UKM-PA Leuser Unsyiah) dan akupun mendaftar untuk menjadi anggota LEUSER dan ikut Pendidikan Dasar di liburan semester ganjil berikutnya.

Sejak bergabung dengan LEUSER, cara pandangku yang sangat rendah terhadap diriku sendiri sedikit demi sedikit mulai berubah. Dimulai dari keberhasilanku menyelesaikan Diksar selama sepuluh hari. Lalu beberapa bulan kemudian aku bersama dua teman seangkatanku melakukan ekspedisi Burni Kelieten. Dua keberhasilan ini membuat aku mulai kurang percaya dengan 'mitos' tentang kerapuhan tubuhku, 'mitos' yang selalu didoktrinkan kepadaku oleh orang tua dan keluarga dekatku. Puncak dari berubahnya cara pandangku terhadap diriku sendiri ini adalah keberhasilanku menyelesaikan EJSL'94 dengan sempurna.

Itulah sebabnya kenapa sehabis turun dari Leuser PD ku jadi sangat berlebihan, saking berlebihannya sampai Jojo pernah ngomong sama aku " Win...Kuliat ko berubah kali abis turun dari Leuser, jadi lebih sombong ko kuliat sekarang", Begitu kata Jojo padaku satu waktu saat kami sedang nongkrong di kantin Barret. Waktu itu omongan Jojo itu kurasa cukup menusuk dan 'nendang' dan sejak itu pula aku mencoba bersikap lebih kalem.

Tapi kalau kupikir lagi sekarang. Adalah wajar kalau waktu itu aku agak sedikit sombong, malah kalau sombongnya banyak juga kupikir wajar. Karena, seperti yang Jojo katakan dalam tulisan balasannya "Seperti kebanyakan kita yang melakukan sebuah perjalanan, tentu menyimpan kisah dan cerita masing-masing yang hanya diri kita sendirilah yang merasakannya. Dengan warna dan bentuknya masing-masing sesuai watak dan karakter yang tertanam dalam memory kita masing-masing pula". Begitulah, nilai keberhasilan EJSL'94 tentu tidak sama bagi orang berparu-paru normal dibandingkan dengan orang yang terlahir dengan paru-paru tidak sempurna, orang yang dibesarkan dengan Cap si 'Tubuh Rapuh'.

Setelah kupikir-pikir sekarang, sikap PD ku yang kelewat berlebih bahkan jadi terlihat sombong waktu itu, bukan lain adalah karena akumulasi dari lepasnya beban dan cap yang melekat di diriku sejak lahir. Cap yang akhirnya bisa aku lepaskan sepenuhnya dengan keberhasilanku menyelesaikan EJSL'94.

Sejak turun dari Leuser, meskipun aku masih tetap percaya kalau ada masalah di paru-paruku. Tapi aku sama sekali tidak percaya lagi kalau tubuhku rapuh. Bagaimana aku mau percaya kalau ternyata tubuhku yang dikatakan rapuh ini dengan menggendong beban 37 kilogram di punggung, mampu kubawa mencapai Puncak Leuser naik turun selama 22 hari melalui jalur selatan yang terkenal ganas dan telah menelan banyak korban berparu-paru normal?

Keberhasilan EJSL'94 membuatku punya keyakinan baru, aku percaya kalau aku bisa mendapatkan apapun yang aku mau, asal aku betul-betul mau mendapatkannya. Maka sejak itu akupun mulai mengejar mimpi-mimpiku, mimpi-mimpi yang aku dapatkan dari kisah dan cerita dalam buku-buku yang kubaca. Selama ini, mimpi-mimpi itu cuma sekedar menjadi mimpi tanpa pernah sekalipun kucoba untuk dieksekusi. Ketika aku sudah mulai mencoba, akhirnya satu persatu mimpi-mimpiku itu bisa kuwujudkan. Mulai dari bertualang keliling negeri sampai yang paling ekstrim menjadi wartawan perang.

Untuk hidup juga begitu, aku punya impian sendiri bagaimana nantinya aku menjalani hidup, bagaimana bentuk keluarga yang ingin kubangun dan tinggal di tempat seperti apa. Meskipun harus melalui proses jatuh bangun beberapa kali, sama seperti proses yang kulalui bersama tim EJSL'94 menuju ke puncak Leuser. Pada akhirnya sekarang aku bisa menjalani hidup, memiliki keluarga dan tinggal di tempat yang PERSIS SAMA seperti yang dulu aku impikan.

Terima kasih buat Nana yang telah menarik pelatuk meledakkan rasa minderku yang akhirnya menghamburkan keluar semua potensi diriku dan terima kasih sebesar-besarnya buat UKM-PA Leuser yang telah membuatku menjadi MANUSIA, dengan memberi aku yang terlahir dengan paru-paru tidak sempurna ini tempat untuk mengasah dan mempertajam semua potensi yang kumiliki.

Wassalam

Win Wan Nur