Kamis, 19 Maret 2009

Demokrasi Kaum Penjudi dan Jurus Mabok Gus Dur yang Keluar Lagi

Sebentar lagi di negara ini akan diselenggarakan Pemilu untuk kesekian kalinya, sebuah kegiatan berbiaya tinggi yang diharapkan dapat mengubah wajah bangsa ini menjadi lebih baik dibanding sekarang.

Idealnya dalam hiruk pikuk menjelang Pemilu seperti ini, yang terjadi adalah kegairahan menyaksikan pertarungan ide antar kandidat yang mendedah persoalan yang dihadapi bangsa ini. Entah itu persoalan ekonomi, budaya sampai posisi kita yang berada di pinggiran dalam percaturan politik internasional.

Tapi yang terlihat di lapangan saat ini tidaklah seperti situasi ideal seperti yang saya katakan di atas. Menjelang Pemilu seperti ini, yang kita lihat di lapangan sama sekali bukan pertarungan ide, tapi lebih seperti sebuah pertarungan di meja judi dengan taruhan super besar dengan kemungkinan menang sangat kecil. Beberapa kandidat tidak populer tapi menghamburkan biaya besar untuk kampanye bahkan kemungkinan menangnya lebih kecil daripada memasang nomor togel.

Di lapangan kita melihat berbagai pamflet dan Baliho berbiaya besar yang diharapkan bisa menjadi jalan untuk mendapatkan sebuah kursi yang bisa memberi jalan untuk mendapatkan sepotong kekuasaan, yang memungkinkan si pemasang baliho untuk mendapatkan uang yang jauh lebih besar dari jumlah yang telah dia keluarkan.

Baliho dan pamflet itu menampilkan gambar orang yang 'berjudi' mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Bersama gambar-gambar itu selalu kita dapati berbagai tulisan dan janji-janji yang dangkal bahkan seringkali kosong tak berisi. Tulisan-tulisan itu intinya mengajak yang melihatnya untuk memilih orang dalam gambar itu sebagai anggota legislatif.

Bersama gambar wajah-wajah itu, kita sama sekali tidak bisa menemukan sebuah tulisanpun yang menjelaskan tentang ide besar yang mencerahkan ke arah mana bangsa ini akan dibawa. Yang ada hanya berbagai ucapan minta do'a restu, sebagai jualan atas kemampuan diri agar dia dipilih, yang dia tonjolkan adalah identitas fisik, baik itu keturunan, asal daerah, etnis dan agama. Sama sekali bukan pemikiran. Beberapa mendompleng nama-nama besar baik dari dalam maupun dari luar negeri. Di daerah pemilihan Malang raya di sekitar Tlogosari, Dampit sampai Turen aku menemui banyak baliho milik satu orang calon legislatif untuk DPR RI yang memampang gambar si kandidat ini sedang bersalaman dengan almarhum Yasser Arafat dengan tulisan besar namanya dengan program andalannya SAVE GAZA. Tulisan dan gambar di baliho ini membuat saya bingung, ini kandidat untuk legislatif Israel atau Indonesia. Karena aku pikir Baliho seperti ini lebih cocok buat ditempatkan di Knesset, sebuah kampung komunitas arab di Israel sana.

Tulisan-tulisan dalam berbagai baliho-baliho yang mencemari pemandangan yang kulihat di sepanjang perjalanan yang kuakukan itu mengingatkanku pada sebuah kalimat yang ditulis George Orwell dalam novel terkenalnya, 1984 (Nineteen Eighty Four) "Like ants, they see the small things, the big things they can't". Dalam bahasa melayu kata-kata Orwell ini kurang lebih berarti, "Seperti semut, mereka hanya bisa melihat hal-hal kecil, hal-hal besar luput".

Akibatnya, kita yang tinggal di pelosok manapun di negara ini, yang memiliki indera penglihatan normal, seolah dipaksa untuk menerima polusi pemandangan yang disebabkan oleh banyaknya pamflet dan baliho bergambar wajah-wajah tidak menarik. Mulai dari pinggir-pinggir jalan di kota-kota besar sampai ke pelosok-pelosok desa kecil yang terisolasi polusi semacam ini mau tidak mau harus kita terima.

Aku yang sering melakukan perjalanan berkeliling ke berbagai tempat yang memiliki pemadangan alam yang indah, benar-benar merasakan betapa tidak nyamannya setiap hari menghadapi polusi pemandangan semacam ini. Belakangan ini aku merasa sepertinya tidak ada satu tempatpun di bumi nusantara ini yang bisa dijadikan suaka untuk menghindari pencemaran pemandangan semacam itu. Di pinggir jalan sepanjang hutan alas kumitir, di tengah indahnya perkebunan cengkeh di Munduk, di tengah keindahan sawah bertingkat di Pupuan bahkan di tengah damai sentosanya Ranu Pani yang tersembunyi di dalam hutan di pelosok Tengger sanapun baliho dan pamflet dengan gambar wajah-wajah tidak indah ini tetap aku temukan.

Di banyak kota dan pelosok, misalnya seperti Kediri dan kota-kota kecil di sekitarnya baik di kabupaten Kediri sendiri, Malang maupun Jombang, di kota-kota kecil seperti Kandangan, Ngoro, Mojowarno, Cukir dan lain-lain, kita seringkali kesulitan untuk menuju ke suatu tempat karena minimnya papan penunjuk arah. Sangat menjengkelkan ketika kita tiba di tempat asing seperti itu dan bertemu dengan persimpangan kita tidak mendapati petunjuk perimpangan ini menuju kemana dan yang itu menuju kemana. Perasaan jengkel itu semakin menjadi-jadi ketika kita tidak mendapati papan penunjuk arah yang sangat berguna seperti itu, yang kita dapati di persimpangan itu justru jejeran baliho berisi gambar wajah-wajah tidak indah yang sama sekali tidak ada gunanya itu.

Mengenai hal ini, seorang klienku yang berasal Perancis pernah mengolokku. Saat itu jam 3 pagi dan suasana masih gelap, kami sedang menuju Bromo dari arah Malang, melalui Purwodadi lewat Nongko Jajar dan agak kelimpungan mencari jalan menuju Tosari untuk melihat Sunrise di Penanjakan. "Bagaimana negaramu ini" katanya, "Penunjuk arah yang sangat dibutuhkan tidak ada, tapi foto-foto yang tidak jelas gunanya itu ada dimana-mana, memangnya berapa sih harga papan penujuk arah itu", tanyanya menyindir. Aku diam saja, karena akupun heran juga, kok tidak ada satupun kandidat itu yang berpikir membuat papan penunjuk arah jalan yang berguna untuk orang lain dan membuat orang jadi lebih bersimpati padanya.

Karena berbagai alasan seperti di atas itulah meskipun MUI sudah mengharamkan golput, tapi aku tetap tidak akan mengubah preferensi politikku yang telah kuanut sejak aku pertama kali memiliki hak pilih.

Aku tidak mau memilih karena kulihat di negara ini, para penyelenggara negara bahkan yang masih calon sekalipun rata-rata bermental pemancing dan penjudi, bukan pengabdi dan pelayan masyarakat. Mereka rela menghamburkan banyak uang dan berharap untuk mendapatkan hasil yang lebih besar. Salah satu hasil nyata dari demokrasi kaum penjudi semacam ini adalah Ir. H Nasaruddin,MM, bupati kami di Aceh Tengah tercinta. Yang untuk mengembalikan modal kampanyenya bahkan Panti Asuhan yang menjadi tempat tinggal anak yatimpun tanpa sungkan diobjekkannya.

Memang benar, nasib Aceh juga dipertaruhkan pada pemilu kali ini. Akan ada kekacauan besar di tanah yang saya cintai itu kalau yang memenangkan pemilu adalah PDIP dan yang menjadi presiden adalah Megawati karena si Mbak yang ketuanya partainya wong cilik ini pernah dengan terang-terangan menyatakan ketidak sukaannya atas lunaknya sikap pemerintah yang memungkinkan terjadinya perdamaian di Aceh.

Tapi, kalaupun PDIP menang tapi kekuatan politik di Aceh sendiri solid dan gubernurnya tidak bersikap kekanak-kanakan seperti Irwandi sekarang. Aku pikir PDIP dan Megawati tidak akan bisa berbuat banyak. Karena itulah sebenarnya, kalau saja aku punya KTP Aceh dan tinggal di Aceh, aku sangat berpeluang mengubah preferensi politikku itu pada pemilu kali ini. Di Aceh aku mengenal banyak calon legislatif yang mempromosikan diri ini, beberapa di antaranya adalah teman baikku sendiri yang aku tahu persis kapasitas diri dan motif pencalonan dirinya. Dan kalau salah satu dari mereka aku pilih, akupun bisa langsung minta tanggung jawab mereka seandainya setelah terpilih mereka melenceng dari apa yang telah mereka janjikan.

Sayangnya KTP yang aku punya adalah KTP Jakarta, jadi aku merasa sama sekali tidak perlu membuang-buang waktu hanya untuk memberikan cek terbuka pada orang-orang yang tidak kukenal yang mempromosikan diri melalui baliho-baliho itu. Dan untungnya lagi, saat mengucapkan Syahadat yang kuakui sebagai Tuhan dalam Syahadatku adalah Allah, yang kusembah dalam sembahyangku juga Allah, bukan MUI. Tidak seperti MUI, Tuhan yang kuakui dan kusembah ini sangat fleksibel dalam menentukan halal dan haram. Dia tidak kaku seperti MUI, bagi Tuhanku ini, halal dan haramnya sesuatu sangat bergantung pada situasi faktual yang kita hadapi, bahkan daging babipun bisa dimakan dalam situasi sama sekali tidak ada makanan apapun lagi.

Tapi meskipun tidak ikut memilih, bukan berarti aku tidak berminat mengikuti lika-liku Pemilu kali ini. Ada banyak hal menarik dalam pemilu kai ini yang bagiku merupakan tontonan segar. Satu kejadian yang menarik untuk kuamati dari Pemilu kali ini adalah kejadian tersingkirnya satu pemain utama bahkan sebelum pertandingan di mulai. Pemain yang tersingkir sebelum bertanding itu bernama Gus Dur, orang yang sangat dihormati dan suaranya sangat didengarkan di seantero Jawa Timur, provinsi yang memiliki penduduk terbanyak di Indonesia. Gus Dur, pendiri PKB yang dalam dunia politik dikenal dengan jurus mabok-nya ini, disingkirkan oleh orangnya sendiri yang bernama Muhaimin Iskandar.

Sejak tersingkir dari persaingan, kulihat Gus Dur mulai memainkan jurus andalannya lagi. Beberapa waktu yang lalu dia mendekati PDIP, tapi tampaknya tidak berjalan mulus bahkan dia tampaknya telah membuat kesal orang-orang PDIP, beberapa waktu yang lalu Puan Maharani anak Megawati terang-terangan menunjukkkan kekesalannya pada Gus Dur. "Biasalah, Gus Dur suka mencari sensasi", katanya.

Melakukan perjalanan ke banyak daerah seperti yang sering kulakukan belakangan ini kadang memiliki efek yang sama dengan memiliki facebook, aku seringkali tanpa diduga bertemu di tempat tidak tidak terduga dengan orang yang pernah kukenal dalam beberapa waktu yang lama. Misalnya tanggal 27 februari yang lalu di stasiun kecil di kota kecil Kertosono aku bertemu Ratna, teman kuliah adikku di USU, yang terakhir bertemu denganku di Bukit Lawang 13 tahun yang lalu.

Tanggal 16 maret kemarin yang merupakan hari pertama kampanye terbuka Pemilu aku ke Bromo lagi, aku sarapan pagi di restorang Lava View yang terletak di salah satu sudut kaldera Tengger.

Di sana tanpa diduga aku bertemu dengan orang yang pernah kukenal hampir 10 tahun yang lalu yang ada kaitannya dengan kejadian menarik di pemilu ini yang sedang aku amati.

Orang yang pernah kukenal 10 tahun yang lalu dan kutemui lagi di Bromo ini bernama Siti Zanubah Chapsoh, tapi saat berkenalan denganku dulu dia mengenalkan diri dengan nama Yenny, orang-orang juga lebih mengenalnya dengan nama Yenny Wahid.

Yenny pertama kali kukenal sekitar akhir 1999, ketika aku bersama beberapa rekan sesama mahasiswa dan beberapa tokoh asal Aceh dari berbagai kalangan, mulai dari ulama, politisi, mahasiswa dan santri diundang oleh bapak Yenny yang bernama Abdurrahman Wahid yang saat itu bekerja sebagai Presiden RI. Saat itu kami semua diundang makan dan berbincang-bincang di rumahnya di Ciganjur. Waktu itu bapak Yenny mengundang kami dalam kapasitas profesinya saat itu.

Beberapa tokoh Aceh yang ikut saat itu, sekarang ada yang sudah dikenal secara nasional, seperti Bang Nasir Jamil yang anggota DPR dari PKS itu misalnya bahkan ada yang sudah jadi legenda seperti almarhum Sofyan Ibrahim Tiba, ada juga yang belakangan kudengar namanya begitu kuat gemanya secara lokal seperti Abu Panton yang beberapa waktu yang lalu sudah menulis buku. Sementara aku sendiri, sampai hari ini aku tidak pernah mengerti, saat itu namaku ada dalam daftar salah satu undangan itu dalam kapasitasku sebagai apa.

Di Lava View aku melihat Yenny ketika aku melintasi mejanya untuk mengambil sarapan, aku merasa familiar dengan wajahnya. Saat itu dia sedang berbicara serius dengan seorang laki-laki. Pembicaraan mereka terlihat serius dan akrab tapi tidak intim. Meski duduk menghadap meja yang sama, mereka duduk tidak terlalu rapat, di antara kursi yang mereka duduki bisa diletakkan satu kursi lagi.

Sementara berjarak tiga meja dari tempat mereka duduk tampak tiga orang berambut cepak yang sepertinya adalah pengawal mereka. satu berseragam polisi dan satu lagi berpakaian preman.

Saat melihatnya aku langsung menghampirinya "Yenny ya?", tanyaku. "Ee...Iya...", katanya dengan wajah agak bingung menatap ke arahku yang tampak sok akrab.
"Aku Win...kita pernah kenal sepuluh tahun yang lalu", kataku. Dahinya mengernyit mencoba mengingat dan tentu saja dia tidak ingat karena pasti begitu banyak orang yang dia kenal sekelibatan dan tidak pernah ada kontak apapun lagi kemudian.

"Dari Aceh, temannya Fuadri dan Bang Afdal Yasin, yang dulu diundang Gusdur ke Ciganjur tahun 99", Kataku dengan menyebut nama panggilan akrab bapaknya, sambil menyebut nama teman-temanku yang cukup akrab dengannya.

"Oo...iya, yang sama si itu...siapa namanya yang ketua Thaliban itu", Katanya yang mengingat momen itu. Momen yang salah satunya memiliki andil atas jatuhnya bapaknya dari kursi kepresidenan, karena ternyata uang yang digunakan oleh Bapak Yenny untuk membiayai kedatangan kami ke rumahnya waktu itu adalah uang dari Bulog yang merupakan bantuan dari Sultan Brunei, Hassanah Bolkiah. Masalah penggunaan uang Bulog yang salah satunya dipergunakan untuk membiayai kedatangan kami ini yang menurut lawan politik bapaknya saat itu tidak tepat peruntukannya itulah yang kemudian dijadikan alat masuk untuk menjatuhkan Bapak Yenny oleh lawan-lawan politiknya yang mulai gerah melihat gerakan Bapak Yenny yang arah-arahnya mulai mengancam kepentingan mereka.

"Bulqaini", kataku.
"Oh iya...", Katanya. Kami kemudian berbincang sedikit, dia menanyakan kondisi Aceh, apakah aku masih tinggal di Aceh dan lain sebagainya.

Lalu Yenny memperkenalkan temannya, laki-laki yang berbicara serius dengannya itu kepadaku.

"Aji..", kata temannya itu sambil mengulurkan tangannya.
"Win...", kataku, membalas uluran tangannya.

Sebenarnya aku tidak merasa asing dengan wajah teman Yenny yang bernama lengkap Aji Massaid yang dulu berprofesi sebagai model dan pemain sinetron ini, tapi aku tidak mau terlihat sok akrab karena memang baru kali ini aku berkenalan secara langsung dengannya.

Sejak lima tahun yang lalu Aji menjalani profesi sebagai anggota DPR dari Partai Demokrat, sehingga mudah ditebak kalau pembicaraan mereka yang tampak begitu serius tidak lain adalah urusan politik. Mengingat beberapa waktu yang lalu Yenny saat itu menjabat Sekjen PKB bermasalah dengan ketuanya Muhaimin Iskandar yang kemudian dimenangkan oleh pengadilan dan membuat Yenny terpental dari PKB, aku menduga perbincangan antara Yenny dan Aji di Lake View ini adalah manuver menjelang Pemilu yang ada hubungannya dengan pengalihan suara dari konstituen Yenny kepada Aji untuk menggembosi suara PKB yang diketuai Muhaimin. Ketika itu kutanyakan Yenny mengiyakan, memang rencananya suara pendukungnya di Probolinggo akan diarahkan ke Aji. Jadi waktu itu mereka sepertinya sedang berbicara deal-deal dan kompensasi. Kemudian aku meninggalkan mereka untuk melanjutkan pembicaraan serius mereka dan makan di mejaku bersama dua orang klienku.

Saat aku selesai makan dan bersiap berangkat kulihat mereka berdua masih serius dan akupun pamitan pada mereka berdua. Saat mau pergi, mereka berdua kuajak berfoto dan sebelum pergi kepada Aji kutanyakan apakah dia keberatan fotonya bersama Yenny kupublish di fecebook-ku. Aku merasa perlu menanyakan itu, mengingat status profesi Aji di masa lalu membuatnya sering dijadikan sasaran gosip oleh 'wartawan' infotainment yang suka membuat berita seenak perut sendiri. " Gosip apa?...ini kan urusan politik, silahkan aja", kata Aji. Dan akupun pergi melanjutkan perjalananku melalui Ranu Pani, Senduro, Lumajang menuju Ijen Resort di desa Randu Agung, Banyuwangi.

Entah apa hasil pembicaraan Yenny dengan Aji, malamnya saat aku menginap di Ijen Resort dan menyalakan televisi dalam kamarku. Jam 20.00 Kulihat di TV One, Abdurrahman Wahid, Bapak Yenny menyatakan mendukung Gerindra, partainya Prabowo. Jam 22.00, Partai Demokrat, partainya Aji dengan ketuanya Hadi Utomo dan Anas Urbaningrum bersama Muhaimin Iskandar ketua PKB yang menjadi lawan politik Yenny tampak sedang berancang-ancang untuk berkoalisi.

Kemarin, di Aditya Resort di Lovina, sepulang dari berperahu melihat lumba-lumba, aku membaca Jakarta Post bertanggal 18 maret. Di situ diberitakan Yenny seperti juga bapaknya mendukung Gerindra.

Entah bagaimana nasib pembicaraan Yenny dengan Aji, apakah ini bentuk manuver jurus mabok, khas Abdurrahman Wahid atau memang deal dengan Aji dan Demokrat tidak sesuai harapan...entahlah.

Aku yang ada di luar gelanggang dunia politik praktis ini baru akan tahu setelah hasil pertandingan yang akan dilaksanakan tanggal 9 maret ini diumumkan.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: