Jumat, 06 Maret 2009

Panti Asuhan Budi luhur dan Aroma Korupsi Sang Bupati

Dua hari yang lalu, gedung baru untuk Panti Asuhan Budi Luhur yang pernah menjadi rumah saya dalam waktu yang cukup lama akhirnya diresmikan juga. Saya mengetahuinya dari sebuah postingan dalam sebuah milis yang saya ikuti.

Ketika membacanya emosi saya langsung tersulut dan menyemburkannya kepada Nasaruddin, bupati yang bertanggung jawab atas penjualan lahan dan pembangunan gedung baru Panti Asuhan ini.

Tulisan saya tersebut langsung ditanggapi oleh seorang miliser bernama Aulia, yang langsung menggurui saya dengan mengatakan "Bang Win, kita justru sebaliknya mesti bersyukur, pemda mau ngurus anak2 yatim itu. Kalo bukan pemda dan kita, siapa lagi yang mau ngurus. 120 anak yatim itu mestinya jg tanggung jawab kita bersama. Dan itu bukan jumlah yang sedikit. Apayang udah kita lakukan buat mereka??? Ada yang berani jawab???"

Saya merasa miris membaca tulisan yang begitu mengagungkan Pemda ini, apalagi ketika dia mengatakan SEHARUSNYA kita bersyukur karena pemda mau ngurus 120 anak yatim itu. Ucapan ini mengingatkan saya pada Harmoko, menteri penerangan di masa orde baru dulu yang terkenal dengan ucapan khasnya "menurut petunjuk bapak presiden" dan para penjilat yang satu spesies dengannya yang sangat umum kita temukan dalam jumlah yang melimpah ruah di zaman orde baru dulu.


Menurut saya, tulisan ini jelas adalah propaganda murahan dan menyesatkan khas pemerintahan di masa lalu, yang terbiasa memanipulasi fakta untuk membodoh-bodohi rakyatnya.

Indikasi adanya pembodohan ini terlihat jelas dari pernyataannya yang mengatakan bahwa anak-anak yatim itu diurusin oleh Pemda. Melalui kata-kata ini penulis ini seolah-olah mengatakan anak-anak Panti Asuhan itu bisa hidup karena kebaikan hati pemda di bawah pimpinan Nasaruddin sebagai bupati.

Pernyataan ini jelas sesat, karena dari dulu itu anak yatim di Panti Asuhan itu dibiayai oleh Depsos, mungkin kali ini sudah ada dana khusus ke sana dari pemda tapi itu bukan dana dari kantong pribadi mereka. Sudah ada dana khusus yang memang sudah HAK anak-anak yatim itu.

Ketika dia katakan 120 anak yatim itu adalah jumlah yang banyak ini juga sesat. 120 adalah jumlah yang sangat sedikit untuk ukuran kabuapten dengan jumlah penduduk sebanyak Aceh Tengah. Buktinya sedikitnya jumlah 120 adalah fakta bahawa di Aceh Tengah masih banyak Panti Asuhan Non Pemerintah yang menampung anak-anak yatim dari kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang tidak mampu ditampung oleh Panti Asuhan Budi Luhur.

Jadi kalaulah PEMDA yang dia puja-puja itu mengeluarkan uang 1,8 milyar itu niatnya memang tulus untuk membantu anak yatim. Maka uang itu jelas akan jauh lebih berguna jika digunakan untuk menambah kapasitas Panti yang sekarang cuma mampu menampung 120 orang anak itu.

Dengan uang sebanyak itu sebenarnya PEMDA yang sangat dia banggakan itu bisa membangun beberapa gedung sederhana di bagian tanah panti yang sudah mereka jual ke BPD Aceh Tengah. Itu kalau PEMDA mau menambah kuantitas pelayanan.

Kalau Pemda mau menambah kualitas, dana sebanyak itu bisa dijadikan dana abadi untuk menunjang pendidikan anak-anak panti yang berprestasi supaya bisa kuliah sampai di perguruan tinggi. Katakan dari dana sebesar itu bisa didapatkan keuntungan 1% saja sebulannya. Maka akan ada uang 18 juta per bulan, yang lebih dari cukup untuk membiayai sepuluh orang anak Panti yang berprestasi sampai tamat kuliah. Sehingga tidak seperti sekarang, anak-anak Panti yang berprestasi harus menunggu kebaikan para dermawan untuk bisa melanjutkan kuliahnya dan beresiko gagal di tengah jalan karena kekurangan pasokan dana. Hal seperti ini pernah terjadi belum lama ini terhadap seorang alumni Panti Asuhan ini yang bernama Mukti yang diterima di ITB (Institut Teknologi Bandung) tapi terpaksa D.O di semester 5 karena ketiadaan biaya.

Tapi kenapa pilihan-pilihan seperti yang saya katakan itu tidak diambil oleh PEMDA yang sangat dibanggakan oleh Aulia yang mengomentari tulisan saya ini?...jawabannya adalah karena kalau peruntukan uang tersebut untuk menambah kapasitas panti, proyeknya terlalu kecil. Sehingga dari uang yang 1,8 milyar itu, bupati dan para TIM SUKSES yang dulu membantunya menjadi bupati tidak akan mendapatkan apa-apa. Kalau digunakan untuk menambah kapasitas panti, uang tersebut tidak akan bisa dialokasikan untuk membuat proyek fisik berskala besar yang pengerjaannya diberikan kepada para kontraktor yang dulu menjadi TIM SUKSES Bupati Nasaruddin, pimpinan PEMDA Aceh Tengah yang begitu dibanggakan oleh yang mengomentari tulisan saya ini.

Lalu ketika dia bertanya, "Apa yang udah kita lakukan buat mereka??? Ada yang berani jawab???"...ya jelas saya sebagai mantan penghuni Panti Asuhan Budi Luhur yang tahu persis detail isi dapur panti asuhan ini berani menjawabnya.

Jawaban pertama saya terhadap pertanyaannya ini adalah "pertanyaan ini salah". Kesalahan pertanyaan ini terletak pada kata KITA yang dia gunakan dalam pertanyaan tersebut, Ketika Aulia mengatakan KITA berarti yang dia maksudkan adalah dia sendiri dan semua orang yang membaca tulisannya. Padahal masalah yang dia tanyakan tersebut adalah masalahnya sendiri bukan masalah orang-orang yang membaca tulisannya.

Pertanyaan yang dia lontarkan ini juga adalah pertanyaan yang terlalu angkuh dan semena-mena, seolah-olah dialah pusat dunia. Sehingga kalau dia tidak pernah berbuat berarti orang lain juga pasti tidak berbuat. Ini adalah logikanya orang gila. Saya sebut begitu karena tidak seperti dia yang tidak pernah berbuat apa-apa, bisa jadi beberapa pembaca tulisannya telah banyak berbuat untuk Panti Asuhan Budi Luhur.

"Ketika dia katakan, 120 anak yatim itu mestinya jg tanggung jawab kita bersama". Itu bukan hanya mestinya tapi memang begitulah kenyataannya dan begitulah yang sudah terjadi selama ini yang saya lihat, saksikan dan alami sendiri selama keberadaan saya di Panti Asuhan Budi Luhur.

Uang dari PEMDA dan Departemen Sosial yang diterima oleh Panti Asuhan Budi Luhur selama ini, sebenarnya sama sekali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan anak-anak Panti Asuhan itu secara layak.

Uang untuk makan mungkin cukup. Tapi untuk pembayaran uang kegiatan sekolah dan SPP, jajan, pakaian sekolah, pakaian lebaran, buku-buku, olah raga, ekstra kurikuler lainnya dan lain sebagainya. Uang untuk kebutuhan-kebutuhan itu sama sekali tidak mencukupi kalau Panti Asuhan Budi Luhur hanya dengan mengandalkan uang dari Pemerintah.

Lalu kenapa selama ini anak-anak panti asuhan itu bisa mengenakan pakaian sekolah yang layak, buku sekolah yang memadai, punya uang jajan, kebutuhan gizi yang mencukupi, berprestasi dalam bidang olah raga dan seni?...bahkan beberapa anak yang berprestasi dari Panti Asuhan ini bisa kuliah sampai di ITB segala.

Itu adalah karena KAMI (saya sebut begitu karena si penulis komentar ini tidak termasuk di dalamnya) orang-orang Aceh Tengah dan Bener Meriah merasa anak-anak di Panti Asuhan Budi Luhur itu adalah tanggung jawab kami bersama. Dana untuk kebutuhan seperti itu datang dari sumbangan orang-orang Aceh Tengah dan Bener Meriah yang merasa bertanggung jawab terhadap anak-anak yatim yang tinggal di Panti Asuhan itu.

Siapa para penyumbang yang merasa bertanggung jawab terhadap para anak yatim di Panti Asuhan itu?...Semua kalangan di Aceh Tengah dan Bener Meriah, tidak peduli apa profesi, suku dan agamanya. Mulai dari orang Gayo tukang becak, kenek labi-labi, kontraktor, pegawai negeri sampai toke Kopi. Lalu orang Batak penjual kain monza, orang Aceh penjual ikan dan kelontong, orang Minang penjual nasi padang dan kain di pasar inpres, sampai pedagang Cina penjual, emas, elektronik dan lain-lainnya. Para penyumbang itu kadang berasal dari Jamat,Isak, Angkup, Ponok Baru, Wih Tenang dan lain sebagainya. Bahkan para penyumbang itu bukan hanya warga Aceh Tengah dan Bener Meriah saja. Malah ada orang Cina warga negara Taiwan yang secara teratur menyumbang ke Panti Asuhan ini setiap tahunnya. Dia menyumbang ke Panti Asuhan ini karena bapaknya dulu tinggal di Takengen. Dulu sewaktu dia masih kecil, bapaknya selalu menyumbangkan sesuatu entah itu uang atau pakaian atau kue-kue ke Panti Asuhan ini. Kebiasaan bapaknya ini tetap diikuti oleh anaknya yang sekarang telah menjadi warga negara taiwan ini, meskipun anaknya itu sekarang bukan lagi warga RI. Tapi si anak pernah tinggal di Takengen ini tetap merasa memiliki tanggung jawab pribadi terhadap nasib anak-anak yatim penghuni Panti Asuhan Budi Luhur.

Mereka ini tidak pernah sepi menyumbang ke Panti Asuhan Budi Luhur melalui sumbangan yang berbagai bentuk. Entah itu berupa uang tunai, beras, pakaian, kue-kue sampai kambing, kerbau dan sapi. Pernah saking banyaknya kambing yang disumbangkan ke Panti Asuhan ini saat hari raya Idul Adha, saya dan beberapa orang anak panti lainnya yang sudah cukup besar, terpaksa mendapat tugas tambahan menguliti tiga ekor kambing seorang dalam satu hari.

Sumbangan-sumbangan tanpa pamrih yang selama ini mengalir deras ke Panti Asuhan Budi Luhur itu ADALAH BUKTI JELAS TANGGUNG JAWAB dan RASA MEMILIKI warga Aceh Tengah dan Bener Meriah terhadap panti Asuhan Budi Luhur yang sama sekali tidak pernah dipedulikan oleh si penulis komentar tulisan saya itu.

Berkat dukungan yang begitu besar yang diberikan warga Aceh Tengah dan Bener Meriah pada Panti Asuhan Budi Luhur, pada ada pertengahan tahun 90-an, Panti Asuhan ini dianugerahi gelar PANTI ASUHAN TERBAIK Se-INDONESIA oleh Presiden saat itu yang masih dijabat oleh Soeharto.

Lalu berkat dukungan masyarakat yang begitu besar di dalam kompleks Panti Asuhan itu, dulu sempat berdiri sebuah mesjid yang dibangun tanpa sepeserpun dana dari PEMDA, Mesjid itu dibangun sepenuhnya dengan uang sumbangan orang-orang ACEH TENGAH dan BENER MERIAH yang merasa anak-anak yatim penghuni panti Asuhan Budi Luhur adalah tanggung jawab mereka bersama.

Mesjid itu terletak di bagian tanah Panti yang sekarang telah menjadi milik BPD Aceh karena dijual oleh NASARUDDIN.

Setelah menjual mesjid yang dibangun atas sumbangan orang-orang ACEH TENGAH dan BENER MERIAH yang merasa anak-anak yatim penghuni panti Asuhan Budi Luhur adalah tanggung jawab mereka bersama. Mesjid yang selama ini digunakan sebagai tempat beribadah oleh anak-anak yatim penghuni panti dan warga sekitarnya. Dengan air mata buayanya saat peresmian gedung Panti yang dikerjakan para Tim Suksesnya, bupati Ir. H. Nasaruddin,MM yang sangat suka mengutip ayat-ayat suci Al Qur'an ketika bertemu warganya itu mengatakan Panti Asuhan ini masih memerlukan keberlanjutan pembangunan sarana ibadah (mushola).

Kalau saya ada di sana waktu peresmian itu, pasti sudah saya lempar telur busuk itu muka munafiknya.

Lalu ketika saya membaca dalam berita yang dipost oleh Humas pemda Aceh Tengah itu menggambarkan seolah-olah keadaan anak-anak Panti Asuhan itu sekarang jauh lebih baik ketika Aceh Tengah di bawah pimpinannya. Hal sebaliknya saya dapatkan ketika saya datang sendiri ke Panti Asuhan itu.

Beberapa waktu yang lalu, saat saya mengunjungi Panti Asuhan yang pernah lama menjadi rumah saya ini, saya mendapatkan cerita yang jauh berbeda dari gambaran yang dipublikasikan oleh HUMAS PEMDA melalui siaran persnya. Saat saya berkunjung sendiri ke panti Asuhan itu. Ketika meilihat saya datang, adik-adik saya penghuni panti asuhan itu langsung mengadu kepada saya. Mereka mengatakan bahwa kondisi panti asuhan sekarang jauh lebih sulit dibandingkan kondisi saat saya masih berada di sana dulu. Menurut adik-adik ini sekarang ketika mereka minta uang untuk keperluan sekolahpun pengurus panti sering mengatakan TIDAK ADA DANA.

Saya melihat cukup banyak kejanggalan dan bau-bau kolusi dalam pembangunan gedung panti asuhan ini. Tapi begitulah wartawan-wartawan yang ada di Aceh Tengah sepertinya memang tidak berminat untuk mengangkat masalah-masalah seperti ini. Karena memang sudah menjadi rahasia umum kalau meskipun tidak semuanya, tapi rata-rata wartawan yang mangkal di kabupaten ini biasa mendapatkan amplop dari Humas Pemda.

Kejanggalan-kejanggalan dalam urusan penanganan Panti Asuhan ini semakin terlihat kentara saat kita melihat fakta bahwa penjualan lahan panti asuhan yang dilakukan oleh Nasaruddin beberapa waktu yang lalu juga sangat kental kesan ditutup-tutupi. Buktinya, jangankan orang Gayo yang tinggal di luar Aceh Tengah. Bahkan para warga yang tinggal di sekitar Panti Asuhan Budi Luhur yang sempat saya temuipun rata-rata tidak mengetahui kalau bagian paling strategis lahan Panti Asuhan itu sudah dijual oleh BUPATI.


Keadaan ini diperburuk oleh sikap umum sebagian besar masyarakat di Aceh Tengah yang kurang kritis terhadap kebijakan Pemda dan kemungkinan penyalah gunaan kekuasaan oleh penyelenggaranya. Contohnya ya seperti si penulis komentar ini (seandainya benar dia cuma rakyat biasa dna bukan bagian dari pemda), dengan membaca informasi yang ada dalam siaran pers yang dipublikasikan oleh Humas Pemda, dia langsung menelan bulat-bulat dan mensyukurinya.

Di Aceh Tengah, Kalaupun ada sorotan dari masyarakat terhadap bupati, biasanya itu bukan soal kinerjanya, tapi urusan pribadinya. Seperti dulu tahun 1992 ketika TM. Yusuf Zainoel dilengserkan dari jabatannya karena dituduh berselingkuh.

Nasaruddin juga sama, diapun pernah jadi sorotan di Aceh Tengah dan itu bukan karena urusan penyalahgunaan jabatan, tapi karena urusan pribadinya.Nasaruddin menjadi sorotan di Aceh Tengah ketika pada masa kampanye untuk menjadi bupati istri pertamanya meninggal dunia dan kemudian untuk mengisi kekosongan jabatan calon ketua PKK di masa jabatannya seandainya dia terpilih menjadi Bupati. Nasaruddin memutuskan untuk menikahi seorang gadis belia yang reputasinya dikenal kurang baik karena kehilangan keperawannya di luar nikah dengan Brimob BKO yang ditugaskan di Takengen.

Begitu hebohnya berita tersebut saat itu sehingga popularitas Nasaruddin menurun drastis dalam pemilu, sampai-sampai konon dia sampai harus menurunkan tim suksesnya untuk memanipulasi data suara, sampai ada pembakaran kotak hasil suara segala. Oleh lawan-lawan politiknya pembakaran kotak suara ini disinyalir dilakukan oleh Nasaruddin untuk menghilangkan bukti-bukti kecurangannya. Masalah ini sempat menimbulkan konflik berkepanjangan dan cukup lama menunda pelantikannya.

Padahal kalau masyarakat mau berpikir jernih dalam hal ini, sebenarnya apa urusan kita dengan masalah pribadi Nasaruddin, apa urusan kita dengan urusan pribadinya mau menikah dengan siapa, kalau dia mau dia menikah sama nenek-nenek, atau dia mau menikah sama janda, perawan dan sebagainya, itu adalah urusan pribadinya. Dan sebenarnya masyarakat sama sekali tidak berhak untuk mengurusinya.

Yang menjadi urusan kita adalah masalah Nasaruddin dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik, yang menjadi hak kita untuk mempertanyakan dan bahkan melakukan "class action", adalah ketika dia menyalahgunakan jabatannya.

Nah dalam kasus penjualan lahan dan pembangunan gedung Panti Asuhan Budi Luhur ini saya jelas sekali mencium aroma penyalahgunaan kekuasaan oleh Nasaruddin. Penjualan lahan panti ini terkesan sangat ditutup-tutupi.

Tapi itulah ajaibnya, semua kalangan yang berpengaruh di Aceh Tengah diam seribu bahasa atas apa yang dilakukan Nasaruddin, menutup mata atas kezaliman yang dilakukan oleh Nasaruddin terhadap anak-anak penghuni Panti Asuhan Budi Luhur.

Saya sendiri sebagai mantan penghuni Panti Asuhan Budi Luhur yang mencium jelas aroma penyalahgunaan kekuasaan oleh Nasaruddin dalam masalah penjualan lahan dan pembangunan gedung baru Panti Asuhan ini terus terang berniat melakukan "Class Action" terhadap Nasaruddin, saya menginginkan ada sebuah lembaga netral yang meneliti kejanggalan-kejanggalan dalam proses pembangunan dan penjualan lahan panti itu. Tapi saya tidak tahu caranya.

Adakah sebuah lembaga pemerintah, LSM atau lembaga apa saja yang bisa membantu saya?

Wassalam

Win Wan Nur
Mantan Penguni Panti Asuhan Budi Luhur
www.winwannur.blogspot.com

Tidak ada komentar: