Pada awalnya saya merasa sangat kesal, marah dan emosi ketika saya yang telah bertahun-tahun berada di luar daerah pulang ke tempat kelahiran saya di Takengen Aceh Tengah dan mendapati sebagian lahan beserta mesjid tempat ibadah di panti asuhan tempat saya dibesarkan telah dijual oleh Bupati Aceh Tengah.
Waktu itu, saya semakin kesal dan tidak habis pikir ketika mengetahui kenyataan bahwa penjualan lahan panti asuhan itu begitu mudahnya disetujui oleh anggota DPRD Aceh Tengah yang anggotanya begitu merata dari setiap partai tanpa ada partai dominan. Padahal, biasanya para anggota dewan terhormat ini begitu alot menentang setiap kebijakan bupati. Kekesalan saya semakin menjadi-jadi karena saya tahu persis kalau salah satu anggota DPRD itu adalah anak yang dulu belajar mengaji di mesjid yang dijual oleh Bupati itu, yang secara langsung atau tidak juga dia setujui penjualannya. Anak yang dulu belajar mengaji di mesjid panti dan kini menjadi anggota DPRK Aceh Tengah mewakili PKS itu bernama Bardan.
Saya juga sangat merasa miris, prihatin dan entah bahasa apalagi yang bisa saya gunakan untuk menggambarkan apa yang saya rasakan waktu itu, ketika saya mengingat bahwa penjualan lahan panti asuhan beserta mesjidnya itu terjadi di ACEH, negeri yang disebut-sebut sebagai Serambi Mekkah yang penduduknya mayoritas adalah orang Islam yang taat. Bahkan sekarang secara resmi telah menerapkan hukum Syari'ah.
Tapi ternyata di Aceh, di negeri yang latar belakang keislaman begitu kuat ini, rupanya kepedulian masyarakatnya terhadap Islam tidak lebih daripada kepedulian terhadap 'bungkus luar' saja. Jika 'bungkus luar' ini tampak buruk, semua orang akan berteriak, semua orang merasa harga diri dan keislamannya terluka. Namun tidak ada yang peduli bagaimana keadaan dan kondisi ISI yang ada di dalam 'bungkus' tersebut. Selama 'bungkus' Islamnya rapi, selama ISI yang busuk bisa ditutupi, tidak ada orang yang peduli apakah isi itu rusak, busuk atau bahkan sudah berbau bangkai dan digerogoti belatung sekalipun.
Itulah kenyataan yang saya hadapi saat saya berada di Aceh waktu itu.
Melihat kenyataan itu, saya tahu saya sama sekali tidak bisa berharap masyarakat semacam ini tergugah hatinya secara tiba-tiba. Maka untuk itu saya berniat menggugahnya melalui tulisan-tulisan di Blog saya.
Bukan hanya sekedar menggugah dengan cara biasa, saya menggugahnya dengan cara menyindir dengan halus, kasar bahkan sampai 'menampar dengan telak di muka'. Tapi semua itu sama sekali tidak ada hasilnya.
Akhirnya saya berkesimpulan bahwa di Aceh, urusan permasalahan penjualan lahan Panti Asuhan oleh Bupati itu hanyalah masalah pribadi saya beserta para alumni panti Asuhan Budi Luhur lainnya. Jadi yang bisa menyelamatkan panti asuhan itupun hanya kami para alumni yang tentu saja memiliki ikatan emosional yang kuat dengan panti tempat kami dibesarkan itu. Cuma masalahnya saya tidak tahu bagaimana caranya mengumpulkan alumni-alumni yang lain dan duduk bersama untuk membahas persoalan ini.
Ketika itu koran-koran di Aceh begitu mengharu biru membahas sensasi dugaan perselingkuhan Bupati Aceh Barat Daya, banyak terjadi Pro dan Kontra soal benar tidaknya perselingkuhan itu. Begitu seriusnya masalah ini sampai salah satu pihak menghadirkan Roy Suryo segala. Karena tahu nilai berita kasus ini sangat tinggi, seorang teman saya yang memiliki sebuah kantor pengacara bersedia menjadi kuasa hukum sang Bupati. Ketika memutuskan untuk menangani kasus ini, teman saya ini sama sekali bukan tertarik dengan nilai uang yang didapat dari perkaranya, tapi dari nilai berita kasus ini yang akan menaikkan nama kantor Pengacara yang berkantor di dekat Hotel Hermes Palace yang baru dia rintis. Begitulah yang terjadi di Aceh ketika persoalan Islam sudah menyangkut 'bungkus luarnya'.
Sebaliknya ketika pelanggaran terhadap Islam sudah menyangkut ISI seperti yang dilakukan oleh Bupati Aceh Tengah yang menjual lahan panti asuhan tempat tinggal anak yatim beserta mesjidnya yang berasal dari Baitul Mal (Harta Agama) untuk dijadikan tempat usaha yang mendasarkan keuntungannya atas riba. Masyarakat Aceh yang islami tidak ada yang peduli. Koran adem ayem, Televisi apalagi, bahkan ketika saya minta tolong secara terbuka kepada pihak-pihak yang mengerti permasalahan hukumnya, baik itu LSM, pemerintahan, Ulama atau lembaga hukum, juga tidak ada yang menanggapi.
Menghadapi kenyataan seperti ini sayapun jadi berhenti berharap. Tapi seperti yang pernah saya katakan, "Berbuat tidak harus berorientasi pada hasil", meskipun tidak lagi berharap, saya tetap menuliskan apa yang saya rasakan tentang Panti Asuhan itu. Saya sebenarnya ingin sekali menerbitkan tulisan saya tersebut di Serambi Indonesia, koran dengan oplah terbesar di Aceh, tapi Redaktur Opini di koran tersebut yang bernama Ampuh Devayan sama sekali tidak mau mengangkat telepon, membalas e-mail atau SMS saya. Apa boleh buat, satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah menulis di blog pribadi saya serta berbagai media online yang untuk menerbitkan sebuah tulisan tidak membutuhkan syarat berbelit.
Secara Global, saya tahu dalam tahun-tahun belakangan ini media online sangat kuat pengaruhnya. Di Amerika, belakangan ini banyak Koran besar yang mulai merugi bahkan tutup karena ditinggal pembacanya yang beralih ke media online, bahkan kemenangan Obama sebagai Presidenpun sangat banyak ditentukan oleh kekuatan media online. Mengingat begitu sombong dan arogannya kelakuan orang-orang yang punya pengaruh di media cetak besar yang terbit di Aceh, saya menduga kalau di Aceh, fenomena seperti yang terjadi di Amerika masih jauh panggang dari api. Karena itulah saya sama sekali tidak lagi berharap apa-apa.Ketika menyaksikan tulisan-tulisan yang saya post tidak ada yang menanggapi, apalagi mengomentari.
Tapi ternyata dugaan saya salah, tingkat melek internet di Aceh rupanya sudah sedemikian tingginya. Dan sepertinya di Acehpun, tidak lama lagi Koran akan ditinggal pembacanya. Tulisan sayapun tanpa saya sadari ternyata banyak dibaca oleh orang lain diam-diam tanpa dikomentari.
Yang membaca tulisan saya juga bukan hanya orang-orang yang tinggal di Aceh, tapi juga orang-orang Aceh yang tinggal di luar bahkan orang yang sama sekali tidak memiliki sangkut paut apapun dengan Aceh. Bahkan ada yang mengikuti bahkan mengoleksi tulisan-tulisan saya tersebut secara lengkap.
Salah satu yang membaca tulisan saya tersebut adalah seorang wartawan, teman saya yang bernama Murizal Hamzah yang tujuh tahun yang lalu pernah meliput berita bersama-sama dengan saya. Murizal rupanya baru mendirikan sebuah media online bernama 'The Globe Journal'. Membaca tulisan saya, Murizal meminta wartawannya di Takengen yang bernama Khalisuddin untuk menyelidiki informasi yang saya ceritakan di blog saya dan kemudian mengangkatnya melalui medianya. Sejak itu, berita tentang penjualan lahan Panti Asuhan oleh Bupati inipun terdengar kencang gaungnya.
Sementara itu di Jakarta, seorang bernama Muchtaruddin Gayo, MBA adalah pengoleksi tulisan-tulisan saya, beliau mengikuti setiap tulisan saya sejak saya pertama kali membuat blog, dalam membaca tulisan saya beliau cukup berhati-hati untuk menyimpulkan maksud tulisan saya. Keberpihakan saya yang terang-terangan terhadap Aceh ternyata membuat beliau mencurigai kalau saya adalah anggota GAM dan ketika saya menulis saya sedang melakukan propaganda. Tapi, beliau dan juga saya sendiri sama-sama tidak menduga kalau kami berdua ternyata alumni Panti Asuhan Budi Luhur. Karena itulah ketika saya menulis tentang Panti Asuhan Budi Luhur, beliau kaget dan mencari tahu siapa saya sebenarnya.
Untuk menggali informasi tentang saya, Muchtaruddin Gayo, MBA yang saya panggil Cik karena umurnya jauh di atas saya menemui Pengelola Panti Asuhan Yayasan Noordeen di Dedalu. Pengelola Panti Asuhan Yayasan Noordeen ini adalah pengurus di panti asuhan Budi Luhur sejak 1989 s/d 2003. 12 tahun sebelum beliau menjadi pengurus di panti Asuhan Budi Luhur, panti asuhan ini dikelola oleh orang tua beliau selama 27 tahun, sejak tahun 1950 s/d 1977, sehingga jika masa kepengurusan beliau ditambah dengan masa kepengurusan orang tua beliau, maka keluarga beliau total mengurusi Panti Asuhan Budi Luhur selama 40 Tahun. Jadi beliau tentu kenal setiap anak yang pernah tinggal di Panti Asuhan Budi Luhur.
Saat bertanya kepada Bapak pengelola Panti Asuhan Yayasan Noordeen ini, Cik Muchtar pun mengetahui kalau saya bukanlah seperti yang dia bayangkan secara negatif selama ini.
Begitulah, tanpa mengecilkan peran the Globe Journal yang merupakan satu-satunya media yang awalnya berani mengangkat masalah ini ke pemermukaan. Seperti yang saya katakan sebelumnya, yang bisa diharapkan memperjuangkan Panti Asuhan Budi Luhur hanyalah alumninya sendiri, terbukti ketika masalah ini saya lempar ke publik untuk meminta bantuan baik itu dari ahli hukum, pemerintahan LSM, partai politik dan lain sebagainya, sama sekali tidak ada peduli. Tapi ketika Cik Muchtar mengetahui ini melalui media online dan memastikan bahwa yang saya tulis adalah benar adanya, beliau langsung bergerak cepat. Dalam kapasitas beliau sebagai ketua Almuni Panti Asuhan Budi Luhur, beliau mengumpulkan kami semua baik yang pernah menjadi penghuni Panti Asuhan itu, baik secara langsung maupun Online. Membuat surat keberatan kepada Bupati dengan 17 tembusan, diantaranya kepada Presiden RI dan KPK.
Dan sekarang, kisah dijualnya lahan Panti Asuhan Budi Luhur oleh Bupati Aceh Tengah inipun memasuki babak baru.
Inilah kekuatan Media Online...dan kepada The Globe Journal terimalah rasa terima kasih yang besar dari kami para mantan penghuni panti asuhan Budi Luhur.
Wassalam
Win Wan Nur
Mantan Penghuni Panti Asuhan Budi Luhur
www.winwannur.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar