Belakangan satu orang terpelajar dari kampung saya pergi ke Bogor dan mengujungi kebun raya. Di Kebun Raya Bogor dia melihat tanaman air yang sangat cantik. Tanaman yang hidup mengambang di air yang memiliki bunga berwarna ungu dengan kombinasi kuning di bagian tengahnya ini tampak sangat eksotis ketika sedang mekar.
Lalu si bapak inipun membayangkan alangkah indahnya seandainya danau di kampung kami yang cantik ditumbuhi tanaman eksotis ini. Si bapak ini tidak sekedar bermimpi, diapun langsung membawa bibit tanaman itu ketika pulang ke kampung kami dan segera meletakkan tanaman ini di air danau kami yang cantik seraya berharap tanaman ini bisa tumbuh subur di danau kami dan membuat danau kami yang cantik menjadi semakin cantik.
Sebagian besar harapan bapak ini memang terwujud, tanaman cantik yang dia bawa dari Bogor tumbuh subur dan berkembang biak dengan cepat di danau kami, karena ternyata iklim di tempat kami dan juga suhu air di danau kami sangat cocok untuk tumbuh kembang tanaman cantik itu. Lalu karena saking cocoknya, tumbuhan cantik yang bernama ENCENG GONDOK atau KERLENG dalam bahasa kami inipun tumbuh dengan cepat dan tidak bisa dikendalikan. Sampai-sampai tumbuhan ini menutupi sebagian besar permukaan danau kami yang cantik, terutama di bagian pinggir. Bahkan di beberapa bagian sungai Wih ni Takengen, yang merupakan saluran keluarnya air dari danau kami tertutup tanaman ini sepenuhnya. Sehingga alih-alih menjadi lebih cantik, danau kami yang indah malah terlihat menjadi sangat kumuh dengan keberadaan tanaman ini.
Sampai hari ini, keberadaan tanaman KERLENG ini masih menjadi masalah yang tidak terpecahkan di daerah kami.
Kemudian entah siapa yang membawa tiba-tiba di danau kami sudah ada jenis ikan baru yang bernama ikan Mujair, ikan yang diberi nama sesuai dengan nama orang yang pertama kali mengembangkannya di Indonesia. Ikan ini beradaptasi dengan baik di danau kami dan segera menjadi salah satu ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Mungkin karena melihat keberhasilan ikan Mujair, Pemda Aceh Tengah yang bertanggung jawab atas pengelolaan danau kami mengembangkan ikan lain dari genus Tilapia yang sama dengan Mujair, tapi dari spesies yang berbeda. Ikan Nila, nama ikan baru yang memiliki nama latin Tilapia nilotica ini secara fisik sangat mirip dengan mujair, tapi bentuk badannya lebih lebar dan bisa tumbuh mencapai lima kali ukuran Mujair yang paling besar.
Ikan ini 'ditanam' di danau Lut Tawar sebagai hadiah bagi Aceh Tengah karena di daerah ini Golkar yang merupakan partai berkuasa saat itu berhasil menang dalam pemilu, padahal di wilayah Aceh yang lain PPP-lah yang berjaya.
Supaya ikan ini dapat tumbuh dengan baik di danau kami, bersamaan dengan 'ditanamnya' ikan ini, ganggang atau SEPOT dalam bahasa Gayo yang menjadi kesukaan ikan inipun juga ikut ditanam di danau kami.
Seperti halnya KERLENG, sepot jenis baru yang kami namai sepot GOLKAR sebagai rasa terima kasih kepada Partai politik yang membawa tanaman ini ke tempat kami inipun tumbuh subur dan segera menjadi tidak terkendali. Seluruh bagian danau dan sungai yang berair dangkal segera dipenuhi oleh tanaman ini. Akibatnya Pemda jadi pusing, nelayan dan masyarakat yang sehari-hari bergantung kepada danau Lut Tawar apalagi.
Untuk solusinya Pemda akhirnya memutuskan untuk melepaskan ikan jenis baru pemakan sepot bernama GRASSKAP (saya tidak yakin apakah tulisannya benar seperti ini). Ikan ini memang sangat rakus memakan sepot, tapi ukuran ikan ini konon sangat besar, sehingga kabarnya ikan ini bahkan sering menyerang perahu nelayan yang sedang mencari ikan di danau Lut Tawar. Menurut orang yang sudah pernah merasakan daging ikan ini rasa ikan ini sangat tidak enak. Sehingga ikan ini tidak memiliki nilai ekonomi, keberadaannya di danau kami malah mengganggu keseimbangan ekologi.
Selain urusan KERLENG, NILA, SEPOT dan GRASSKAP, danau kami juga mengalami beberapa perlakuan ceroboh, misalnya mengembangkan jenis ikan laga yang agresif. Ikan ini menyerang berbagai jenis ikan kecil lain yang hidup di habitat yang sama denganya sehingga populasi ikan-ikan itupun jadi berkurang.
Kemudian pemerintah juga pernah menanam belut di danau ini. Belut ini kemudian tumbuh memenuhi dan menjadi penguasa di areal persawahan yang ada di sekitar danau kami dan juga sawah-sawah yang berada di sepanjang aliran sungai Wih ni Takengen.
Keberadaan belut ini mengancam populasi ikan Lokot yang bentuknya mirip ikan gabus tapi hanya bisa mencapai ukuran maksimal sebesar jempol kaki yang sebelumnya merupakan 'penguasa' daerah ini. Sehingga sekarang ikan jenis ini sudah sangat jarang sekali ditemui di Takengen dan sekitarnya.
Belum jera dengan pengalaman sebelumnya, pemerintah kemudian 'menanam' jenis ikan kecil baru berwarna merah keemasan. Maksudnya mungkin supaya ikan kecil yang cantik ini bisa menggantikan ikan kecil lokal yang bernama BONTOK yang tidak memiliki nilai ekonomi yang penampilan fisiknya kurang cantik dibandingkan ikan jenis baru yang oleh orang Gayo kemudian dinamakan 'BONTOK ILANG' yang artinya 'BONTOK MERAH'. Cuma lagi-lagi ada hal kecil yang tidak diperhitungkan oleh pemerintah ketika 'menanam' BONTOK ILANG ini, yaitu karakter ikan ini yang suka menyerang ikan kecil bukan hanya menyerang BONTOK. Ikan ini juga menyerang jenis ikan yang memmiliki nilai ekonomi seperti KEPRAS, KAWAN, RELO dan bayi-bayi ikan mas, yang di Gayo kami sebut BAWAL. Akibatnya ikan-ikan inipun tak bisa berkembang biak dengan baik dan populasinya di danau kami berkurang drastis.
Begitulah kemiripan antara Australia dengan Lut Tawar yang sama-sama dijadikan ajang ujicoba ekologis tanpa melalui riset yang benar-benar matang yang mengakibatkan banyak masalah yang kemudian hari menjadi masalah serius yang tidak pernah bisa terselesaikan.
Bedanya, Australia sekarang sadar sepenuhnya kalau tidak boleh sembarangan bermain-main dengan ekologi. Sekarang Australia menerapkan peraturan sangat ketat yang melarang siapapun untuk membawa tumbuhan atau hewan apapun ke Australia. Bahkan membawa sebuah apel yang masih ada bijinyapun saat ini dilarang keras. Untuk mengekspor barang yang berbahan kayu juga sekarang ini sangat ketat peraturannya. Harus ada fumigasi dan berbagai persyaratan lainnya untuk memastikan tidak ada serangga hidup yang tertinggal di dalam kayu. Kontainer yang masuk dari berbagai negara juga mereka periksa dengan ketat untuk memastikan tidak ada bekicot yang tertinggal di sana.
Sementara pemerintah Aceh Tengah tentu sama sekali berbeda. Yang ada di pikiran Nasruddin bupatinya adalah proyek, proyek dan proyek untuk 'mengumpani' para anggota tim suksesnya. Lut Tawar dan segala permasalahannya adalah urusan nomor sekian.
Alih-alih belajar dari pengalaman. Kini di permukaan danau Lut Tawar dipenuhi oleh kolam terapung tempat memelihara ikan. Ini tidak salah, tapi dengan adanya berbagai kasus kematian massal ikan-ikan di beberapa waduk dan danau belakangan ini akibat menurunnya kadar oksigen di permukaan danau karena budidaya ikan kolam terapung yang tidak terkendali, seharusnya membuat Pemda yang bertanggung jawab mengelola danau ini menjadi lebih peduli dengan persoalan ini.
Untuk masalah lain yang berkaitan dengan danau seperti ikan depik, ikan endemik danau ini yang dieksploitasi berlebihan sampai tidak lagi memiliki kesempatan untuk membiakkan diri. Pemda dan DPRK yang memang peduli dengan rakyat dan wilayah kekuasaannya harusnya juga memikirkan untuk membuat PERDA yang dirancang untuk melindungi danau dan ikan khas Takengen ini.
Tapi Bupati bersama DPRK Aceh Tengah yang prestasi terbesarnya adalah menjual mesjid dan panti asuhan ini jelas sama sekali tidak peduli dengan fakta yang ada di depan mata yang mengancam kelestarian danau kebanggaan orang Gayo ini.
Oleh bupati penjual panti asuhan beserta mesjidnya ini (dengan persetujuan DPRK tentunya), bagian belakang gunung-gunung yang ada di sekeliling danau Lut Tawar dihantam dengan proyek pembangunan jalan. Maksudnya supaya daerah itu bisa dijadikan lahan perkebunan.
Nasruddin tampak jelas sama sekali tidak peduli dengan fakta bahwa volume air Danau Lut Tawar yang makin menyusut dari tahun ke tahun akan semakin menyusut akibat dari apa yang dia lakukan itu. Meskipun susutnya air danau ini belum pasti karena rusaknya ekologi di sekeliling danau, karena juga ada indikasi kalau surutnya volume danau ini akibat masalah geologis karena ada retakan di dasar danau. Tapi sampai hari ini belum ada publikasi resmi tentang hal itu.
Apapun itu masalahnya, Nasruddrin dan wakilnya Djauhar Ali yang masa jabatannya cuma 5 tahun tampak jelas sama sekali tidak peduli pada nasib danau kami. Sepertinya mereka berdua tidak merasa perlu mengurusi hal 'remeh-temeh' seperti ini karena berpikir, toh masa jabatannya cuma tinggal beberapa tahun lagi dan di Pilkada mendatang, bupati penjual mesjid dan lahan panti ini juga sudah pasti akan sulit terpilih kembali.
Di Indonesia pasca reformasi, otonomi daerah diberlakukan dimana-mana tanpa ada aturan dan undang-undang yang mengatur batas-batas kekuasaan kepala daerah.
Sehinggga seorang kepala daerah yang hanya berkuasa selama 5 tahun boleh melakukan apapun seenak perutnya di daerah tempatnya berkuasa.
Jadi sangatlah bisa dimaklumi kalau Nasruddin dan Djauhar memanfaatkan waktu berkuasa mereka yang tinggal tersisa sedikit ini sebaik-baiknya untuk memperkaya diri beserta kroni.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Aborigin
http://www.ucmp.berkeley.edu/mammal/marsupial/marsupial.html
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Thylacinus_cynocephalus.html
http://www.absoluteastronomy.com/topics/Rabbits_in_Australia
http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/09/australia-considers-mass-killings-camels.html
Minggu, 30 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar