Pada bagian kedua tulisan ini, aku kembali membahas istimewanya Ibadah puasa di bulan Ramadhan bagiku secara pribadi.
Keistimewaan lain yang membuatku selalu menantikan datangnya bulan ini adalah karena dalam ibadah ini aku melihat orang-orang yang diwajibkan melakukannya seolah dipaksa untuk mengenal dan mengendalikan diri tanpa mengandalkan masukan dan penilaian dari luar. Orang-orang yang diwajibkan melakukannya 'dipaksa' untuk bertanggung jawab mengurusi diri sendiri, mengurusi kebaikan dan keburukan untuk diri sendiri, bukan orang lain.
Masih menurutku secara pribadi, Ramadhan menggiring orang untuk berkontemplasi supaya bisa mengenal sesuatu yang tidak terbatas yang ada di dalam diri. Ini sangat penting, karena hanya dengan mengenal sesuatu yang tidak terbatas di dalam diri inilah sesuatu yang tidak terbatas yang ada di luar diri bisa dikenal dan didekati. Ketika yang tidak terbatas di dalam diri mulai mengenal dan mendekati yang tidak terbatas di luar diri, saat itulah SPIRITUALITAS muncul.
Dan itulah hakikat beragama menurutku, baru setelah itu Amar Ma'ruf Nahi Munkar mengikuti.
Tapi yang kulihat belakangan ini yang terjadi justru sebaliknya. Aku banyak sekali mendengar dan menyaksikan orang beragama yang berkoar-koar dan bersemangat sekali membela kebenaran. Seolah-olah kebenaran itu hanya memiliki satu tafsir dan TUNGGAL.
Padahal faktanya kebenaran itu sebenarnya SANGAT REFERENSIAL.‘BENAR’ dan ‘ SALAH’ , "BAIK' dan 'BURUK' adalah kata-kata yang maknanya sangat bergantung pada REFERENSI APA YANG DIPAKAI untuk menilai.
Atas dasar Amar ma'ruf dan Nahi Mungkar dengan berpedoman hasil penafsiran tunggal atas hadits dan ayat-ayat suci. Banyak orang yang dengan semena-mena memaksakan 'Kebenaran' dan 'Kebaikan'. Tidak peduli meskipun pemaksaan itu harus menggunakan cara kekerasan yang kadang terlihat sangat tidak berprikemanusiaan. Sementara SPIRITUALITAS ditinggalkan jauh di belakang.
Aku banyak bertemu dengan ulama dan ahli ibadah yang sangat santun dan rendah hati. Yang meskipun sudah tinggi ilmunya dan dalam kajiannya mereka merasa tidak akan pernah sanggup mencapai kebenaran tertinggi. Terhadap hasil pemikirannya, mereka bersikap seperti empat Imam mahzab penafsir Qur'an yang hasil kerja mereka tetap dipakai dan dihormati sampai hari ini. Terhadap penafsiran dari berbagai ayat suci mereka berkata, "ini hasil penafsiran saya, maksud yang sebenarnya hanya diketahui oleh yang menurunkan kalam itu sendiri". Mencap orang lain yang berseberangan sebagai orang sesat dan berbagai julukan buruk lainnya bukanlah kebiasaan para ahli ibadah dan ulama jenis ini.
Tapi lebih banyak lagi adalah ahli ibadah jenis pertama seperti yang kusebutkan di tulisan sebelumnya http://winwannur.blog.com/2009/08/19/selamat-datang-ramadhan-bulan-yang-suci-dan-istimewa/ Mungkin dari segi populasi jumlah mereka ini masih bisa diperdebatkan, komposisinya belum tentu lebih besar ketimpang ahli ibadah dan ulama rendah hati seperti yang kukatakan. Tapi ahli ibadah dan ulama jenis ini biasanya lebih menarik perhatian publik karena mereka selalu lantang berbicara untuk membela 'kebenaran'. Bisa jadi karena itulah ahli ibadah dan ulama jenis ini banyak sekali aku temui, dengan berbagai macam jenis dan variasi.
Kalau ahli ibadah dan ulama jenis pertama dalam tulisan ini jarang sekali bisa muncul ke permukaan, karena mereka tidak bisa dijilat dan dimanfaatkan supaya mau membuat fatwa yang menguntungkan orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik politik maupun uang. Sehingga mereka tetap jadi teungku kampung yang hanya dikenal orang-orang di lingkungan tinggalnya. Ulama dan ahli ibadah jenis kedua dalam tulisan ini banyak dikenal karena mereka banyak berkoar dan dengan mudah memberi cap sesat dan mengkafirkan orang, mereka juga biasanya dekat dengan kekuasaan. Baik kekuasaan resmi maupun kekuasaan yang suka menggunakan kekerasan ala Mafia atau Geng Preman.
Suatu waktu, di dunia maya aku bertemu dengan seorang ahli ibadah, orang Gayo yang menjabat ketua Dewan Mesjid yang berdomisili di Medan. Yang rupanya karena saking seringnya beribadah, saking banyaknya dalil agama yang dia pelajari, saking banyaknya Kalamullah yang dia baca dan dia kaji ditambah jabatan yang dia sandang membuatnya merasa diri begitu tinggi. Sehingga dia merasa seolah dirinya sudah mampu berpikir persis sama dengan si pembuat kalam sendiri. Dengan berbagai kajiannya tentang ilmu Allah, orang Gayo yang berdomisili di Medan ini merasa sama sekali tidak perlu lagi mengetahui dan memahami apa yang dia sebut sebagai 'Ilmu manusia', karena menurutnya ilmu jenis ini adalah ilmu yang rendah sekali tingkatannya. Menurut manusia satu ini, segala permasalahan yang ada di dunia ini tidak perlu lagi dikaji secara detail penyebab dan solusinya melalui berbagai ilmu manusia yang terbatas entah itu namanya Psikologi, Antropologi, Sosiologi dan sejenisnya karena menurut orang Gayo yang berdomisili di Medan ini. Menurutnya semua permasalahan dunia itu dengan mudah bisa diatasi dengan menerapkan 'Ilmu Allah' yang telah benar-benar dia kuasai.
Tentu saja omong besarnya ini dengan mudah bisa dipatahkan, karena seperti kata pepatah melayu Tong Kosong Nyaring Bunyinya, faktanya memang demikian, Tong yang berbunyi nyaring biasanya memang tidak berisi.
Ketika pernyataannya itu kubalas, dia mendapat dukungan dari seseorang yang sepandangan yang mengaku bernama 'Sang Pemikir'yang hanya berani membalas via Japri bukan di media tempat tanggapan itu kubuat. Dalam tanggapannya 'Sang pemikir' ini jauh lebih parah lagi. Untuk membantah tulisanku dia menyamakan cara 'berpikir' Tuhan dengan cara berpikir 'Sang Pemikir' ini sendiri. "Kalau saya saja makhluk yang terbatas ini marah dikatakan tidak ada satupun orang yang mengerti dengan persis pikiran saya, apalagi Tuhan yang maha sempurna", begitu katanya. Lucu membaca tanggapan seperti ini karena jika logika seperti ini dilanjutkan dengan bahasan Ayam Goreng misalnya, maka logika ini akan menjadi "Kalau saya makhluk yang terbatas ini saja suka Ayam Goreng KFC, apalagi Tuhan yang maha sempurna". Akan menjadi lebih kacau lagi jika yang melanjutkannya Logika 'Sang Pemikir' ini adalah kaum atheis yang sama sekali tidak percaya dengan keberadaan Tuhan, mereka akan dengan mudah bisa membuat berbagai contoh yang sangat kurang ajar.
Begitulah fakta yang biasa aku temui, setiap orang yang merasa tahu luasnya dunia secara keseluruhan dan mengerti ilmu Allah yang tidak terbatas, selalu adalah orang-orang yang terjebak dalam kecilnya tempurung kepala mereka sendiri.
Jika pemikiran seperti ini hanya sebatas pemikiran yang juga diadu dengan pemikiran, tidak akan ada masalah yang timbul. Pemikiran seperti ini hanya akan menjadi cerita lucu-lucuan dan bahan untuk tertawaan. Tapi pemikiran seperti ini menjadi sangat berbahaya ketika bersentuhan dengan KEKUASAAN.
Kekuasaan menjadi sangat berbahaya ketika diberikan kepada orang yang terlalu banyak mengaji dan menganggap kebenaran adalah kebenaran yang dia pahami sebatasnya luasnya tempurung kepalanya sendiri ini. Kekuasan menjadi berbahaya karena mereka merasa memahami kebenaran sejati yang diturunkan Tuhan. Sehingga dengan kekuasaan yang dia punya, orang-orang semacam ini jadi merasa berhak menggantikan peran Tuhan sebagai penentu hidup mati seorang manusia. Dengan kekuasaan yang mereka punya, mereka bisa seenaknya menentukan nasib bahkan hidup mati seorang makhluk, yang kebetulan memahami kebenaran dengan sudut pandang berbeda yang tidak mampu ditampung oleh kecilnya tempurung kepala mereka. Karena merasa melaksanakan perintah Tuhan, merekapun tidak akan sedikitpun merasa bersalah, jika di kemudian hari apa yang telah mereka lakukan itu malah menjadi bencana.
Dalam politik, ketika orang-orang semacam ini berkumpul mendirikan partai. Orang Islam yang berbeda pandangan politik dengan mereka, yang berada di luar partai mereka, mereka buat seolah berada di luar Islam. Mulut orang-orang sejenis ini dengan gampangnya mencap orang yang berseberangan itu sebagai antek Yahudi, Setan neoliberal, kafir calon penghuni neraka dan berbagai cap buruk lainnya.
Di taraf yang sangat ekstrim, merekapun tidak segan-segan mengeluarkan Fatwa Mati bahkan dengan tepat bisa memastikan bahwa orang yang mati bunuh diri akan masuk Sorga, menerima fasilitas yang ribuan kali lebih wah dibandingkan fasilitas bintang lima dan merekapun abadi di sana SELAMANYA.
Dalam pemerintahan, ketika kekuasaan yang diberikan kepada orang yang merasa mengerti ini, mereka jadi merasa paling tahu baik dan buruk bagi kehidupan pribadi manusia lain.
Contohnya, di Banda Aceh aku pernah bertemu seorang petugas WH yang menjalankan tugas sebagai aparat yang diberi kuasa untuk menerapkan syari'at islam hasil kajian para ahli agama dengan kapasitas tempurung kepala yang terbatas itu.
Pada malam hari sebelum aku temui siang hari esoknya, sang aparat WH yang kutemui ini menangkap sepasang manusia berlainan jenis yang bukan muhrim yang kebetulan sedang sial, menginap di rumah yang sama meskipun tidak satu ruangan. Sesuai prosedur standar pelaksanaan Syariat Islam, 'pasangan' inipun ditangkap an dibawa ke markas WH, setelah sebelumnya yang laki-laki dipukuli sampai babak belur oleh orang sekampung tentunya.
Dan inilah yang kusaksikan di markas WH, 'pasangan' ini dipaksa menikah, aparat WH tidak peduli bahwa si laki-laki sudah beristri "nggak apa-apa, dalam Islam seorang laki-laki boleh memiliki empat istri" begitu argumen si aparat. Si aparat WH juga tidak bergeming mendengar si perempuan menangis sesengukan minta tidak dinikahkan karena orang tuanya yang sakit jantung bisa meninggal mendengar berita seperti ini. Bagi sang aparat yang sedang menjalankan Syariat Islam ini, tidak peduli rumah tangga si laki-laki yang sudah memiliki 4 anak ini akan hancur, tidak peduli bapak si perempuan ini akan meninggal. Yang terpenting baginya adalah SYARIAT harus ditegakkan, bahkan demi tegaknya syariat, menikahpun tidak perlu di KUA, 'pasangan' itu dianjurkan untuk menikah cukup di kadi liar saja.
Di kampung halamanku sendiri, seorang Teungku, seorang ulama yang dihormati (dan pernah pula sangat kuhormati). Oleh orang-orang yang mengaguminya (dan yang punya kepentingan dengannya) dia diberi jabatan penting sebagai ketua MPU.
Sebagai seorang ulama, dia begitu fasih membaca surat Al Ma'un, dia paham dengan baik makna harfiah setiap kalimah dalam tiap ayat dalam surah ini, dia memahami sejarah turunnya ayat-ayat itu. Tapi dengan kekuasaan yang dia punya, demi kepentingan segelintir orang yang dekat dengannya, dengan penuh percaya diri perintah dalam ayat-ayat itu dia kesampingkan. Dengan gagah berani dalam berita yang dikutip sebuah harian besar, dia mengatakan bahwa Rumah Anak Yatim dan Rumah Allah boleh dijual untuk diubah menjadi sebuah kantor isntitusi bisnis yang menjalankan usahanya atas dasar RIBA asal itu dilakukan demi kemaslahatan UMAT.
Umat?...umat mana yang dia maksud?...siapa yang dimaksud sebagai umat oleh ulama besar di kampungku ini?.
Bagi ulama besar ini, anak-anak Yatim yang terzalimi oleh fatwanya bukanlah termasuk kategori Umat ini, umat baginya jelas pula tidak termasuk orang-orang yang kehilangan tempat beribadah karena keluarnya fatwanya ini.
Yang masuk kategori umat bagi ulama besar ini adalah penguasa setempat, para team sukses-nya dan para pejabat pemda yang mendapat kemaslahatan dari keuntungan pengerjaan proyek pembangunan gedung baru yang sebenarnya sama sekali tidak dibutuhkan oleh panti asuhan ini. Dan Umat dalam kategori ulama besar ini, tentu saja adalah anaknya yang menjabat sebagai WAKIL BUPATI.
Begitulah jadinya ketika 'kebenaran' sudah dimonopoli, oleh orang-orang yang karena banyak beribadah lalu merasa diri sebagai yang paling alim dan paling mengerti.
Selanjutnya bagi anda yang membaca tulisan ini dan tidak suka pada isinya, entah itu tidak suka karena harga diri anda atau keluarga anda yang merasa saya usik atau sekedar tidak suka karena punya sentimen pada diri saya pribadi. Silahkan membantah, mengkritik bahkan mencaci.
Anda tidak usah khawatir melakukan itu semua, karena apa yang saya tulis ini hanya sebuah pemikiran dari seorang manusia fana yang sama seperti anda adalah makhluk yang banyak berbuat salah dan memiliki kemampuan hanya sampai batas tertentu saja. Semua yang saya tulis ini sifatnya juga fana dan terbatas, bukan sebuah kebenaran tertinggi. Sehingga membantah apa yang saya tulis ini tidak akan membuat anda berdosa dan masuk neraka, karena apa yang saya tulis ini bukan kutipan Kalamullah, ayat-ayat yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Suci.
Selamat datang Bulan Ramadhan, bulan yang penuh rahmat dan suci.
Selamat menjalankan ibadah puasa dan mari kita mulai mengurusi kebaikan untuk diri kita sendiri.
Wassalam
Win Wan Nur
Jumat, 21 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar