Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa yang selalu kunantikan dengan antusias kedatangannya. Bulan ini menjadi istimewa bagiku karena di bulan ini ada sebuah ibadah istimewa yang bernama Syiam atau PUASA.
Kaum Deist, atheis dan para penganut kepercayaan yang berbeda denganku mungkin merasa lucu melihat perilakuku ini. karena secara logika ibadah umat Islam ini yang menuntut umat yang meyakininya ini menahan lapar dan haus seharian ini adalah perilaku konyol dan sangat tidak masuk akal. Tapi bagiku yang terlahir dan dibesarkan dalam tradisi Islam, bulan ini memang selalu istimewa.
Ibadah ini menjadi istimewa bagiku bukan karena belakangan beberapa ahli beragama Islam yang membuat berbagai penelitian tentang ibadah ini yang hasilnya kemudian dipublikasasikan, yang katanya mereka berhasil membuktikan bahwa berpuasa baik untuk kesehatan.
Tapi ibadah ini menjadi istimewa bagiku karena karakter ibadah ini yang sepenuhnya memberikan hak untuk menilai benar tidaknya ibadah ini dijalankan kepada orang yang menjalankan ibadah ini sendiri, bukan orang lain. Yang tahu apakah ibadah itu benar dijalankan atau tidak hanya orang yang menjalankannya, bukan orang lain.
Kebaikan yang diurusi oleh orang berpuasa juga kebaikan untuk dirinya sendiri, bukan kebaikan untuk orang lain sehingga orang lain tidak perlu mengagumi.
Ini yang membuat ibadah ini berbeda dengan ibadah lainnya baik yang wajib seperti Shalat, Zakat, Haji maupun ibadah sunah semacam bersedekah shalat sunah dan juga membaca serta mengkaji Al Qur'an.
Berbeda dengan puasa, ibadah lain yang biasanya melibatkan orang lain, dalam pelaksanaannya membuat orang yang melakukan ibadah punya peluang untuk mendapat'tepuk tangan' dan 'kekaguman' atau sekedar pujian dari manusia lain. 'Tepuk tangan' dan 'Kekaguman' atau pujian dari manusia lain adalah tiga hal yang cenderung membuat orang yang menjadi sasaran tepuk tangan dan kekaguman itu sering tanpa sadar terjebak menjadi sombong, baik sombong yang bersifat aktif seperti sikap angkuh dan merasa paling hebat maupun sombong yang bersifat pasif yang membuat orang bersikap terlalu merendah untuk meninggikan mutu diri.
Aku menemui banyak sekali ahli ibadah, orang yang banyak melakukan shalat, banyak mengkaji dalil-dalil agama yang terjebak menjadi orang SOMBONG sehingga tidak lagi proporsional dalam menilai diri sendiri entah itu SOMBONG AKTIF yang menilai diri terlalu tinggi, atau menjadi SOMBONG PASIF yang membuat orang jenis ini terlalu amat sangat merendahkan diri sendiri. Ahli ibadah jenis ini biasanya adalah orang-orang yang merasa hidupnya begitu penuh dosa di masa lalu, karenanya hidupnya begitu tidak berharga dibandingkan nikmatnya akhirat yang abadi selamanya. Dengan cara pandang terhadap diri seperti itu, ahli ibadah tipe ini kadang tidak merasa ragu sedikitpun untuk menukar nyawanya demi menebus semua dosa masa lalu, untuk memastikan satu tempat di Sorga yang tak terpermanai indah dan nikmatnya, demi memastikan kalau saat di akhirat nanti akan ada 70 (atau 77) bidadari menyambutnya di gerbang taman firdaus.
Untuk ahli ibadah jenis kedua ini, aku teringat seorang temanku saat kuliah di ekstensi dulu. Dia tamatan Politeknik Lhokseumawe yang melanjutkan kuliah di program ekstensi untuk mendapatkan gelar sarjana.
Sebagaimana umumnya anak-anak Politeknik yang sudah selesai kuliahnya, temanku ini sering mendapat pekerjaan di berbagai proyek konstruksi, dari uang hasilnya bekerja itu teman saya ini bisa membeli berbagai perangkat hiburan semacam Televisi dan DVD Player, perangkat mewah yang tidak bisa dimiliki oleh kami-kami yang belum bekerja.
Temanku ini anaknya agak bandel, sebagaimana umumnya anak muda seumuran kami yang agak bandel dan tinggal di Banda Aceh, dia suka mengisap ganja dan juga senang menonton film dewasa. Saya yang beberapa kali berkunjung ke tempat kosnya di Kampung Keramat sering memanfaatkan fasilitas miliknya itu pernah menemukan berbagai jenis film dewasa dalam tumpukan VCD dan DVD yang dia punya, dengan bintang-bintang mulai dari Jeena Jameson sampai Asia Carrera, saat itu belum ada Maria Ozawa.
Karena agak bandel dan punya banyak relasi dari berbagai kalangan, sesekali teman saya ini berperan sebagai agen penjualan motor curian. Aku sendiri bergaul dengan dia sejauh pergaulan itu tidak melewati batas-batas yang aku buat sendiri.
Saat demo reformasi meledak, sebagaimana umumnya mahasiswa zaman itu akupun ikut-ikutan di dalamnya. Situasi keamanan di Banda Aceh jadi tidak menentu, program ekstensi yang kuliah malam dihentikan sementara. Sejak itu aku jadi tidak pernah lagi bertemu dengannya.
Ketika situasi keamanan membaik aku tidak pernah lagi kembali ke kampus untuk kuliah karena aku sudah mulai sibuk dengan bisnis dan pekerjaanku yang menuntut aku untuk sering berpergian keluar dari Banda Aceh.
Aku bertemu lagi dengannya sekitar tiga tahun setelah reformasi, rupanya saat itu dia sudah pindah ke Lamprit, beberapa lorong di belakang tempat tinggalku. Saat itu menjelang shalat ashar, aku duduk mengobrol sambil minum kopi di Kantin Selekta di simpang jalan Cumi-cumi. Kulihat temanku ini lewat di depan jalan utama Lamprit. Kulihat dia memakai sarung yang menutupi bagian bawah badannya sampai di atas tumit, dia mengenakan penutup kepala untuk shalat dan dagunya sudah ditumbuhi jenggot. Mengingat sosoknya yang kukenal sebelumnya, aku merasa aneh melihatnya dengan kostum dan penampilan seperti itu.
Tapi meskipun penampilannya sudah sangat berbeda dengan yang kukenal sebelumnya, wajahnya tetap sangat kukenal. Saat melihatnya aku langsung memanggilnya dan dia menoleh dan wajahnya terlihat gembira ketika melihatku 'assalammu'alaikum', katanya. Aku menjawab salamnya dengan perasaan aneh karena biasanya orang mengucapkan salam seperti itu padaku hanya anak-anak fosma atau orang-orang yang berbicara dalam pertemuan formal, sementara dengan teman-teman biasa termasuk dengan temanku ini, aku sama sekali tidak pernah bersikap formal seperti itu sebelumnya.
Selanjutnya karena aku sering nongkrong di Selekta dan diapun selalu shalat di Mesjid Lamprit, akupun makin sering bertemu dengannya. Kadang aku shalat maghrib di Mesjid Lamprit dan kami pulang bersama. Saat pulang bersama itu atau saat selesai shalat dan dia selesai melaksanakan shalat sunat muakkad, kami sering mengobrol. Saat itulah aku tahu kalau temanku ini sudah sangat berbeda dengan yang pernah kukenal sebelumnya.
Saat itu di keningnya sudah ada dua titik yang menghitam, wajahnya tampak selalu tersenyum dan dia selalu terlihat bahagia. Saat kuperhatikan ketika dia sedang shalat sunat langsung di atas lantai marmer Mesjid Lamprit, kulihat dia melakukannya dengan khusuk sekali.
Suatu saat ketika berbincang dengannya, dia mengatakan padaku betapa hidupnya saat ini begitu tenang. Dia mengatakan begitu menyesal dengan masa lalunya yang dia katakan sama sekali tidak berguna, dan hidupnyapun sama sekali tidak berharga dan kini masa lalu itu akan dia kubur dan akan dia tebus dengan penyerahan diri total pada yang kuasa. Supaya saat mati nanti, di akhirat dia bisa mendapatkan sorga yang tak terkatakan indah dan nikmatnya. Dia tak lupa pula menjelaskan padaku betapa singkat dan tidak berarti dan tidak berharganya hidup di dunia ini jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang abadi.
Ketika berbicara dengannya, aku seperti dipaksa untuk hanya menerima masukan satu arah darinya saja tanpa dia mau mendengarkan sama sekali pandangan berbeda yang aku sampaikan. Beberapa kali kulihat dia seperti merasa kasihan melihatku yang masih larut dalam urusan 'dunia' yang menurutnya sama sekali tidak ada nilainya.
Di waktu lain kulihat dia mengenakan kaos bergambar Osama Bin Laden yang ditulis dengan nama Usamah Bin Ladin " Win, ini pahlawan Islam", katanya padaku dengan sorot mata yang dingin sambil menunjukkan gambar pada T-shirt yang dia kenakan.
Sebenarnya aku ingin mendebat apa yang dia katakan tapi aku tahu dari pengalaman sebelumnya, itu hanya perbuatan sia-sia karena baginya apa yang dia ketahui sekarang adalah kebenaran satu-satunya dan tidak ada lagi kompromi dengan 'kebenaran' lainnya. Karena itulah meskipun dia beberapa kali mengajakku mengikuti pengajian yang dia ikuti, aku selalu menolaknya.
Banyak orang di lingkungan baru temanku ini yang memuji perubahan ke arah 'kebaikan' yang telah dia lakukan. Tapi aku sendiri tidak merasa nyaman dengan perubahannya itu. Karena bagiku, hidup sesingkat apapun itu, tetap adalah sesuatu yang sangat berharga. Bagiku waktu yang singkat waktu hidup itulah kesempatan kita untuk berbuat, menurunkan generasi yang lebih baik yang akan mengabadikan eksistensiku, baik generasi yang diturunkan secara genetik maupun generasi yang diturunkan secara 'pemikiran'. Meskipun di masa lalu banyak berbuat kesalahan, untuk memperbaikinya aku selalu ingin melakukannya di saat aku masih hidup pula.
Setelah aku benar-benar meninggalkan Banda Aceh secara permanen, aku tidak pernah lagi mendapat berita tentang temanku ini. Aku juga tidak mengetahui bagaimana kabarnya ketika tahun 2004 Tsunami meluluh lantakkan kota Banda Aceh tercinta.
Begitulah yang aku lihat ketika ibadah menjadi urusan orang luar untuk menilai baik buruknya, 'kebenaran'pun menjadi urusan penilaian orang luar pula. Ibadah yang seharusnya berdimensi spiritual, ibadah yang seharusnya merupakan hubungan antara makhluk dengan khaliknya dimodifikasi menjadi sebuah pemaksaan nilai 'kebenaran' dari manusia satu terhadap manusia lainnya.
Karakter ini yang tidak kulihat eksis dalam ibadah puasa, karena itulah bagiku Ramadhan selalu istimewa dan aku selalu antusias menantikan kedatangannya.
Wassalam
Win Wan Nur
Bersambung ke Bagian II
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar