Jumat, 14 Agustus 2009

Sorga dan Fasilitas Bintang Lima

Dalam waktu yang cukup lama, Sorga yang kubayangkan adalah sebuah tempat yang sedemikian indahnya, sebuah tempat dengan kenikmatan ragawi yang bisa didapatkan kapan saja.

Waktu kecil, entah itu di rumah, di sekolah atau di tempat mengaji. Orang tua,guru dan Teungku selalu menceritakanku tentang tempat ini, tiap orang menggambarkannya tidak persis sama, tergantung sedalam apa imajinasi mereka.

Gambaran standar tentang Sorga yang kudapatkan adalah sungai-sungai mengalir di bawahnya. Sungai-sungai itu tidak berisi air tapi madu, susu dan khamar (minuman keras), kata Teungku yang mengajarku mengaji Khamar di Sorga tidak sama dengan Khamar di dunia, Khamar di Sorga tidak membuat memabuk peminumnya. Masih menurut Teungku yang sama, madu di Sorga 1000 kali lebih manis daripada madu yang kukenal di dunia, susu di Surga 1000 kali lebih nikmat daripada susu yang pernah kukenal di dunia. Selain itu masih ada satu kenikmatan lagi yaitu ditemani oleh 70 bidadari yang kecantikannya melebihi perempuan paling cantik yang ada di dunia.

Sewaktu masih kecil, aku tidak memahami dimana letak 'Nikmat' 70 bidadari ini, tapi ketika aku mulai beranjak besar, meskipun belum pernah mencoba tapi aku dapat membayangkan dengan sempurna kenikmatan jenis terakhir ini. Akupun paham dengan baik ketika Zainuddin MZ, mubaligh terbesar di masa aku SMA menggambarkan kenikmatan terakhir ini dengan gaya dakwahnya yang khas "Bidadari itu tidak seperti perempuan di dunia yang berkurang kenikmatannya ketika sudah dipakai, bidadari itu perawan ketika dipakai, lalu setelah selesai dipakai kembali jadi perawan", begitu kata Zainuddin yang diikuti dengan tawa berderai para pendengarnya.

Kalau kita berbuat baik di dunia, kenikmatan Surga itu akan kita dapatkan abadi selamanya, sekali lagi ABADI SELAMANYA!

Ketika aku beranjak remaja saat aku tinggal di rumah Kos-an dengan uang kiriman terbatas, yang kalau mau makan enak harus mencari teratak pesta kawinan. Gambaran sorga dengan kenikmatan seperti yang digambarkan oleh Orang tua,guru dan Teungku mengajiku benar-benar ada dalam impian.

Ketika aku yang masih remaja yang masih sangat pemalu dan minderan tidak pernah berani mengungkapkan perasaan suka kepada perempuan yang kupuja, yang cuma bisa diam-diam mengagumi teman sekolahku atau teman kuliahku tanpa pernah berani mengungkapkan apa yang kurasakan, lalu ditawarkan untuk memiliki 70 bidadari yang wajahnya lebih cantik dari Nicole Kidman, Catherine Zeta-Jones, Dian Sastro bahkan Agnes Monica, dengan body yang lebih seksi dari Giselle Bundchen atau Anna Kournikova, tawaran seperti ini benar-benar menggoda.

Saat aku semakin dewasa, ketika aku mulai menjelajahi gunung-gunung, kedinginan di bawah tenda, makan dengan menu seadanya. Gambaran Sorga dengan segala fasilitasnya laksana sebuah kenikmatan yang tiada tara. Waktu aku menggelandang menjadi back packer kemana-mana, menginap dan makan di tempat yang semurah-murahnya. Ketika aku selama 4 bulan menjadi gelandangan dalam arti yang sebenarnya, aku pernah beberapa kali mengikuti tausyiah sehabis shalat maghrib di mesjid yang terletak tepat di depan Sentral Parkir Kuta, jantung pariwisata Bali.

Di Mesjid yang sering didatangi penceramah dari luar negeri dari tempat-tempat semacam Pakistan ini, kecuali aku sendiri, seisi Mesjid, baik Ustadz maupun jema'ahnya semua berpakaian senada bersorban dan berjubah dengan jenggot menggantung di dagu.

Dalam salah satu Tausyiah yang kuikuti, Ustadz yang berbicara menceritakan tentang keindahan dan kenikmatan Sorga itu. Selain tentu saja gambaran tentang 70 perawan yang akan menemani, yang paling kuingat dalam Tausyiah ini adalah waktu Ustadz ini mengatakan di Sorga itu kita melihat seekor burung yang indah terbang di angkasa, lalu kita tiba-tiba ingin merasakan nikmatnya dagingnya, maka saat itu juga daging burung itu yang sudah dimasak dengan bumbu yang paling lezat akan langsung tersedia di depan kita. Ucapan ustadz ini langsung disambut para hadirin dengan penuh takzim dan ucapan Allahu Akbar!

Mendengar itu, karena saat itu aku menggelandang di Bali yang dipenuhi dengan hotel-hotel dengan fasilitas terbaik di mana-mana, sorgapun kubayangkan laksana sebuah tempat dengan fasilitas bintang lima.

Tahun 2004 aku menikah.

Di awal pernikahan kami, aku dan istriku memutuskan untuk tinggal di Bali. Dengan modal 12 juta di kantong, kami menyewa sebuah kamar di Legian dengan ukuran 2.5 X 3 meter dengan sewa 350 ribu sebulan dengan tempat tidur yang sebenarnya dirancang untuk muat satu orang saja. Istriku yang sebelum menikah tinggal di rumah dengan kamar ber-AC yang kamar mandinya saja lebih luas dibandingkan kamar kami ini dengan ranjang yang besar pula kini harus tinggal di tempat ini, tidur berimpitan di ranjang kecil denganku.

Dengan uang itu pula kami membeli motor Honda Supra Fit warna merah dengan cara kredit dengan uang muka 700 ribu. Istriku yang sebelumnya terbiasa menyetir mobil ber-AC kemana-mana, kini harus rela kemana-mana berpanas ria kubonceng dengan Supra Fit merah kami.

Sisa uang yang ada kami pakai untuk modal usaha untuk membuat sandal dan Sepatu yang kami promosikan melalui internet. Tapi sampai berbulan-bulan uang itu kami tidak mendapatkan orderan. Kamipun bertahan hidup dengan berhemat sehemat-hematnya, padahal saat itu istriku sedang hamil. Karena kami tidak punya dapur, kami selalu membeli makanan di luar. Supaya kami terus punya uang untuk membeli susu agar anakku yang masih dalam kandungan tidak kekurangan nutrisi kami menghemat makanan untukku, kami selalu membeli dua porsi nasi dengan hanya satu yang berisi lauk, ppada masa itu, lauk untukku adalah remah-remah gorengan yang kami minta dari tukang gorengan yang berjualan tidak jauh dari tempat kos kami.

Ketika perut istriku semakin membuncit kami belum juga mendapat orderan, uang semakin menipis, sementara kami harus membeli banyak keperluan untuk persiapan kelahiran anak kami. Tubuh istriku juga berubah, pakaian dalam yang dia kenakan tidak lagi muat sekarang, tapi kami tidak punya cukup uang untuk membeli pakaian dalam baru. Jadilah istriku menderita memakai pakaian dalam yang kesempitan. Begitu sulitnya keadaan kami saat itu sampai-sampai aku menjadi pelukis dadakan, menjual lukisan bunga kemboja yang kubuat seharga 20 ribu supaya kami tetap bisa makan. Kadang uang sudah habis tapi lukisan belum kering, istriku terpaksa mengipasinya dengan kipas angin kecil yang kami beli dengan penuh perjuangan.

Secara materi saat itu termasuk salah satu saat paling sulit dalam kehidupan rumah tangga kami, tapi di sisi lain justru saat itulah saat paling membahagiakan bagi kami. Saat itu kami begitu bebas merdeka, belum punya anak yang harus diurusi. Tiap sore aku mengajak istriku yang perutnya semakin membesar berjalan-jalan di lembutnya pasir Kuta sambil menunggu matahari tenggelam. Kami menghadiri setiap acara budaya, menonton konser gratis apapun yang ada diselenggarakan di Kuta dan kadang jam 3 malam saat kami tiba-tiba terbangun, aku mengajak istriku berjalan-jalan di Seminyak atau Legian, nongkrong di depan Mini Mart atau Circle K.

Situasi perekonomian kami membaik ketika kami mendapatkan seorang pelanggan asal Australia yang datang seperti jatuh dari langit. Dia mengetahui kami dari seorang temannya yang tidak puas dengan pekerjaan bos-ku sebelumnya. Bersama pelanggan bernama Karen inilah ekonomi keluarga kami membaik sampai kami terbilang cukup mapan dengan penghasilan 40 juta sebulan.

Bersamaan dengan bertambahnya orderan, akupun sudah bisa menyewa karyawan. Kami berdua tidak perlu lagi bekerja, tidak lama kemudian anak kamipun lahir. Kami pindah ke rumah sewaan yang sejuk dan terletak tepat di tengah sawah, tepat di depan pintu gerbang rumah kami di tengah sawah ada sebuah dangau tempat petani pemiliknya beristirahat dan menarik tali-tali yang menghubungkannya dengan berbagai alat yang berbunyi keras untuk menakut-nakuti burung saat padi mulai mengeluarkan bulirnya. Kami sering menghabiskan waktu di sana.

Saat itu adalah saat-saat paling sempurna dalam hidup kami. Karena tidak perlu bekerja, kami berdua menghabiskan waktu untuk mengurusi anak kami. Aku dan istriku bergantian memandikannya, pagi-pagi bangun tidur aku menjemurnya supaya vitamin D yang dibawa sinar matahari pagi menyerap ke dalam kulitnya. Saat seperti itulah kami merasa seperti hidup di Sorga

Keadaan itu berubah total ketika meledak Bom Bali II yang hampir bersamaan dengan Iraq yang di ekspansi Amerika, perekonomian dunia hancur. Kami yang memproduksi barang kebutuhan tertier jelas ditinggalkan pelanggan yang lebih mendahulukan belanja kebutuhan primer. Tidak terlalu lama dalam keadaan itu, aku jatuh sakit terserang demam berdarah, trombositku yang normalnya di atas 100 ribu jatuh tinggal 6000 saja. Semua uang yang kami punya habis untuk membayar biaya rumah sakit dan sampai setahun sesudahnya kami tidak punya pemasukan sama sekali. Perekonomian kami kembali ke titik NOL bahkan minus dan mau tidak mau akupun terpaksa BEKERJA.

Ketika aku akhirnya aku terpaksa bekerja, aku memilih bidang pekerjaan yang memungkinkanku menikmati segala keindahan dan kenikmatan dunia, pekerjaan yang kupilih memungkinkanku untuk mendatangi tempat-tempat terindah di negeri ini, menginap di hotel-hotel terbaik dengan fasilitas terbaik yang ada di tempat yang kudatangi.

Hampir setiap hari dalam pekerjaanku, aku disuguhi makanan karya juru masak terbaik yang bukan hanya lezat tapi disajikan dengan tampilan yang bercitarasa seni. Aku mulai terbiasa berlayar di kapal layar mewah dikelilingi dengan gadis-gadis cantik berbikini, makan di pesta barbecue dengan diiringi penyanyi berkostum bermuda, di tengah laut menyaksikan matahari tenggelam di langit cerah dengan diiringi lagu wild world yang dinyanyikan dengan irama reggae.

Orang yang melihat dari luar mungkin merasa seperti inilah kehidupan Sorga. Tapi aku yang mengalami merasakan kehidupan seperti ini hanya nikmat di awal-awalnya saja, setelah berbulan-bulan menjalani kehidupan seperti ini, ketika segala kenikmatan itu menjadi rutinitas pada masanya akhirnya aku merasa bosan juga.

Meski tetap menikmati empuknya kasur hotel bintang 5, tapi kadang-kadang aku juga merindukan suasana saat aku tidur beralaskan tanah, kedinginan diguyur hujan di bawah tenda. Saat menikmati masakan karya para chef jempolan itu kadang aku juga ingin kembali mencicipi masakan aneh, campuran nasi, kopi, gula dan kepala ikan asin bikinan Ogek teman satu tim-ku di EJSL 94 yang saking nikmatnya pernah membuat aku hampir berkelahi di Camp Kerling dengan Asep Bobby Janual Kapindi, temanku yang lain hanya karena aku merasa Bobby tidak adil dalam membagi porsinya.

November tahun lalu, aku benar-benar jenuh dengan segala 'kenikmatan' yang telah menjadi rutinitas itu dan akupun memutuskan untuk sejenak keluar dari situasi itu, menggelandang di Banda Aceh tidur dimana kusuka, menginap di rumah kawan mana saja yang bisa menyediakan tempat untuk tidur, tidur tanpa kasur di tempat Dawan atau kadang begadang semalaman di dot.com. Pulang dari sana baru aku bisa merasakan kembali nikmatnya fasilitas bintang 5.

Mengalami ini aku jadi membayangkan, kalau kenikmatan yang masih jauh dari gambaran sorga yang menjadi rutinitas selama beberapa bulan saja bisa demikian membosankannya, bagaimana rasanya merasakan kenikmatan seperti itu dengan dosis ribuan kali lebih tinggi dari itu dan abadi pula SELAMANYA, bukankah itu siksaan namanya?

Tahun ini juga demikian, sejak mei yang lalu aku tidak pernah berhenti bekerja, terus menjalani hidup dari satu fasilitas bintang 5 ke fasilitas bintang 5 lainnya, dan seperti tahun lalu juga, saat inipun rasa bosan sudah mulai menggoda.

Setelah berbulan-bulan menjalani rutinitas 'liburan' seperti itu, mendapatkan libur satu hari seperti hari ini rasanya benar-benar luar biasa.

Bangun tidur membaca Kompas yang sudah hadir sejak pagi buta, minum teh sambil berbincang dengan istriku, merasakan antusiasmenya ketika menceritakan kisah film 'Englishman in New York' yang baru dia tonton di tempatnya bekerja, benar-benar merupakan kenikmatan yang tiada tara, tidak bisa dibandingkan dengan segala kenikmatan bintang 5 yang ada di dunia.

Menyaksikan Mattane Lao anakku berkemas dan menyiapkan sarapan paginya, benar-benar merupakan pemandangan terindah yang pernah kusaksikan, jauh lebih indah dibanding pemandangan apapun yang pernah kusaksikan sebelumnya. Saat mengantarkannya ke sekolah, sepanjang jalan mendengarkan celotehan polos dari lidah cadelnya rasanya jauh lebih merdu daripada musik paling indah manapun yang pernah kudengar, kebahagiaan saat kulit wajahku menyentuh kulit halusnya saat aku mencium pipinya dan dia balik menciumku di depan pintu kelasnya sebelum dia disambut oleh Mary, guru kelasnya. Benar-benar merupakan kebahagiaan yang tidak bisa kubandingkan dengan kebahagiaan apapun juga.

Merasakan ini aku tiba-tiba teringat seorang temanku di Jakarta yang tidak pernah kekurangan duit dalam hidupnya, yang menyetir mercy kemana-mana. Dia bisa menginap di hotel terbaik manapun yang dia mau, bisa berganti teman tidur tiap malam dengan perempuan cantik manapun yang dia suka. Tapi kepadaku dia selalu bilang hidupnya kesepian dan hampa, padahal dia dikelilingi banyak orang yang memuja dan menghormatinya. Dia merasa seperti itu karena kulihat meskipun dia memiliki segala materi yang hanya bisa dicapai dalam mimpi oleh kebanyakan orang, tapi dia tidak memiliki orang yang bisa diberi dan memberikannya CINTA.

Karena itulah, seandainya oleh Tuhan yang kusembah aku ditakdirkan untuk masuk ke Sorganya. Kalau aku diberi izin untuk meminta, kepada Tuhan aku akan menolak diberi segala fasilitas bintang 5. Entah itu pemandangan indah, burung terbang yang berubah menjadi masakan terenak dengan bumbu terbaik yang tiba-tiba terhidang di meja, segala sungai entah itu madu, susu maupun khamar. Aku juga akan menolak diberikan 70 bidadari yang lebih cantik dibanding Nicole Kidman, Catherine Zeta-Jones, Dian Sastro bahkan Agnes Monica.

Kalau aku ditakdirkan masuk Sorga dan boleh meminta, aku akan minta Tuhan memberikan semua fasilitas kesenangan kaum hedonis itu kepada para ahli agama yang mendalami tafsir Kalamullah sampai ke semua detail kalimah dan sejarah turunnya, yang berjenggot dan berjubah yang memanggil akhwan dan akhwat sesamanya, yang bisa memastikan orang yang memiliki paham yang tidak sama dengan mereka akan mendapat azab dan masuk neraka. Kepada para 'mujahid' yang percaya saat mati akan mendapatkan segala fasilitas itu, yang bahkan demi memastikan bahwa di akhirat nanti dirinya akan mendapatkan fasilitas itu rela mengorbankan selembar nyawanya untuk membunuh dan menghancurkan sesamanya.

Kalau aku ditakdirkan masuk Sorga dan boleh meminta, aku akan bilang pada Tuhan, tidak perlu aku diberikan fasilitas bintang lima yang dilengkapi dengan segala kenikmatan ala hedonis lainnya, untukku cukuplah Tuhan memberi limpahan RASA CINTA.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya sependapat dengan bang Win Wan Nur, apalah artinya segala nikmat itu dibandingkan dengan orang-orang yang kita cintai. Perbandingannya adalah sungguh segala nikmat itu bagai abu dan debu...