Menanggapi tulisan saya Faham fundamentalis dan Ilmu Pengetahuan, seorang pembaca bernama Abu Kharis mengatakan kepada saya
Sebelum menyimpulkan, bagusnya WWN dkk baca dulu artikel ustadz fundamentalis berikut :
1. http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2865-mendudukkan-akal-pada-tempatnya.html
2. http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2866-ketika-akal-bertentangan-dengan-dalil-syari.html
Lalu saya pun membaca link yang diberikan oleh Abu Kharis yang sepertinya mengharapkan saya akan berubah pandangan setelah saya membaca artikel dalam link yang dia berikan.
Tapi setelah saya membaca artikel dalam kedua link tersebut, alih-alih saya berubah pikiran. Informasi-informasi yang ada dalam artikel yang disarankan oleh Abu Kharis untuk saya baca tersebut justru semakin menguatkan pendapat saya bahwa Islam saat ini benar-benar telah dikuasai sepenuhnya oleh faham fundamentalis yang memahami segala teks agama secara literer dengan cara yang IRRASIONAL bukan RASIONAL. Yang akan semakin membawa kita Umat Islam ke jurang keterpurukan.
seluruh penjelasan dalam artikel ini benar-benar khas cara pandang dan cara pikir kaum fundamentalis yang LITERER persis seperti apa yang tersurat.
Salah satu dari penjelasan yang IRRASIONAL khas pikiran kaum fundamentalis yang dimuat dalam artikel di link yang diberikan oleh Abu Kharis ini adalah ketika penulis yang bernama Muhammad Abduh Tuasikal menjelaskan tentang kebenaran (HR. Muslim no. 7385) yang menjelaskan tentang panasnya matahari di padang mahsyar yang hanya sejengkal di kepala yang tentu saja tidak logis jika dipahami dengan logika yang berlaku umum saat ini.
Seperti biasa, pemahaman kaum fundamentalis untuk hadits ini adalah LITERER dan penjelasannya pun tetap LITERER sesuai dengan apa yang tertulis. Maka untuk mengatasi masalah ini dibuatlah sebuah penjelasan yang 100% spekulatif seperti di bawah ini.
"Jika kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan dengan logika kita. Namun sebenarnya dapat kita katakan, “Kekuatan manusia ketika hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang di dunia. Namun manusia ketika hari kiamat memiliki kekuatann yang luar biasa. Mungkin saja jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik matahari, tanpa adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati. Akan tetapi, sangat jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan di hari kiamat, mereka akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa makan dan minuman.” (Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal. 370)"
Baca : http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2866-ketika-akal-bertentangan-dengan-dalil-syari.html
Menurut logika yang mendasari ilmu pengetahuan penjelasan seperti yang disampaikan oleh penulis ini nilainya adalah NOL BESAR.
Kenapa NOL BESAR?, karena dalam pemahaman ilmu pengetahuan modern yang didasari oleh cara pandang KANT yang dia tulis dalam bukunya **Critique of Pure Reason**, dikatakan bahwa debat ngalor-ngidul secara verbal (PURE reason) tidak ada gunanya, sebab masing-masing pihak selalu bisa saja mencari-cari alasan untuk membenarkan pendapatnya sendiri dan mempersalahkan pendapat lawan.
Maka dalam bukunya yang mendasari ilmu pengetahuan modern tersebut KANT mengatakan bahwa "Satu-satunya jalan yang bisa mengakhiri perdebatan adalah OBSERVASI EMPIRIS, dalam hal ini adalah eksperimen"
Perdebatan seperti yang ada dalam link yang direkomendasikan oleh Abu Kharis ini adalah tergolong debat ngalor-ngidul dimana masing-masing pihak selalu bisa saja mencari-cari alasan untuk membenarkan pendapatnya sendiri dan mempersalahkan pendapat lawan.
Debat ngalor ngidul seperti ini persis seperti ketika dalam sebuah tulisan saya mengatakan "air bisa menjadi bahan bakar", kemudian ada seorang penanggap mengatakan itu cuma mimpi, itu mustahil, dia membawa-bawa hukum Thermodinamika pertama. Yah kalau saya juga menanggapinya dengan ngelor-ngidul yang sama ya tidak akan ada habisnya, sebab masing-masing pihak selalu bisa saja mencari-cari alasan untuk membenarkan pendapatnya sendiri dan mempersalahkan pendapat lawan.
Maka dari itu saya mengajaknya untuk melakukan sebuah eksperimen EMPIRIS yang bisa dilakukan dan dibuktikan hasilnya oleh siapapun juga.
Saya memintanya untuk menggunting lembaran aluminium dengan potongan kecil-kecil sebanyak satu sendok makan, memasukkannya ke dalam botol kecap kosong, lalu campurkan dengan soda api dan masukkan air. Lalu kalau itu sudah dia lakukan, saya memintanya untuk membawa botol itu ke kamar tidurnya dan menyalakan api di atas mulut botol itu.
Kalau menyala, artinya air bisa terbakar dan artinya saya benar, kalau tidak ya berarti saya yang salah. Perdebatan SELESAI.
Ini yang saya sebut sebagai pembuktian yang SAMA bagi siapapun juga tanpa terkecuali. Siapapun, artinya semua manusia tidak peduli dia penganut agama apa dan ideologi apa. Asal dia manusia dan memiliki panca indera yang lengkap, dia bisa membuktikan benar tidaknya pendapat saya. (tapi saat itu, lawan debat saya ini tidak berani melaksanakan tawaran saya tersebut)
Nah solusi seperti inilah yang membuat BARAT maju di segala bidang. Para ilmuwan mereka sudah lama berhenti berdebat ngalor-ngidul. Kalau mereka menghadapi kejadian seperti bertentangannya teks dengan logika seperti dalam hadits yang dikutip oleh penulis dalam link yang diberikan oleh Abu Kharis kepada saya ini. ILMUWAN BARAT akan langsung melakukan eksperimen (seperti yang saya tawarkan kepada lawan debat saya di atas) untuk membuktikan pendapat siapa yang benar.dan siapa yang salah. Hasil dari eksperimen ini nantinya bisa diuji oleh siapapun juga dan kebenarannya juga akan SAMA bagi semua manusia.
Melalui proses seperti inilah komputer yang kita pakai ini, obat yang kita konsumsi, kendaraan yang kita naiki serta jalan yang kita lewati tercipta.
Bandingkan dengan argumen dari kaum fundamentalis yang sudah puas dengan solusi "Kekuatan manusia ketika hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang di dunia", yang sama sekali tidak bisa diuji kebenarannya oleh siapapun dari agama dan ideologi apapun karna kebenaran seperti ini hanya bisa diakui kebenarannya dengan IMAN.
Kebenaran seperti ini hanya bisa DIIMANI tapi tidak bisa DIBUKTIKAN, sehingga tidak bisa dan tidak akan pernah bisa menghasilkan apapun. Yang bisa dihasilkan oleh solusi seperti ini hanyalah perasaan puas yang semu seperti yang dirasakan oleh pecandu narkoba.
Cara menyelesaikan masalah seperti inilah yang membuat umat ISLAM sekarang tertinggal dalam segala bidang, sehingga BARAT pun dengan santainya bisa menginjak-injak kepala kita semau dan seenak perut mereka.
Kalau cara pandang dan cara menyelesaikan masalah seperti ini tetap kita pertahankan, kapan kita akan bisa menyaingi BARAT?... Jawabnya adalah nanti di padang Mahsyar, saat manusia (katanya) mampu berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa makan dan minuman.
Jadi kalau kita ingin dihormati oleh BARAT di akhirat nanti, silahkan pertahankan dan ikuti cara pandang dan cara pikir IRRASIONAL ala kaum fundamentalis ini.
Tapi kalau kita tidak ingin BARAT terus menginjak kepala kita di DUNIA ini, ubahlah cara pandang dan cara pikir IRRASIONAL ala kaum fundamentalis ini, kembalilah menggali nilai-nilai, cara pandang dan cara pikir RASIONAL ala kaum Mu'tazillah yang lebih dari 1000 tahun yang lalu pernah menjadikan Islam sebagai peradaban yang gilang-gemilang.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang ACEH suku Gayo, Beragama ISLAM
Jumat, 29 Januari 2010
Rabu, 27 Januari 2010
Faham Fundamentalis dan Ilmu Pengetahuan
Tulisan ini adalah bagian ketiga dari 4 tulisan. Tulisan sebelumnya dapat dibaca di http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup.html dan http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup_22.html dan http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup_24.html
Tanah adalah hidup dan jiwa orang Bali, seluruh tanah yang ada di Bali sudah habis dibagi menjadi desa-desa adat yang dimiliki secara turun-temurun oleh orang Bali. Orang Bali hanya diakui sebagai Orang Bali jika mereka memiliki Desa Adat. Orang yang tidak memiliki desa adat, tidak bisa disebut orang Bali. Sementara itu desa adat adalah warisan, orang hanya bisa memiliki desa adat di Bali, jika mereka memiliki nenek moyang yang memiliki desa adat. Sebab memiliki desa adat berkaitan erat dengan tanggung jawab, bukan hak.
Orang Bali tidak pernah lepas dari nenek moyangnya, meskipun sudah meninggal, orang Bali percaya roh nenek moyang mereka tetap ada dan masih terus mengunjungi keturunan mereka. Karena itulah di setiap rumah di Bali ada pelinggih, yaitu sebuah Pura yang dibuat untuk tempat bersemyam roh anggota keluarga yang sudah meninggal jika sedang datang berkunjung. Di setiap Desa di Bali juga terdapat minimal tiga buah Pura, masing-masing satu untuk satu Dewa Tri Murti, Syiwa, Brahma dan Wisnu. Pura untuk Syiwa disebut Pura Dalem, Pura untuk Brahma disebut Pura Desa dan Pura untuk Wisnu disebut Pura Puseh. Konsep tiga pura ini dikenal dengan nama konsep Kahyangan Tiga yang diperkenalkan oleh seorang pendeta besar Hindu bernama Mpu Kuturan.
Di seluruh desa yang ada di Bali selalu ada dua kategori desa, yaitu desa adat seperti yang saya sebutkan di atas dan desa administratif. Setiap desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut 'Klian'. Kepala desa adat disebut 'Klian adat' sedangkan kepala desa administratif disebut 'klian dinas'. Di desa-desa di Bali, biasanya 'Klian adat' lebih dihormati ketimbang 'klian dinas'. Para pendatang dan orang Bali yang tinggal di luar desa adatnya, akan masuk sebagi warga desa dinas. Semua orang Bali yang merupakan anggota atau rakyat dari sebuah Desa adat, berkewajiban memelihara dan membayar iuran untuk pura-pura itu. Tapi yang 'cuma' warga desa administratif, entah itu pendatang dari luar pulau atau orang Bali sendiri yang nenek moyangnya tidak berasal dari desa itu, tidak memiliki kewajiban seperti ini.
Itulah sebabnya, meskipun pendatang di Bali secara administratif kenegaraan memiliki tanah di Bali, tapi menurut Budaya Bali, para pendatang itu hanya menumpang hidup di Bali, meskipun mereka telah hidup dari generasi ke generasi. Karena tidak memiliki kewajiban untuk memelihara Pura, mereka tetap bukan orang Bali. Seluruh pendatang yang datang ke Bali dan menetap di pulau ini harus memaklumi hal itu.
Setiap Pura Kahyangan Tiga ini diupacarai setahun sekali, acara ini dinamakan 'Piodalan', atau orang Bali lebih sering secara singkat menyebutnya 'ODALAN'. Penanggalan yang digunakan untuk menghitung hari upacara untuk setiap Pura itu bukan penanggalan masehi atau penanggalan Hindu yang dihitung dengan tahun saka. Penanggalan yang dipakai adalah penanggalan Bali, yang setahunnya cuma berisi 210 hari. Ulang tahun dan juga semua hari raya di Bali dilangasungkan dengan berpatokan kepada penanggalan ini, kecuali nyepi yang dihitung dengan Tahun Saka. Pemakaian penanggalan inilah yang menyebabkan jika kita menanyakan umur kepada orang-orang tua di Bali, tidak jarang mereka kadang menyebut umur mereka 120 tahun.
Dalam perjalanan ini aku menyaksikan sebuah acara piodalan di sebuah desa. Acara ini wajib diikuti oleh seluruh warga desa, besar dan kecil. Beberapa warga desa yang bekerja di Kuta atau Denpasar juga harus kembali ke desa adatnya untuk melakukan upacara ini. Kewajiban seperti inilah yang membuat tidak banyak orang Bali yang merantau ke luar daerah, itu karena orang Bali begitu terikat dengan tanahnya. Di Bali, saat seorang bayi lahir, ari-arinya akan ditanam di depan rumah. Orang Bali percaya kekuatan gaib (di Bali disebut Niskala) dari ari-ari ini akan melindungi si bayi dari kekuatan jahat.
Selain untuk piodalan ini, orang Bali juga harus kembali ke Desa adatnya, kalau salah seorang warga desa ini melakukan upacara ngaben, upacara terakhir untuk manusia sebelum jiwanya menjadi murni dan bersatu dengan para Dewa. Tapi upacara Ngaben ini adalah upacara yang sangat mahal, karena itu tidak banyak orang Bali yang langsung diaben saat meninggal. Orang yang langsung diaben saat meninggal biasanya adalah orang-orang berkasta tinggi. Sementara itu orang Bali berkasta Sudra yang jumlahnya sekitar 95% orang bali, biasanya terlebih dahulu menguburkan jasad keluarganya yang meninggal di perkuburan di dekat Pura Dalem. Nanti jasad di dalam kubur itu akan digali kembali untuk di'aben' bersama-sama dengan jasad-jasad lain dalam sebuah acara 'ngaben massal'. 'Ngaben' seperti ini lebih murah karena biaya ngaben ditanggung bersama diantara semua keluarga yang salah seorang anggotanya diaben. Kalau untuk mengikuti 'Ngaben' massal ini pun masih terlalu berat untuk keluarga tersebut, mereka biasanya menumpang mengaben pada acara ngaben sebuah keluarga Brahmana, jika salah seorang anggota keluarga Brahmana tersebut meninggal. Mahalnya biaya upacara ini bukanlah dari biaya pembakaran jasad orang yang meninggal tersebut, tapi biaya yang dibutuhkan untuk membeli Banten serta makanan dan minuman yang harus disediakan untuk warga sekampung yang mengikuti seluruh prosesi kegiatan itu selama berhari-hari sampai abu pembakaran di buang ke laut dan perairan air tawar.
Ngaben adalah ritual terakhir sekaligus paling penting bagi orang Bali. Orang Bali percaya bahwa hanya dengan mengaben lah tubuh fisik dan tubuh spiritual benar-benar bisa dipisahkan dengan sempurna. Setelah di'aben', tubuh fisik manusia yang berasal dari alam dikembalikan ke alam, sedangkan tubuh spiritual yang suci kembali bersatu bersama para dewa di puncak Gunung Agung dan sesekali mengunjungi keluarga yang ditinggalkan melalui 'Sanggah Kemulan' atau Pura Keluarga.
Karena alasaan itulah, semua orang Bali melakukan prosesi 'ngaben' yang sangat mahal ini terhadap anggota keluarganya yang meninggal, kecuali penduduk desa Trunyan, sebuah desa suku Bali Aga (suku Bali yang sudah menghuni pulau ini sebelum gelombang kedatangan rakyat Majapahit dari Jawa). Di sana jasad orang yang telah meninggal diletakkan di bawah sebatang pohon.
Ngaben ini tidak boleh dilakukan sendiri, tapi harus sekampung beramai-ramai. Pentingnya prosesi ngaben ini jugalah yang menyebabkan orang Bali merasa bencana terbesar dalam hidup adalah diusir dari kampungnya. Karena kalau ini terjadi, artinya tidak akan ada orang yang akan mengabeninya saat dia meninggal nanti.
Kembali ke Piodalan. Acara Piodalan sendiri juga tidak murah, untuk piodalan setiap warga desa adat harus menyumbangkan sesuatu untuk perayaan itu. Yang kaya menymbangkan uang, beras atau babi, sementara yang kurang mampu menyumbangkan tenaganya. Selain untuk Pura, dalam acara piodalan, tiap keluarga juga harus membuat 'banten' yaitu sesajen yang berisi buah dan kue-kue dan juga di tiap rumah dipasangi 'Penjor', yaitu sebatang bambu yang dihias dengan daun kelapa dan bulir-bulir padi. Setiap orang Bali mengikuti dengan setiap upacara mahal ini dengan penuh kesadaran. Tidak jarang penghasilan mereka selama sebulan habis untuk membiayai upacara semacam ini.
Tidak ada satu tempat pun di Indonesia ini yang lebih banyak dikunjungi orang asing ketimbang Bali, tapi anehnya tidak ada satu tempat pun di Indonesia ini di mana warganya berpegang begitu erat pada identitas dan kebiasaan lokalnya dibandingkan orang Bali.
Begitulah kisah perjalananku kemarin, dari Beraban sampai ke Bajera.
Dalam perjalanan singkat yang suma sekitar 2 jam itu aku bisa dengan jelas menyaksikan kehidupan dan cara hidup orang Bali di abad modern ini. Tanpa perlu sebuah Qanun yang disahkan oleh DPRD, mereka tetap bisa hidup dengan berpegang kuat pada'syari'at' agama dan kepercayaan mereka. Tanpa perlu bersikap munafik dan bermuka dua, tanpa perlu mengejar-ngejar kaum perempuan, identitas HINDU tetap melekat erat pada identitas mereka sebagai Orang BALI.
Kemudian dalam bagian akhir tulsan ini saya ingin memberikan sedikit pendapat pribadi saya mengenai orang Bali.
Berdasarkan pengalaman saya bergaul dengan orang Bali. Saya melihat perbedaan mendasar antar kita dengan orang Bali adalah; Kita gampang sekali memandang rendah dan memandang tinggi orang dan cara hidup yang berbeda dengan kita, yang kita nilai menurut standar kita. Sementara orang Bali yang saya kenal sangat berbeda, kalau tidak diganggu, mereka jarang sekali mau usil dengan nilai menilai cara hidup orang lain.
Mereka yang saya kenal tidak begitu terbiasa menganggap budaya orang lain lebih rendah atau lebih tinggi dari budaya atau cara hidup mereka. Kalau ada yang berbeda dari mereka, ya mereka menganggap itu BEDA, itu saja, tidak lebih hebat atau kurang hebat dibanding mereka.
Dan dengan ini pun saya akhiri keempat seri tulisan ini.
Lalu, sekali lagi, bagi pembaca tulisan ini yang berasal dari Bali, saya mohon maaf sebesar-besarnya jika berkaitan dengan penjelasan tentang adat, budaya dan aturan agama Hindu Bali terdapat beberapa informasi yang tidak akurat atau salah dalam keempat seri tulisan ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh yang pernah tinggal di Bali
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Notes : Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/album.php?page=1&aid=2046218&id=1524941840 dan
Tanah adalah hidup dan jiwa orang Bali, seluruh tanah yang ada di Bali sudah habis dibagi menjadi desa-desa adat yang dimiliki secara turun-temurun oleh orang Bali. Orang Bali hanya diakui sebagai Orang Bali jika mereka memiliki Desa Adat. Orang yang tidak memiliki desa adat, tidak bisa disebut orang Bali. Sementara itu desa adat adalah warisan, orang hanya bisa memiliki desa adat di Bali, jika mereka memiliki nenek moyang yang memiliki desa adat. Sebab memiliki desa adat berkaitan erat dengan tanggung jawab, bukan hak.
Orang Bali tidak pernah lepas dari nenek moyangnya, meskipun sudah meninggal, orang Bali percaya roh nenek moyang mereka tetap ada dan masih terus mengunjungi keturunan mereka. Karena itulah di setiap rumah di Bali ada pelinggih, yaitu sebuah Pura yang dibuat untuk tempat bersemyam roh anggota keluarga yang sudah meninggal jika sedang datang berkunjung. Di setiap Desa di Bali juga terdapat minimal tiga buah Pura, masing-masing satu untuk satu Dewa Tri Murti, Syiwa, Brahma dan Wisnu. Pura untuk Syiwa disebut Pura Dalem, Pura untuk Brahma disebut Pura Desa dan Pura untuk Wisnu disebut Pura Puseh. Konsep tiga pura ini dikenal dengan nama konsep Kahyangan Tiga yang diperkenalkan oleh seorang pendeta besar Hindu bernama Mpu Kuturan.
Di seluruh desa yang ada di Bali selalu ada dua kategori desa, yaitu desa adat seperti yang saya sebutkan di atas dan desa administratif. Setiap desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut 'Klian'. Kepala desa adat disebut 'Klian adat' sedangkan kepala desa administratif disebut 'klian dinas'. Di desa-desa di Bali, biasanya 'Klian adat' lebih dihormati ketimbang 'klian dinas'. Para pendatang dan orang Bali yang tinggal di luar desa adatnya, akan masuk sebagi warga desa dinas. Semua orang Bali yang merupakan anggota atau rakyat dari sebuah Desa adat, berkewajiban memelihara dan membayar iuran untuk pura-pura itu. Tapi yang 'cuma' warga desa administratif, entah itu pendatang dari luar pulau atau orang Bali sendiri yang nenek moyangnya tidak berasal dari desa itu, tidak memiliki kewajiban seperti ini.
Itulah sebabnya, meskipun pendatang di Bali secara administratif kenegaraan memiliki tanah di Bali, tapi menurut Budaya Bali, para pendatang itu hanya menumpang hidup di Bali, meskipun mereka telah hidup dari generasi ke generasi. Karena tidak memiliki kewajiban untuk memelihara Pura, mereka tetap bukan orang Bali. Seluruh pendatang yang datang ke Bali dan menetap di pulau ini harus memaklumi hal itu.
Setiap Pura Kahyangan Tiga ini diupacarai setahun sekali, acara ini dinamakan 'Piodalan', atau orang Bali lebih sering secara singkat menyebutnya 'ODALAN'. Penanggalan yang digunakan untuk menghitung hari upacara untuk setiap Pura itu bukan penanggalan masehi atau penanggalan Hindu yang dihitung dengan tahun saka. Penanggalan yang dipakai adalah penanggalan Bali, yang setahunnya cuma berisi 210 hari. Ulang tahun dan juga semua hari raya di Bali dilangasungkan dengan berpatokan kepada penanggalan ini, kecuali nyepi yang dihitung dengan Tahun Saka. Pemakaian penanggalan inilah yang menyebabkan jika kita menanyakan umur kepada orang-orang tua di Bali, tidak jarang mereka kadang menyebut umur mereka 120 tahun.
Dalam perjalanan ini aku menyaksikan sebuah acara piodalan di sebuah desa. Acara ini wajib diikuti oleh seluruh warga desa, besar dan kecil. Beberapa warga desa yang bekerja di Kuta atau Denpasar juga harus kembali ke desa adatnya untuk melakukan upacara ini. Kewajiban seperti inilah yang membuat tidak banyak orang Bali yang merantau ke luar daerah, itu karena orang Bali begitu terikat dengan tanahnya. Di Bali, saat seorang bayi lahir, ari-arinya akan ditanam di depan rumah. Orang Bali percaya kekuatan gaib (di Bali disebut Niskala) dari ari-ari ini akan melindungi si bayi dari kekuatan jahat.
Selain untuk piodalan ini, orang Bali juga harus kembali ke Desa adatnya, kalau salah seorang warga desa ini melakukan upacara ngaben, upacara terakhir untuk manusia sebelum jiwanya menjadi murni dan bersatu dengan para Dewa. Tapi upacara Ngaben ini adalah upacara yang sangat mahal, karena itu tidak banyak orang Bali yang langsung diaben saat meninggal. Orang yang langsung diaben saat meninggal biasanya adalah orang-orang berkasta tinggi. Sementara itu orang Bali berkasta Sudra yang jumlahnya sekitar 95% orang bali, biasanya terlebih dahulu menguburkan jasad keluarganya yang meninggal di perkuburan di dekat Pura Dalem. Nanti jasad di dalam kubur itu akan digali kembali untuk di'aben' bersama-sama dengan jasad-jasad lain dalam sebuah acara 'ngaben massal'. 'Ngaben' seperti ini lebih murah karena biaya ngaben ditanggung bersama diantara semua keluarga yang salah seorang anggotanya diaben. Kalau untuk mengikuti 'Ngaben' massal ini pun masih terlalu berat untuk keluarga tersebut, mereka biasanya menumpang mengaben pada acara ngaben sebuah keluarga Brahmana, jika salah seorang anggota keluarga Brahmana tersebut meninggal. Mahalnya biaya upacara ini bukanlah dari biaya pembakaran jasad orang yang meninggal tersebut, tapi biaya yang dibutuhkan untuk membeli Banten serta makanan dan minuman yang harus disediakan untuk warga sekampung yang mengikuti seluruh prosesi kegiatan itu selama berhari-hari sampai abu pembakaran di buang ke laut dan perairan air tawar.
Ngaben adalah ritual terakhir sekaligus paling penting bagi orang Bali. Orang Bali percaya bahwa hanya dengan mengaben lah tubuh fisik dan tubuh spiritual benar-benar bisa dipisahkan dengan sempurna. Setelah di'aben', tubuh fisik manusia yang berasal dari alam dikembalikan ke alam, sedangkan tubuh spiritual yang suci kembali bersatu bersama para dewa di puncak Gunung Agung dan sesekali mengunjungi keluarga yang ditinggalkan melalui 'Sanggah Kemulan' atau Pura Keluarga.
Karena alasaan itulah, semua orang Bali melakukan prosesi 'ngaben' yang sangat mahal ini terhadap anggota keluarganya yang meninggal, kecuali penduduk desa Trunyan, sebuah desa suku Bali Aga (suku Bali yang sudah menghuni pulau ini sebelum gelombang kedatangan rakyat Majapahit dari Jawa). Di sana jasad orang yang telah meninggal diletakkan di bawah sebatang pohon.
Ngaben ini tidak boleh dilakukan sendiri, tapi harus sekampung beramai-ramai. Pentingnya prosesi ngaben ini jugalah yang menyebabkan orang Bali merasa bencana terbesar dalam hidup adalah diusir dari kampungnya. Karena kalau ini terjadi, artinya tidak akan ada orang yang akan mengabeninya saat dia meninggal nanti.
Kembali ke Piodalan. Acara Piodalan sendiri juga tidak murah, untuk piodalan setiap warga desa adat harus menyumbangkan sesuatu untuk perayaan itu. Yang kaya menymbangkan uang, beras atau babi, sementara yang kurang mampu menyumbangkan tenaganya. Selain untuk Pura, dalam acara piodalan, tiap keluarga juga harus membuat 'banten' yaitu sesajen yang berisi buah dan kue-kue dan juga di tiap rumah dipasangi 'Penjor', yaitu sebatang bambu yang dihias dengan daun kelapa dan bulir-bulir padi. Setiap orang Bali mengikuti dengan setiap upacara mahal ini dengan penuh kesadaran. Tidak jarang penghasilan mereka selama sebulan habis untuk membiayai upacara semacam ini.
Tidak ada satu tempat pun di Indonesia ini yang lebih banyak dikunjungi orang asing ketimbang Bali, tapi anehnya tidak ada satu tempat pun di Indonesia ini di mana warganya berpegang begitu erat pada identitas dan kebiasaan lokalnya dibandingkan orang Bali.
Begitulah kisah perjalananku kemarin, dari Beraban sampai ke Bajera.
Dalam perjalanan singkat yang suma sekitar 2 jam itu aku bisa dengan jelas menyaksikan kehidupan dan cara hidup orang Bali di abad modern ini. Tanpa perlu sebuah Qanun yang disahkan oleh DPRD, mereka tetap bisa hidup dengan berpegang kuat pada'syari'at' agama dan kepercayaan mereka. Tanpa perlu bersikap munafik dan bermuka dua, tanpa perlu mengejar-ngejar kaum perempuan, identitas HINDU tetap melekat erat pada identitas mereka sebagai Orang BALI.
Kemudian dalam bagian akhir tulsan ini saya ingin memberikan sedikit pendapat pribadi saya mengenai orang Bali.
Berdasarkan pengalaman saya bergaul dengan orang Bali. Saya melihat perbedaan mendasar antar kita dengan orang Bali adalah; Kita gampang sekali memandang rendah dan memandang tinggi orang dan cara hidup yang berbeda dengan kita, yang kita nilai menurut standar kita. Sementara orang Bali yang saya kenal sangat berbeda, kalau tidak diganggu, mereka jarang sekali mau usil dengan nilai menilai cara hidup orang lain.
Mereka yang saya kenal tidak begitu terbiasa menganggap budaya orang lain lebih rendah atau lebih tinggi dari budaya atau cara hidup mereka. Kalau ada yang berbeda dari mereka, ya mereka menganggap itu BEDA, itu saja, tidak lebih hebat atau kurang hebat dibanding mereka.
Dan dengan ini pun saya akhiri keempat seri tulisan ini.
Lalu, sekali lagi, bagi pembaca tulisan ini yang berasal dari Bali, saya mohon maaf sebesar-besarnya jika berkaitan dengan penjelasan tentang adat, budaya dan aturan agama Hindu Bali terdapat beberapa informasi yang tidak akurat atau salah dalam keempat seri tulisan ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh yang pernah tinggal di Bali
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Notes : Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/album.php?page=1&aid=2046218&id=1524941840 dan
Selasa, 26 Januari 2010
Beraban-Bajera, Pelajaran Hidup 'Bersyari'at' Dari Orang Bali Bag 4
Tulisan ini adalah bagian ketiga dari 4 tulisan. Tulisan sebelumnya dapat dibaca di http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup.html dan http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup_22.html dan http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup_24.html
Tanah adalah hidup dan jiwa orang Bali, seluruh tanah yang ada di Bali sudah habis dibagi menjadi desa-desa adat yang dimiliki secara turun-temurun oleh orang Bali. Orang Bali hanya diakui sebagai Orang Bali jika mereka memiliki Desa Adat. Orang yang tidak memiliki desa adat, tidak bisa disebut orang Bali. Sementara itu desa adat adalah warisan, orang hanya bisa memiliki desa adat di Bali, jika mereka memiliki nenek moyang yang memiliki desa adat. Sebab memiliki desa adat berkaitan erat dengan tanggung jawab, bukan hak.
Orang Bali tidak pernah lepas dari nenek moyangnya, meskipun sudah meninggal, orang Bali percaya roh nenek moyang mereka tetap ada dan masih terus mengunjungi keturunan mereka. Karena itulah di setiap rumah di Bali ada pelinggih, yaitu sebuah Pura yang dibuat untuk tempat bersemyam roh anggota keluarga yang sudah meninggal jika sedang datang berkunjung. Di setiap Desa di Bali juga terdapat minimal tiga buah Pura, masing-masing satu untuk satu Dewa Tri Murti, Syiwa, Brahma dan Wisnu. Pura untuk Syiwa disebut Pura Dalem, Pura untuk Brahma disebut Pura Desa dan Pura untuk Wisnu disebut Pura Puseh. Konsep tiga pura ini dikenal dengan nama konsep Kahyangan Tiga yang diperkenalkan oleh seorang pendeta besar Hindu bernama Mpu Kuturan.
Di seluruh desa yang ada di Bali selalu ada dua kategori desa, yaitu desa adat seperti yang saya sebutkan di atas dan desa administratif. Setiap desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut 'Klian'. Kepala desa adat disebut 'Klian adat' sedangkan kepala desa administratif disebut 'klian dinas'. Di desa-desa di Bali, biasanya 'Klian adat' lebih dihormati ketimbang 'klian dinas'. Para pendatang dan orang Bali yang tinggal di luar desa adatnya, akan masuk sebagi warga desa dinas. Semua orang Bali yang merupakan anggota atau rakyat dari sebuah Desa adat, berkewajiban memelihara dan membayar iuran untuk pura-pura itu. Tapi yang 'cuma' warga desa administratif, entah itu pendatang dari luar pulau atau orang Bali sendiri yang nenek moyangnya tidak berasal dari desa itu, tidak memiliki kewajiban seperti ini.
Itulah sebabnya, meskipun pendatang di Bali secara administratif kenegaraan memiliki tanah di Bali, tapi menurut Budaya Bali, para pendatang itu hanya menumpang hidup di Bali, meskipun mereka telah hidup dari generasi ke generasi. Karena tidak memiliki kewajiban untuk memelihara Pura, mereka tetap bukan orang Bali. Seluruh pendatang yang datang ke Bali dan menetap di pulau ini harus memaklumi hal itu.
Setiap Pura Kahyangan Tiga ini diupacarai setahun sekali, acara ini dinamakan 'Piodalan', atau orang Bali lebih sering secara singkat menyebutnya 'ODALAN'. Penanggalan yang digunakan untuk menghitung hari upacara untuk setiap Pura itu bukan penanggalan masehi atau penanggalan Hindu yang dihitung dengan tahun saka. Penanggalan yang dipakai adalah penanggalan Bali, yang setahunnya cuma berisi 210 hari. Ulang tahun dan juga semua hari raya di Bali dilangasungkan dengan berpatokan kepada penanggalan ini, kecuali nyepi yang dihitung dengan Tahun Saka. Pemakaian penanggalan inilah yang menyebabkan jika kita menanyakan umur kepada orang-orang tua di Bali, tidak jarang mereka kadang menyebut umur mereka 120 tahun.
Dalam perjalanan ini aku menyaksikan sebuah acara piodalan di sebuah desa. Acara ini wajib diikuti oleh seluruh warga desa, besar dan kecil. Beberapa warga desa yang bekerja di Kuta atau Denpasar juga harus kembali ke desa adatnya untuk melakukan upacara ini. Kewajiban seperti inilah yang membuat tidak banyak orang Bali yang merantau ke luar daerah, itu karena orang Bali begitu terikat dengan tanahnya. Di Bali, saat seorang bayi lahir, ari-arinya akan ditanam di depan rumah. Orang Bali percaya kekuatan gaib (di Bali disebut Niskala) dari ari-ari ini akan melindungi si bayi dari kekuatan jahat.
Selain untuk piodalan ini, orang Bali juga harus kembali ke Desa adatnya, kalau salah seorang warga desa ini melakukan upacara ngaben, upacara terakhir untuk manusia sebelum jiwanya menjadi murni dan bersatu dengan para Dewa. Tapi upacara Ngaben ini adalah upacara yang sangat mahal, karena itu tidak banyak orang Bali yang langsung diaben saat meninggal. Orang yang langsung diaben saat meninggal biasanya adalah orang-orang berkasta tinggi. Sementara itu orang Bali berkasta Sudra yang jumlahnya sekitar 95% orang bali, biasanya terlebih dahulu menguburkan jasad keluarganya yang meninggal di perkuburan di dekat Pura Dalem. Nanti jasad di dalam kubur itu akan digali kembali untuk di'aben' bersama-sama dengan jasad-jasad lain dalam sebuah acara 'ngaben massal'. 'Ngaben' seperti ini lebih murah karena biaya ngaben ditanggung bersama diantara semua keluarga yang salah seorang anggotanya diaben. Kalau untuk mengikuti 'Ngaben' massal ini pun masih terlalu berat untuk keluarga tersebut, mereka biasanya menumpang mengaben pada acara ngaben sebuah keluarga Brahmana, jika salah seorang anggota keluarga Brahmana tersebut meninggal. Mahalnya biaya upacara ini bukanlah dari biaya pembakaran jasad orang yang meninggal tersebut, tapi biaya yang dibutuhkan untuk membeli Banten serta makanan dan minuman yang harus disediakan untuk warga sekampung yang mengikuti seluruh prosesi kegiatan itu selama berhari-hari sampai abu pembakaran di buang ke laut dan perairan air tawar.
Ngaben adalah ritual terakhir sekaligus paling penting bagi orang Bali. Orang Bali percaya bahwa hanya dengan mengaben lah tubuh fisik dan tubuh spiritual benar-benar bisa dipisahkan dengan sempurna. Setelah di'aben', tubuh fisik manusia yang berasal dari alam dikembalikan ke alam, sedangkan tubuh spiritual yang suci kembali bersatu bersama para dewa di puncak Gunung Agung dan sesekali mengunjungi keluarga yang ditinggalkan melalui 'Sanggah Kemulan' atau Pura Keluarga.
Karena alasaan itulah, semua orang Bali melakukan prosesi 'ngaben' yang sangat mahal ini terhadap anggota keluarganya yang meninggal, kecuali penduduk desa Trunyan, sebuah desa suku Bali Aga (suku Bali yang sudah menghuni pulau ini sebelum gelombang kedatangan rakyat Majapahit dari Jawa). Di sana jasad orang yang telah meninggal diletakkan di bawah sebatang pohon.
Ngaben ini tidak boleh dilakukan sendiri, tapi harus sekampung beramai-ramai. Pentingnya prosesi ngaben ini jugalah yang menyebabkan orang Bali merasa bencana terbesar dalam hidup adalah diusir dari kampungnya. Karena kalau ini terjadi, artinya tidak akan ada orang yang akan mengabeninya saat dia meninggal nanti.
Kembali ke Piodalan. Acara Piodalan sendiri juga tidak murah, untuk piodalan setiap warga desa adat harus menyumbangkan sesuatu untuk perayaan itu. Yang kaya menymbangkan uang, beras atau babi, sementara yang kurang mampu menyumbangkan tenaganya. Selain untuk Pura, dalam acara piodalan, tiap keluarga juga harus membuat 'banten' yaitu sesajen yang berisi buah dan kue-kue dan juga di tiap rumah dipasangi 'Penjor', yaitu sebatang bambu yang dihias dengan daun kelapa dan bulir-bulir padi. Setiap orang Bali mengikuti dengan setiap upacara mahal ini dengan penuh kesadaran. Tidak jarang penghasilan mereka selama sebulan habis untuk membiayai upacara semacam ini.
Tidak ada satu tempat pun di Indonesia ini yang lebih banyak dikunjungi orang asing ketimbang Bali, tapi anehnya tidak ada satu tempat pun di Indonesia ini di mana warganya berpegang begitu erat pada identitas dan kebiasaan lokalnya dibandingkan orang Bali.
Begitulah kisah perjalananku kemarin, dari Beraban sampai ke Bajera.
Dalam perjalanan singkat yang suma sekitar 2 jam itu aku bisa dengan jelas menyaksikan kehidupan dan cara hidup orang Bali di abad modern ini. Tanpa perlu sebuah Qanun yang disahkan oleh DPRD, mereka tetap bisa hidup dengan berpegang kuat pada'syari'at' agama dan kepercayaan mereka. Tanpa perlu bersikap munafik dan bermuka dua, tanpa perlu mengejar-ngejar kaum perempuan, identitas HINDU tetap melekat erat pada identitas mereka sebagai Orang BALI.
Kemudian dalam bagian akhir tulsan ini saya ingin memberikan sedikit pendapat pribadi saya mengenai orang Bali.
Berdasarkan pengalaman saya bergaul dengan orang Bali. Saya melihat perbedaan mendasar antar kita dengan orang Bali adalah; Kita gampang sekali memandang rendah dan memandang tinggi orang dan cara hidup yang berbeda dengan kita, yang kita nilai menurut standar kita. Sementara orang Bali yang saya kenal sangat berbeda, kalau tidak diganggu, mereka jarang sekali mau usil dengan nilai menilai cara hidup orang lain.
Mereka yang saya kenal tidak begitu terbiasa menganggap budaya orang lain lebih rendah atau lebih tinggi dari budaya atau cara hidup mereka. Kalau ada yang berbeda dari mereka, ya mereka menganggap itu BEDA, itu saja, tidak lebih hebat atau kurang hebat dibanding mereka.
Dan dengan ini pun saya akhiri keempat seri tulisan ini.
Lalu, sekali lagi, bagi pembaca tulisan ini yang berasal dari Bali, saya mohon maaf sebesar-besarnya jika berkaitan dengan penjelasan tentang adat, budaya dan aturan agama Hindu Bali terdapat beberapa informasi yang tidak akurat atau salah dalam keempat seri tulisan ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh yang pernah tinggal di Bali
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Notes : Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/album.php?page=1&aid=2046218&id=1524941840 dan
Tanah adalah hidup dan jiwa orang Bali, seluruh tanah yang ada di Bali sudah habis dibagi menjadi desa-desa adat yang dimiliki secara turun-temurun oleh orang Bali. Orang Bali hanya diakui sebagai Orang Bali jika mereka memiliki Desa Adat. Orang yang tidak memiliki desa adat, tidak bisa disebut orang Bali. Sementara itu desa adat adalah warisan, orang hanya bisa memiliki desa adat di Bali, jika mereka memiliki nenek moyang yang memiliki desa adat. Sebab memiliki desa adat berkaitan erat dengan tanggung jawab, bukan hak.
Orang Bali tidak pernah lepas dari nenek moyangnya, meskipun sudah meninggal, orang Bali percaya roh nenek moyang mereka tetap ada dan masih terus mengunjungi keturunan mereka. Karena itulah di setiap rumah di Bali ada pelinggih, yaitu sebuah Pura yang dibuat untuk tempat bersemyam roh anggota keluarga yang sudah meninggal jika sedang datang berkunjung. Di setiap Desa di Bali juga terdapat minimal tiga buah Pura, masing-masing satu untuk satu Dewa Tri Murti, Syiwa, Brahma dan Wisnu. Pura untuk Syiwa disebut Pura Dalem, Pura untuk Brahma disebut Pura Desa dan Pura untuk Wisnu disebut Pura Puseh. Konsep tiga pura ini dikenal dengan nama konsep Kahyangan Tiga yang diperkenalkan oleh seorang pendeta besar Hindu bernama Mpu Kuturan.
Di seluruh desa yang ada di Bali selalu ada dua kategori desa, yaitu desa adat seperti yang saya sebutkan di atas dan desa administratif. Setiap desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut 'Klian'. Kepala desa adat disebut 'Klian adat' sedangkan kepala desa administratif disebut 'klian dinas'. Di desa-desa di Bali, biasanya 'Klian adat' lebih dihormati ketimbang 'klian dinas'. Para pendatang dan orang Bali yang tinggal di luar desa adatnya, akan masuk sebagi warga desa dinas. Semua orang Bali yang merupakan anggota atau rakyat dari sebuah Desa adat, berkewajiban memelihara dan membayar iuran untuk pura-pura itu. Tapi yang 'cuma' warga desa administratif, entah itu pendatang dari luar pulau atau orang Bali sendiri yang nenek moyangnya tidak berasal dari desa itu, tidak memiliki kewajiban seperti ini.
Itulah sebabnya, meskipun pendatang di Bali secara administratif kenegaraan memiliki tanah di Bali, tapi menurut Budaya Bali, para pendatang itu hanya menumpang hidup di Bali, meskipun mereka telah hidup dari generasi ke generasi. Karena tidak memiliki kewajiban untuk memelihara Pura, mereka tetap bukan orang Bali. Seluruh pendatang yang datang ke Bali dan menetap di pulau ini harus memaklumi hal itu.
Setiap Pura Kahyangan Tiga ini diupacarai setahun sekali, acara ini dinamakan 'Piodalan', atau orang Bali lebih sering secara singkat menyebutnya 'ODALAN'. Penanggalan yang digunakan untuk menghitung hari upacara untuk setiap Pura itu bukan penanggalan masehi atau penanggalan Hindu yang dihitung dengan tahun saka. Penanggalan yang dipakai adalah penanggalan Bali, yang setahunnya cuma berisi 210 hari. Ulang tahun dan juga semua hari raya di Bali dilangasungkan dengan berpatokan kepada penanggalan ini, kecuali nyepi yang dihitung dengan Tahun Saka. Pemakaian penanggalan inilah yang menyebabkan jika kita menanyakan umur kepada orang-orang tua di Bali, tidak jarang mereka kadang menyebut umur mereka 120 tahun.
Dalam perjalanan ini aku menyaksikan sebuah acara piodalan di sebuah desa. Acara ini wajib diikuti oleh seluruh warga desa, besar dan kecil. Beberapa warga desa yang bekerja di Kuta atau Denpasar juga harus kembali ke desa adatnya untuk melakukan upacara ini. Kewajiban seperti inilah yang membuat tidak banyak orang Bali yang merantau ke luar daerah, itu karena orang Bali begitu terikat dengan tanahnya. Di Bali, saat seorang bayi lahir, ari-arinya akan ditanam di depan rumah. Orang Bali percaya kekuatan gaib (di Bali disebut Niskala) dari ari-ari ini akan melindungi si bayi dari kekuatan jahat.
Selain untuk piodalan ini, orang Bali juga harus kembali ke Desa adatnya, kalau salah seorang warga desa ini melakukan upacara ngaben, upacara terakhir untuk manusia sebelum jiwanya menjadi murni dan bersatu dengan para Dewa. Tapi upacara Ngaben ini adalah upacara yang sangat mahal, karena itu tidak banyak orang Bali yang langsung diaben saat meninggal. Orang yang langsung diaben saat meninggal biasanya adalah orang-orang berkasta tinggi. Sementara itu orang Bali berkasta Sudra yang jumlahnya sekitar 95% orang bali, biasanya terlebih dahulu menguburkan jasad keluarganya yang meninggal di perkuburan di dekat Pura Dalem. Nanti jasad di dalam kubur itu akan digali kembali untuk di'aben' bersama-sama dengan jasad-jasad lain dalam sebuah acara 'ngaben massal'. 'Ngaben' seperti ini lebih murah karena biaya ngaben ditanggung bersama diantara semua keluarga yang salah seorang anggotanya diaben. Kalau untuk mengikuti 'Ngaben' massal ini pun masih terlalu berat untuk keluarga tersebut, mereka biasanya menumpang mengaben pada acara ngaben sebuah keluarga Brahmana, jika salah seorang anggota keluarga Brahmana tersebut meninggal. Mahalnya biaya upacara ini bukanlah dari biaya pembakaran jasad orang yang meninggal tersebut, tapi biaya yang dibutuhkan untuk membeli Banten serta makanan dan minuman yang harus disediakan untuk warga sekampung yang mengikuti seluruh prosesi kegiatan itu selama berhari-hari sampai abu pembakaran di buang ke laut dan perairan air tawar.
Ngaben adalah ritual terakhir sekaligus paling penting bagi orang Bali. Orang Bali percaya bahwa hanya dengan mengaben lah tubuh fisik dan tubuh spiritual benar-benar bisa dipisahkan dengan sempurna. Setelah di'aben', tubuh fisik manusia yang berasal dari alam dikembalikan ke alam, sedangkan tubuh spiritual yang suci kembali bersatu bersama para dewa di puncak Gunung Agung dan sesekali mengunjungi keluarga yang ditinggalkan melalui 'Sanggah Kemulan' atau Pura Keluarga.
Karena alasaan itulah, semua orang Bali melakukan prosesi 'ngaben' yang sangat mahal ini terhadap anggota keluarganya yang meninggal, kecuali penduduk desa Trunyan, sebuah desa suku Bali Aga (suku Bali yang sudah menghuni pulau ini sebelum gelombang kedatangan rakyat Majapahit dari Jawa). Di sana jasad orang yang telah meninggal diletakkan di bawah sebatang pohon.
Ngaben ini tidak boleh dilakukan sendiri, tapi harus sekampung beramai-ramai. Pentingnya prosesi ngaben ini jugalah yang menyebabkan orang Bali merasa bencana terbesar dalam hidup adalah diusir dari kampungnya. Karena kalau ini terjadi, artinya tidak akan ada orang yang akan mengabeninya saat dia meninggal nanti.
Kembali ke Piodalan. Acara Piodalan sendiri juga tidak murah, untuk piodalan setiap warga desa adat harus menyumbangkan sesuatu untuk perayaan itu. Yang kaya menymbangkan uang, beras atau babi, sementara yang kurang mampu menyumbangkan tenaganya. Selain untuk Pura, dalam acara piodalan, tiap keluarga juga harus membuat 'banten' yaitu sesajen yang berisi buah dan kue-kue dan juga di tiap rumah dipasangi 'Penjor', yaitu sebatang bambu yang dihias dengan daun kelapa dan bulir-bulir padi. Setiap orang Bali mengikuti dengan setiap upacara mahal ini dengan penuh kesadaran. Tidak jarang penghasilan mereka selama sebulan habis untuk membiayai upacara semacam ini.
Tidak ada satu tempat pun di Indonesia ini yang lebih banyak dikunjungi orang asing ketimbang Bali, tapi anehnya tidak ada satu tempat pun di Indonesia ini di mana warganya berpegang begitu erat pada identitas dan kebiasaan lokalnya dibandingkan orang Bali.
Begitulah kisah perjalananku kemarin, dari Beraban sampai ke Bajera.
Dalam perjalanan singkat yang suma sekitar 2 jam itu aku bisa dengan jelas menyaksikan kehidupan dan cara hidup orang Bali di abad modern ini. Tanpa perlu sebuah Qanun yang disahkan oleh DPRD, mereka tetap bisa hidup dengan berpegang kuat pada'syari'at' agama dan kepercayaan mereka. Tanpa perlu bersikap munafik dan bermuka dua, tanpa perlu mengejar-ngejar kaum perempuan, identitas HINDU tetap melekat erat pada identitas mereka sebagai Orang BALI.
Kemudian dalam bagian akhir tulsan ini saya ingin memberikan sedikit pendapat pribadi saya mengenai orang Bali.
Berdasarkan pengalaman saya bergaul dengan orang Bali. Saya melihat perbedaan mendasar antar kita dengan orang Bali adalah; Kita gampang sekali memandang rendah dan memandang tinggi orang dan cara hidup yang berbeda dengan kita, yang kita nilai menurut standar kita. Sementara orang Bali yang saya kenal sangat berbeda, kalau tidak diganggu, mereka jarang sekali mau usil dengan nilai menilai cara hidup orang lain.
Mereka yang saya kenal tidak begitu terbiasa menganggap budaya orang lain lebih rendah atau lebih tinggi dari budaya atau cara hidup mereka. Kalau ada yang berbeda dari mereka, ya mereka menganggap itu BEDA, itu saja, tidak lebih hebat atau kurang hebat dibanding mereka.
Dan dengan ini pun saya akhiri keempat seri tulisan ini.
Lalu, sekali lagi, bagi pembaca tulisan ini yang berasal dari Bali, saya mohon maaf sebesar-besarnya jika berkaitan dengan penjelasan tentang adat, budaya dan aturan agama Hindu Bali terdapat beberapa informasi yang tidak akurat atau salah dalam keempat seri tulisan ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh yang pernah tinggal di Bali
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Notes : Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/album.php?page=1&aid=2046218&id=1524941840 dan
Minggu, 24 Januari 2010
Beraban-Bajera, Pelajaran Hidup 'Bersyari'at' Dari Orang Bali Bag 3
Tulisan ini adalah bagian ketiga dari 4 tulisan. Tulisan sebelumnya dapat dibaca di http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup.html dan http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup_22.html
Keluar dari area persawahan, aku melintasi banyak desa-desa kecil khas Bali. Orang Bali selalu tinggal berkumpul di satu lokasi yang disebut desa ini, sementara lahan sisanya adalah persawahan dan kebun. Pemandangan di perkampungan di Bali juga benar-benar khas, tidak bisa kita temui di daerah manapun di Indonesia.
Rumah di desa-desa di Bali disebut 'Kuren'. Setiap 'kuren' di Bali dipagar tembok setinggi leher dengan meninggalkan satu pintu sempit untuk masuk. Ini untuk menghindari masuknya roh jahat dan kekuatan negatif yang disebut Buta Kala.
Supaya Buta Kala tidak masuk melalui gerbang tersebut. Di depan setiap pintu gerbang itu selalu kita temui sesajen kecil yang dibuat dari daun pisang atau daun kelapa berisi bunga, daun pandan yang dirajang dan makanan, bisa berupa ketan, nasi atau biskuit. Kadang ada juga berisi uang logam atau uang kertas seribuan. Ini dimaksudkan supaya Buta Kala merasa senang memakan sesajen itu dan kemudian pergi, tidak masuk ke rumah tersebut. Kadang, di belakang gerbang itu juga dibuat sebuah tembok penghalang yang didepannya ditempatkan sebuah patung dewa berkepala gajah bernama Ganesha, yang merupakan putra dari Syiwa dari Istrinya yang bernama Parwati. Ganesha ditempatkan di sana karena orang bali percaya Buta Kala yang berniat masuk ke rumah akan gentar melihat keberadaan Ganesha yang sakti. Tidak jarang pula di bagian atas gerbang itu dihiasi dengan lambang swatika, yang merupakan lambang dari 'dewata nawa sanga' yaitu sembilan dewa yang menjaga sembilan penjuru. Lambang yang pernah digunakan Hitler untuk lambang Nazi, partai fasis yang didirikannya, sehingga sampai sekarang tidak sedikit orang eropa yang berkunjung ke Bali yang merasa gentar melihat lambang tersebut yang ada di mana-mana.
Di kedua sisi pintu gerbang yang tertutup di bagian atasnya itu terdapat dua buah tempat sesajen yang disebut 'apit lawang', yang ditempatkan di sana sebagai tempat sesajen untuk para Dewa yang melindungi rumah ini.
Bagian dalam pagar setinggi leher itu disebut 'pekarangan'. Dalam 'pekarangan' ini terdapat bangunan-bangunan rumah Bali yang sangat berbeda dengan rumah-rumah yang ada di desa-desa di Indonesia pada umumnya. Jika rumah-rumah di Indonesia, seluruh aktifitas keluarga berlangsung di dalam satu bangunan tidak demikian halnya di Bali. Dalam 'pekarangan' rumah Bali terdapat beberapa bangunan yang memiliki masing-masing fungsi. Di sana ada 'Sanggah Kemulan' yang merupakan Pura keluarga sekaligus juga bangunan paling suci dalam pekarangan. Di dalam 'sanggah kemulan' ini terdapat beberapa 'sanggah' atau bangunan kecil tempat sesajen. sanggah utama adalah sanggah yang dibangun untuk tempat bersemayamnya roh nenek moyang dan anggota keluarga yang telah meninggal, sanggah ini berpintu tiga. Kemudian ada sanggah kecil berpintu dua yang dibuat untuk menghormati dua gunung suci yaitu gunung Agung dan pasangannya gunung Batur. Kemudian dalam 'sanggah kemulan' juga terdapat dua sanggah lain yang dinamakan 'Taksu' dan 'Ngrurah' yang merupakan sekretaris dan penerjemah para dewa.
Di sebelah kiri 'Sanggah Kemulan' terdapat bangunan yang disebut 'Meten', 'Meten' ini adalah bangunan tempat tidur kepala keluarga yang tinggal dalam pekarangan ini. Kemudian di sana terdapat bangunan lain berupa 'Bale', yaitu bangunan berisi ranjang tapi tidak berdinding, ini adalah tempat untuk anak-anak keluarga Bali tidur dan juga para tetamu yang berkunjung. Pada umumnya dalam rumah Bali ada tiga buah 'Bale', yaitu 'Bale Tiang Sanga', 'Bale Sakepat' dan 'Bale Sakenam'. Pada keluarga Bali dari kasta yang lebih tinggi, terdapat sebuah 'Bale Gede'.
Ditempat terpisah, terdapat bangunan 'Paon' (dapur), Lumbung, tempat menumbuk padi, tempat sampah dan kandang Babi.
Semua bangunan itu tidak ditempatkan dan dibuat dengan ukuran sembarangan, semua bangunan dalam pekarangan rumah Bali ditempatkan sesuai tingkat kesuciannya, sesuai dengan TRI HITA KARANA, tiga prinsip yang dianut oleh orang Bali, yaitu 'Parahiyangan', menghormati para Dewa, 'Pewawongan', menghormati Manusia dan 'pelemahan', menghormati alam.
Di desa-desa atau tepian sawah di Bali seringkali kita menemui pohon yang dilingkari dengan kain berwarna hitam putih seperti petak catur. Oleh orang Bali, pohon-pohon seperti itu dipercaya memiliki roh penghuni, sehingga tidak jarang di bawah pohon itu dibuat sebuah Pura kecil untuk menaruh sesajen. Apa yang mereka lakukan pada pohon-pohon itu adalah salah satu manifestasi dari 'pelemahan' yaitu sikap orang Bali yang menghormati alam.
Setiap arah di Bali memiliki kadar kesucian yang berbeda-beda, sebagaimana saya sebut dalam bagian kedua tulisan ini, kadar kesucian di Bali merujuk pada tinggi dan rendah, kesucian suatu arah juga demikian. Arah yang paling suci bagi orang Bali adalah arah yang merujuk kepada tempat yang tinggi, yaitu gunung. Arah ini disebut 'KAJA', sebaliknya arah yang paling tidak suci adalah arah yang menunjuk ke tempat yang rendah yaitu laut, arah ini disebut 'KELOD'.
'KAJA' dan 'KELOD' tidak sama bagi orang yang tinggal di Bali Selatan dan Bali Utara, bagi orang yang tinggal di Bali Selatan (mayoritas orang Bali tinggal di sini) 'KAJA' ada di utara, sedangkan bagi orang Bali Utara, 'KAJA' ada di Selatan. Sebagai pembagi Utara dan Selatan pulau adalah puncak gunung Agung.
Kemudian arah yang lain, Kangin adalah arah tempat terbitnya matahari, arah ini lebih suci ketimbang arah tenggelamnya matahari.
Arah inilah yang menjadi acuan dalam menempatkan bangunan dalam pekarangan rumah Bali. 'Sanggah Kemulan' yang merupakan bangunan paling suci selalu terletak di bagian yang paling suci, yaitu KAJA KANGIN, yaitu arah gunung dan terbitnya matahari, sebaliknya tempat sampah dan kandang Babi selalu diletakkan di arah yang paling tidak suci yaitu KELOD KAUH, yaitu arah laut dan tenggelamnya matahari.
Jadi kalau suatu saat anda berkunjung ke Bali dan saat mengemudi tiba-tiba kehilangan arah dan orientasi jalan, lihat saja letak 'Sanggah Kemulan'(Pura Keluarga) yang ada di setiap rumah Bali. Kalau anda berada di bagian selatan pulau, bangunan itu selalu terletak di utara. Tapi ini tidak berlaku jika anda bicara di wilayah kabupaten Tabanan, karena khusus untuk wilayah ini warga selalu menempatkan Sanggah Kemulan di bagian rumah yang menghadap jalan.
Dalam sebuah pekarangan rumah Bali tidak selalu hanya diisi oleh satu keluarga, kadang dalam satu pekarangan itu tinggal beberapa keluarga yang tiap kepala keuarganya adalah beberapa anak laki-laki yang sudah menikah yang terlahir dari orang tua yang sama.
Karena bagi orang Bali, rumah sebagaimana halnya semua objek di alam memiliki jiwa, maka mereka meyakini agar rumah ini nyaman ditempati,jiwa yang dimiliki oleh rumah yang akan ditempati harus dibuat harmonis dengan jiwa orang yang akan menempati. Agar jiwa rumah yang ditempati bisa harmonis dengan jiwa orang yang akan menempatinya, maka setiap ukuran dalam rumah di Bali dibuat sesuai dengan ukuran tubuh kepala keluarga yang akan menempati rumah itu. Itulah sebabnya setiap ukuran dalam rumah Bali tidak pernah sama, ini karena setiap ukuran dalam rumah Bali tidak diukur dengan satuan Centimeter atau Meter sebagaimana kita kenal. Setiap ukuran panjang,lebar dan tinggi dalam rumah Bali diukur dengan satuan 'Tampel' dan 'Tampak', yang merupakan ukuran panjang dan lebar, telapak kaki si kepala keluarga.
Yang menentukan semua itu dan yang menentukan di mana setiap bangunan diletakkan adalah seorang arsitek tradisional yang disebut UNDAGI, yang mendapatkan keahlian arsitekturnya secara turun-temurun.
Di rumah Bali tidak ada ruang makan, karena itulah dalam keluarga Bali tidak ada acara makan bersama sekeluarga di satu meja atau di tikar. Di Bali siapapun anggota keluarga yang merasa lapar dia langsung ke dapur untuk mengambil makanan lalu mencari tempat duduk di salah satu bangunan di Pekarangan, entah itu di lumbung atau di 'Bale'.
Secara umum bisa dikatakan bahwa rumah Bali juga tidak memiliki perabotan.
Di samping tidak adanya ruang makan, di rumah Bali juga tidak ada kamar mandi. Kegiatan mandi, mencuci dan mengambil air semua dilakukan di sungai.
Di sungai kita sering melihat orang Bali, laki perempuan, tua muda mandi di sungai yang sama. Kadang perempuan Bali yang mandi di sungai itu (terutama yang masih gadis) menutupi bagian atas tubuhnya dengan kain atau BH, tapi tidak sedikit pula yang membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka. Dalam perjalanan ini aku sering menemui laki-laki dan perempuan Bali yang sedang mencuci atau mandi di sungai yang ada di tepi jalan.
Kemudian ketika kita melintasi jalanan yang membelah desa-desa Bali, kita pasti sering melihat kurungan ayam berjejer di pinggir jalan, di depan pekarangan rumah-rumah Bali itu. Ayam-ayam dalam kurungan ini bukan untuk dijual, ayam-ayam tesebut adalah ayam-ayam jantan pilihan yang dipelihara dari sejak menetas sampai ayam itu mencapai umur kurang lebih satu tahun. Ayam-ayam ini dipelihara dengan sangat telaten dan dirawat dengan penuh ketelitian, setiap hari ayam ini dimandikan, dipijat dan diberi jamu agar otot-ototnya kuat sampai nanti sang ayam dianggap siap untuk diadu sampai mati dalam prosesi yang disebut 'Tajen'. Prosesi Tajen ini sendiri, mulai dari ayam dilepas sampai salah satunya terkapar atau mati, maksimal cuma memakan waktu 5 menit saja.
Prosesi ini dinamakan Tajen karena di kaki ayam-ayam yang diadu itu dipasangi taji, berupa pisau tajam kecil selebar jari kelingking. Pisau inilah yang membunuh ayam yang diadu tersebut dengan cepat. Jika dalam waktu 3 menit belum ada ayam yang mati, atau terkapar tak berdaya. Kedua ayam itu akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam kurungan dan kembali bertarung di sana, biasanya setelah diadu di dalam kurungan ini. Maksimal 2 menit salah satu dari kedua ayam itu akan mati. Daging ayam yang kalah ini biasanya sudah ditunggu para tukang Bakso yang dengan sabar menanti di pinggir jalan. Oleh tukang bakso, daging dari ayam yang dirawat dengan telaten mulai dari menetas hingga kurang lebih satu tahun ini akan menjadikannya sebagai bahan pelezat kuah bakso dagangan mereka esok hari.
Pada prinsipnya 'Tajen' yang menumpahkan darah ini adalah sebuah persembahan untuk Dewa, agar desa terhindar dari mara bahaya. Karena itulah biasanya najen dilakukan di Pura. Tapi belakangan, 'Tajen' ini disalahgunakan menjadi kegiatan berjudi yang berkembang menjadi kegemaran setiap laki-laki Bali. Tapi, sejak Made Mangku Pastika (sekarang Gubernur Bali) menjabat sebagai Kapolda, kegiatan 'Tajen' untuk berjudi ini secara resmi dilarang. Hanya karena ini sudah menjadi bagian dari keseharian orang Bali, sampai hari ini tetap saja kita dapat menemukan kegiatan 'Tajen'untuk kegiatan berjudi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Bersambung...
Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/album.php?page=1&aid=2046218&id=1524941840
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Notes : Bagi pembaca tulisan ini yang berasal dari Bali, saya mohon maaf sebesar-besarnya jika dalam tulisan ini, berkaitan dengan penjelasan tentang adat, budaya dan aturan agama Hindu Bali terdapat beberapa informasi yang tidak akurat atau salah.
Keluar dari area persawahan, aku melintasi banyak desa-desa kecil khas Bali. Orang Bali selalu tinggal berkumpul di satu lokasi yang disebut desa ini, sementara lahan sisanya adalah persawahan dan kebun. Pemandangan di perkampungan di Bali juga benar-benar khas, tidak bisa kita temui di daerah manapun di Indonesia.
Rumah di desa-desa di Bali disebut 'Kuren'. Setiap 'kuren' di Bali dipagar tembok setinggi leher dengan meninggalkan satu pintu sempit untuk masuk. Ini untuk menghindari masuknya roh jahat dan kekuatan negatif yang disebut Buta Kala.
Supaya Buta Kala tidak masuk melalui gerbang tersebut. Di depan setiap pintu gerbang itu selalu kita temui sesajen kecil yang dibuat dari daun pisang atau daun kelapa berisi bunga, daun pandan yang dirajang dan makanan, bisa berupa ketan, nasi atau biskuit. Kadang ada juga berisi uang logam atau uang kertas seribuan. Ini dimaksudkan supaya Buta Kala merasa senang memakan sesajen itu dan kemudian pergi, tidak masuk ke rumah tersebut. Kadang, di belakang gerbang itu juga dibuat sebuah tembok penghalang yang didepannya ditempatkan sebuah patung dewa berkepala gajah bernama Ganesha, yang merupakan putra dari Syiwa dari Istrinya yang bernama Parwati. Ganesha ditempatkan di sana karena orang bali percaya Buta Kala yang berniat masuk ke rumah akan gentar melihat keberadaan Ganesha yang sakti. Tidak jarang pula di bagian atas gerbang itu dihiasi dengan lambang swatika, yang merupakan lambang dari 'dewata nawa sanga' yaitu sembilan dewa yang menjaga sembilan penjuru. Lambang yang pernah digunakan Hitler untuk lambang Nazi, partai fasis yang didirikannya, sehingga sampai sekarang tidak sedikit orang eropa yang berkunjung ke Bali yang merasa gentar melihat lambang tersebut yang ada di mana-mana.
Di kedua sisi pintu gerbang yang tertutup di bagian atasnya itu terdapat dua buah tempat sesajen yang disebut 'apit lawang', yang ditempatkan di sana sebagai tempat sesajen untuk para Dewa yang melindungi rumah ini.
Bagian dalam pagar setinggi leher itu disebut 'pekarangan'. Dalam 'pekarangan' ini terdapat bangunan-bangunan rumah Bali yang sangat berbeda dengan rumah-rumah yang ada di desa-desa di Indonesia pada umumnya. Jika rumah-rumah di Indonesia, seluruh aktifitas keluarga berlangsung di dalam satu bangunan tidak demikian halnya di Bali. Dalam 'pekarangan' rumah Bali terdapat beberapa bangunan yang memiliki masing-masing fungsi. Di sana ada 'Sanggah Kemulan' yang merupakan Pura keluarga sekaligus juga bangunan paling suci dalam pekarangan. Di dalam 'sanggah kemulan' ini terdapat beberapa 'sanggah' atau bangunan kecil tempat sesajen. sanggah utama adalah sanggah yang dibangun untuk tempat bersemayamnya roh nenek moyang dan anggota keluarga yang telah meninggal, sanggah ini berpintu tiga. Kemudian ada sanggah kecil berpintu dua yang dibuat untuk menghormati dua gunung suci yaitu gunung Agung dan pasangannya gunung Batur. Kemudian dalam 'sanggah kemulan' juga terdapat dua sanggah lain yang dinamakan 'Taksu' dan 'Ngrurah' yang merupakan sekretaris dan penerjemah para dewa.
Di sebelah kiri 'Sanggah Kemulan' terdapat bangunan yang disebut 'Meten', 'Meten' ini adalah bangunan tempat tidur kepala keluarga yang tinggal dalam pekarangan ini. Kemudian di sana terdapat bangunan lain berupa 'Bale', yaitu bangunan berisi ranjang tapi tidak berdinding, ini adalah tempat untuk anak-anak keluarga Bali tidur dan juga para tetamu yang berkunjung. Pada umumnya dalam rumah Bali ada tiga buah 'Bale', yaitu 'Bale Tiang Sanga', 'Bale Sakepat' dan 'Bale Sakenam'. Pada keluarga Bali dari kasta yang lebih tinggi, terdapat sebuah 'Bale Gede'.
Ditempat terpisah, terdapat bangunan 'Paon' (dapur), Lumbung, tempat menumbuk padi, tempat sampah dan kandang Babi.
Semua bangunan itu tidak ditempatkan dan dibuat dengan ukuran sembarangan, semua bangunan dalam pekarangan rumah Bali ditempatkan sesuai tingkat kesuciannya, sesuai dengan TRI HITA KARANA, tiga prinsip yang dianut oleh orang Bali, yaitu 'Parahiyangan', menghormati para Dewa, 'Pewawongan', menghormati Manusia dan 'pelemahan', menghormati alam.
Di desa-desa atau tepian sawah di Bali seringkali kita menemui pohon yang dilingkari dengan kain berwarna hitam putih seperti petak catur. Oleh orang Bali, pohon-pohon seperti itu dipercaya memiliki roh penghuni, sehingga tidak jarang di bawah pohon itu dibuat sebuah Pura kecil untuk menaruh sesajen. Apa yang mereka lakukan pada pohon-pohon itu adalah salah satu manifestasi dari 'pelemahan' yaitu sikap orang Bali yang menghormati alam.
Setiap arah di Bali memiliki kadar kesucian yang berbeda-beda, sebagaimana saya sebut dalam bagian kedua tulisan ini, kadar kesucian di Bali merujuk pada tinggi dan rendah, kesucian suatu arah juga demikian. Arah yang paling suci bagi orang Bali adalah arah yang merujuk kepada tempat yang tinggi, yaitu gunung. Arah ini disebut 'KAJA', sebaliknya arah yang paling tidak suci adalah arah yang menunjuk ke tempat yang rendah yaitu laut, arah ini disebut 'KELOD'.
'KAJA' dan 'KELOD' tidak sama bagi orang yang tinggal di Bali Selatan dan Bali Utara, bagi orang yang tinggal di Bali Selatan (mayoritas orang Bali tinggal di sini) 'KAJA' ada di utara, sedangkan bagi orang Bali Utara, 'KAJA' ada di Selatan. Sebagai pembagi Utara dan Selatan pulau adalah puncak gunung Agung.
Kemudian arah yang lain, Kangin adalah arah tempat terbitnya matahari, arah ini lebih suci ketimbang arah tenggelamnya matahari.
Arah inilah yang menjadi acuan dalam menempatkan bangunan dalam pekarangan rumah Bali. 'Sanggah Kemulan' yang merupakan bangunan paling suci selalu terletak di bagian yang paling suci, yaitu KAJA KANGIN, yaitu arah gunung dan terbitnya matahari, sebaliknya tempat sampah dan kandang Babi selalu diletakkan di arah yang paling tidak suci yaitu KELOD KAUH, yaitu arah laut dan tenggelamnya matahari.
Jadi kalau suatu saat anda berkunjung ke Bali dan saat mengemudi tiba-tiba kehilangan arah dan orientasi jalan, lihat saja letak 'Sanggah Kemulan'(Pura Keluarga) yang ada di setiap rumah Bali. Kalau anda berada di bagian selatan pulau, bangunan itu selalu terletak di utara. Tapi ini tidak berlaku jika anda bicara di wilayah kabupaten Tabanan, karena khusus untuk wilayah ini warga selalu menempatkan Sanggah Kemulan di bagian rumah yang menghadap jalan.
Dalam sebuah pekarangan rumah Bali tidak selalu hanya diisi oleh satu keluarga, kadang dalam satu pekarangan itu tinggal beberapa keluarga yang tiap kepala keuarganya adalah beberapa anak laki-laki yang sudah menikah yang terlahir dari orang tua yang sama.
Karena bagi orang Bali, rumah sebagaimana halnya semua objek di alam memiliki jiwa, maka mereka meyakini agar rumah ini nyaman ditempati,jiwa yang dimiliki oleh rumah yang akan ditempati harus dibuat harmonis dengan jiwa orang yang akan menempati. Agar jiwa rumah yang ditempati bisa harmonis dengan jiwa orang yang akan menempatinya, maka setiap ukuran dalam rumah di Bali dibuat sesuai dengan ukuran tubuh kepala keluarga yang akan menempati rumah itu. Itulah sebabnya setiap ukuran dalam rumah Bali tidak pernah sama, ini karena setiap ukuran dalam rumah Bali tidak diukur dengan satuan Centimeter atau Meter sebagaimana kita kenal. Setiap ukuran panjang,lebar dan tinggi dalam rumah Bali diukur dengan satuan 'Tampel' dan 'Tampak', yang merupakan ukuran panjang dan lebar, telapak kaki si kepala keluarga.
Yang menentukan semua itu dan yang menentukan di mana setiap bangunan diletakkan adalah seorang arsitek tradisional yang disebut UNDAGI, yang mendapatkan keahlian arsitekturnya secara turun-temurun.
Di rumah Bali tidak ada ruang makan, karena itulah dalam keluarga Bali tidak ada acara makan bersama sekeluarga di satu meja atau di tikar. Di Bali siapapun anggota keluarga yang merasa lapar dia langsung ke dapur untuk mengambil makanan lalu mencari tempat duduk di salah satu bangunan di Pekarangan, entah itu di lumbung atau di 'Bale'.
Secara umum bisa dikatakan bahwa rumah Bali juga tidak memiliki perabotan.
Di samping tidak adanya ruang makan, di rumah Bali juga tidak ada kamar mandi. Kegiatan mandi, mencuci dan mengambil air semua dilakukan di sungai.
Di sungai kita sering melihat orang Bali, laki perempuan, tua muda mandi di sungai yang sama. Kadang perempuan Bali yang mandi di sungai itu (terutama yang masih gadis) menutupi bagian atas tubuhnya dengan kain atau BH, tapi tidak sedikit pula yang membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka. Dalam perjalanan ini aku sering menemui laki-laki dan perempuan Bali yang sedang mencuci atau mandi di sungai yang ada di tepi jalan.
Kemudian ketika kita melintasi jalanan yang membelah desa-desa Bali, kita pasti sering melihat kurungan ayam berjejer di pinggir jalan, di depan pekarangan rumah-rumah Bali itu. Ayam-ayam dalam kurungan ini bukan untuk dijual, ayam-ayam tesebut adalah ayam-ayam jantan pilihan yang dipelihara dari sejak menetas sampai ayam itu mencapai umur kurang lebih satu tahun. Ayam-ayam ini dipelihara dengan sangat telaten dan dirawat dengan penuh ketelitian, setiap hari ayam ini dimandikan, dipijat dan diberi jamu agar otot-ototnya kuat sampai nanti sang ayam dianggap siap untuk diadu sampai mati dalam prosesi yang disebut 'Tajen'. Prosesi Tajen ini sendiri, mulai dari ayam dilepas sampai salah satunya terkapar atau mati, maksimal cuma memakan waktu 5 menit saja.
Prosesi ini dinamakan Tajen karena di kaki ayam-ayam yang diadu itu dipasangi taji, berupa pisau tajam kecil selebar jari kelingking. Pisau inilah yang membunuh ayam yang diadu tersebut dengan cepat. Jika dalam waktu 3 menit belum ada ayam yang mati, atau terkapar tak berdaya. Kedua ayam itu akan ditangkap dan dimasukkan ke dalam kurungan dan kembali bertarung di sana, biasanya setelah diadu di dalam kurungan ini. Maksimal 2 menit salah satu dari kedua ayam itu akan mati. Daging ayam yang kalah ini biasanya sudah ditunggu para tukang Bakso yang dengan sabar menanti di pinggir jalan. Oleh tukang bakso, daging dari ayam yang dirawat dengan telaten mulai dari menetas hingga kurang lebih satu tahun ini akan menjadikannya sebagai bahan pelezat kuah bakso dagangan mereka esok hari.
Pada prinsipnya 'Tajen' yang menumpahkan darah ini adalah sebuah persembahan untuk Dewa, agar desa terhindar dari mara bahaya. Karena itulah biasanya najen dilakukan di Pura. Tapi belakangan, 'Tajen' ini disalahgunakan menjadi kegiatan berjudi yang berkembang menjadi kegemaran setiap laki-laki Bali. Tapi, sejak Made Mangku Pastika (sekarang Gubernur Bali) menjabat sebagai Kapolda, kegiatan 'Tajen' untuk berjudi ini secara resmi dilarang. Hanya karena ini sudah menjadi bagian dari keseharian orang Bali, sampai hari ini tetap saja kita dapat menemukan kegiatan 'Tajen'untuk kegiatan berjudi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Bersambung...
Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/album.php?page=1&aid=2046218&id=1524941840
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Notes : Bagi pembaca tulisan ini yang berasal dari Bali, saya mohon maaf sebesar-besarnya jika dalam tulisan ini, berkaitan dengan penjelasan tentang adat, budaya dan aturan agama Hindu Bali terdapat beberapa informasi yang tidak akurat atau salah.
Jumat, 22 Januari 2010
Beraban-Bajera, Pelajaran Hidup 'Bersyari'at' Dari Orang Bali Bag 2
Tulisan ini adalah bagian kedua dari empat Tulisan dan merupakan sambungan dari http://winwannur.blogspot.com/2010/01/beraban-bajera-pelajaran-hidup.html
Kalau kita berbicara tentang kesucian. Dalam kultur Bali, semakin tinggi suatu tempat, semakin suci tempat itu. Bukan hanya tempat, tubuh Manusia pun bagi orang Bali terbagi dari bagian yang suci dan kurang suci. Kepala yang merupakan bagian tubuh paling tinggi adalah bagian tubuh yang paling suci, orang Bali, bahkan anak kecil sekalipuan akan sangat marah jika ada orang yang berani menyentuh bagian paling suci dari tubuh mereka ini. Sebaliknya, bagian yang dianggap paling tidak suci adalah telapak kaki, sehingga penghinaan paling besar bagi orang Bali adalah menginjak kepala. Alasan ini pula yang membuat rumah-rumah tradisional di Bali yang bisa kita temui di semua desa yang ada di Bali tidak ada yang bertingkat. Itu karena orang Bali tidak suka, ada kaki yang berada di atas kepala mereka.
Aurat bagi orang Bali adalah pinggang ke bawah, karena itulah saat memasuki pura dan bangunan suci. Siapapun itu baik beragama Hindu atau bukan harus melilitkan sehelai selendang di pinggang. Selendang ini fungsinya untuk memisahkan bagian suci dan bagian tidak suci dari tubuh manusia.
Dalam perjalanan ini tidak jarang aku menyaksikan perempuan-perempuan tua yang hanya mengenakan kain panjang dari pinggang ke bawah dan membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka, lalu dengan santai berjalan-jalan di jalanan desa tanpa rasa risih sama sekali.
Saat ini memang hanya perempuan berusia lanjut yang tidak risih berjalan di tengah keramaian dengan pakaian seperti itu, tapi orang yang berkunjung ke Bali sebelum tahun 60-an pasti terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Saat itu masih banyak perempuan, tua dan muda yang berpakaian seperti itu. Membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka tanpa ditutupi apapun. Bahkan pada masa penjajahan Belanda semua perempuan Bali, di desa, di pasar dan dijalan-jalan berpakaian seperti itu. Ini misalnya bisa kita lihat dalam foto-foto di bagian belakang buku Island of Bali, karangan Miguel Covarrubias. Foto-foto tersebut adalah hasil jepretan kamera Rose Covarrubias yang tidak lain istri Miguel sendiri. Foto-foto diambil sekitar tahun 1933.
Perempuan Bali mulai dibiasakan menutupi bagaian atas tubuhnya dengan pakaian oleh guru-guru sekolah Belanda yang mengajar di sekolah-sekolah yang ada di Bali, mereka mengajarkan kepada para gadis Bali bahwa adalah aib memamerkan tubuh bagian atas. Akibat dari pengajaran semacam ini, pada masa itu tidak sedikit gadis Bali yang melakukan bunuh diri karena orang tuanya tidak bersedia membelikan baju.
Kemudian soal tinggi dan rendah ini, titik-titik yang ada di pulau Bali sendiri juga demikian. Orang Bali percaya bahwa titik yang paling suci di pulau ini adalah Puncak gunung Agung yang merupakan gunung tertinggi di pulau Bali. Orang Bali percaya di puncak Gunung Agung bersemayam para dewa dan roh-roh suci para nenek moyang yang telah meninggal. Para Dewa dan roh nenek moyang itu dipercaya akan turun, ikut serta dalam upacara yang diselenggarakan di Pura-pura oleh keturunan mereka. Pura Besakih, Pura paling suci, yang dipercaya sebagai IBU dari seluruh Pura yang ada di Bali juga terletak di kaki Gunung Agung.
Sebaliknya, bagi Orang Bali, Laut yang terletak di tempat yang rendah adalah tempat bersemayamnya banyak kekuatan negatif. Laut adalah rumah bagi Ratu Gede Mecaling, yang dipercaya merupakan kekuatan negatif yang suka mengganggu. Itulah sebabnya orang Bali tidak begitu menyukai laut, sehingga hampir tidak ada orang Bali yang berprofesi sebagai nelayan. Para nelayan yang ada di Jimbaran umumnya adalah suku Jawa dan suku Madura, yang menangkap ikan di jalur selat Bali, mulai dari Muncar di Banyuwangi sampai ke Jimbaran di Bali. Sedangkan nelayan yang ada di bagian Timur Bali di daerah Klungkung dan Karangasem umumnya berasal dari Lombok.
Ini pula sebabnya, meskipun pulau Bali dikelilingi laut dengan hasil ikan yang melimpah, dalam menu masakan Bali jarang sekali kita bisa menemui menu berbahan ikan. Menu masakan Bali rata-rata adalah masakan daging Babi, ayam dan bebek. Di mana-mana di Bali kita dengan mudah menemukan restoran di pinggir jalan yang menyajikan BABI GULING. Di restoran-restoran ini babi yang diguling tersebut diletakkan dalam lemari kaca agar para pelanggan yang ingin membeli bisa langsung melihat dan menilai kualitasnya. Di kota lain yang juga terdapat beberapa restoran yang menyediakan masakan daging Babi seperti di kota Medan misalnya yang tidak berani menyebut daging Babi secara terang-terangan, di Medan reestoran semacam itu biasanya memberi kode B2 untuk menyebut Babi. sementara di Bali tidak demikian, Babi disebut dengan terang-terangan. Restoran yang menjual Babi guling ya menulis SEDIA BABI GULING, untuk mempromosikan dagangan mereka.
Para penjual Bakso asal Bali yang dikenal dengan Bakso Krama Bali pun, dengan terang-terangan menulis kalau mereka menjual BAKSO BABI.
Orang Bali pergi ke tepi pantai biasanya hanya untuk melakukan upacara, salah satu upacara yang dilakukan di tepi alut ini adalah upacara di Melasti, yaitu upacara yang dilakukan untuk membersihkan desa dari kekuatan-kekuatan negatif yang mengganggu, atau upacara yang merupakan akhir dari prosesi ngaben atau pembakaran mayat, laut di sini dipakai sebagai tempat pembuangan abu jenazah yang selesai dibakar.
Melintasi persawahan di Bali ini benar-benar pengalaman yang menakjubkan, menyatunya kehidupan orang Bali dengan tanah yang dipijaknya demikian terasa. Di sepanjang jalan yang kulewati, aku sering berpapasan dengan perempuan Bali yang menjunjung keranjang atau ember di atas kepalanya, entah itu berisi air, cucian, barang dagangan atau banten (sesajen untuk upacara).
Pemandangan di sawah-sawah di Bali juga menunjukkan dengan jelas kepada kita, betapa di Bali, kehidupan spiritual dan kehidupan material adalah satu hal yang tidak terpisahkan. Di tengah sawah-sawah itu, selalu ada sebuah pura kecil yang dibangun untuk menghormati Dewi Sri, sang Dewi Padi yang merupakan 'sakti' atau sering juga disebut istri dari Dewa Wisnu sang Dewa pemelihara. Dalam kepercayaan Hindu India, Dewi Sri juga dipanggil dengan nama Dewi Laksmi. Tiap bagian sawah yang dimiliki oleh satu orang, memiliki satu pura kecil dari bahan beton yang khusus didirikan untuk mengormati Dewi Sri ini. Setiap pemilik sawah, dengan penuh kesadaran meletakkan sesajen di Pura-pura itu. Semua pura untuk Dewi Sri ini mengarah ke puncak Gunung Agung.
Di bebera tempat kita menemui Pura Bedugul, yang merupakan Pura untuk lahan pertanian. Dalam perjalanan ini aku menemui sebuah upacara yang dilakukan di sebuah Pura itu. Upacara di Pura Bedugul ini dipimpin oleh seorang Pemangku berbaju putih, Pemangku ini adalah sebutan untuk seorang 'pendeta' atau 'ulama' desa yang dipilih dari seorang warga desa itu dari kasta yang juga biasanya sama dengan kasta warga desa itu untuk memimpin upacara-upacara seperti ini. Pemangku ini berbeda dengan 'Pedanda' yang juga biasa disebut 'Sulinggih', seorang 'pendeta' atau 'ulama' besar yang biasanya berasal dari kasta Brahmana, yang merupakan kasta tertinggi. Sulinggih ini biasanya memimpin upacara perkawinan, kelahiran dan ngaben (upacara pembakaran mayat). Pemangku bukanlah sebuah profesi, Pemangku hanyalah pekerjaan sosial, untuk menghidupi diri sendiri, seorang pemangku harus bekerja sebagaimana halnya orang biasa. Tapi sebaliknya, Sulinggih adalah status yang mengikat. Sulinggih artinya orang yang hidup melinggih, alias tinggal menetap di rumah. Seorang Sulinggih memiliki rakyat yang membutuhkan jasanya untuk memimpin upacara-upacara seperti yang saya sebutkan di atas. Pekerjaan seorang Sulinggih adalah tinggal di rumah menunggu rakyatnya memnaggilnya atau mendatanginya untuk meminta nasehat.
Seseorang yang menjadi Sulinggih dianggap telah mati dari kehidupan sebelumnya dan terlahir kembali menjadi Sulinggih, nama yang disandang sebelumnya juga dibuang dan diganti dengan nama baru. Upacara pengangkatan seorang Sulinggih, sama dengan upacara kematian. Setelah 'diwisuda' sebagai Sulinggih, seorang sulinggih dan juga pasangannya tidak diperkenankan lagi keluar dari rumah tanpa ditemani oleh seorang rakyatnya, seorang Sulinggih tidak diperkenankan bekerja atau memiliki bisnis alias usaha. Bahkan jika sebelum menjadi Sulinggih, mereka memiliki masalah Hukum di masa lalu, setelah menjadi Sulinggih semuanya menjaddi otomatis HILANG. Bahkan polisi pun tidak lagi berhak menahan atau memintanya menjadi saksi di pengadilan atas segala hal yang berkaitan dengan kehidupan sorang Sulinggih di masa lalu.
Semua fakta di atas yang sampai hari ini masih hidup dan akan tetap terus hidup di Bali sering membuat orang luar geleng-geleng kepala. Karena orang Bali berpegang sedemikian kuat pada akarnya. Derasnya informasi dari luar, kemajuan teknologi di zaman handphone dan facebook seperti sekarang ini. Kultur seperti yang saya ceritakan di atas masih melekat kuat dalam diri setiap orang Bali.
Bersambung....
Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/album.php?aid=2046218&id=1524941840
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Notes : Bagi pembaca tulisan ini yang berasal dari Bali, saya mohon maaf sebesar-besarnya jika dalam tulisan ini, berkaitan dengan penjelasan tentang adat, budaya dan aturan agama Hindu Bali terdapat beberapa informasi yang tidak akurat atau salah.
Kalau kita berbicara tentang kesucian. Dalam kultur Bali, semakin tinggi suatu tempat, semakin suci tempat itu. Bukan hanya tempat, tubuh Manusia pun bagi orang Bali terbagi dari bagian yang suci dan kurang suci. Kepala yang merupakan bagian tubuh paling tinggi adalah bagian tubuh yang paling suci, orang Bali, bahkan anak kecil sekalipuan akan sangat marah jika ada orang yang berani menyentuh bagian paling suci dari tubuh mereka ini. Sebaliknya, bagian yang dianggap paling tidak suci adalah telapak kaki, sehingga penghinaan paling besar bagi orang Bali adalah menginjak kepala. Alasan ini pula yang membuat rumah-rumah tradisional di Bali yang bisa kita temui di semua desa yang ada di Bali tidak ada yang bertingkat. Itu karena orang Bali tidak suka, ada kaki yang berada di atas kepala mereka.
Aurat bagi orang Bali adalah pinggang ke bawah, karena itulah saat memasuki pura dan bangunan suci. Siapapun itu baik beragama Hindu atau bukan harus melilitkan sehelai selendang di pinggang. Selendang ini fungsinya untuk memisahkan bagian suci dan bagian tidak suci dari tubuh manusia.
Dalam perjalanan ini tidak jarang aku menyaksikan perempuan-perempuan tua yang hanya mengenakan kain panjang dari pinggang ke bawah dan membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka, lalu dengan santai berjalan-jalan di jalanan desa tanpa rasa risih sama sekali.
Saat ini memang hanya perempuan berusia lanjut yang tidak risih berjalan di tengah keramaian dengan pakaian seperti itu, tapi orang yang berkunjung ke Bali sebelum tahun 60-an pasti terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Saat itu masih banyak perempuan, tua dan muda yang berpakaian seperti itu. Membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka tanpa ditutupi apapun. Bahkan pada masa penjajahan Belanda semua perempuan Bali, di desa, di pasar dan dijalan-jalan berpakaian seperti itu. Ini misalnya bisa kita lihat dalam foto-foto di bagian belakang buku Island of Bali, karangan Miguel Covarrubias. Foto-foto tersebut adalah hasil jepretan kamera Rose Covarrubias yang tidak lain istri Miguel sendiri. Foto-foto diambil sekitar tahun 1933.
Perempuan Bali mulai dibiasakan menutupi bagaian atas tubuhnya dengan pakaian oleh guru-guru sekolah Belanda yang mengajar di sekolah-sekolah yang ada di Bali, mereka mengajarkan kepada para gadis Bali bahwa adalah aib memamerkan tubuh bagian atas. Akibat dari pengajaran semacam ini, pada masa itu tidak sedikit gadis Bali yang melakukan bunuh diri karena orang tuanya tidak bersedia membelikan baju.
Kemudian soal tinggi dan rendah ini, titik-titik yang ada di pulau Bali sendiri juga demikian. Orang Bali percaya bahwa titik yang paling suci di pulau ini adalah Puncak gunung Agung yang merupakan gunung tertinggi di pulau Bali. Orang Bali percaya di puncak Gunung Agung bersemayam para dewa dan roh-roh suci para nenek moyang yang telah meninggal. Para Dewa dan roh nenek moyang itu dipercaya akan turun, ikut serta dalam upacara yang diselenggarakan di Pura-pura oleh keturunan mereka. Pura Besakih, Pura paling suci, yang dipercaya sebagai IBU dari seluruh Pura yang ada di Bali juga terletak di kaki Gunung Agung.
Sebaliknya, bagi Orang Bali, Laut yang terletak di tempat yang rendah adalah tempat bersemayamnya banyak kekuatan negatif. Laut adalah rumah bagi Ratu Gede Mecaling, yang dipercaya merupakan kekuatan negatif yang suka mengganggu. Itulah sebabnya orang Bali tidak begitu menyukai laut, sehingga hampir tidak ada orang Bali yang berprofesi sebagai nelayan. Para nelayan yang ada di Jimbaran umumnya adalah suku Jawa dan suku Madura, yang menangkap ikan di jalur selat Bali, mulai dari Muncar di Banyuwangi sampai ke Jimbaran di Bali. Sedangkan nelayan yang ada di bagian Timur Bali di daerah Klungkung dan Karangasem umumnya berasal dari Lombok.
Ini pula sebabnya, meskipun pulau Bali dikelilingi laut dengan hasil ikan yang melimpah, dalam menu masakan Bali jarang sekali kita bisa menemui menu berbahan ikan. Menu masakan Bali rata-rata adalah masakan daging Babi, ayam dan bebek. Di mana-mana di Bali kita dengan mudah menemukan restoran di pinggir jalan yang menyajikan BABI GULING. Di restoran-restoran ini babi yang diguling tersebut diletakkan dalam lemari kaca agar para pelanggan yang ingin membeli bisa langsung melihat dan menilai kualitasnya. Di kota lain yang juga terdapat beberapa restoran yang menyediakan masakan daging Babi seperti di kota Medan misalnya yang tidak berani menyebut daging Babi secara terang-terangan, di Medan reestoran semacam itu biasanya memberi kode B2 untuk menyebut Babi. sementara di Bali tidak demikian, Babi disebut dengan terang-terangan. Restoran yang menjual Babi guling ya menulis SEDIA BABI GULING, untuk mempromosikan dagangan mereka.
Para penjual Bakso asal Bali yang dikenal dengan Bakso Krama Bali pun, dengan terang-terangan menulis kalau mereka menjual BAKSO BABI.
Orang Bali pergi ke tepi pantai biasanya hanya untuk melakukan upacara, salah satu upacara yang dilakukan di tepi alut ini adalah upacara di Melasti, yaitu upacara yang dilakukan untuk membersihkan desa dari kekuatan-kekuatan negatif yang mengganggu, atau upacara yang merupakan akhir dari prosesi ngaben atau pembakaran mayat, laut di sini dipakai sebagai tempat pembuangan abu jenazah yang selesai dibakar.
Melintasi persawahan di Bali ini benar-benar pengalaman yang menakjubkan, menyatunya kehidupan orang Bali dengan tanah yang dipijaknya demikian terasa. Di sepanjang jalan yang kulewati, aku sering berpapasan dengan perempuan Bali yang menjunjung keranjang atau ember di atas kepalanya, entah itu berisi air, cucian, barang dagangan atau banten (sesajen untuk upacara).
Pemandangan di sawah-sawah di Bali juga menunjukkan dengan jelas kepada kita, betapa di Bali, kehidupan spiritual dan kehidupan material adalah satu hal yang tidak terpisahkan. Di tengah sawah-sawah itu, selalu ada sebuah pura kecil yang dibangun untuk menghormati Dewi Sri, sang Dewi Padi yang merupakan 'sakti' atau sering juga disebut istri dari Dewa Wisnu sang Dewa pemelihara. Dalam kepercayaan Hindu India, Dewi Sri juga dipanggil dengan nama Dewi Laksmi. Tiap bagian sawah yang dimiliki oleh satu orang, memiliki satu pura kecil dari bahan beton yang khusus didirikan untuk mengormati Dewi Sri ini. Setiap pemilik sawah, dengan penuh kesadaran meletakkan sesajen di Pura-pura itu. Semua pura untuk Dewi Sri ini mengarah ke puncak Gunung Agung.
Di bebera tempat kita menemui Pura Bedugul, yang merupakan Pura untuk lahan pertanian. Dalam perjalanan ini aku menemui sebuah upacara yang dilakukan di sebuah Pura itu. Upacara di Pura Bedugul ini dipimpin oleh seorang Pemangku berbaju putih, Pemangku ini adalah sebutan untuk seorang 'pendeta' atau 'ulama' desa yang dipilih dari seorang warga desa itu dari kasta yang juga biasanya sama dengan kasta warga desa itu untuk memimpin upacara-upacara seperti ini. Pemangku ini berbeda dengan 'Pedanda' yang juga biasa disebut 'Sulinggih', seorang 'pendeta' atau 'ulama' besar yang biasanya berasal dari kasta Brahmana, yang merupakan kasta tertinggi. Sulinggih ini biasanya memimpin upacara perkawinan, kelahiran dan ngaben (upacara pembakaran mayat). Pemangku bukanlah sebuah profesi, Pemangku hanyalah pekerjaan sosial, untuk menghidupi diri sendiri, seorang pemangku harus bekerja sebagaimana halnya orang biasa. Tapi sebaliknya, Sulinggih adalah status yang mengikat. Sulinggih artinya orang yang hidup melinggih, alias tinggal menetap di rumah. Seorang Sulinggih memiliki rakyat yang membutuhkan jasanya untuk memimpin upacara-upacara seperti yang saya sebutkan di atas. Pekerjaan seorang Sulinggih adalah tinggal di rumah menunggu rakyatnya memnaggilnya atau mendatanginya untuk meminta nasehat.
Seseorang yang menjadi Sulinggih dianggap telah mati dari kehidupan sebelumnya dan terlahir kembali menjadi Sulinggih, nama yang disandang sebelumnya juga dibuang dan diganti dengan nama baru. Upacara pengangkatan seorang Sulinggih, sama dengan upacara kematian. Setelah 'diwisuda' sebagai Sulinggih, seorang sulinggih dan juga pasangannya tidak diperkenankan lagi keluar dari rumah tanpa ditemani oleh seorang rakyatnya, seorang Sulinggih tidak diperkenankan bekerja atau memiliki bisnis alias usaha. Bahkan jika sebelum menjadi Sulinggih, mereka memiliki masalah Hukum di masa lalu, setelah menjadi Sulinggih semuanya menjaddi otomatis HILANG. Bahkan polisi pun tidak lagi berhak menahan atau memintanya menjadi saksi di pengadilan atas segala hal yang berkaitan dengan kehidupan sorang Sulinggih di masa lalu.
Semua fakta di atas yang sampai hari ini masih hidup dan akan tetap terus hidup di Bali sering membuat orang luar geleng-geleng kepala. Karena orang Bali berpegang sedemikian kuat pada akarnya. Derasnya informasi dari luar, kemajuan teknologi di zaman handphone dan facebook seperti sekarang ini. Kultur seperti yang saya ceritakan di atas masih melekat kuat dalam diri setiap orang Bali.
Bersambung....
Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/album.php?aid=2046218&id=1524941840
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Notes : Bagi pembaca tulisan ini yang berasal dari Bali, saya mohon maaf sebesar-besarnya jika dalam tulisan ini, berkaitan dengan penjelasan tentang adat, budaya dan aturan agama Hindu Bali terdapat beberapa informasi yang tidak akurat atau salah.
Kamis, 21 Januari 2010
Beraban-Bajera, Pelajaran Hidup 'Bersyari'at' Dari Orang Bali
Tulisan ini adalah Bagian pertama dari empat tulisan.
Kemarin dengan mengendarai Chevrolet Trooper aku melintasi jalan-jalan kecil di tengah persawahan desa-desa di Bali di daerah Tabanan, mulai dari Beraban sampai tembus ke Bajra.
Seberapa sering pun aku melakukan ini, berkendara menembus 'jantung' Bali yang belum banyak tersentuh hiruk-pikuk fasillitas modern selalu menarik. Melintasi jalan-jalan desa seperti ini, aku dapat merasakan dari dekat 'nafas' Bali yang sebenarnya.
Perjalanan kumulai dari Desa Beraban yang terletak tidak terlalu jauh dari Tanah Lot, menuruni sebuah jalan desa sempit untuk melintasi sebuah jembatan beton tanpa pembatas pinggir yang membelah sungai lebar berair dangkal dengan dasar batu paras, batuan lunak yang di Bali sering ditambang untuk digunakan sebagai bahan bangunan berbentuk batu bata, atau untuk membuat patung-patung khas Bali yang sering kita temui di depan rumah atau Pura, atau dinding ukiran penuh relief yang banyak menghiasi dinding-dinding Pura atau Kori, gerbang khas Bali yang tertutup bagian atasnya.
Di pinggir jalan yang terletak dipinggir sungai tidak jarang aku menemui perempuan Bali yang sedang menjunjung batu paras di atas kepalanya melalui jalan licin terjal dan mendaki dari tempat menambangnya di dasar sungai menuju pinggir jalan tempat dimana batu-batu yang kadang telah dibentuk persegi itu ditumpuk untuk kemudian dijual.
Keluar dari jembatan itu, mata langsung disuguhi hamparan sawah di desa Beraban yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Tabanan, yang di Bali dikenal sebagai kabupaten lumbung Padi. Persawahan di Desa Beraban ini terbentang luas sampai ke tepi lautan Hindia. Kadang di tengah persawahan itu terdapat Hotel atau Villa milik orang asing atau orang jakarta untuk disewakan kepada turis asing yang ingin berlibur di Bali, tapi jauh dari hiruk pikuk.
Sebagaimana pematang sawah-sawah yang ada di Bali, pematang -pematang sawah yang ada di tempat ini pun dibuat begitu rapih. Aku tidak pernah menyaksikan ada pematang sawah di tempat lain yang dibuat sedemikian rapih sebagaimana halnya sawah-sawah di Bali. Rapihnya pematang sawah ini kupikir pasti berkaitan erat dengan dengan cita rasa seni orang Bali yang terkenal tinggi.
Di Bali orang tidak pernah suka dengan segala sesuatu yang asal-asalan dan sederhana.
Sesajen dari daun kelapa yang aku temui di setiap jengkal tanah Bali sendiri adalah sebuah karya seni, paduan bunga, makanan dan jalinan daun kelapa itu sendiri mencerminkan sebuah karya seni.
Setiap upacara di Bali diiringi dengan musik dan tarian, tanpa musik dan tarian tidak ada upacara, itulah sebabnya di setiap desa di bali harus ada gamelan dan bleganjur. Gamelan digunakan saat upacara di pura dan para pemusiknya memainkan musik sambil duduk, sementara Bleganjur dipakai untuk musik saat orang Bali melakukan parade di jalan, parade yang merupakan bagian dari prosesi sebuah upacara. parade ini dilakukan dari pusat desa menuju ke pura, ke laut atau ke tempat mengaben. Setiap desa di Bali juga harus memiliki penari, karena beberapa upacara besar di Bali mengharuskan adanya prosesi tarian, itulah sebabnya setiap laki-laki di Bali minimal bisa bermusik dan setiap perempuan di Bali minimal bisa menari.
Setiap pura dibali dihiasi dengan patung-patung dan ukiran-ukiran rumit yang mencerminkan cita rasa seni ketimuran yang sangat tinggi. Pura-pura di Bali ini tidak dibuat dari material yang kokoh yang bisa bertahan berabad-abad seperti candi Borobudur dan Prambanan. Pura di Bali dibuat dari material yang lunak dan gampang hancur oleh cuaca dan waktu, karenanya setiap generasi di Bali berkewajiban merenovasi Pura-Pura yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka. Karena itulah tidak sedikit orang Bali yang memiliki kemampuan memahat dan mengukir, mereka memiliki kemampuan itu agar mereka bisa melakukan renovasi Pura dengan kualitas yang tidak berbeda dengan yang pernah dibuat oleh nenek moyang mereka.
Dengan keadaan seperti itu, tidaklah salah bila kita mengatakan bahawa setiap orang Bali adalah seniman.
Budaya Bali adalah Budaya tanah, budaya pertanian. Jiwa setiap orang Bali melekat pada tanah nenek moyang mereka, pada desa tempat nenek moyang mereka dilahirkan. Tanah adalah pusat kehidupan orang Bali, karena itu pulalah pertanian adalah mata pencaharian utama orang Bali, seluruh kultur, budaya bahkan agama orang Bali berkaitan dengan tanah. Karena itulah bahkan sampai ke tepi pantai pun, di Bali yang kita temukan adalah SAWAH.
Sawah di Bali bisa berproduksi sepanjang tahun karena bagusnya sistem irigasi di daerah ini.
Semua desa di Bali memiliki sistem organisasi yang sangat rapih. Sebuah desa di bali dibagi menjadi beberapa banjar. Banjar ini merupakan sistem organisasi terkecil di Bali yang hubungan sesama anggotanya sangat rapat. Di setiap banjar terdapat apa yang disebut 'Bale Banjar', semacam Balai desa. di Banjar,s elain organisasi Banjar sendiri juga terdapat organisasi teruna-teruni, yaitu organisasi Pemuda yang seirng melaksanakan kegiatan kesenian, ada organisasi wanita, ada organisasi suka-duka, dan ada juga organisasi petani yang disebut SUBAK untuk petani lahan basah dan SUBAK ABIAN, untu petani lahan kering.
Sistem irigasi untuk areal persawahan di Bali, dikelola oleh organisasi yang bernama SUBAK ini. Seringkali air yang ada tidak mencukupi untuk mengairi seluruh petak sawah petani di banjar itu untuk menanam padi secara bersamaan. Ketika ini terjadi, SUBAK lah yang menentukan, siapa yang mendapat giliran tanam yang terlebih dahulu dan siapa kemudian. Inilah sebabnya sepajang tahun selalu ada penanaman dan panen Padi di pulau Bali, itu pulas ebabnya persawahan di bali selalu tidfak tampak satu warna, itulah sebabnya dalam pemandangan sawah di Bali selalu terdapat gradasi warna mulai dari hijau sampai kuning.
Waktu tanam yang tidak serempak ini dapat aku saksikan dengan jelas dalam perjalanan antara Beraban dan Bajera ini. Di sepanjang jalan aku menemui berbagai kegiatan di sawah, mulai dari menanam padi, membersihkan rumput liar, memanen sampai mengangkut hasil panen.
Karena sekarang, sudah banyak pemuda Bali yang lebih memilih bekerja di bidang Pariwisata, tanah-tanah sawah di Bali, terutama di daerah persawahan yang luas seperti di Tabanan ini banyak yang sudah di kelola dengan cara yang relatif modern. Untuk mengolah tanah sebelum ditanami, biasanya petani pemilik sawah menyewa traktor, untuk menanaminya mereka menyewa pekerja dari jawa yang dibayar secara borongan. Padi juga biasanya dijual sebelum dipanen kepada tengkulak yang menaksir harga seluruh padi di sawah tersebut, lalu tengkulak ini nantinya akan kembali menyewa pekerja upahan asal Jawa untuk memotong padi yang telah mereka beli dari petani Bali. Itulah sebabnya di pinggir parit-parit sawah yang akan dipanen atau ditanami, kita sering menemui tenda-tenda plastik berwarna biru atau oranye milik pekerja upahan asal Jawa yang sepanjang tahun bekerja di Bali, berpindah dari satu persawahan ke persawahan lain.
Padi yang ditanam di Bali sekarang, rata-rata adalah padi hasil silangan jenis IR yang bibitnya dijual di toko pertanian. Padi jenis ini hanya membutuhkan waktu 100 hari sejak mulai ditanam sampai panen. Padi jenis lama yang membutuhkan waktu antara 6 sampai 7 bulan untuk bisa dipanen, hanya ditanam orang Bali untuk konsumsi sendiri. Padi jenis ini yang ditanam tanpa pupuk dan bahan kimia dipanen dengan cara dituai untuk kemudian disimpan dalam lumbung keluarga dan dikeluarkan sedikit demi sedikit untuk konsumsi keluarga.
Bersambung...
Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/profile.php?ref=profile&id=1524941840#/album.php?page=1&aid=2046218&id=1524941840
Notes : Bagi para pembaca yang berasal dari Bali, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam tulisan ini terdapat beberapa kesalahan informasi tentang adat budaya dan agama hindu Bali.
Kemarin dengan mengendarai Chevrolet Trooper aku melintasi jalan-jalan kecil di tengah persawahan desa-desa di Bali di daerah Tabanan, mulai dari Beraban sampai tembus ke Bajra.
Seberapa sering pun aku melakukan ini, berkendara menembus 'jantung' Bali yang belum banyak tersentuh hiruk-pikuk fasillitas modern selalu menarik. Melintasi jalan-jalan desa seperti ini, aku dapat merasakan dari dekat 'nafas' Bali yang sebenarnya.
Perjalanan kumulai dari Desa Beraban yang terletak tidak terlalu jauh dari Tanah Lot, menuruni sebuah jalan desa sempit untuk melintasi sebuah jembatan beton tanpa pembatas pinggir yang membelah sungai lebar berair dangkal dengan dasar batu paras, batuan lunak yang di Bali sering ditambang untuk digunakan sebagai bahan bangunan berbentuk batu bata, atau untuk membuat patung-patung khas Bali yang sering kita temui di depan rumah atau Pura, atau dinding ukiran penuh relief yang banyak menghiasi dinding-dinding Pura atau Kori, gerbang khas Bali yang tertutup bagian atasnya.
Di pinggir jalan yang terletak dipinggir sungai tidak jarang aku menemui perempuan Bali yang sedang menjunjung batu paras di atas kepalanya melalui jalan licin terjal dan mendaki dari tempat menambangnya di dasar sungai menuju pinggir jalan tempat dimana batu-batu yang kadang telah dibentuk persegi itu ditumpuk untuk kemudian dijual.
Keluar dari jembatan itu, mata langsung disuguhi hamparan sawah di desa Beraban yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Tabanan, yang di Bali dikenal sebagai kabupaten lumbung Padi. Persawahan di Desa Beraban ini terbentang luas sampai ke tepi lautan Hindia. Kadang di tengah persawahan itu terdapat Hotel atau Villa milik orang asing atau orang jakarta untuk disewakan kepada turis asing yang ingin berlibur di Bali, tapi jauh dari hiruk pikuk.
Sebagaimana pematang sawah-sawah yang ada di Bali, pematang -pematang sawah yang ada di tempat ini pun dibuat begitu rapih. Aku tidak pernah menyaksikan ada pematang sawah di tempat lain yang dibuat sedemikian rapih sebagaimana halnya sawah-sawah di Bali. Rapihnya pematang sawah ini kupikir pasti berkaitan erat dengan dengan cita rasa seni orang Bali yang terkenal tinggi.
Di Bali orang tidak pernah suka dengan segala sesuatu yang asal-asalan dan sederhana.
Sesajen dari daun kelapa yang aku temui di setiap jengkal tanah Bali sendiri adalah sebuah karya seni, paduan bunga, makanan dan jalinan daun kelapa itu sendiri mencerminkan sebuah karya seni.
Setiap upacara di Bali diiringi dengan musik dan tarian, tanpa musik dan tarian tidak ada upacara, itulah sebabnya di setiap desa di bali harus ada gamelan dan bleganjur. Gamelan digunakan saat upacara di pura dan para pemusiknya memainkan musik sambil duduk, sementara Bleganjur dipakai untuk musik saat orang Bali melakukan parade di jalan, parade yang merupakan bagian dari prosesi sebuah upacara. parade ini dilakukan dari pusat desa menuju ke pura, ke laut atau ke tempat mengaben. Setiap desa di Bali juga harus memiliki penari, karena beberapa upacara besar di Bali mengharuskan adanya prosesi tarian, itulah sebabnya setiap laki-laki di Bali minimal bisa bermusik dan setiap perempuan di Bali minimal bisa menari.
Setiap pura dibali dihiasi dengan patung-patung dan ukiran-ukiran rumit yang mencerminkan cita rasa seni ketimuran yang sangat tinggi. Pura-pura di Bali ini tidak dibuat dari material yang kokoh yang bisa bertahan berabad-abad seperti candi Borobudur dan Prambanan. Pura di Bali dibuat dari material yang lunak dan gampang hancur oleh cuaca dan waktu, karenanya setiap generasi di Bali berkewajiban merenovasi Pura-Pura yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka. Karena itulah tidak sedikit orang Bali yang memiliki kemampuan memahat dan mengukir, mereka memiliki kemampuan itu agar mereka bisa melakukan renovasi Pura dengan kualitas yang tidak berbeda dengan yang pernah dibuat oleh nenek moyang mereka.
Dengan keadaan seperti itu, tidaklah salah bila kita mengatakan bahawa setiap orang Bali adalah seniman.
Budaya Bali adalah Budaya tanah, budaya pertanian. Jiwa setiap orang Bali melekat pada tanah nenek moyang mereka, pada desa tempat nenek moyang mereka dilahirkan. Tanah adalah pusat kehidupan orang Bali, karena itu pulalah pertanian adalah mata pencaharian utama orang Bali, seluruh kultur, budaya bahkan agama orang Bali berkaitan dengan tanah. Karena itulah bahkan sampai ke tepi pantai pun, di Bali yang kita temukan adalah SAWAH.
Sawah di Bali bisa berproduksi sepanjang tahun karena bagusnya sistem irigasi di daerah ini.
Semua desa di Bali memiliki sistem organisasi yang sangat rapih. Sebuah desa di bali dibagi menjadi beberapa banjar. Banjar ini merupakan sistem organisasi terkecil di Bali yang hubungan sesama anggotanya sangat rapat. Di setiap banjar terdapat apa yang disebut 'Bale Banjar', semacam Balai desa. di Banjar,s elain organisasi Banjar sendiri juga terdapat organisasi teruna-teruni, yaitu organisasi Pemuda yang seirng melaksanakan kegiatan kesenian, ada organisasi wanita, ada organisasi suka-duka, dan ada juga organisasi petani yang disebut SUBAK untuk petani lahan basah dan SUBAK ABIAN, untu petani lahan kering.
Sistem irigasi untuk areal persawahan di Bali, dikelola oleh organisasi yang bernama SUBAK ini. Seringkali air yang ada tidak mencukupi untuk mengairi seluruh petak sawah petani di banjar itu untuk menanam padi secara bersamaan. Ketika ini terjadi, SUBAK lah yang menentukan, siapa yang mendapat giliran tanam yang terlebih dahulu dan siapa kemudian. Inilah sebabnya sepajang tahun selalu ada penanaman dan panen Padi di pulau Bali, itu pulas ebabnya persawahan di bali selalu tidfak tampak satu warna, itulah sebabnya dalam pemandangan sawah di Bali selalu terdapat gradasi warna mulai dari hijau sampai kuning.
Waktu tanam yang tidak serempak ini dapat aku saksikan dengan jelas dalam perjalanan antara Beraban dan Bajera ini. Di sepanjang jalan aku menemui berbagai kegiatan di sawah, mulai dari menanam padi, membersihkan rumput liar, memanen sampai mengangkut hasil panen.
Karena sekarang, sudah banyak pemuda Bali yang lebih memilih bekerja di bidang Pariwisata, tanah-tanah sawah di Bali, terutama di daerah persawahan yang luas seperti di Tabanan ini banyak yang sudah di kelola dengan cara yang relatif modern. Untuk mengolah tanah sebelum ditanami, biasanya petani pemilik sawah menyewa traktor, untuk menanaminya mereka menyewa pekerja dari jawa yang dibayar secara borongan. Padi juga biasanya dijual sebelum dipanen kepada tengkulak yang menaksir harga seluruh padi di sawah tersebut, lalu tengkulak ini nantinya akan kembali menyewa pekerja upahan asal Jawa untuk memotong padi yang telah mereka beli dari petani Bali. Itulah sebabnya di pinggir parit-parit sawah yang akan dipanen atau ditanami, kita sering menemui tenda-tenda plastik berwarna biru atau oranye milik pekerja upahan asal Jawa yang sepanjang tahun bekerja di Bali, berpindah dari satu persawahan ke persawahan lain.
Padi yang ditanam di Bali sekarang, rata-rata adalah padi hasil silangan jenis IR yang bibitnya dijual di toko pertanian. Padi jenis ini hanya membutuhkan waktu 100 hari sejak mulai ditanam sampai panen. Padi jenis lama yang membutuhkan waktu antara 6 sampai 7 bulan untuk bisa dipanen, hanya ditanam orang Bali untuk konsumsi sendiri. Padi jenis ini yang ditanam tanpa pupuk dan bahan kimia dipanen dengan cara dituai untuk kemudian disimpan dalam lumbung keluarga dan dikeluarkan sedikit demi sedikit untuk konsumsi keluarga.
Bersambung...
Foto-foto yang berkaitan dengan tulisan ini dapat dilihat di http://www.facebook.com/profile.php?ref=profile&id=1524941840#/album.php?page=1&aid=2046218&id=1524941840
Notes : Bagi para pembaca yang berasal dari Bali, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam tulisan ini terdapat beberapa kesalahan informasi tentang adat budaya dan agama hindu Bali.
HUKUM Para Perancang Syari'at Islam Versi Aceh Yang Telah Menelan Korban
Masalah carut marutnya Syari'at Islam versi Aceh ini terjadi karena perancang Qanun itu dan para pendukungnya bersikap SOK JAGO, tidak mau mendengarkan pendapat dari luar dan hanya mau menang sendiri.
Sampai hari ini para pendukung perancang Qanun ini begitu memuja para ahli ilmu keislaman yang merancang Qanun ini. Banyak dari para pendukung ini yang suka main klaim, main tuduh, bahkan main kekerasan sama orang orang yang menolak rancangan para ahli ilmu keislaman pujaan mereka.
Oleh orang-orang ini, orang yang menolak QANUN PREMATUR itu sering dengan seenak perutnya mereka CAP sebagai ANTI ISLAM, antek Amerika, bahkan Yahudi Laknatullah.
Dulu orang banyak mempertanyakan urgensi tentang perlunya hukum syari'at yang masih prematur itu diundangkan. Meskipun banyak keraguan, banyak pertanyaan tentang SIAPA YANG BISA MENJAMIN POLISI MORAL INI BISA MENJAGA MORALNYA SENDIRI. Mereka tetap mengundangkan Syari'at Islam yang fungsinya cuma supaya secara tampak luar, orang bisa melihat kalau identitas Aceh itu memang Islam.
Sebelum Qanun ini diundangkan, sudah banyak kekhawatiran kalau Qanun yang NGGAK PENTING ini akan bermasalah dalam penerapannya. Tapi waktu itu Al Yasa' dan kawan-kawannya yang merasa tahu banyak soal agama ini (di koment di Link aku seorang komentator menyebut nama Muslim Ibrahim) nggak mau dengar, mereka tetap SOK JAGO, mau berjuta protes di luar, mereka tetap berkeras Qanun ini harus diundangkan. Tanpa melewati uji publik terlebih dahulu, Qanun Kontroversial ini pun dengan tergesa-gesa diundangkan. Untuk mengawalnya dibentuklah WH yang sebelum lahir pun kapabilitasnya sudah banyak diragukan orang.
Sampai kemudian terjadi insiden Ulee Kareng yang bikin malu mereka, tapi itu cukup untuk jadi bahan tertawaan. Saat itu terjadi, seharusnya Al Yasa' dan kawan-kawannya malu dan langsung introspeksi, ada yang salah dengan Syari'at RANCANGAN mereka. Tapi faktanya, yang terjadi tidaklah demikian. Sudah terjadi kejadian memalukan seperti itu, AL Yasa' dan kawan-kawannya yang SOK JAGO itu malah tetap sibuk tebar pesona, berceramah soal moral dari mimbar ke mimbar.
Sampai terjadi kejadian di LANGSA, ini sudah kriminal. Al Yasa' dan kawan-kawannya yang merancang Qanun ini nggak bisa lagi seenaknya lepas tangan. Begitu pula orang-orang yang dulu dengan seenak perut mencap orang mengkritisi rancangan Qanun ini sebagai sebagai ANTI ISLAM, antek Amerika, bahkan Yahudi Laknatullah.
Semua hukum fisika, semua hukum mekanika, semua informasi tentang ilmu bahan bangunan adalah RANCANGAN TUHAN.
Untuk membuat sebuah bangunan, Insinyur Sipil yang sekolahnya memang mempelajari karakter hukum dan pengetahuan ini meramunya dan membuatnya menjadi sebuah gedung. Penempatan hukum yang salah, pemakaian bahan yang salah dalam sebuah rancangan, akan menghasilkan bangunan yang gagal.
Sama dengan Qanun Syari'at Islam, benar semua rancangan itu datang dari Tuhan. Tapi ada manusia yang meramu Hukum-Hukum Tuhan itu dan kemudian menjadikannya sebagai HUKUM untuk diterapkan kepada manusia lain.
Seperti kalau Insinyur Sipil itu salah membuat rancangan dan mengakibatkan gedung runtuh, maka Insinyur Sipil itulah yang salah meramu dan menempatkan hukum-hukum dan bahan yang diperlukan. Bukan TUHAN yang menciptakan HUKUM dan Bahan itu. Begitu pula dengan QANUN yang berdasarkan hukum-hukum Tuhan itu. Ketika rancangan Hukum yang dibuat berdasarkan HUKUM-HUKUM TUHAN itu salah.
Ya cuma orang Gila yang menyalahkan TUHAN, orang waras tentu akan menuntut pertanggung jawaban dari orang-orang yang meramu HUKUM-HUKUM Tuhan itu menjadi Hukum Praktis yang diterapkan kepada manusia yang kemudian bermasalah itu.
Pembubaran WH sama sekali bukan solusi untuk mengatasi masalah PEMERKOSAAN yang dilakukan oleh aparat POLISI MORAL ini. WH hanya PERANGKAT, kalau WH dibubarkan tanpa menyentuh masalah sebenarnya akan tumbuh lembaga yang entah dinamakan apalagi yang berfungsi sama dengan WH yaitu sebagai POLISI MORAL.
Selama masih ada sekelompok orang yang bisa seenaknya bikin HUKUM untuk diterapkan ke masyarakat banyak, tapi mereka BEBAS alias IMUN dari tanggung jawab atas segala masalah yang ditimbulkan oleh HUKUM hasil RANCANGAN MEREKA, maka produksi HUKUM-HUKUM konyol yang akan kembali makan korban akan tetap mengalir menyesaki ruang publik kita.
Ketika gedung dan jembatan yang baru dibangun RUNTUH dan MAKAN KORBAN, desainnya harus diperiksa. Jika terbukti desainnya salah, INSINYUR PERANCANGNYA harus dipenjara. Qanun Syaria'at Islam yang diberlakukan di Aceh juga sama, ketika Qanun itu makan korban, desainnya harus diperiksa dan jika terbukti desainnya salah PERANCANGNYA juga HARUS DIPENJARA.
Jangan biarkan orang-orang SOK JAGO itu enak-enakan tidur pulas, berceramah soal MORAL dari mimbar ke mimbar dan bermimpi setelah mati nanti akan masuk sorga dan disambut 77 bidadari, sementara akibat ulah SOK JAGO mereka, satu orang perempuan HANCUR secara psikologis, hancur kehormatannya, hancur masa depannya.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh Beragama ISLAM
Sampai hari ini para pendukung perancang Qanun ini begitu memuja para ahli ilmu keislaman yang merancang Qanun ini. Banyak dari para pendukung ini yang suka main klaim, main tuduh, bahkan main kekerasan sama orang orang yang menolak rancangan para ahli ilmu keislaman pujaan mereka.
Oleh orang-orang ini, orang yang menolak QANUN PREMATUR itu sering dengan seenak perutnya mereka CAP sebagai ANTI ISLAM, antek Amerika, bahkan Yahudi Laknatullah.
Dulu orang banyak mempertanyakan urgensi tentang perlunya hukum syari'at yang masih prematur itu diundangkan. Meskipun banyak keraguan, banyak pertanyaan tentang SIAPA YANG BISA MENJAMIN POLISI MORAL INI BISA MENJAGA MORALNYA SENDIRI. Mereka tetap mengundangkan Syari'at Islam yang fungsinya cuma supaya secara tampak luar, orang bisa melihat kalau identitas Aceh itu memang Islam.
Sebelum Qanun ini diundangkan, sudah banyak kekhawatiran kalau Qanun yang NGGAK PENTING ini akan bermasalah dalam penerapannya. Tapi waktu itu Al Yasa' dan kawan-kawannya yang merasa tahu banyak soal agama ini (di koment di Link aku seorang komentator menyebut nama Muslim Ibrahim) nggak mau dengar, mereka tetap SOK JAGO, mau berjuta protes di luar, mereka tetap berkeras Qanun ini harus diundangkan. Tanpa melewati uji publik terlebih dahulu, Qanun Kontroversial ini pun dengan tergesa-gesa diundangkan. Untuk mengawalnya dibentuklah WH yang sebelum lahir pun kapabilitasnya sudah banyak diragukan orang.
Sampai kemudian terjadi insiden Ulee Kareng yang bikin malu mereka, tapi itu cukup untuk jadi bahan tertawaan. Saat itu terjadi, seharusnya Al Yasa' dan kawan-kawannya malu dan langsung introspeksi, ada yang salah dengan Syari'at RANCANGAN mereka. Tapi faktanya, yang terjadi tidaklah demikian. Sudah terjadi kejadian memalukan seperti itu, AL Yasa' dan kawan-kawannya yang SOK JAGO itu malah tetap sibuk tebar pesona, berceramah soal moral dari mimbar ke mimbar.
Sampai terjadi kejadian di LANGSA, ini sudah kriminal. Al Yasa' dan kawan-kawannya yang merancang Qanun ini nggak bisa lagi seenaknya lepas tangan. Begitu pula orang-orang yang dulu dengan seenak perut mencap orang mengkritisi rancangan Qanun ini sebagai sebagai ANTI ISLAM, antek Amerika, bahkan Yahudi Laknatullah.
Semua hukum fisika, semua hukum mekanika, semua informasi tentang ilmu bahan bangunan adalah RANCANGAN TUHAN.
Untuk membuat sebuah bangunan, Insinyur Sipil yang sekolahnya memang mempelajari karakter hukum dan pengetahuan ini meramunya dan membuatnya menjadi sebuah gedung. Penempatan hukum yang salah, pemakaian bahan yang salah dalam sebuah rancangan, akan menghasilkan bangunan yang gagal.
Sama dengan Qanun Syari'at Islam, benar semua rancangan itu datang dari Tuhan. Tapi ada manusia yang meramu Hukum-Hukum Tuhan itu dan kemudian menjadikannya sebagai HUKUM untuk diterapkan kepada manusia lain.
Seperti kalau Insinyur Sipil itu salah membuat rancangan dan mengakibatkan gedung runtuh, maka Insinyur Sipil itulah yang salah meramu dan menempatkan hukum-hukum dan bahan yang diperlukan. Bukan TUHAN yang menciptakan HUKUM dan Bahan itu. Begitu pula dengan QANUN yang berdasarkan hukum-hukum Tuhan itu. Ketika rancangan Hukum yang dibuat berdasarkan HUKUM-HUKUM TUHAN itu salah.
Ya cuma orang Gila yang menyalahkan TUHAN, orang waras tentu akan menuntut pertanggung jawaban dari orang-orang yang meramu HUKUM-HUKUM Tuhan itu menjadi Hukum Praktis yang diterapkan kepada manusia yang kemudian bermasalah itu.
Pembubaran WH sama sekali bukan solusi untuk mengatasi masalah PEMERKOSAAN yang dilakukan oleh aparat POLISI MORAL ini. WH hanya PERANGKAT, kalau WH dibubarkan tanpa menyentuh masalah sebenarnya akan tumbuh lembaga yang entah dinamakan apalagi yang berfungsi sama dengan WH yaitu sebagai POLISI MORAL.
Selama masih ada sekelompok orang yang bisa seenaknya bikin HUKUM untuk diterapkan ke masyarakat banyak, tapi mereka BEBAS alias IMUN dari tanggung jawab atas segala masalah yang ditimbulkan oleh HUKUM hasil RANCANGAN MEREKA, maka produksi HUKUM-HUKUM konyol yang akan kembali makan korban akan tetap mengalir menyesaki ruang publik kita.
Ketika gedung dan jembatan yang baru dibangun RUNTUH dan MAKAN KORBAN, desainnya harus diperiksa. Jika terbukti desainnya salah, INSINYUR PERANCANGNYA harus dipenjara. Qanun Syaria'at Islam yang diberlakukan di Aceh juga sama, ketika Qanun itu makan korban, desainnya harus diperiksa dan jika terbukti desainnya salah PERANCANGNYA juga HARUS DIPENJARA.
Jangan biarkan orang-orang SOK JAGO itu enak-enakan tidur pulas, berceramah soal MORAL dari mimbar ke mimbar dan bermimpi setelah mati nanti akan masuk sorga dan disambut 77 bidadari, sementara akibat ulah SOK JAGO mereka, satu orang perempuan HANCUR secara psikologis, hancur kehormatannya, hancur masa depannya.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh Beragama ISLAM
WH Memperkosa, Tuntut Tanggung Jawab ALYASA' ABU BAKAR DKK
Pasca terjadinya kasus pemerkosaan yang terjadi terhadap seorang perempuan malang yang menjadi tahanan WH (POLISI MORAL). Di Aceh banyak sekali nada kemarahan yang ditujukan kepada lembaga ini. Mayoritas menumpahkan rasa geram kepada dua personel WH yang kurang ajar itu.
Secara umum, pendapat yang banyak beredar di dalam masyarakat Aceh adalah; " dalam kasus ini yang salah adalah personil WH, bukan lembaganya" .
Saya secara pribadi sangat tidak sepakat dengan pendapat itu.
Menurut saya dengan adanya kejadian ini yang salah justru keputusan untuk membentuk lembaga ini dengan tergesa-gesa yang sama sekali tidak urgens kebutuhannya. Yang salah dengan terjadinya kasus ini adalah orang-orang yang mendesain penerapan QANUN syari'at Islam dengan tergesa-gesa. Tanpa terlebih dahulu mempersiapkan segala infrastruktur pendukungnya.
Soal penerapan Syari'at Islam versi Aceh ini sendiri sebenarnya meninggalkan banyak pro dan kontra. Yang paling banyak mengemuka dan menjadi pertanyaan banyak orang adalah soal urgensi penerapan pasal-pasal yang dicakup dalam Syari'at Islam versi Aceh ini yang hanya mengurusi masalah remeh temeh, soal perjudian, relasi perempuan dan laki-laki dan shalat jum'at yang pelaksanaannya lebih banyak menyasar masyarakat kelas bawah.
Prioritas pilihan ini menjadi aneh karena faktanya semua masalah yang diatur dalam pasal-pasal Syari'at itu selama ini bukanlah masalah yang sudah sedemikian parah dan akut di Aceh, yang sebegitu parahnya merusak segala sendi kehidupan orang Aceh sampai-sampai pasal-pasal hukum konvensional tidak mampu lagi menanganinya, membuat rakyat Aceh begitu tertekan dan menderita sehingga untuk menanganinya pemerintah terpaksa harus membuat satu aturan 'istimewa'.
Sebaliknya, masalah di Aceh yang terlihat mengemuka dan memerlukan penanganan khusus dan membutuhkan undang-undang khusus justru menyangkut perilaku aparat dan para pengambil kebijakan yang sering membuat program yang tidak membumi, yang pelaksanaannya lebih banyak berorientasi 'proyek' yang menguntungkan kroni-kroni yang dekat dengan penguasa, bukan untuk kepentingan orang banyak.
Di Aceh, begitu banyak masalah yang membuat masyarakat tertekan. Ada banyak daerah yang belum memiliki akses jalan, bahkan banyak daerah yang belum tersentuh aliran listrik. Kualitas pendidikan di banyak daerah juga begitu memprihatinkan. Masalah lingkungan juga demikian, kita melihat kekuatan pemerintah menjadi begitu mandul ketika berhadapan para cukong kayu.
Pasca tsunami, masyarakat melihat begitu banyak pejabat yang kelebihan uang. Banyak yang tidak malu memamerkan perilaku bermewah-mewahan. Ada banyak anak yatim yang dieksploitasi, tahanan politik yang masih belum dibebaskan dan banyak masalah lagi yang memang langsung bersentuhan dengan masyarakat yang penangannya memerlukan kesigapan pemegang kebijakan alias penguasa. Yang justru saking parahnya kita merasa untuk masalah itu diperlukan undang-undang khusus.
Jadi kalau penerapan syari'at Islam di Aceh ini sasarannya memang untuk kemaslahatan umat dan menegakkan kehormatan ISLAM, kenapa yang menjadi PRIORITAS penerapannya adalah mengejar-ngejar perempuan dan urusan pribadi orang?...Kenapa Syari'at Islam ini tidak memprioritaskan mengejar kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang membuat sengsara banyak orang?
Keanehan dalam penentuan prioritas inilah yang membuat saya melihat si pembuat Qanun Syari'at Islam versi Aceh ini persis seperti orang nyinyir sok idealis yang saya temui di facebook beberapa hari yang lalu. Yang karena baru mendapat pelatihan investigasi oleh seorang mentor asal Amerika yang kebetulan pernah menyoroti permasalahan uang kecil kembalian pembayaran listrik di negaranya lalu jadi ikut-ikutan menyoroti kinerja PLN dengan mempermasalahkan, uang 100 - 500 rupiah yang tidak dikembalikan tiap kali pembayaran listrik bulanan. Yang untuk mengatasinya cukup mengorbankan para KEROCO alias pegawai-pegawai kelas rendahan. Ketika kita menanyakan alasannya untuk memprioritaskan masalah ini, dengan fasih si orang ini mengemukukakan alasan-alasan yang khas Amerika, tanpa merasa perlu memahami bahwa kondisi dan permasalahan kelistrikan di Aceh sama sekali berbeda, sehingga membutuhkan prioritas penanganan yang berbeda pula.
Begitu pula dengan para desainer Syari'at Islam versi Aceh ini, ketika kita tanyakan tentang urgensi penerapan undang-undang ini, dengan fasih mereka mengutip sejumlah ayat Qur'an dan Hadits sahih yang mendukung penerapan Qanun itu, tanpa merasa perlu memahami bahwa permasalahan, situasi dan kondisi Aceh saat ini membutuhkan prioritas yang berbeda.
Pemilihan prioritas seperti ini, ditambah dengan ketergesaan penerapan Qanun ini tanpa kesiapan infrastuktur dan tanpa kesiapan mentalitas personel yang memadai. Membuat banyak orang merasa penerapan Qanun ini hanyalah sekedar upaya dari para pembuat keputusan itu untuk menegaskan identitas keacehan yang melekat dengan Islam. Tapi oleh mereka, identitas keacehan yang melekat dengan Islam ini dipahami hanya sebatas penampilan kulit luar. Sehingga tidak bisa tidak, hal ini membuat banyak orang yang menilai bahwa penerapan Syari'at Islam versi Aceh ini tidak lebih dari sebuah proyek mercu suar yang lebih bersifat KOSMETIK daripada menyembuhkan.
Terbukti, kemudian ketika Syari'at Islam versi Aceh yang sejak ide pembentukannya banyak menuai kontroversi ini diterapkan, kita sama sekali tidak melihat adanya perubahan signifikan terhadap kesejahteraan dan kenyamanan hidup orang Aceh.
Pasca diterapkannya 'Syari'at Islam' versi Aceh ini, yang paling jelas kita lihat terjadi dalam masyarakat Aceh adalah; banyaknya perempuan baik-baik yang dicap TIDAK TERHORMAT. Kita melihat banyak perilaku barbar main hakim sendiri yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat terhadap para pasangan yang secara "syari'at Islam" dicap melanggar SUSILA.
Rekruitmen anggota WH ini sendiri banyak bermasalah. Yang merekrut dan mempekerjakan mereka tidak bisa menjamin bahwa Polisi Moral yang dibayar untuk mengawasi moral orang lain ini terdiri dari orang-orang yang mampu menjaga moralnya sendiri. Ini terbukti dari kejadian beberapa waktu yang lalu saat seorang anggota WH tertangkap basah sedang berbuat mesum di dalam toilet. Dan terakhir adalah kejadian perkosaan terhadap seorang tahanan perempuan ini, kejadian yang membuat kita semua orang Aceh merasa marah dan dipermalukan.
Dalam setiap kebudayaan dan masyarakat, selalu ada laki-laki dan perempuan yang tidak terhormat. Tapi dalam setiap kebudayaan dan masyarakat, hampir selalu, bukan laki-laki tapi hanya 'kehormatan' perempuanlah yang banyak menjadi sorotan masyarakat. Setiap kebudayaan dan masyarakat memiliki standar sendiri untuk menilai 'kehormatan' perempuan. setiap kebudayaan dan masyarakat memang rata-rata memandang nilai 'kehormatan' perempuan berdasarkan tingkah laku keseharian dan cara berpakaian.
Di Amerika, seorang artis yang bergoyang erotis memamerkan bagian-bagian sensitifnya di depan umum, seperti Beyonce dengan goyang pinggul erotisnya atau Madonna dengan berbagai kontroversinya pun masih dianggap terhormat.
Terhadap perempuan semacam ini, laki-laki Amerika tidak berani bertindak cabul, tapi beda halnya dengan pandangan dan perlakuan mereka terhadap pelacur dan pemain film porno. Orang Amerika tidak segan-segan menunjukkan 'mupeng'nya.
Lain tempat, lain pula standarnya.
Di beberapa kota besar di Indonesia, umumnya masyarakatnya punya standar tersendiri dalam menilai 'kehormatan' seorang perempuan. Para laki-laki punya banyak istilah untuk menyebut perempuan-perempuan yang dianggap bisa dijadikan pelampiasan birahi secara bebas atau berbayar. Istilah ini mulai dari Lonte dan pelacur yang paling kasar sampai ke istilah-istilah yang dihaluskan seperti 'bispak', 'ayam' dan sebagainya.
Dulu, dalam masyarakat Aceh, perempuan dipandang sebagai perempuan kurang baik, kalau berpakaian terbuka, suka berbicara nyerempet-nyerempet, terhadap perempuan seperti ini, banyak laki-laki yang tidak terhormat yang berani menunjukkan birahi secara terang-terangan.
Sementara itu asal berpakaian tertutup dan berbicara sopan, meskipun rambut terbuka, seorang perempuan masih dipandang sebagai perempuan baik-baik, laki-laki yang mengenalnya menaruh hormat pada perempuan semacam ini dan tidak akan berani berbuat macam-macam.
Tapi pasca berlakunya Syari'at Islam ini, tidak lagi. Standar bagi seorang perempuan untuk bisa dianggap sebagai perempuan TERHORMAT secara resmi dinaikkan.
Perempuan tak berjilbab, otomatis dicap sebagi perempuan tidak baik, khusus di Aceh barat malah meskipun mengenakan jilbab tapi memakai celana panjang bukan rok, tetap dikategorikan sebagai perempuan tidak terhormat, apalagi perempuan yang berboncengan dengan laki-laki dengan muhrim. Di masyarakat akar rumput banyak berkembang pemahaman seperti ini, mereka beranggapan perempuan yang berpacaran bukanlah perempuan baik-baik sehingga tidak perlu dihormati dan bisa dianggap sebagai 'milik umum'.
Pasca diterapkannya hukum syari'at Islam, melihat perempuan seperti ini tidak sedikit laki-laki tidak terhormat yang merasa tertantang untuk berbuat macam-macam.
Karena itulah, ketika aib pemerkosaan yang dilakukan personel WH ini saya justru sama sekali tidak menyalahkan personil WH pelaku pemerkosaan itu. Sebab saat menangkap perempuan itu, saya sangat yakin kalau para personel WH yang termasuk golongan laki-laki tidak terhormat ini membayangkan bahwa si perempuan ini adalah jenis perempuan yang'bisa dipakai'. Aparat WH termasuk golongan laki-laki tidak terhormat ini sama sekali tidak salah berpandangan demikian, karena secara Syari'at Islam yang diformalkan di Aceh, perempuan malang itu memang secara resmi dicap demikian.
Itulah sebabnya, mwenurut saya, yang perlu kita persalahkan dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang mendesain undang-undang yang bersifat KOSMETIK yang membuat gadis malang itu menjadi mendapat CAP demikian. Yang perlu kita persalahkan dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang membuat ketiga personil WH bejat itu memiliki KUASA untuk menahan seorang perempuan malang. Yang perlu kita persalahkan dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang secara fisik tidak ada di tempat itu, tapi tanpa ide konyol dan kebijakan tidak bijak mereka keluarkan, peristiwa biadab dan memalukan itu tidak akan pernah ada.
MEREKA-MEREKA inilah yang harus bertanggung jawab dan diminta pertanggung jawaban atas hancurnya kehormatan gadis malang yang diperkosa personel WH itu.
Mereka-mereka inilah yang seharusnya merasa malu dan menyembunyikan wajah dalam-dalam atas terjadinya peristiwa biadab yang mencoreng muka Aceh ini, bukannya malah menyalahkan keroco, sementara mereka sendiri dengan santai dan sok santunnya berceramah tentang moral dari mimbar ke mimbar.
Jadi kalau ada orang yang perlu dimintai tanggung jawab atas PERBUATAN BIADAB yang dilakukan oleh aparat WH itu, maka orang itu adalah ALYASA' ABU BAKAR dan kawan-kawan.
Dengan adanya kasus ini, ALYASA' ABU BAKAR dan kawan-kawan harus dibuat benar-benar MENGERTI dan SADAR, bahwa akibat dari Qanun Syari'at Islam yang tujuannya cuma untuk maksud KOSMETIK, yang penerapannya mereka paksakan ini. SEORANG PEREMPUAN ACEH telah hancur secara psikologis, kehilangan kehormatan, cita-cita dan masa depan.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh Beragama ISLAM
Secara umum, pendapat yang banyak beredar di dalam masyarakat Aceh adalah; " dalam kasus ini yang salah adalah personil WH, bukan lembaganya" .
Saya secara pribadi sangat tidak sepakat dengan pendapat itu.
Menurut saya dengan adanya kejadian ini yang salah justru keputusan untuk membentuk lembaga ini dengan tergesa-gesa yang sama sekali tidak urgens kebutuhannya. Yang salah dengan terjadinya kasus ini adalah orang-orang yang mendesain penerapan QANUN syari'at Islam dengan tergesa-gesa. Tanpa terlebih dahulu mempersiapkan segala infrastruktur pendukungnya.
Soal penerapan Syari'at Islam versi Aceh ini sendiri sebenarnya meninggalkan banyak pro dan kontra. Yang paling banyak mengemuka dan menjadi pertanyaan banyak orang adalah soal urgensi penerapan pasal-pasal yang dicakup dalam Syari'at Islam versi Aceh ini yang hanya mengurusi masalah remeh temeh, soal perjudian, relasi perempuan dan laki-laki dan shalat jum'at yang pelaksanaannya lebih banyak menyasar masyarakat kelas bawah.
Prioritas pilihan ini menjadi aneh karena faktanya semua masalah yang diatur dalam pasal-pasal Syari'at itu selama ini bukanlah masalah yang sudah sedemikian parah dan akut di Aceh, yang sebegitu parahnya merusak segala sendi kehidupan orang Aceh sampai-sampai pasal-pasal hukum konvensional tidak mampu lagi menanganinya, membuat rakyat Aceh begitu tertekan dan menderita sehingga untuk menanganinya pemerintah terpaksa harus membuat satu aturan 'istimewa'.
Sebaliknya, masalah di Aceh yang terlihat mengemuka dan memerlukan penanganan khusus dan membutuhkan undang-undang khusus justru menyangkut perilaku aparat dan para pengambil kebijakan yang sering membuat program yang tidak membumi, yang pelaksanaannya lebih banyak berorientasi 'proyek' yang menguntungkan kroni-kroni yang dekat dengan penguasa, bukan untuk kepentingan orang banyak.
Di Aceh, begitu banyak masalah yang membuat masyarakat tertekan. Ada banyak daerah yang belum memiliki akses jalan, bahkan banyak daerah yang belum tersentuh aliran listrik. Kualitas pendidikan di banyak daerah juga begitu memprihatinkan. Masalah lingkungan juga demikian, kita melihat kekuatan pemerintah menjadi begitu mandul ketika berhadapan para cukong kayu.
Pasca tsunami, masyarakat melihat begitu banyak pejabat yang kelebihan uang. Banyak yang tidak malu memamerkan perilaku bermewah-mewahan. Ada banyak anak yatim yang dieksploitasi, tahanan politik yang masih belum dibebaskan dan banyak masalah lagi yang memang langsung bersentuhan dengan masyarakat yang penangannya memerlukan kesigapan pemegang kebijakan alias penguasa. Yang justru saking parahnya kita merasa untuk masalah itu diperlukan undang-undang khusus.
Jadi kalau penerapan syari'at Islam di Aceh ini sasarannya memang untuk kemaslahatan umat dan menegakkan kehormatan ISLAM, kenapa yang menjadi PRIORITAS penerapannya adalah mengejar-ngejar perempuan dan urusan pribadi orang?...Kenapa Syari'at Islam ini tidak memprioritaskan mengejar kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang membuat sengsara banyak orang?
Keanehan dalam penentuan prioritas inilah yang membuat saya melihat si pembuat Qanun Syari'at Islam versi Aceh ini persis seperti orang nyinyir sok idealis yang saya temui di facebook beberapa hari yang lalu. Yang karena baru mendapat pelatihan investigasi oleh seorang mentor asal Amerika yang kebetulan pernah menyoroti permasalahan uang kecil kembalian pembayaran listrik di negaranya lalu jadi ikut-ikutan menyoroti kinerja PLN dengan mempermasalahkan, uang 100 - 500 rupiah yang tidak dikembalikan tiap kali pembayaran listrik bulanan. Yang untuk mengatasinya cukup mengorbankan para KEROCO alias pegawai-pegawai kelas rendahan. Ketika kita menanyakan alasannya untuk memprioritaskan masalah ini, dengan fasih si orang ini mengemukukakan alasan-alasan yang khas Amerika, tanpa merasa perlu memahami bahwa kondisi dan permasalahan kelistrikan di Aceh sama sekali berbeda, sehingga membutuhkan prioritas penanganan yang berbeda pula.
Begitu pula dengan para desainer Syari'at Islam versi Aceh ini, ketika kita tanyakan tentang urgensi penerapan undang-undang ini, dengan fasih mereka mengutip sejumlah ayat Qur'an dan Hadits sahih yang mendukung penerapan Qanun itu, tanpa merasa perlu memahami bahwa permasalahan, situasi dan kondisi Aceh saat ini membutuhkan prioritas yang berbeda.
Pemilihan prioritas seperti ini, ditambah dengan ketergesaan penerapan Qanun ini tanpa kesiapan infrastuktur dan tanpa kesiapan mentalitas personel yang memadai. Membuat banyak orang merasa penerapan Qanun ini hanyalah sekedar upaya dari para pembuat keputusan itu untuk menegaskan identitas keacehan yang melekat dengan Islam. Tapi oleh mereka, identitas keacehan yang melekat dengan Islam ini dipahami hanya sebatas penampilan kulit luar. Sehingga tidak bisa tidak, hal ini membuat banyak orang yang menilai bahwa penerapan Syari'at Islam versi Aceh ini tidak lebih dari sebuah proyek mercu suar yang lebih bersifat KOSMETIK daripada menyembuhkan.
Terbukti, kemudian ketika Syari'at Islam versi Aceh yang sejak ide pembentukannya banyak menuai kontroversi ini diterapkan, kita sama sekali tidak melihat adanya perubahan signifikan terhadap kesejahteraan dan kenyamanan hidup orang Aceh.
Pasca diterapkannya 'Syari'at Islam' versi Aceh ini, yang paling jelas kita lihat terjadi dalam masyarakat Aceh adalah; banyaknya perempuan baik-baik yang dicap TIDAK TERHORMAT. Kita melihat banyak perilaku barbar main hakim sendiri yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat terhadap para pasangan yang secara "syari'at Islam" dicap melanggar SUSILA.
Rekruitmen anggota WH ini sendiri banyak bermasalah. Yang merekrut dan mempekerjakan mereka tidak bisa menjamin bahwa Polisi Moral yang dibayar untuk mengawasi moral orang lain ini terdiri dari orang-orang yang mampu menjaga moralnya sendiri. Ini terbukti dari kejadian beberapa waktu yang lalu saat seorang anggota WH tertangkap basah sedang berbuat mesum di dalam toilet. Dan terakhir adalah kejadian perkosaan terhadap seorang tahanan perempuan ini, kejadian yang membuat kita semua orang Aceh merasa marah dan dipermalukan.
Dalam setiap kebudayaan dan masyarakat, selalu ada laki-laki dan perempuan yang tidak terhormat. Tapi dalam setiap kebudayaan dan masyarakat, hampir selalu, bukan laki-laki tapi hanya 'kehormatan' perempuanlah yang banyak menjadi sorotan masyarakat. Setiap kebudayaan dan masyarakat memiliki standar sendiri untuk menilai 'kehormatan' perempuan. setiap kebudayaan dan masyarakat memang rata-rata memandang nilai 'kehormatan' perempuan berdasarkan tingkah laku keseharian dan cara berpakaian.
Di Amerika, seorang artis yang bergoyang erotis memamerkan bagian-bagian sensitifnya di depan umum, seperti Beyonce dengan goyang pinggul erotisnya atau Madonna dengan berbagai kontroversinya pun masih dianggap terhormat.
Terhadap perempuan semacam ini, laki-laki Amerika tidak berani bertindak cabul, tapi beda halnya dengan pandangan dan perlakuan mereka terhadap pelacur dan pemain film porno. Orang Amerika tidak segan-segan menunjukkan 'mupeng'nya.
Lain tempat, lain pula standarnya.
Di beberapa kota besar di Indonesia, umumnya masyarakatnya punya standar tersendiri dalam menilai 'kehormatan' seorang perempuan. Para laki-laki punya banyak istilah untuk menyebut perempuan-perempuan yang dianggap bisa dijadikan pelampiasan birahi secara bebas atau berbayar. Istilah ini mulai dari Lonte dan pelacur yang paling kasar sampai ke istilah-istilah yang dihaluskan seperti 'bispak', 'ayam' dan sebagainya.
Dulu, dalam masyarakat Aceh, perempuan dipandang sebagai perempuan kurang baik, kalau berpakaian terbuka, suka berbicara nyerempet-nyerempet, terhadap perempuan seperti ini, banyak laki-laki yang tidak terhormat yang berani menunjukkan birahi secara terang-terangan.
Sementara itu asal berpakaian tertutup dan berbicara sopan, meskipun rambut terbuka, seorang perempuan masih dipandang sebagai perempuan baik-baik, laki-laki yang mengenalnya menaruh hormat pada perempuan semacam ini dan tidak akan berani berbuat macam-macam.
Tapi pasca berlakunya Syari'at Islam ini, tidak lagi. Standar bagi seorang perempuan untuk bisa dianggap sebagai perempuan TERHORMAT secara resmi dinaikkan.
Perempuan tak berjilbab, otomatis dicap sebagi perempuan tidak baik, khusus di Aceh barat malah meskipun mengenakan jilbab tapi memakai celana panjang bukan rok, tetap dikategorikan sebagai perempuan tidak terhormat, apalagi perempuan yang berboncengan dengan laki-laki dengan muhrim. Di masyarakat akar rumput banyak berkembang pemahaman seperti ini, mereka beranggapan perempuan yang berpacaran bukanlah perempuan baik-baik sehingga tidak perlu dihormati dan bisa dianggap sebagai 'milik umum'.
Pasca diterapkannya hukum syari'at Islam, melihat perempuan seperti ini tidak sedikit laki-laki tidak terhormat yang merasa tertantang untuk berbuat macam-macam.
Karena itulah, ketika aib pemerkosaan yang dilakukan personel WH ini saya justru sama sekali tidak menyalahkan personil WH pelaku pemerkosaan itu. Sebab saat menangkap perempuan itu, saya sangat yakin kalau para personel WH yang termasuk golongan laki-laki tidak terhormat ini membayangkan bahwa si perempuan ini adalah jenis perempuan yang'bisa dipakai'. Aparat WH termasuk golongan laki-laki tidak terhormat ini sama sekali tidak salah berpandangan demikian, karena secara Syari'at Islam yang diformalkan di Aceh, perempuan malang itu memang secara resmi dicap demikian.
Itulah sebabnya, mwenurut saya, yang perlu kita persalahkan dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang mendesain undang-undang yang bersifat KOSMETIK yang membuat gadis malang itu menjadi mendapat CAP demikian. Yang perlu kita persalahkan dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang membuat ketiga personil WH bejat itu memiliki KUASA untuk menahan seorang perempuan malang. Yang perlu kita persalahkan dalam kasus ini adalah mereka-mereka yang secara fisik tidak ada di tempat itu, tapi tanpa ide konyol dan kebijakan tidak bijak mereka keluarkan, peristiwa biadab dan memalukan itu tidak akan pernah ada.
MEREKA-MEREKA inilah yang harus bertanggung jawab dan diminta pertanggung jawaban atas hancurnya kehormatan gadis malang yang diperkosa personel WH itu.
Mereka-mereka inilah yang seharusnya merasa malu dan menyembunyikan wajah dalam-dalam atas terjadinya peristiwa biadab yang mencoreng muka Aceh ini, bukannya malah menyalahkan keroco, sementara mereka sendiri dengan santai dan sok santunnya berceramah tentang moral dari mimbar ke mimbar.
Jadi kalau ada orang yang perlu dimintai tanggung jawab atas PERBUATAN BIADAB yang dilakukan oleh aparat WH itu, maka orang itu adalah ALYASA' ABU BAKAR dan kawan-kawan.
Dengan adanya kasus ini, ALYASA' ABU BAKAR dan kawan-kawan harus dibuat benar-benar MENGERTI dan SADAR, bahwa akibat dari Qanun Syari'at Islam yang tujuannya cuma untuk maksud KOSMETIK, yang penerapannya mereka paksakan ini. SEORANG PEREMPUAN ACEH telah hancur secara psikologis, kehilangan kehormatan, cita-cita dan masa depan.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh Beragama ISLAM
Rabu, 06 Januari 2010
Bukan Off Roader, Aceh Butuh Pemimpin Handal
Menjelang tahun baru kemarin, The Globe Journal, sebuah media online yang banyak menurunkan berita tentang segala permasalahan di bumi Gayo menurunkan beberapa berita tentang kegiatan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang berkunjung tiba-tiba ke daerah ini.
Salah satu berita yang paling menarik perhatian adalah berita tentang kunjungan mendadak Gubernur ke Samarkilang, sebuah daerah terpencil di kabupaten Bener Meriah yang terisolasi sejak zaman Belanda tanpa pernah memiliki infrastruktur jalan yang baik.
Yang ditonjolkan dari berita ini adalah bagaimana sang gubernur mengendarai sendiri Jeep-nya menembus jalanan berlumpur untuk menuju ke Samarkilang. Aksi ini diabadikan dengan sebuah foto yang menggambarkan dengan jelas bagaimana Jeep hitam yang dikendarai sang Gubernur terperangkap di jalanan berlumpur.
Berita yang dimuat TGJ ini mengingatkan kita pada peristiwa yang terjadi di masa awal pemerintahan Irwandi, ketika sang gubernur dengan gagahnya menyetir sendiri mobilnya mendatangi panglong-panglong dan pabrik pengolahan kayu hasil pembalakan liar untuk mengetahui sendiri apa yang terjadi tanpa ditutup-tutupi. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh gubernur-gubernur sebelumnya.
Dalam menjalankan peran barunya, Irwandi mengabaikan segala aturan protokoler yang tidak perlu yang menghalangi kedekatan seorang pemimpin dengan rakyatnya. Misalnya dalam perjalanan itu, Irwandi melarang para petugas yang mengawalnya untuk bertindak over acting di jalanan hanya karena dirinya lewat.
Waktu itu, banyak orang, termasuk saya mendapat kesan bahwa gubernur yang baru terpilih ini benar-benar seorang gubernur dari rakyat untuk rakyat yang berkuasa semata untuk kepentingan rakyat, bukan kelompok atau kerabat dekatnya. Ini mengingatkan saya pada sikap almarhum Gus Dur selama dirinya menjabat presiden.
Waktu berlalu, rakyat Aceh pun dengan penuh rasa optimis menunggu hasil gebrakan Irwandi, satu-satunya Gubernur di Indonesia yang terpilih melalui jalur independen untuk mensejahterakan rakyat di provinsi yang lelah didera konflik dan bencana ini.
Setahun dua tahun tidak ada gebrakan yang signifikan. Yang kita lihat dan rasakan, selama masa kepemimpinannya yang sudah memasuki masa tiga tahun ini. Kegiatan mencolok yang dilakukan Irwandi adalah aktifitas jalan-jalan, yang menurut sang gubernur adalah kegiatan mencari investor.
***
Pasca Irwandi menyetir sendiri mobilnya ketika melakukan sidak terhadap para pembalak liar tersebut, dengan bantuan dari para penasehatnya, Irwandi mengeluarkan sebuah gagasan yang dia namakan Green Aceh, sebagai sebuah gerakan untuk penyelamatan lingkungan.
Konsep Green Aceh yang diluncurkannya ini terkesan menjiplak konsep yang penyelamatan hutan yang dilakukan negara-negara eropa, yang tidak memiliki masalah kehutanan yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat tradisional yang tinggal di kampung-kampung yang berbatasan dengan hutan tersebut.
Ide luar biasa ini ternyata bergaung sedemikian kencang sampai ke luar negeri, sehingga Irwandi pun diundang oleh Gubernur California, Arnold Schwarzenegger yang terkenal itu untuk mengikuti sebuah konferensi lingkungan yang dia selenggarakan di sana.
Selain Irwandi, acara yang digagas Arnold ini juga dihadiri beberapa gubernur koleganya, baik dari Amerika sendiri maupun negara-negara kacung Amerika yang kebijakan lingkungannya didikte oleh negara Paman Sam itu.
Hasilnya?. Pasca acara di California itu, salah seorang Gubernur yang mengahadiri acara tersebut, yaitu gubernur negara bagian Illinois ditangkap karena korupsi.
Irwandi sendiri, sekembalinya ke Aceh, melalui tim humasnya dia mempublikasikan kegiatannya selama di California itu secara besar-besaran. Tim Humas Irwandi memblok satu tempat di halaman depan Serambi Indonesia, koran dengan oplag terbesar di Aceh untuk menginformasikan apa saja yang dilakuklan Irwandi saat menghadiri acara itu.
Melalui berbagai informasi yang disampaikan oleh tim Humas Irwandi ini kita menangkap kesan bahwa konsep Green Aceh-nya Irwandi ini begitu luar biasa dan benar-benar telah menjadi solusi mengatasi perusakan lingkungan di Aceh.
Tapi lain di kertas, lain pula di lapangan. Green Aceh yang dicanangkan Irwandi ternyata hanya konsep yang indah di kertas dan di panggung-panggung berbagai forum seminar. Sementara di lapangan, sama sekali tidak ada perubahan, sebagaimana hari ini kita saksikan, perusakan lingkungan yang terjadi di Aceh jangankan bisa dihentikan, malah intensitasnya sama sekali tidak berkurang.
Kebijakan tidak membumi yang diterapkan oleh Irwandi pada masalah lingkungan ini, sebentuk sebangun dengan kebijakannya terhadap semua aspek yang menjadi tanggung jawab pemerintahannya.
Kebijakan yang paling ironis yang dikeluarkan Irwandi adalah di bidang peternakan. Secara profesional, Irwandi adalah dokter hewan yang aktivitasnya adalah mengurusi masalah ternak. Latar belakang Profesional ini didukung pula dengan sumber daya alam yang menjanjikan. Aceh memiliki padang rumput yang luas yang dengan jelas kita lihat misalnya di Aceh Besar , Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Bener Meriah.
Dengan potensi sebesar itu, aneh rasanya mengetahui bahwa Aceh termasuk daerah yang sangat kekurangan produksi daging. Harga daging di provinsi ini termasuk salah satu yang tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan fakta ini, tidak heran banyak yang berharap akan ada perbaikan positif di sektor ini di bawah kepemimpinan Irwandi.
Tapi apa yang terjadi?.
Untuk mengatasi masalah mahalnya harga daging ini, Irwandi malah mengeluarkan kebijakan jalan pintas, yaitu MENGIMPOR SAPI.
Jadi kalau untuk menangani masalah yang merupakan keahlian profesionalnya saja Irwandi kewalahan, apatah lagi kita berbicara masalah lain soal strategi pengelolaan dan dan pembangunan infrastruktur dan lain-lain, tentu lebih kacau lagi.
Itulah sebabnya belakangan ini nada-nada tidak puas terhadap kepemimpinan Irwandi pun mulai bermunculan.
Nada-nada tidak puas itu mencuat dari berbagai kelas sosial dan kalangan. Di level bawah para pengungsi korban tsunami yang belum mendapatkan haknya mulai merasa kesal dan merasa telah salah pilih saat memilih Irwandi sebagai gubernur. Di level lain, para kontraktor pelaksana berbagai proyek mulai mengeluh ketika mereka kesulitan untuk meyelesaikan proyek yang mereka kerjakan karena rumitnya birokrasi untuk mencairkan uang untuk membiayai proyek yang mereka kerjakan. Di level birokrasi, para pegawai dan birokrat yang sudah lama malang-melintang dalam birokrasi pemerintahan Aceh mengeluhkan gaya kepemimpinan Irwandi yang hanya bisa marah-marah dan mencurigai bawahan tanpa bisa memberikan solusi nyata apa yang harus dilakukan. Sehingga mereka menjadi serba salah terhadap setiap langkah yang akan mereka lakukan.
Menanggapi berbagai ketidak puasan ini, dulu, pembelaan yang jamak kita dengar dari Irwandi dan orang-orangnya adalah, itu karena parlemen dikuasai oleh orang-orang pro Jakarta yang tidak ingin Aceh sejahtera.
Tapi ketika di akhir tahun 2009 ini muncul informasi yang menghentak kesadaran, bahwa dari 9,7 Trilyun APBA kurang dari 50% yang bisa disalurkan. Seperti biasa Irwandi dan orang-orangnya tidak secara taktis dan terstruktur menjawab kenapa hal itu bisa terjadi. Mereka ter lihat kelimpungan, Jakarta tidak bisa lagi dijadikan kambing hitam, karena sekarang parlemen sekarang dikuasai oleh partai lokal yang kita tahu persis memiliki komitmen sangat tinggi untuk mensejahterakan rakyat Aceh.
Hebatnya, fakta itu tidak membuat orang-orang pro Irwandi kehilangan akal. Meski Irwandi sendiri tidak pernah berkomentar terang-terangan, tapi orang-orang pro Irwandi dengan kreatif segera menemukan KAMBING HITAM baru. Mereka mengatakan bahwa orang yang menghembuskan berita ini adalah orang-orang yang dulu pernah bekerja menikmati gaji besar di berbagai lembaga asing yang berebutan datang ke Aceh pasca tsunami , untuk menyalurkan ‘uang darah’. Orang-orang yang sekarang sama sekali tidak mendapat jatah di pemerintahan. Sementara itu inti persoalan kenapa kegagalan penyaluran APBA itu bisa terjadi. Sebagaimana biasanya, tetap kabur tanpa penjelasan.
Ketika pertanyaan tentang kegagalan penyaluran APBA ini semakin kencang mengemuka, muncullah berita di TGJ seperti yang saya kutip di atas.
Ketika berita dan foto ini dipost ke facebook, dibumbui dengan pernyataan Irwandi bahwa dia sengaja melakukan itu tanpa berkoordinasi dengan bupati agar dia dapat merasakan sendiri apa yang terjadi di lapangan. Banyak terpukau dengan aksi 'heroik' sang Gubernur ini. Salah satunya berkomentar kalau Gubernur Aceh sepertinya sedang menerapkan gaya kepemimpinan Umar Bin Abdul Aziz, seorang khalifah legendaris di masa-masa awal penyebaran Islam.
Tapi saya dan orang yang sedikit lebih baik daya ingatnya segera menyadari bahwa aktifitas 'heroik' yang dilakukan Irwandi itu sama sekali tidak ada korelasinya dengan penyelesaian masalah yang ada. Sebagaimana yang terjadi terhadap konsep Green Aceh-nya.
Gaya pemerintahan Irwandi ini mengingatkan saya pada Lech Walesa yang menjadi presiden Polandia pasca kemenangan Solidarnosc. Saat itu dia begitu populer, di pundaknya dibebani berjuta harapan rakyat Polandia yang menggantung tinggi di langit. Gaya pemerintahan yang sangat pintar menarik hati masyarakat, tapi sangat lemah dalam manajemen dan tata kelola.
Sejarah menunjukkan kalau gaya pemerintahan seperti ini membuat Lech Walesa ditinggalkan rakyat Polandia dan Solidarnosc partai pendukungnya yang secara heroik menumbangkan kekuasaan komunis di negeri itu pun sampai hari ini tidak pernah lagi memenangi Pemilu.
Melihat situasi Aceh saat ini, sulit bagi saya untuk tidak meyakini kalau apa yang dialami oleh Lech Walesa akan juga dialami oleh Irwandi.
Hal ini mungkin bisa dihindari jika mulai sekarang pemerintahan Irwandi mulai mau membenahi diri. Dengan mulai menerapkan kebijakan yang memang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat, bukan hanya dengan meng copy-paste masukan-masukan yang diberikan para penasehat asingnya yang tanpa sadar memberikan masukan yang sebenarnya hanya cocok untuk diterapkan di negeri asal mereka.
Caranya mungkin Irwandi bisa memulai dengan merangkul orang-orang yang memiliki banyak ide besar yang mengerti kebutuhan orang Aceh, yang sekarang menjadi para pengkritik pemerintahan Irwandi-Nazar.
Hal itu menurut saya perlu dilakukan oleh Irwandi, karena memang saat ini yang dibutuhkan oleh rakyat Aceh adalah seorang pemimpin handal yang mengerti permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Pemimpin yang bisa memberikan solusi nyata, bukan seorang Off Roader yang tampak macho di belakang stir mobilnya.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh suku Gayo
Salah satu berita yang paling menarik perhatian adalah berita tentang kunjungan mendadak Gubernur ke Samarkilang, sebuah daerah terpencil di kabupaten Bener Meriah yang terisolasi sejak zaman Belanda tanpa pernah memiliki infrastruktur jalan yang baik.
Yang ditonjolkan dari berita ini adalah bagaimana sang gubernur mengendarai sendiri Jeep-nya menembus jalanan berlumpur untuk menuju ke Samarkilang. Aksi ini diabadikan dengan sebuah foto yang menggambarkan dengan jelas bagaimana Jeep hitam yang dikendarai sang Gubernur terperangkap di jalanan berlumpur.
Berita yang dimuat TGJ ini mengingatkan kita pada peristiwa yang terjadi di masa awal pemerintahan Irwandi, ketika sang gubernur dengan gagahnya menyetir sendiri mobilnya mendatangi panglong-panglong dan pabrik pengolahan kayu hasil pembalakan liar untuk mengetahui sendiri apa yang terjadi tanpa ditutup-tutupi. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh gubernur-gubernur sebelumnya.
Dalam menjalankan peran barunya, Irwandi mengabaikan segala aturan protokoler yang tidak perlu yang menghalangi kedekatan seorang pemimpin dengan rakyatnya. Misalnya dalam perjalanan itu, Irwandi melarang para petugas yang mengawalnya untuk bertindak over acting di jalanan hanya karena dirinya lewat.
Waktu itu, banyak orang, termasuk saya mendapat kesan bahwa gubernur yang baru terpilih ini benar-benar seorang gubernur dari rakyat untuk rakyat yang berkuasa semata untuk kepentingan rakyat, bukan kelompok atau kerabat dekatnya. Ini mengingatkan saya pada sikap almarhum Gus Dur selama dirinya menjabat presiden.
Waktu berlalu, rakyat Aceh pun dengan penuh rasa optimis menunggu hasil gebrakan Irwandi, satu-satunya Gubernur di Indonesia yang terpilih melalui jalur independen untuk mensejahterakan rakyat di provinsi yang lelah didera konflik dan bencana ini.
Setahun dua tahun tidak ada gebrakan yang signifikan. Yang kita lihat dan rasakan, selama masa kepemimpinannya yang sudah memasuki masa tiga tahun ini. Kegiatan mencolok yang dilakukan Irwandi adalah aktifitas jalan-jalan, yang menurut sang gubernur adalah kegiatan mencari investor.
***
Pasca Irwandi menyetir sendiri mobilnya ketika melakukan sidak terhadap para pembalak liar tersebut, dengan bantuan dari para penasehatnya, Irwandi mengeluarkan sebuah gagasan yang dia namakan Green Aceh, sebagai sebuah gerakan untuk penyelamatan lingkungan.
Konsep Green Aceh yang diluncurkannya ini terkesan menjiplak konsep yang penyelamatan hutan yang dilakukan negara-negara eropa, yang tidak memiliki masalah kehutanan yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat tradisional yang tinggal di kampung-kampung yang berbatasan dengan hutan tersebut.
Ide luar biasa ini ternyata bergaung sedemikian kencang sampai ke luar negeri, sehingga Irwandi pun diundang oleh Gubernur California, Arnold Schwarzenegger yang terkenal itu untuk mengikuti sebuah konferensi lingkungan yang dia selenggarakan di sana.
Selain Irwandi, acara yang digagas Arnold ini juga dihadiri beberapa gubernur koleganya, baik dari Amerika sendiri maupun negara-negara kacung Amerika yang kebijakan lingkungannya didikte oleh negara Paman Sam itu.
Hasilnya?. Pasca acara di California itu, salah seorang Gubernur yang mengahadiri acara tersebut, yaitu gubernur negara bagian Illinois ditangkap karena korupsi.
Irwandi sendiri, sekembalinya ke Aceh, melalui tim humasnya dia mempublikasikan kegiatannya selama di California itu secara besar-besaran. Tim Humas Irwandi memblok satu tempat di halaman depan Serambi Indonesia, koran dengan oplag terbesar di Aceh untuk menginformasikan apa saja yang dilakuklan Irwandi saat menghadiri acara itu.
Melalui berbagai informasi yang disampaikan oleh tim Humas Irwandi ini kita menangkap kesan bahwa konsep Green Aceh-nya Irwandi ini begitu luar biasa dan benar-benar telah menjadi solusi mengatasi perusakan lingkungan di Aceh.
Tapi lain di kertas, lain pula di lapangan. Green Aceh yang dicanangkan Irwandi ternyata hanya konsep yang indah di kertas dan di panggung-panggung berbagai forum seminar. Sementara di lapangan, sama sekali tidak ada perubahan, sebagaimana hari ini kita saksikan, perusakan lingkungan yang terjadi di Aceh jangankan bisa dihentikan, malah intensitasnya sama sekali tidak berkurang.
Kebijakan tidak membumi yang diterapkan oleh Irwandi pada masalah lingkungan ini, sebentuk sebangun dengan kebijakannya terhadap semua aspek yang menjadi tanggung jawab pemerintahannya.
Kebijakan yang paling ironis yang dikeluarkan Irwandi adalah di bidang peternakan. Secara profesional, Irwandi adalah dokter hewan yang aktivitasnya adalah mengurusi masalah ternak. Latar belakang Profesional ini didukung pula dengan sumber daya alam yang menjanjikan. Aceh memiliki padang rumput yang luas yang dengan jelas kita lihat misalnya di Aceh Besar , Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Bener Meriah.
Dengan potensi sebesar itu, aneh rasanya mengetahui bahwa Aceh termasuk daerah yang sangat kekurangan produksi daging. Harga daging di provinsi ini termasuk salah satu yang tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan fakta ini, tidak heran banyak yang berharap akan ada perbaikan positif di sektor ini di bawah kepemimpinan Irwandi.
Tapi apa yang terjadi?.
Untuk mengatasi masalah mahalnya harga daging ini, Irwandi malah mengeluarkan kebijakan jalan pintas, yaitu MENGIMPOR SAPI.
Jadi kalau untuk menangani masalah yang merupakan keahlian profesionalnya saja Irwandi kewalahan, apatah lagi kita berbicara masalah lain soal strategi pengelolaan dan dan pembangunan infrastruktur dan lain-lain, tentu lebih kacau lagi.
Itulah sebabnya belakangan ini nada-nada tidak puas terhadap kepemimpinan Irwandi pun mulai bermunculan.
Nada-nada tidak puas itu mencuat dari berbagai kelas sosial dan kalangan. Di level bawah para pengungsi korban tsunami yang belum mendapatkan haknya mulai merasa kesal dan merasa telah salah pilih saat memilih Irwandi sebagai gubernur. Di level lain, para kontraktor pelaksana berbagai proyek mulai mengeluh ketika mereka kesulitan untuk meyelesaikan proyek yang mereka kerjakan karena rumitnya birokrasi untuk mencairkan uang untuk membiayai proyek yang mereka kerjakan. Di level birokrasi, para pegawai dan birokrat yang sudah lama malang-melintang dalam birokrasi pemerintahan Aceh mengeluhkan gaya kepemimpinan Irwandi yang hanya bisa marah-marah dan mencurigai bawahan tanpa bisa memberikan solusi nyata apa yang harus dilakukan. Sehingga mereka menjadi serba salah terhadap setiap langkah yang akan mereka lakukan.
Menanggapi berbagai ketidak puasan ini, dulu, pembelaan yang jamak kita dengar dari Irwandi dan orang-orangnya adalah, itu karena parlemen dikuasai oleh orang-orang pro Jakarta yang tidak ingin Aceh sejahtera.
Tapi ketika di akhir tahun 2009 ini muncul informasi yang menghentak kesadaran, bahwa dari 9,7 Trilyun APBA kurang dari 50% yang bisa disalurkan. Seperti biasa Irwandi dan orang-orangnya tidak secara taktis dan terstruktur menjawab kenapa hal itu bisa terjadi. Mereka ter lihat kelimpungan, Jakarta tidak bisa lagi dijadikan kambing hitam, karena sekarang parlemen sekarang dikuasai oleh partai lokal yang kita tahu persis memiliki komitmen sangat tinggi untuk mensejahterakan rakyat Aceh.
Hebatnya, fakta itu tidak membuat orang-orang pro Irwandi kehilangan akal. Meski Irwandi sendiri tidak pernah berkomentar terang-terangan, tapi orang-orang pro Irwandi dengan kreatif segera menemukan KAMBING HITAM baru. Mereka mengatakan bahwa orang yang menghembuskan berita ini adalah orang-orang yang dulu pernah bekerja menikmati gaji besar di berbagai lembaga asing yang berebutan datang ke Aceh pasca tsunami , untuk menyalurkan ‘uang darah’. Orang-orang yang sekarang sama sekali tidak mendapat jatah di pemerintahan. Sementara itu inti persoalan kenapa kegagalan penyaluran APBA itu bisa terjadi. Sebagaimana biasanya, tetap kabur tanpa penjelasan.
Ketika pertanyaan tentang kegagalan penyaluran APBA ini semakin kencang mengemuka, muncullah berita di TGJ seperti yang saya kutip di atas.
Ketika berita dan foto ini dipost ke facebook, dibumbui dengan pernyataan Irwandi bahwa dia sengaja melakukan itu tanpa berkoordinasi dengan bupati agar dia dapat merasakan sendiri apa yang terjadi di lapangan. Banyak terpukau dengan aksi 'heroik' sang Gubernur ini. Salah satunya berkomentar kalau Gubernur Aceh sepertinya sedang menerapkan gaya kepemimpinan Umar Bin Abdul Aziz, seorang khalifah legendaris di masa-masa awal penyebaran Islam.
Tapi saya dan orang yang sedikit lebih baik daya ingatnya segera menyadari bahwa aktifitas 'heroik' yang dilakukan Irwandi itu sama sekali tidak ada korelasinya dengan penyelesaian masalah yang ada. Sebagaimana yang terjadi terhadap konsep Green Aceh-nya.
Gaya pemerintahan Irwandi ini mengingatkan saya pada Lech Walesa yang menjadi presiden Polandia pasca kemenangan Solidarnosc. Saat itu dia begitu populer, di pundaknya dibebani berjuta harapan rakyat Polandia yang menggantung tinggi di langit. Gaya pemerintahan yang sangat pintar menarik hati masyarakat, tapi sangat lemah dalam manajemen dan tata kelola.
Sejarah menunjukkan kalau gaya pemerintahan seperti ini membuat Lech Walesa ditinggalkan rakyat Polandia dan Solidarnosc partai pendukungnya yang secara heroik menumbangkan kekuasaan komunis di negeri itu pun sampai hari ini tidak pernah lagi memenangi Pemilu.
Melihat situasi Aceh saat ini, sulit bagi saya untuk tidak meyakini kalau apa yang dialami oleh Lech Walesa akan juga dialami oleh Irwandi.
Hal ini mungkin bisa dihindari jika mulai sekarang pemerintahan Irwandi mulai mau membenahi diri. Dengan mulai menerapkan kebijakan yang memang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat, bukan hanya dengan meng copy-paste masukan-masukan yang diberikan para penasehat asingnya yang tanpa sadar memberikan masukan yang sebenarnya hanya cocok untuk diterapkan di negeri asal mereka.
Caranya mungkin Irwandi bisa memulai dengan merangkul orang-orang yang memiliki banyak ide besar yang mengerti kebutuhan orang Aceh, yang sekarang menjadi para pengkritik pemerintahan Irwandi-Nazar.
Hal itu menurut saya perlu dilakukan oleh Irwandi, karena memang saat ini yang dibutuhkan oleh rakyat Aceh adalah seorang pemimpin handal yang mengerti permasalahan yang dihadapi rakyatnya. Pemimpin yang bisa memberikan solusi nyata, bukan seorang Off Roader yang tampak macho di belakang stir mobilnya.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Aceh suku Gayo
Langganan:
Postingan (Atom)