Tanggal 19 November yang lalu, bertempat di Hotel Hermes Palace, saya mengikuti konferensi internasional yang diprakakarsai oleh Interpeace dan ASEM networks. Konferensi yang diberi tema “Locals, “Outsiders” and Conflict ini salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi baru dan analisa yang solid tentang bagaimana komunitas lokal dan komunitas pendatang mempengaruhi dinamika perdamaian dan konflik.
Berbeda dengan diskusi di acara peluncuran buku yang saya hadiri dua hari sebelumnya, dalam konferensi yang dihadiri oleh banyak ahli dari berbagai negara dengan membawa informasi dan pengalaman masing-masing dalam memetakan dan menangani konflik ini saya menemukan banyak informasi baru yang dapat digunakan untuk memetakan dan menemukan solusi yang tepat untuk menangani situasi perpolitikan Aceh saat ini.
Khusus untuk memahami permasalahan yang terjadi di kampung halaman saya berkaitan dengan isu ALA. Saya merasa sangat tertarik pada makalah dari dua pembicara dalam konferensi ini. Pertama makalah dari pembicara asal Aceh, Dr.Humam Hamid yang dan yang kedua adalah makalah dari pembicara asal Barcelona, Dr.Jordi Urgell.
Dalam makalahnya dia beri judul ‘Dynamics of Ethnic Relationships in Aceh’ Dr.Humam mengatakan bahwa berkembangnya isu diskriminasi etnis di Aceh belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah dan masyarakat Aceh pesisir yang merupakan etnis dominan di provinsi ini yang kurang menghormati budaya etnis minoritas yang juga merupakan penduduk asli provinsi Aceh.
Makalah Dr.Humam ini menarik bagi saya karena ide-ide yang ditulis Dr.Humam dalam makalahnya banyak yang sejalan dengan pandangan saya selama ini. Misalnya dalam berbagai tulisan yang saya post di blog saya www.winwannur.blogspot.com dan www.gayocare.blogspot.com, saya selalu membedakan antara Aceh sebagai sebuah wilayah dan Aceh sebagai sebuah etnis. Aceh sebagai etnis adalah Orang Aceh yang tinggal di pesisir, sedangkan Aceh sebagai sebuah wilayah adalah Aceh yang dihuni oleh 9 macam etnis penduduk asli.
Seperti yang sering saya nyatakan dalam berbagai tulisan saya. Dalam makalahnya Dr.Humam juga menjelaskan hal yang sama. Sayangnya menurut Dr.Humam kenyataan ini tidak disadari atau pura-pura tidak disadari oleh etnis Aceh dan juga pemerintah Aceh yang didominasi oleh orang Aceh yang berasal dari etnis Aceh.
Dalam kultur yang plural seperti di Aceh ini idealnya etnis-etnis minoritas yang juga merupakan penghuni asli wilayah Aceh diberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan diri baik secara politik, ekonomi maupun budaya.
Saya sangat setuju dengan pandangan Dr.Humam karena kenyataannya dominasi suku Aceh dalam setiap aspek kehidupan di provinsi ini memang sangat terasa. Bahkan dalam hal berkesenianpun. Ketika orang Aceh memperkenalkan kesenian Aceh ke dunia luar, baik dalam maupun luar negeri. Yang selalu ditonjolkan adalah kesenian Aceh pesisir. Seolah-olah semua kesenian yang ada di Aceh ini hanyalah kesenian milik Aceh pesisir. Padahal kesenian etnis lain juga banyak yang tidak kalah menariknya. Misalnya dalam seni tari selain Seudati yang merupakan tari klasik Aceh pesisir dan berbagai tarian Aceh pesisir kreasi baru lainnya. Sebenarnya di Aceh ada banyak tarian klasik dari suku lain misalnya Saman Gayo, Tari Bines dan Tari Guel yang berasal dari Gayo. Saya yakin ada banyak tarian asli Aceh lain milik suku Tamiang, Singkil, Kluet, Aneuk Jamee dan lain-lain, tapi semua jarang sekali ditampilkan sehingga orang luar hanya mengenal kesenian Aceh hanyalah kesenian Aceh pesisir.
Orang Gayo yang merupakan etnis terbesar kedua di provinsi ini setelah ertnis Aceh seringkali merasa mereka direpresi oleh suku Aceh secara kultural. Banyak orang Gayo yang merasa eksistensi kultural mereka diabaikan oleh orang Aceh. Tapi di sisi lain orang Gayo melihat beberapa karya budaya mereka dibajak dan diakui sebagai karya budaya milik suku Aceh. Misalnya banyak seni tari Aceh kreasi baru sebenarnya adalah tarian modifikasi dari tarian klasik milik suku Gayo terutama tari Saman Gayo. Tapi oleh seniman yang menciptakannya tarian hasil modifikasi itu dinamai dengan berbagai nama khas Aceh pesisir tanpa sedikitpun menjelaskan bahwa tarian itu adalah hasil adaptasi dari tari Gayo klasik yang bernama tari Saman. Karena tidak ada penjelasan, para penonton yang menikmati tarian itu merasa seolah-olah bahwa tarian yang mereka saksikan dengan penuh kekaguman itu adalah tarian klasik Aceh pesisir. Ini sangat menyakitkan bagi orang Gayo.
Hal yang sama juga terjadi dengan karya seni bordir khas orang Gayo yang disebut Kerawang Gayo. Karya seni Kerawang Gayo ini adalah karya cipta kebanggaan orang Gayo. Motif-motif bordirannya yang khas dapat kita lihat dalam sertiap pakaian adat orang Gayo. Tapi ketika belakangan orang-orang Aceh pesisir mulai mempelajari teknik pembuatan kerawang dan mulai memproduksi kerajinan kerawang. Merekapun mulai memperkenalkannya karya seni ini sebagai Kerawang Aceh. Sama seperti dalam hal tarian dalam hal inipun orang Gayo yang minoritas merasa dirampok.
Kebetulan dalam konferensi ini panitia menghadirkan pertunjukan tarian Aceh sebagai selingan saat jeda menjelang coffee break pertama. Salah satu tari yang ditampilkan adalah tarian Aceh kreasi baru yang banyak menampilkan gerakan-gerakan Saman Gayo dalam koreografinya. Dalam sesi tanya jawab dan diskusi, saat saya menanggapi pemaparan makalah Dr. Humam. Tarian yang ditampilkan ini langsung saya angkat sebagai salah satu contoh kurangnya penghormatan terhadap budaya minoritas.
Dalam forum yang dihadiri oleh peserta dari berbagai negara ini saya katakan bahwa tarian itu adalah salah satu bentuk pembajakan terhadap karya seni milik suku minoritas oleh suku mayoritas. Ketika menyebut kata pembajakan dalam forum ini saya menggunakan kata ‘hijack’ bukan ‘piracy’. Kata ini saya pilih karena saya menganggap kata ‘hijack’ lebih tepat untuk menggambarkan kasarnya aktivitas pembajakan kultural yang dilakukan oleh suku Aceh terhadap karya seni orang Gayo ini.
Pernyataan saya itu sepenuhnya diamini oleh Dr.Humam. Beliau sama sekali tidak menampik apa yang saya paparkan, malah beliau menambahkan kalau selama ini memang banyak hambatan kultural dan dominasi etnis Aceh pesisir yang membuat etnis-etnis minoritas di provinsi ini merasa asing di tanah mereka sendiri.
Setelah hal itu saya ungkapkan di forum ini, banyak peserta konferensi dari luar negeri yang mendekati saya untuk menanyakan lebih jauh tentang tari Saman Gayo yang gerakan-gerakannya dibajak oleh tari Aceh yang kami saksikan tadi dan dengan senang hati saya jelaskan. Sayangnya tidak semua konferensi internasional tentang Aceh atau pertunjukan seni Aceh dihadiri oleh orang Gayo.
Perasaan-perasan negatif yang dirasakan oleh etnis minoritas seperti ini, jika terus dibiarkan terjadi di provinsi yang pernah lama berada dalam situasi konflik ini tidak bisa tidak, pasti akan menghadirkan konflik baru antara mayoritas dengan minoritas. Bibit-bibit konflik ini sudah mulai disemai dengan cara mengeksploitir isu dominasi suku Aceh atas suku Gayo oleh orang-orang yang menamakan dirinya pejuang ALA.
Sebenarnya situasi seperti yang kita alami di Aceh sekarang ini adalah situasi yang jamak terjadi di wilayah dunia manapun yang pernah mengalami konflik vertikal.
Dr.Jordi Urgell dari School for a Culture of Peace, Autonomous University of Barcelona yang juga menjadi pembicara dalam konferensi yang saya hadiri ini. Dalam makalahnya yang dia beri judul ‘Minorities Within Minorities in South East Asia’, mengatakan bahwa dalam banyak konflik antara pusat yang mayoritas dengan daerah yang merupakan minoritas yang terjadi di berbagai belahan dunia. Banyak dari konflik itu terjadi disebabkan oleh cara pemerintah sebuah negara yang memperlakukan kelompok minoritas dengan cara pikir dan pola perlakuan ala kelompok mayoritas di negara tersebut.
Tapi ketika konflik terselesaikan dengan memberi keleluasaan dan kekuasaan yang lebih besar kepada kelompok yang minoritas secara nasional. Hal ini seringkali dirasa sebagai ancaman oleh kelompok yang merupakan minoritas secara lokal (minorities within minorities). Konflik sering terjadi karena kelompok yang merupakan minoritas secara nasional yang kini menjadi mayoritas secara lokal melalui kekuasaan yang lebih besar yang baru mereka dapatkan memperlakukan minorities within minorities ini seperti mereka dulu diperlakukan oleh kelompok mayoritas nasional sehingga minorities within minorities merasa terancam eksistensinya.
Perlakuan ini misalnya bisa dilihat dari sikap Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh di depan publik yang sering tidak menunjukkan rasa hormat kepada suku-suku Aceh minoritas. Sikap itu mereka tunjukkan dengan perilaku berbahasa mereka yang hanya mau berbahasa Aceh kepada orang Aceh mana saja yang menjadi lawan bicara mereka, tidak peduli asal-usul sukunya.
Situasi seperti ini seringkali membuat minorities within minorities merasa lebih terjamin eksistensinya ketika kelompok yang minoritas secara nasional ini masih dalam posisi minoritas.
Fenomena inilah yang terjadi di Aceh sekarang, jadi isu ALA yang terjadi sekarangpun harus kita lihat dari kacamata minorities within minorities ini dan penyelesaian masalahnyapun tidak bisa kita lepaskan dari bingkai ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Salam bang..
aku tertarik dengan solusi penyelesaian konflik ALA harus dilihat dari kacamata minorities within minorities, tapi yang mau aku diskusikan adalah, bisa gak abang sebutkan 9 etnis yang berada dalam wilayah aceh?
saya rasa ini adalah suatu konflik budaya yang menjadi kartu as bagi para pejuang ALA untuk memuluskan ide mereka. Kita sadari atau tidak ini juga terus dipupuk oleh mereka yang menginginkan ALA terbentuk.
oya, aku juga minta izin untuk ngelink blog ini.. hehe,
Salam
Pemulung..
Walaikum Salam Lung.
Suku-suku yang ada dalam Wilayah Aceh
1. Aceh
2. Gayo
3. Alas
4. Tamiang
5. Singkil
6. Aneuk Jamee
7. Kluet
8. Simeulue
Di Simeulue menurut orang yang berasal dari sana sebenranya ada tiga suku.
Bukan cuma konflik budaya, tapi banyak konflik-konflik lain yang bisa dijadikan kartu oleh mereka yang menginginkan terbentuknya ALA.
Tapi pertanyaannya atas dasar apa dan atas argumen apa mereka bisa begitu yakinnya ALA itu benar-benar solusi untuk konflik itu?
Pertanyaan ini yang sampai hari ini tidak pernah bisa mereka jawab dengan jawaban yang memuaskan.
Wassalam
Win Wan Nur
Posting Komentar