Rabu, 10 Februari 2010

AKAL dan IPTEK Dalam Pandangan Para Fundies

Sebagai orang Islam kita diajarkan bahwa Islam itu adalah ajaran yang sempurna. Islam bisa menjelaskan sekaligus persoalan dunia dan akhirat.

Kalau pemahaman seperti ini kita hayati apa adanya tentu pemahaman seperti ini akan menimbulkan semangat bagi kita penganut agama ini untuk memahami segala persoalan dunia dan akhirat.

Bagi banyak orang Islam hari ini, Alqur'an dipercaya sebagai sumber segala ilmu pengetahuan. Sama seperti pandangan di atas, sebenarnya juga tidak ada masalah dengan keyakinan seperti ini, selama kita menyadari bahwa Al Qur'an yang suci itu hanyalah teks dan antara teks dengan manusia itu selalu ada jarak yang memisahkan, sebab sesuci apapun teks, dia tidak dapat menginterpretasikan dirinya sendiri.

Untuk bisa memahami teks, manusia perlu jembatan, dan yang dimaksud dengan jembatan itu adalah INTERPRETASI.

Tapi masalah besar yang dihadapi oleh umat islam hari ini (terutama para fundies) adalah, banyak sekali orang Islam yang percaya tidak ada jarak antara teks dan interpretasi itu.

Oleh orang-orang ini, pendapat dari para ulama tertentu dianggap paling benar, origin, salafi, fresh from Allah. Dan ketika pendapat yang sebenarnya tidak lain adalah interpretasi alias jembatan itu kemudian didukung oleh jutaan ulama yang mereka anggap sangat dekat dengan Allah dan menjadi wakil Allah di muka bumi ini. Mereka pun meyakini dan memperlakukan pendapat itu layaknya teks suci itu sendiri.

Lalu apa hubungannya cara pandang seperti ini terhadap penguasaan IPTEK?

Cara pandang seperti ini membuat umat Islam PUAS, merasa dengan memahami Al Qur'an dan hadits berarti sudah mengetahui semua rahasia alam dan sudah memahami seluruh ilmu pengetahuan.

Banyak orang islam yang dengan taat mengkaji setiap dalil lupa (atau sengaja pura-pura tidak tahu) kalau manusia membutuhkan sebuah aksi nyata agar segala informasi tentang Ilmu pengetahuan yang ada dalam Al Qur'an ini bisa bermanfaat dan menghasilkan produk yang bisa digunakan secara nyata.

Apakah penafsiran dari para Ulama pengkaji dalil-dalil itu bisa membuat informasi tentang Ilmu pengetahuan yang ada dalam Al Qur'an ini bisa bermanfaat dan menghasilkan produk yang bisa digunakan secara nyata?....sampai saat ini kita belum menemukan buktinya.

Hari ini banyak orang Islam yang beragama secara lebay. Karena Islam dikatakan bisa menjelaskan sekaligus persoalan dunia dan akhirat. Oleh banyak orang Islam hari ini memaksakan diri untuk memahami semua hal sepele yang sebenarnya bisa dipahami dengan perangkat AKAL dan PANCA INDERA pun harus meminta pendapat ulama yang kemudian mengkajinya berdasarkan dalil-dalil dari hadits dan kitab suci yang ditafsirkan oleh mereka sendiri atau para ulama terdahulu yang pendapatnya mereka percayai.

Kalau permasalahan yang ingin kita pahami itu berkaitan dengan sesuatu yang ada di luar kemampuan AKAL dan tanggapan PANCA INDERA, seperti hal-hal gaib semacam kiamat, padang mahsyar, shirat, surga, neraka, alam kubur dan lain-lain, yang memang hanya bisa dipahami dengan IMAN, tentu saja kita harus mendengarkan pendapat ulama tersebut yang penafsirannya bisa berbeda-beda dalam skala kecil sampai besar antara satu dengan lainnya.

Tapi kalau hanya untuk sekedar mengetahui 'Pisau tajam bisa dipakai untuk mengiris tomat' pun kita harus menanyakan pendapat Ulama berdasarkan atas kajian terhadap hadits dan kitab suci bukankah ini LEBAY namanya?.

Konsep untuk memahami dan mengembangkan IPTEK pun sebenarnya sama sederhananya dengan konsep memahami 'Pisau tajam bisa dipakai untuk mengiris tomat'. Untuk memahami IPTEK cukup dengan menggunakan RASIO (AKAL) dan tanggapan PANCA INDERA. Makanya adalah hal yang LEBAY pula jika untuk memahami sebuah fenomena alam yang menjadi dasar IPTEK pun kita harus berpatokan pada pendapat Ulama berdasarkan atas kajian terhadap hadits dan kitab suci.

Berbeda dengan Ilmu Agama yang memiliki banyak sekali dalil untuk menjelaskan setiap permasalahan, Ilmu Pengetahuan/sains mengenal sedikit sekali dalil, dan dalil yang sedikit ini pun seluruhnya terdiri dari RASIO. Dalil-dalil ini antara lain adalah prinsip kausalitas dan aksioma-aksioma matematika, yang secara ringkas dapat disebut sebagai kategori-kategori akal.

*Kebenaran* yang dipahami oleh imu pengetahuan tidaklah sama dengan *Kebenaran* yang dipahami oleh agama atau iman, sebab kebenaran agama dan iman itu bisa berbeda-beda antara satu manusia dengan manusia yang lain (tergantung penafsiran dari seorang ulama terhadap dalil). Sementara RASIO yang mendasari Ilmu pengetahuan modern itu SAMA bagi setiap manusia. Orang yang tidak sanggup menggunakan rasio disebut IRRASIONAL, dan konsekwensinya, mereka yang irrasional itu tidak akan mampu mengerti, dan apalagi menguasai ilmu pengetahuan (iptek) yang menjadi dasar untuk menguasai peradaban modern.

Contoh kebenaran Ilmu Pengetahuan yang sama bagi setiap manusia adalah dalil yang mengatakan Aksi = Reaksi. Jika ini diaplikasikan pada sebuah balok yang berfungsi sebagai jembatan, dengan dasar dalil yang mengatakan Aksi = Reaksi diketahui bahwa jika sebuah balok diberi beban, maka balok ini pun akan memberi reaksi sebesar beban yang diterimanya, maka BALOK yang dibuat untuk jembatan harus dibuat dengan kekuatan yang mampu menahan beban yang lebih besar dari beban yang diterimanya.

Pada hakikatnya ilmu pengetahuan itu adalah saling hubungan antara berbagai pengalaman pancaindera satu dengan lain, baik dalam hubungan sebab-akibat, maupun dalam skala waktu dan hubungan antara berbagai pengalaman-pengalaman pancaindera. Karena pangalaman pancaindera itu selalu SAMA bagi setiap manusia, dan ALAT untuk memahaminya juga sama, yaitu LOGIKA dan RASIO. Yang seperti halnya panca Indera juga terbukti SAMA untuk setiap manusia.

Kembali kepada contoh di atas karena dalil yang mengatakan Aksi = Reaksi adalah (a) sesuai dengan logika dan/atau matematika dan (b) sesuai dengan pengamatan pancaindera. Maka kita tidak perlu tahu siapa yang membuat dalil itu, yang jelas dalil tersebut kebenarannya TERBUKTI SAMA bagi semua manusia sehingga kebenaran yang satu itu bisa menjadi dasar untuk terciptanya berbagai ilmu lain, katakanlah misalnya ilmu bahan bangunan. Dengan berpatokan pada dalil tersebut, manusia akan bereksplorasi mengolah berbagai materi di alam untuk dibuat mampu menahan BEBAN yang direncanakan melewati balok tersebut. entah itu bahan itu berupa beton bertulang, baja, kayu atau serat karbon. Yang untuk membuatnya juga membutuhkan saling berhubungan dengan *kebenaran-kebenaran* lain yang juga TERBUKTI SAMA bagi semua manusia.

Cara pandang seperti inilah yang membuat kita sekarang mengenal beragam produk teknologi, termasuk facebook yang hanya mungkin bisa hadir dan kita petik manfaatnya sekarang karena adanya teknologi yang dikembangkan oleh orang-orang yang berpikir atas dasar sains ini.

Ilmu Pengetahuan alias sains sama sekali tidak mengenal kebenaran mutlak, kebenaran yang dikenal dalam Ilmu Pengetahuan/ Sains adalah kebenaran yang selalu berubah menuju kesempurnaan secara asimptotis, artinya semakin lama semakin benar.

Tapi tentu saja ada hal-hal yang dengan sekejap mata bisa ditetapkan oleh Sains sebagai KESALAHAN, yaitu bila;

(a) suatu teori TIDAK LOGIS atau menyalahi prinsip logika, misalnya jika matematikanya salah-salah; dan

(b) tidak sesuai dengan persepsi pancaindera.

Untuk bisa dianggap benar dalam sains (sekalipun cuma sementara), suatu gagasan, pendapat, atau teori itu harus memenuhi sekaligus kedua-duanya (a) dan (b).

Contoh kebenaran yang selalu berubah menuju kesempurnaan secara asimptotis misalnya katakanlah ada seseorang mengatakan "AIR BISA DIGUNAKAN SEBAGAI BAHAN BAKAR".

Orang yang percaya Al Qur'an adalah sumber segala ilmu, bertanya pada ulama, mengkaji makna di balik setiap ayat dan hadits dan berdasar berbagai kajian bahasa dan sejarah turunnya ayat tersebut kemudian menyimpulkan bahwa pernyataan di atas adalah benar, tanpa memerlukan proses pengujian yang terus menerus untuk membuktikan bahwa pernyataan di atas adalah BENAR bagi semua manusia.

Orang yang berpikir dengan landasan IPTEK yang benar-benar ingin membuktikan pernyataan itu dan berniat membuat alat yang bisa menjadikan air sebagai bahan bakar akan memilih jalan berbeda. Dia akan menganalisa fakta-fakta ilmiah yang telah pernah diungkapkan oleh orang-orang sebelumnya.

Katakanlah misalnya pemahaman atas pernyataan itu akan dia mulai dengan pemahaman kimia dasar bahwa AIR itu sendiri adalah molekul yang terdiri dari 2 atom Hidrogen dan satu atom Oksigen.

Hidrogen adalah unsur yang sangat mudah terbakar dan pembakaran sendiri membutuhkan Oksigen. Jadi pernyataan ini logis dan masuk akal dan berarti BENAR.

Hanya masalahnya ketika 2 atom Hidrogen dan satu atom Oksigen itu membentuk senyawa, molekul inipun menjadi air dan malah dipakai untuk memadamkan api. Jadi untuk membuat Air bisa terbakar bagaimana?...RASIO alias AKAL SEHAT di sini berkata, atom Oksigen dan Hidrogen itu harus dipisahkan. Bagaimana caranya?...dengan Elektrolisa. Bagaimana prinsip elektrolisa ini?...orang inipun akan mencari pengetahuan yang telah diungkapkan oleh orang sebelumnya, ditemukanlan HUKUM FARADAY.

Maka diketahui untuk mengelektrolisa air dibutuhkan logam, elektrolit dan arus listrik.

Saat melakukan pembuktian melalui proses seperti ini dia akan menemukan berbagai fakta yang sebelumnya tidak pernah dia ketahui, bagaimana kalau ternyata kalau logam yang dipakai tidak tepat yang keluar dalam proses elektrolisa itu bukan hanya hidrogen dan oksigen, tapi juga hexavalent Chromiun yang berbahaya, atau juga ternyata gas yang keluar itu lebih banyak uap airnya, juga dalam proses ini juga ternyata bisa menciptakan efek elektrostatis yang bisa menyebabkan ledakan sebagaimana yang terjadi pada proses terjadinya petir.

Setelah melalui semua proses itu barulah pada akhirnya dia bisa menciptakan sebuah alat yang aman yang bisa membuat Air menjadi bahan bakar. Tapi yang dia buat itupun bukanlah sebuah hasil yang MUTLAK, karena nantinya akan ada lagi orang yang menyadari kelemahan alat buatannya dan akan menyempurnakan alat buatannya tersebut.

Seperti yang kita lihat dalam proses yang dilalui orang ini. Semakin jauh dia berusaha membuktikan "AIR BISA DIGUNAKAN SEBAGAI BAHAN BAKAR", semakin banyak dia 'terpaksa' bersentuhan dengan hasil olah pikir orang lain dan semakin tahu juga dia betapa luasnya ilmu pengetahuan dan orang yang membuktikan "AIR BISA DIGUNAKAN SEBAGAI BAHAN BAKAR" ini pun segera menyadari kalau yang tidak diketahui Manusia itu jauh lebih banyak ketimbang yang diketahui.

Kalau orang yang menjalani proses seperti ini adalah jenis manusia yang percaya TUHAN, Maka semakin banyak yang dia tahu, semakin dia merasa kecil dihadapan TUHAN YANG MAHA SEGALANYA. Saat manusia yang memiliki pola pikir seperti ini telah mencapai tahap yang sangat jauh, dia pun semakin merasa sangat-sangat kecil. Karena itulah seorang Einstein yang telah mengetahui sedemikian banyak rahasia alam semesta dengan takjub mengatakan "Tuhan tidak sedang bermain dadu".

Bandingkan pola ini dengan orang yang memahami kebenaran melalui dalil-dalil agama hasil penafsiran para Ulama.

Contohnya bisa anda lihat pada artikel di bawah ini :
1. http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2865-mendudukkan-akal-pada-tempatnya.html
2. http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2866-ketika-akal-bertentangan-dengan-dalil-syari.html

Artikel dalam website yang ditulis oleh seseorang yang bernama Muhammad Abduh Tuasikal tersebut diberikan kepada saya oleh seorang teman yang bernama Abu Kharis. Artikel ini dia berikan kepada saya dengan maksud untuk meyakinkan saya bahwa KEBENARAN ILMIAH juga bisa didapatkan dengan cara mengkaji dalil-dalil agama, tanpa perlu melalui proses-proses rumit dan melelahkan seperti yang dilakukan oleh sains. Malah keunggulan dari mengetahui KEBENARAN ILMIAH melalui dalil-dalil ini adalah kebenarannya bersifat MUTLAK, tidak seperti kebenaran sains yang berubah-ubah.

Salah satu cara pembuktian KEBENARAN ILMIAH melalui dalil-dalil ini yang diulas oleh Muhammad Abduh Tuasikal adalah pembuktian terhadap dalil dalam suatu hadits yang menyebutkan bahwa pada hari kiamat nanti posisi matahari akan begitu dekat dengan manusia :

Terhadap masalah ini, Muhammad Abduh Tuasikal menulis

*** “Matahari akan didekatkan pada makhluk pada hari kiamat nanti hingga mencapai jarak sekitar satu mil.” Sulaiman bin ‘Amir, salah seorang perowi hadits ini mengatakan bahwa dia belum jelas mengenai apa yang dimaksud dengan satu mil di sini. Boleh jadi satu mil tersebut adalah seperti jarak satu mil di dunia dan boleh jadi jaraknya adalah satu celak mata.

"Jika kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan dengan logika kita. Namun sebenarnya dapat kita katakan, “Kekuatan manusia ketika hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang di dunia. Namun manusia ketika hari kiamat memiliki kekuatann yang luar biasa. Mungkin saja jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik matahari, tanpa adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati. Akan tetapi, sangat jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan di hari kiamat, mereka akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa makan dan minuman.” (Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal. 370)" ***

Dengan membaca penjelasan seperti ini, keingintahuan kita jadi terpuaskan dan masalahpun selesai dan imanpun jadi semakin tebal. Tapi kepuasan ini sama sekali tidak menghasilkan produk apa pun yang bisa dimanfaatkan oleh manusia lainnya.

Cara yang berbeda dalam memahami KEBENARAN ILMIAH ini pun membentuk dua pola sikap yang bertolak belakang. Dalam sains alias IPTEK, orang MENGERTI, bukan PERCAYA. Sebagaimana telah saya gambarkan di atas, orang yang memahami KEBENARAN ILMIAH melalui proses yang panjang dan melelahkan, dalam proses itu tahu bahwa semakin banyak yang dia ketahui semakin MENGERTI pula dia semakin jauh lebih banyak lagi pula yang tidak dia ketahui, semakin MENGERTI pula dia kalau tidak mungkin dia mengetahui sebuah KEBENARAN secara MUTLAK. Semakin banyak yang dia tahu, semakin dia MENGERTI seberapa maha kecilnya dia dihadapan TUHAN.

Sementara orang yang mencari pemahaman KEBENARAN ILMIAH melalui dalil dasarnya adalah PERCAYA bukan MENGERTI, semakin mendapat penjelasan dari orang yang dia PERCAYA semakin dia merasa TAHU dan diapun semakin PERCAYA kalau dirinya mampu memahami kebenaran secara MUTLAK.

Karena dia PERCAYA kalau dirinya mampu memahami kebenaran secara MUTLAK maka dia pun merasa dirinya lebih besar dibanding manusia lainnya, karena dia PERCAYA bahwa dia lebih mengerti APA maksud TUHAN dibandingkan oleh manusia lainnya. Karena itu mereka pun jadi merasa punya OTORITAS untuk mencap, mengancam, menuduh, memfitnah bahkan membunuh orang yang memiliki pemahaman yang berbeda dengan mereka. Sebab mereka PERCAYA bahwa orang-orang yang berbeda pandangan dengan mereka itu adalah KAUM PENGACAU KEIMANAN yang tentu saja adalah MUSUH ISLAM.

Itulah sebabnya kenapa orang yang mencari pemahaman KEBENARAN ILMIAH melalui pengkajian terhadap dalil-dalil agama cenderung menjadi MEGALOMANIAK!


Wassalam

Win Wan Nur
Orang ACEH suku Gayo, Beragama ISLAM

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com

1 komentar:

ANTON PUNYA mengatakan...

Assalamu'alaikum Wr.Wb...

sebelumnya saya sangat...senang sekali membaca blog Anda, yg dmana bisa membawa pemikiran Islam untuk Modernisasi...tapi, saya mau klarisifikasi untuk paham retorika dengan keimanan, yang dimana retorika dgn keImanan itu berbeda, antara nyata dengan gaib. cuma bagaimana kita bisa mentawilkan semua itu. manusia tetaplah manusia tidak akan bisa membuktikan keadaan yg gaib dengan Sains dan pengetahuan karena tarafnya masing" berbeda.....seperti halnya Otak yg hanya bisa menampung Pemikiran yang logis...namun Hatilah yg bisa menampung dan merampung semua yg tidak bisa dipikirkan dengan Retorika...Pembuktiannya sama halnya menanyakan Siapakah Tuhan kita ? Pernakah kita kita Melihat Tuhan ? Mampukah Retorika Menjawab Semua itu ?.....

Wassalam (Orang BUTON)