Tao Te Ching adalah sebuah buku kecil yang memuat 5000 aksara Cina berisi pemikiran-pemikiran Lao Tzu, seorang filsuf besar Cina yang diperkirakan hidup di sekitar tahun 640 SM.
Dalam buku yang bisa diterjemahkan sebagai "Jalan dan Kekuatannya" ini, Lao Tzu (kadang disebut Laozi atau Lao Cu) banyak sekali menyampaikan kata-kata nasehat yang tetap aktual sampai sekarang.
Karena begitu mengagumkannya pemikiran Lao Tzu ini, dengan menggabungkannya dengan ajaran Kaisar Huang Di (Raja pada zaman purba Cina yang juga digelari Kaisar Kuning atau Yellow Emperor), sebagian orang Cina menjadikan ajarannya ini sebagai AGAMA dan menjadikan Lao Tzu sebagai Dewa yang diberi nama "Tai Shang Lao Chun".
Sementara sebagian orang Cina lainnya tetap mempertahankan ajaran Lao Tzu ini sebagai sebuah aliran filsafat.
Di Barat, ajaran Lao Tzu ini dikenal dengan nama Taoisme. Nama ini diberikan oleh para intelektual Barat pada abad ke 19. Saat itu para intelektual barat memberikan nama Taoisme ini tanpa sama sekali membedakan apakah yang mereka maksud itu adalah Taoisme sebagai agama atau Taoisme sebagai filsafat. Oleh para intelektual barat itu, Taoisme dipandang sebagai aliran mistik timur (eastern mystic).
Padahal sebenarnya, Taoisme sebagai sebuah aliran filsafat sangat berbeda dengan Taoisme sebagai agama.
Soal Taoisme sebagai sebuah aliran filsafat dan Taoisme sebagai agama ini terdapat anomali.
Taoisme sebagai agama justru lebih banyak menekankan pada olah fisik ketimbang spiritual. Sebagai agama Tao menganjurkan penganutnya untuk melakukan meditasi, menyepi di pegunungan atau dalam hutan sambil berlatih pernafasan (Qi Gong) dan latihan oleh tubuh Gerakan Lima Bintang yang dikenal sebagai Tai Chi.
Sebaliknya Tao sebagai aliran filsafat, mengajak orang untuk hidup secara apa adanya dan memandang dunia dan segala fenomena alam secara apa adanya pula. Tidak perlu ngoyo dan tidak perlu neko-neko. Seperti yang terangkum dalam Tao Te Ching, Lao Tzu ( lebih lanjut baca hal. 4 : The Wisdom of Lao zi, karangan Andri Wang)
Salah satu ucapan Lao Tzu yang sangat mengesankan bagi saya ada di Bab 71, bukunya ini. Di Bab ini Lao Tzu mengatakan, "Mengaku TIDAK TAHU saat TIDAK TAHU adalah yang paling baik, mengaku TAHU saat TIDAK TAHU adalah CARI PENYAKIT".
Ucapan Lao Tzu ini menjadi sangat menarik bagi saya, karena belakangan ini disekitar saya, saya menemui banyak sekali orang yang CARI PENYAKIT.
Sejak reformasi bergulir, di Indonesia ini banyak sekali bermunculan orang-orang yang sebelumnya bukan siapa-siapa tiba-tiba menjadi orang penting secara instant. Dari kelompok inilah biasanya orang-orang yang CARI PENYAKIT itu berasal.
Beberapa hari terakhir, dunia akademis indonesia seolah dikagetkan dengan "suara petir di siang bolong", ketika Profesor Anak Agung Banyu Perwita, seorang Guru Besar di Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan, yang disebut-sebut sebagai jurusan HI terbaik di Indonesia tertangkap basah melakukan Plagiarisme.
Kasus ini kemudian menjadi melebar kemana-mana karena ternyata profesor lain yang bernama Yahya Muhaimin yang pernah menjadi Menteri pendidikan juga pernah berbuat sama. Dan pasti akan semakin melebar lagi seandainya kasus ini dijadikan pintu masuk untuk meneliti karya tulis, termasuk skripsi, tesis dan disertasi para dosen, pejabat dan politisi negeri ini yang sekarang telah menjadi sosok-sosok terhormat.
Saya sendiri tidak mengenal sosok Banyu Perwita secara pribadi, tapi istri saya yang pernah menjadi mahasiswinya sangat mengagumi sosok ini. Istri saya sering menceritakan kepada saya betapa hebatnya sosok Banyu Perwita sebagai seorang dosen, caranya mengajar dan penguasaannya terhadap materi yang dia ajarkan menurut istri saya sangat luar biasa.
Begitulah ketika mengetahui kasus plagiarisme yang dilakukan oleh Profesor Banyu Perwita melalui sebuah tulisannya di Jakarta Post, istri saya tampak begitu terpukul. Ketika saya membaca wall sang terdakwa, saya juga mendapati begitu banyak mahasiswa dan alumni Unpar yang merasa terpukul dan kecewa, tapi tetap memberi dukungan semangat kepada dosennya ini.
Dari luar Unpar sendiri, kecaman kepada Profesor Banyu Perwita datang bertubi-tubi, bahkan dari rektorat Unpar sendiri mengancam akan menjatuhkan hukuman berat kepada Banyu Perwita seandainya tudingan ini terbukti benar.
Semua tudingan dan tekanan itu jelas membuat Profesor Banyu Perwita terpojok.
Tapi yang menarik dari kasus ini adalah reaksi dari Profesor Banyu Perwita sendiri.
Dalam banyak kejadian sebelumnya, entah itu kasus Cicak Versus Buaya, kasus Prita, Antasari sampai Bank Century, kita dapat menyaksikan dengan jelas bagaimana fihak-fihak yang kesalahannya telah jelas-jelas ditelanjangi masih berusaha 'ngeles', bersilat lidah mengaburkan fakta dan masih merasa diri terhormat, sementara masyarakat sudah sama sekali tidak percaya apa pun yang mereka katakan.
Di antara para pengkritik Profesor Banyu Perwita yang benar-benar mengharapkan kejujuran ditegakkan di negeri ini, sebenarnya juga banyak terselip pengkritik yang terdiri dari para oportunis sok bermoral. Dengan memanfaatkan momentum kesialan yang dialami profesor Perwita ini, para oportunis sok bermoral ini dengan licik mengintip celah untuk menjadi pahlawan kesiangan.
Terhadap kesalahan yang dilakukan oleh Profesor Banyu Perwita, para oportunis ini tampaknya sudah demikian siap dengan segudang hujatan dan makian untuk menjadikan sang profesor sebagai sansak hidup alias bulan-bulanan.
Karena itulah banyak pengkritik Banyu Perwita dan sepertinya Pihak UNPAR sendiri pun demikian, mengharapkan Banyu Perwita bersikap seperti para pecundang yang bak pencuri yang tertangkap tangan, yang sudah jelas-jelas terbukti bersalah tapi masih berkelit ke sana kemari. Sikap yang justru memmicu aksi 'amuk massa' yang menjadikan orang bersalah ini bulan-bulanan bersama, sebagaimana yang bersama-sama kita saksikan telah dialami oleh RS Omni Internasional atau institusi Hukum negeri ini (salah satunya dengan aksi "sejuta facebooker..." yang diikuti lebih dari sejuta orang) dalam kasus Bibit-Chandra.
Tapi para pengkritik model kedua ini terpaksa harus kecewa dan gigit jari, karena Profesor A.A Banyu Perwita ternyata mengambil sikap berbeda dengan yang mereka bayangkan, sebagaimana layaknya sikap yang diambil oleh para pecundang. Profesor ini dengan jantan mengaku bersalah dan sebelum diminta, langsung mengajukan surat pengunduran diri kepada UNPAR.
Apa yang dilakukan oleh Profesor Banyu Perwita ini sejalan dengan anjuran filsafat esoterik Lao Tzu yang dia tuliskan di Bab 71 buku Tao Te Cing, sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Dengan mengganti kata 'TIDAK TAHU' menjadi kata 'SALAH', redaksi ucapan Lao Tzu yang diprkatekkan oleh profesor A.A Banyu Perwita ini akan berbunyi "Mengaku SALAH saat berbuat SALAH adalah yang paling baik, mengaku TIDAK SALAH saat berbuat SALAH adalah CARI PENYAKIT".
Sikap Mengaku SALAH seperti ini malah membuat pengkritiknya jadi serba salah. Dengan pilihan sikap seperti ini, Profesor A.A Banyu Perwita membuat para pengkritiknya kehilangan energi.
Terus menerus menghujat dan mencaci maki orang yang sudah mengaku salah seperti ini hanya akan membuat si penghujat tampak seperti orang yang mengidap DIARE KATA-KATA (Istilah ini saya pinjam dari Dewi Lestari, Penulis Supernova yang juga merupakan mantan mahasiswi Profesor Banyu Perwita).
Karena itulah, terlepas dari perilaku memalukan yang telah dia tunjukkan, terlepas dari teladan sangat buruk yang telah dia pertontonkan yang sangat tidak layak ditiru oleh akdemisi lain (ini sekaligus menjadi cermin bagi saya [meskipun saya sendiri jelas bukan seorang akedemisi], karena terus terang berkat Google, yang membuat mendapatkan informasi apapun yang kita inginkan jadi demikian mudahnya, saya sendiripun secara sadar atau tidak sering mengutip pendapat dan pemikiran orang lain dalam tulisan-tulisan di blog saya tanpa menyebutkan sumber resminya), saya tetap memberi kredit positif kepada Profesor Anak Agung Banyu Perwita berkaitan dengan statusnya sebagai seorang pengajar.
Saya memberinya kredit positif (dalam kapasitasnya sebagai seorang pengajar) karena di saat sudah salah dan terpojok pun, Profesor Anak Agung Banyu Perwita masih bisa memberi pelajaran.
Wassalam
Win Wan Nur
Minggu, 14 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar