Senin, 08 Februari 2010

Dulu Dituduh PKI, Sekarang Dicap YAHUDI

Dicap dengan berbagai ungkapan buruk, ini dan itu, adalah resiko yang harus dihadapi oleh siapa saja yang bermaksud menentang kesewenang-wenangan dari sebuah kelompok yang merasa diri paling benar.

Di zaman Orde Baru, ketika Soeharto yang didukung militer berkuasa, kalau kita mengkritik kesewenang-wenangan, kita bakal dicap ANTI-PANCASILA dan secara lebih spesifik dituduh PKI. Di zaman sekarang ketika orang-orang yang merasa diri PALING ISLAM dan PALING BERIMAN diberi sedikit kuasa, kalau kita mengkritik kesewenang-wenangan mereka, kita bakal dicap ANTI-ISLAM dan secara lebih spesifik YAHUDI.

Kalau kita perhatikan dengan seksama, ada satu kesamaan diantara keduanya (Soeharto dan Orang-orang yang merasa diri PALING ISLAM dan PALING BERIMAN). Mereka sama-sama anti kritik, mereka sama-sama hanya memperbolehkan SATU TAFSIR terhadap apa (ideologi atau agama) yang mereka percayai.

Kalau Soeharto dulu, merasa cuma dia dan kelompoknya sendiri yang PALING BENAR menafsirkan Pancasila. Sehingga ketika dia melakukan pembantaian terhadap orang yang dituduh PKI, membantai orang-orang Aceh yang dituduh bersimpati pada GAM, membantai orang-orang Papua yang dituduh mendukung OPM dan membantai orang-orang Timtim yang dituduh pendukung fretilin, yang secara kasat mata jelas bertentangan dengan Pancasila terutama pada Sila Kedua. Maka mereka pun dengan mudah bisa memberikan alasannya. Menurut mereka hal yang sedemikian nyata itu tidak boleh ditafsirkan secara apa adanya, kejadian yang bertentangan dengan HAM secara universal itu harus ditafsirkan sebagai usaha untuk mempertahankan PANCASILA.

Ini sama persis dengan orang-orang yang merasa diri BERIMAN di Aceh sekarang ini yang gemar sekali mencap ini dan itu terhadap orang-orang yang mengkritisi dan menentang HUKUM buatan mereka yang sewenang-wenang.

Atas kejadian di Langsa beberapa waktu yang lalu, seorang teman, perempuan berjilbab, menuliskan keprihatinannya di Koran Nasional. Kepadanya saya menanyakan, kenapa tidak menuliskan pendapat seperti ini di Koran Lokal supaya orang-orang Aceh sadar apa yang terjadi?. Teman ini mengatakan; "Nggak bisa bang, kalau kita menuliskan kritik seperti ini di koran lokal, maka besoknya akan berhamburanlah opini tandingan yang menghujat dan mencaci maki yang bahkan menghalalkan darah kita"

Ucapan teman ini saya buktikan sendiri, ketika melalui facebook saya menyatakan penentangan terang-terangan kepada pandangan mereka yang sewenang-wenang. Ketika saya menanggapi sekaligus membela diri atas fitnahan seorang Mahasiswa pasca Sarjana yang menulis WASPADAILAH KAUM PENGACAU KEIMANAN, MEREKA MENUDUH ORANG MUKMIN ITU SEBAGAI FUNDAMENTALIS. Maka tanpa ampun saya pun dikatai dengan berbagai variasi makian, mulai dari yang tradisional sampai modern,yang smuanya murni bersumber dari prasangka dalam kepala mereka sendiri.

Oleh orang-orang yang mengaku MUKMIN ini saya dikatakan Musuh Islam, KAUM PENGACAU KEIMANAN, penerus Abu Lahab dan Abu Jahal sampai anjing yang menyerupai manusia.

Begitulah, persis seperti Soeharto dan orang-orangnya dulu yang dulunya begitu mengagungkan Pancasila layaknya sebuah berhala yang MENDOMINASI penafsiran PANCASILA dalam sebuah penafsiran tunggal, tapi pada kenyataannya sebenarnya mereka sendirilah yang paling sering bertindak bertentangan dengan ideologi yang mereka puja. Orang-orang di Aceh yang merasa diri paling Islam dan paling beriman ini pun sama.

Mereka yang merasa diri paling BERIMAN dengan santai mencap orang Islam yang berbeda pandangan dengan mereka sebagai ANTI-ISLAM, Pro Barat dan bahkan YAHUDI semata hanya berdasarkan PRASANGKA yang tidak berdasar. Padahal sikap yang mereka tunjukkan ini jelas-jelas bertentangan dengan apa yang tertulis dalam Al Qur'an yang menjadi dasar tindakan dari orang-orang yang mengaku diri beriman ini.

Contohnya perilaku orang Aceh yang merasa diri PALING ISLAM dan PALING BERIMAN yang suka menghujat dan mencap orang Islam lain dengan berbagai cap buruk entah itu KAFIR, ANTI-ISLAM, sampai YAHUDI ini jelas bertentangan dengan apa yang tertulis dalam Al Qur'an dalam Surat Al Hujuraat ayat 12 yang berbunyi : Hai orang-orang yang beriman, JAUHILAH KEBANYAKAN PRA SANGKA (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu DOSA dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain...dst.

Tapi kalau bukti yang nyata tentang perilaku mereka yang jelas bertentangan dengan Al Qur'an yang kata mereka merupakan sumber tuntunan mereka. Seperti Soeharto dan orang-orangnya dulu yang selalu punya pembenaran ketika perilaku yang mereka tunjukkan bertentangan dengan apa yang selalu mereka katakan. Orang ini pun sama saja.

Fakta yang ada, demikian nyata menunjukkan kalau perilaku mereka bertentangan dengan Al Qur'an. Tapi, karena seperti Soeharto yang merasa hanya dia dan orang-orangnya lah yang merupakan penafsir SAH atas Pancasila, orang-orang ini pun merasa hanya merekalah pemegang MONOPOLI atas TAFSIR Al Qur'an, maka merekapun dengan lihai dan santai membuat segala macam TAFSIR dan berjuta alasan untuk membenarkan tingkah laku mereka yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan Al Qur'an itu.

Perilaku seperti ini dapat kita temukan di masyarakat manapun yang hidup dalam sistem totaliter dan sewenang-wenang. Di Burma, di Cina, di Korea Utara, Kuba dan di belahan dunia manapun dimana TAFSIR terhadap sebuah ideologi atau Agama hanya diberikan kepada satu kelompok orang saja. Kesewenang-wenangan akan menjadi keseharian.

Tapi di manapun juga di muka bumi ini, sistem seperti itu hanya bisa berjalan dengan PAKSAAN. Untuk bisa memaksa tentu dibutuhkan dukungan kekuatan militer yang kuat pula, yang bisa memaksa semua orang menelan bulat-bulat segala kontradiksi yang diperlihatkan oleh penguasa.

Kekuatan seperti ini belum dimiliki oleh orang-orang di Aceh yang merasa diri PALING ISLAM dan PALING BERIMAN yang memaksakan PENAFSIRAN mereka atas TEKS sebagai satu-satunya kebenaran yang harus dianut oleh semua orang. Sekarang mereka belum punya LAKSUS yang akan siap menjemput kita, ketika mereka mendapati ada orang yang menyampaikan pendapat atau pemikiran yang bertentangan dengan DOKTRIN yang mereka percaya. Saat ini kalaupun kita menentang penafsiran mereka, yang bisa mereka lakukan baru sebatas memaki-maki dan pamer BACOT BESAR saja.

Karena itu, mumpung sekarang belum ada LAKSUS yang akan menjemput kita saat kita mengungkapkan pendapat yang bertentangan dengan keyakinan mereka, maka sekaranglah kesempatan kita untuk terus melawan segala kesewenang-wenangan yang mereka bungkus dengan dalil-dalil AGAMA.

Seperti juga orang keras kepala di segala zaman yang memang tidak suka dan tidak menerima jika perilaku dan kesenangan mereka diingatkan, orang-orang ini pun sama saja. Jadi sekeras apapun kita berteriak, senyata apapun bukti yang kita paparkan, mereka tidak akan bergeming dengan keyakinan yang mereka peluk.

Karena itu janganlah niatkan melakukan perlawanan ini untuk mengubah atau melunakkan kepala orang-orang ini. Niatkanlah perlawanan ini sebagai tanggung jawab generasi kita terhadap generasi Aceh mendatang. Sebab apa yang akan mereka dapatkan di masa depan adalah buah dari apa yang kita lakukan hari ini.

Wassalam

Win Wan Nur
Orang ACEH suku GAYO beragama ISLAM

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com

Tidak ada komentar: