Kamis, 25 Februari 2010

Intelektual Dalam TEMPURUNG ; Sebuah Tanggapan Untuk T. Kemal Fasya

Tulisan ini adalah tanggapan terhadap tulisan Teuku Kemal Fasya ng dia beri judul "Loper Koran Menggugat Perguruan Tinggi" http://www.facebook.com/note.php?note_id=314921442010&comments#!/notes/teuku-kemal-fasya/loper-koran-menggugat-perguruan-tinggi/315168529758

***

Dalam perjalanan hidup saya, saya cukup beruntung mengenal seorang sosok luar biasa bernama bapak Irman Syarkawi, arsitek yang merancang puncak gedung Menara BNI sekaligus membangun Menara BNI 46 yang pernah (bahkan mungkin masih) menjadi gedung tertinggi di Indonesia, bentuk puncak gedung ini yang unik sekarang telah menjadi ciri khas lansekap kota Jakarta.

Pada rancangan awalnya, sebenarnya bentuk dari puncak menara BNI tersebut tidaklah seperti itu. Awalnya di puncak gedung tersebut di rencanakan dibangun sebuah helipad dengan satu buah tiang logam bulat di tengahnya. Rancangan awal ini dibuat oleh satu kelompok arsitek asal Perancis.

Perusahaan milik Pak Irman memenangkan tender pembangunan puncak gedung ini. Sebelum memulai pengerjaan gedung tersebut, semua kontraktor, termasuk beliau diundang oleh pemilik proyek untuk terlibat di dalam sebuah rapat perencanaan.

Dalam rapat tersebut Pak Irman yang memenangkan tender pengerjaan puncak gedung tersebut yang merasa terganggu melihat bentuk rancangan menara itu, secara terbuka mengkritik bentuk puncak gedung dalam rancangan arsitek Perancis yang tender pengerjaannya beliau menangkan tersebut.

"Kalau ini kita bangun menurut rancangan ini, dari kejauhan menara ini akan terlihat sangat konyol, gedung ini akan tampak seperti sebuah kotak dengan lidi yang ditusukkan di puncaknya, lalu kalau membangun Helipad di sampingnya juga akan sangat berbahaya, dengan adanya hembusan angin, baling-baling helikopter sangat mungkin akan menghantam tiang baja tersebut", kata Pak Irman dalam rapat tersebut.

Mendapat kritik seperti itu, wajah ketua tim arsitek asal Perancis itu naik darah dan menantang, "kalau menurut kamu itu lucu, memangnya kamu punya ide seperti apa bentuk yang lebih bagus", tantangnya.

Ditantang secara terbuka seperti itu, Pak Irman sempat kelabakan ditantang seperti itu, seccara kebetulan waktu itu di atas meja tergeletak sebuah Pena. Terinspirasi oleh bentuk pena tersebut, beliau membuat sebuah rancangan sederhana di kertas rapat tersebut dan menunjukkannya kepada semua orang yang menghadiri rapat dan semua yang menghadiri rapat tersebut pun langsung merasa lebih sreg dengan rancangan Pak Irman. Bahkan si ketua tim arsitek asal Perancis ini pun dengan sportif mengakui kalau rancangan Pak Irman jauh lebih baik dibandingkan rancangan yang mereka buat dan pemilik proyek pun langsung meminta rancangan awal itu untuk diganti.

Setelah itu, Pak Irman pun mematangkan rancangan yang beliau tunjukkan dalam rapat tersebut dan jadilah gedung BNI 46 dengan bentuk seperti yang kita kenal sekarang.

Kaitan cerita ini dengan tulisan Kemal yang saya komentari ini adalah; Pak Irman Syarkawi, arsitek yang merancang puncak Gedung BNI 46 ini bukanlah seorang Insinyur apalagi bergelar magister apatah lagi seorang doktor di bidang Teknik. Beliau 'hanya' tamatan sebuah STM di Bukit Tinggi Sumatera Barat sana. Berbekal pendidikan STM, beliau mengembangkan kemampuan Tekniknya secara otodidak. Selain membangun menara BNI beliau juga pernah dipercaya merancang dan membangun sebuah hanggar pesawat terbang di Hongkong. Beliau juga membangun kanal pengendali Banjir di bawah kawah Galunggung, setelah beberapa kontraktor sebelumnya seperti Bakrie dan beberapa kontraktor asing menyerah, tidak sanggup untuk menyelesaikan proyek tersebut.

Bukan hanya di bidang Teknik Sipil, Pak Irman Syarkawi juga punya keterampilan yang mumpuni dalam bidang Teknik mesin dan Teknik Kimia, beliau telah merancang dan membangun banyak mesin untuk pabrik-pabrik yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia dan luar negeri. Pak Irman Syarkawi pada akhir tahun 90-an, juga mempelopori penggunaan per keong dengan merk "ALL S" yang dirancang dan beliau produksi untuk membuat mobil Jeep dan kendaraan niaga senyaman sedan. Tapi karena karya ini tidak dipatenkan, kemudian banyak yang menirunya, dan entah kebetulan atau bukan, sekarang mobil-mobil non sedan buatan Toyota dan Daihatsu seperti Avanza dan Xenia semuanya telah dilengkapi per keong yang angat mirip dengan rancangan Pak Irman pada akhir tahun 90-an dulu.

Kemampuan beliau dalam pengusaan ilmu-ilmu Teknik banyak mengundang kekaguman dari dalam dan luar negeri. Atas rekomendasi dari orang yang mengagumi kemampuan beliau, Pak Irman Syarkawi pernah beberapa kali ditawari gelar Doctor Honoris Causa oleh beberapa universitas ternama di luar negeri, tapi beliau selalu menolaknya, karena menurut beliau gelar seperti itu sama sekali tidak membuat kemampuan beliau bertambah.

Dalam sebuah bincang-bincang di kantor beliau, Pak Irman pernah menceritakan kepada saya tentang kekecewaannya terhadap kualitas Insinur-insinyur lulusan Indonesia. Menurut Pak Irman, para Insinyur lulusan Indonesia yang pernah beliau pekerjakan, kebanyakan hanya jago dalam hal hapalan saja. Mereka hanya mampu menghadapi masalah-masalah yang ada dalam teori. Padahal kenyataannya di lapangan, seringkali masalah yang dihadapi adalah sama sekali baru. Misalnya saat mengerjakan proyek Galunggung, cerita Pak Irman. Satu kali saat mengebor terowongan terlihat ada gas yang menyembur di dalam tanah. Secara teori, dalam menghadapi situasi seperti itu kita harus mundur dan mengevaluasi komposisi gas tersebut dengan sebuah alat khusus yang harganya sangat mahal dan sulit didapat. Insinyur-insinyur Indonesia terpaku pada teori itu tanpa bia berbuat apa-apa lagi, logika mereka tidak berjalan. Sementara Pak Irman yang besar di lapangan, menghadapi situasi seperti ini,logikanya sangat cepat bermain.

"Yang ingin kita ketahui dari gas ini bukanlah komposisi detailnya, tapi yang ingin kita ketahui apakah gas tersebut berbahaya atau tidak", cerita Pak Irman pada saya.

Jadi untuk mengetahui berbahaya atau tidaknya gas ini, Pak Irman membeli sepasang burung merpati dalam sangkar dan memasukkan burung tersebut ke dalam tempat yang dipenuhi gas itu selama dua hari. Ketika dalam dua hari Pak Irman mendapati burung tersebut masih hidup dan malah sempat bertelur, beliau langsung menyimpulkan gas itu tidak berbahaya dan pengerjaan proyek pun dilanjutkan, nyaris tanpa hambatan berarti sampai selesai.

Kalau cerita Kemal ini kita gabungkan dengan kisah yang diceritakan Pak Irman, memang faktanya benar seperti Kemal katakan, KAMPUS seringkali hanya bisa memproduksi manusia yang hanya mampu berpikir dalam sebuah KOTAK SEMPIT atau TEMPURUNG. Sementara dunia nyata ini adalah dunia dengan tingkat keacakan dan ketidak pastian yang tinggi. Masalah-masalah di dunia nyata seringkali datang dalam bentuk kejutan-kejutan yang membutuhkan solusi spontan. Karena itulah, ketika dilemparkan ke dunia nyata, seringkali intelektual dengan nilai akdemis tinggi yang diproduksi di kampus-kampus dalam jum;lah ribuan setiap tahunnya seringkali kebingungan sendiri menghapi masalah-masalah yang tidak ada dalam KOTAK SEMPIT atau TEMPURUNG yang mereka diami.

Di Indonesia ini sebagaimana dalam segala hal, pendidikan formal seringkali hanya dihargai sebatas kulit luarnya. Tidak sedikit orang menempuh pendidikan formal hanya untuk bisa memamerkan gelar tanpa masyarakat bisa mendapat manfaat dari pengetahuan yang mereka dapatkan dari pendidikan itu.

Di negeri ini, gelar akademis menjadi semacam alat untuk membentuk masyarakat feodal baru, di Indonesia (terlebih di ACEH) banyak orang yang ingin dihormati karena gelar akademisnya, bukan karena kemampuannya dalam sebuah debat intelektual, orang-orang semacam ini suka memaksakan pandangan agar orang mau menilai KUALITAS ARGUMEN dari gelar orang yang bicara, bukan atas logika yang dibangun.

Yang lebih konyol pola seperti ini juga menular ke kalangan non kampus.

Contohnya pola yang sama seperti cerita di atas juga bisa kita saksikan pada penulis-penulis muda Aceh yang berbasis pesantren yang tergabung dalam sebuah kelompok yang mereka namakan CADS (Center for Aceh Development Strategy) dan IPSA (Ikatan Penulis Santri Aceh) yang baru merasakan euforia tulisannya dimuat di media massa terbitan lokal. Keputusan redaktur media lokal untuk memuat tulisan mereka secara reguler membuat anak-anak muda berbasis pesantren ini besar kepala dan menganggap remeh semua orang yang berbeda pandangan dengan mereka. Lalu sebagaimana para akademisi kampus anak-anak muda berbasis pesantren ini pun menuntut untuk dihormati karena jumlah tulisannya yang dimuat di media lokal, bukan atas kemampuannya membangun logika dalam sebuah debat intelektual.

Berdasarkan pengalaman saya menghadiri berbagai konferensi di dalam dan luar negeri, saya mendapati, biasanya orang-orang semacam ini selalu merasa besar di dalam kalangannya sendiri tapi langsung mengkeret ketika dilemparkan ke lingkungan lain. Saya pikir inilah efek dari yang disebut Kemal sebagai "sikap narsis, sok hebat, tapi hanya di kandang"

Mungkin ini pula sebabnya tidak banyak dosen asal Aceh yang tulisannya dimuat di media massa kelas nasional, bahkan sejujurnya dosen asal kampus-kampus yang ada di Aceh yang sering saya baca buah pikirannya secara reguler di media massa nasional, hanya TEUKU KEMAL FASYA seorang.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: