Minggu, 26 Juli 2009

Roman Picisan Bag I

Setamat SMA tahun 1992, aku mengikuti bimbingan belajar di Bimafika sebagai persiapan untuk mengikuti UMPTN.

Dalam menyelenggarakan bimbingan belajar bagi para tamatan SMA ini, Bimafika menyewa ruang belajar milik MIN Banda Aceh yang terletak di kawasan Jambo Tape. Aku sendiri saat itu kost di Kampung Laksana, di sebuah rumah di Jalan Besi.

Untuk mengikuti kursus di Bimafika, setiap hari aku selalu berjalan kaki pulang pergi dari dan ke Kampung Laksana melewati jalan-jalan kecil dan jalan tikus di Kampung Keramat yang menghubungkannya dengan Jambo Tape.

Selain aku, bimbingan belajar yang diasuh oleh mahasiswa-mahasiswa dari berbagai fakultas elit di Unsyiah ini juga diikuti oleh ratusan siswa tamatan SMA yang berasal dari berbagai penjuru Aceh. Mereka semua datang ke Bimafika dengan tujuan dan maksud yang sama, merebut satu kursi di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia.

Salah satu dari sekian ratus siswa tamatan SMA yang mengikuti Bimbingan belajar di Bimafika ini bernama Lusi, seorang gadis muda asal Lhokseumawe, berkulit putih, berambut lurus dan panjang yang mengikuti bimbingan di ruangan kelas yang sama denganku.

Selama mengikuti bimbingan, Lusi meyewa sebuah kamar kost di Kampung Keramat yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat bimbingan. Seperti aku, Lusi yang rada tomboy inipun setiap hari berjalan kaki dari tempat kost-nya untuk menuju dan kembali dari Bimafika.

Karena untuk menuju Bimafika kami harus melewati jalan yang sama, hampir setiap hari aku bertemu Lusi dalam perjalanan ke tempat bimbingan. Kami selalu bertemu di persimpangan Jalan Kenari, aku datang dari arah timur dan Lusi datang dari arah utara. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan ke Bimafika bersama-sama, menyusup melalui celah sempit di belakang mesjid milik YPAI, sebuah sekolah islam swasta yang terletak tepat di samping Bimafika. Melalui celah sempit di belakang tempat wudhuk mesjid ini kami masuk ke dalam lapangan sekolah YPAI yang memiliki ruangan belajar bertingkat dua yang terbuat dari bahan beton yang terlihat sudah sangat tua, dengan cat putih yang ditumbuhi jamur menghitam dimana-mana dan terkelupas di sana sini serta tiang-tiang beton bundar yang penuh coretan dan bopeng-bopeng karena kurang perawatan.

Dari lapangan yang tampak kurang terurus dengan rumput yang tumbuh tinggi itu kami masuk ke area Bimafika dengan cara sedikit menunduk melewati pagar kawat duri yang ditopang tiang besi profil yang berwarna coklat karena karat yang tampak seperti gapura kecil karena bagian atas dan bawah kawatnya sengaja dilonggarkan supaya mudah dilewati orang-orang yang menuju dan keluar dari Bimafika.

Ketika pulang dari Bimafika juga demikian, kami melewati jalan yang sama dan berpisah di persimpangan Jalan Kenari, Lusi berbelok ke Utara aku berjalan lurus menuju ke Timur. Dalam perjalanan pulang dan pergi itu kami selalu mengobrol. Yang kami obrolkan tidak jauh-jauh dari UMPTN yang bakal kami hadapi dan juga kekaguman kami terhadap tentor-tentor yang mengajar kami.

Saat itu MLM belum mewabah, Amway, Tianshi, K-Link atau CNI juga belum populer. Orang-orang pun belum mengenal Andrie Wongso, Tung Desem Waringin atau Robert T. Kiyosaki. Tapi saat itu tentor-tentor kami di Bimafika yang kuliah di Unsyiah, sudah memiliki kualitas yang sama dengan para motivator perusahaan MLM yang sekarang banyak kita temui dimana-mana yang suka mengutip kata-kata dari nama-nama yang saya sebutkan di atas.

Selain sebagai pengajar, di mataku para tentor itu adalah sumber inspirasi yang aku pandang dengan kekaguman tinggi. Kurang lebih seperti cara para downliner MLM melihat up-linenya. Di mataku para tentor itu nyaris seperti manusia setengah dewa.

Dari cara mereka bercerita, para tentor Bimafika membuat aku yakin bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan masa depan yang cerah adalah dengan diterima di perguruan tinggi negeri. Begitu dahsyatnya para tentor itu dalam memotivasiku, sehingga akupun rela belajar setengah mati agar bisa lulus di UMPTN nanti.

Pada waktu itu aku masih remaja tanggung yang cenderung rendah diri terhadap lawan jenis. Aku sulit sekali memulai percakapan dengan lawan jenis. Aku selalu tergagap jika berada dalam situasi semacam itu. Setiap kali aku akan memulai percakapan dengan seorang perempuan menarik, yang muncul di kepalaku selalu berbagai bentuk pandangan negatif terhadap diriku sendiri. Aku memandang rendah setiap sisi kualitas diri yang aku punyai, entah itu fisik, situasi finasial sampai latar belakang kesukuan.

Segi fisik misalnya, waktu itu sepertinya aku baru merasa percaya diri kalau aku memiliki wajah dan penampilan seganteng dan sekeren Thomas Jorghi yang oleh remaja angkatan sekarang lebih dikenal sebagai penyanyi dangdut dengan goyangan norak dan lirik lagu yang kampungan, tapi waktu itu merupakan model papan atas yang wajahnya kerap menghiasi sampul majalah remaja. Thomas Jorghi saat itu adalah ‘kata ganti’ untuk menyebut cowok ganteng, dia menjadi idola hampir semua remaja perempuan dan bikin iri semua remaja dan ABG laki-laki seangkatanku.

Aku juga sering minder terhadap teman-teman yang punya ‘kereta’ (sebutan untuk motor di Aceh) dan aku sering berpikir tanpa punya kereta tidak mungkin ada perempuan yang memandangku.

Statusku sebagai orang Gayo juga cukup membuat tertekan, sebagai suku minoritas dan sub-ordinat, seperti halnya orang Indonesia di Malaysia, suku Madura di Surabaya, suku Jawa di Jakarta atau suku Aceh di Medan. Di Banda Aceh, suku Gayo sering dijadikan bahan olok-olok dalam obrolan sehari-hari. Dengan latar belakang kesukuanku seringkali aku merasa bahwa tidak mungkin ada perempuan Aceh yang mau kudekati secara serius.

Begitulah, setiap kali aku bertemu perempuan yang menarik semua tekanan di atas membuat aku sulit sekali untuk memulai percakapan.

Ketika aku pertama kali mengenal Lusi juga demikian, aku sama sekali tidak berani mengajaknya bicara. Ketika kami pertama bertemu, dialah yang memulai percakapan. Tapi ketika aku sudah mulai berbicara dengannya, karakter pribadinya yang hangat dan ekstrovert, sikapnya yang ramah alami tanpa ada kesan dibuat-buat terhadap siapapun langsung membuat aku merasa nyaman berdekatan dengannya.

Lusi tidak secantik Wirna, teman sekelasku di 3 fisik 2 SMA Negeri 2 Banda Aceh yang di dalam kelas duduk tepat di depan bangkuku yang mungkin adalah perempuan paling cantik yang pernah kukenal sampai umurku yang ke- 18 saat itu, yang secara diam-diam disukai oleh semua murid laki-laki di kelasku termasuk aku sendiri. Tapi sampai hari ini tidak ada satupun dari semua laki-laki teman sekelasku itu yang punya nyali untuk menyatakan apa yang kami rasakan saat itu kepada Wirna (kecuali aku, setelah akhirnya kami bertemu di facebook beberapa hari yang lalu).

Tapi meskipun dia tidak secantik Wirna, segala kehangatan sikap yang kurasakan dari Lusi membuatnya tampak demikian menarik sebagai seorang perempuan. Seperti magnet yang menarik dengan kuat setiap besi yang didekatnya, Lusi pun demikian, karakternya yang hangat dan gembira membuat laki-laki normal mengenalnya merasa sulit untuk tidak mendekat.

Karena itulah setelah beberapa hari terus berdekatan dengannya, tanpa bisa aku hindari perasaan lain yang lebih intim dari sekedar pertemanan secara alami muncul dalam diriku. Tapi tentu saja perkembangan perasaan yang kualami itu tidak pernah berani kuungkapkan kepada Lusi. Perasaan itu tidak pernah berani aku ungkapkan karena perasaan rendah diri yang selalu menyergapku.

Aku tahu persis, sikap ramah, hangat dan bersahabat yang ditunjukkan Lusi kepadaku bukanlah sikap yang semata ditujukan untukku, tapi memang seperti itulah sikap standar Lusi terhadap siapapun yang dia kenal baik. Sikap yang tanpa pernah dia sadari telah menyentuh hidup banyak orang.
Beberapa kali aku ingin menanyakan nomer telpon Lusi di Lhokseumawe supaya kalau nanti setelah bimbingan kami tidak memiliki kesempatan untuk bertemu kembali, aku bisa tetap berhubungan dengan dia. Tapi lidahku terasa kelu setiap kali aku akan mengucapkan kata-kata itu, entah kenapa setiap kali aku akan minta nomer teleponnya, yang muncul di kepalaku selalu berbagai pandangan negatif terhadap diriku bercampur prasangka terhadap Lusi.

“Jangan-jangan nanti Lusi nyangkain aku mau PDKT kalo nanyain telpon, jangan-jangan nanti gara-gara itu dia nggak mau lagi ngobrol sama aku”, begitu suara yang muncul di kepalaku yang disusul dengan berbagai tekanan yang membuatku minder seperti yang aku gambarkan di atas “Mana pantas aku minta nomer telponnya, yang suka sama dia pasti banyak, apalagi aku orang Gayo mana mungkin dia mau memberikan nomer teleponnya”. Di samping itu, pakaian bermerek terkenal yang dikenakan Lusi, celana levi’s asli yang harganya setara tiga bulan uang kiriman bulananku juga cukup mengintimidasiku supaya tidak mendekat terlalu jauh, karena aku merasa di antara kami ada perbedaan yang cukup mencolok dalam hal status sosial.

Begitulah sampai waktu bimbingan di Bimafika berakhir, aku tidak pernah berani minta nomer telepon Lusi. Sampai akhirnya aku tinggal punya satu kesempatan lagi “Malam Perpisahan Bimafika”, yang diselenggarakan di Taman Budaya, dua hari menjelang UMPTN. Sebelum acara itu berlangsung, aku bertekad, apapun yang terjadi aku harus mendapatkan nomer teleponnya malam itu, aku bertekad mempersetankan segala macam gangguan yang hadir di kepalaku abibat dari adanya sikap minderku.

Malam itu di Taman Budaya diselenggarakan beragam acara kesenian yang diisi oleh anak-anak Bimafika sendiri beserta para tentor. Disamping itu juga diadakan berbagai acara pemilihan siswa ter dan juga putra dan putri persahabatan. Aku datang agak terlambat karena kesulitan mendapatkan angkutan sebab labi-labi (sebutan di Banda Aceh untuk angkutan minibus dalam kota) jurusan Ketapang, Ajun bahkan Lhok’nga yang ada di terminal labi-labi Diponegoro semuanya penuh dipadati anak-anak Bimafika yang akan menghadiri malam perpisahan di Taman Budaya yang terletak di Jalan Teuku Umar yang dilewati oleh labi-labi jurusan itu.

Ketika aku sampai di Taman Budaya, ruangan Taman Budaya sudah penuh terisi, meski acara belum dimulai. Yang pertama kali kucari tentu saja Lusi. Tapi aku tidak menemukannya sampai acarapun dimulai, dibuka dengan penampilan tentor matematika yang aku lupa namanya menyanyikan lagu barat yang aku lupa judulnya. Sementara mataku terus kuarahkan ke berbagai sisi untuk mencari keberadaan sosok Lusi yang belum juga aku temukan.

Kemudian satu persatu acara pemilihan siswa ‘ter’ mulai dari yang terbaik sampai yang terlucu yang nominasinya dibacakan oleh sepasang siswa Bimafika yang dipilih oleh para tentor.

Ketika tiba pengumuman salah satu siswa ‘ter’(aku lupa ‘ter’ apa) aku melihat Lusi, dia tampak berbeda dengan Lusi yang selama ini kukenal, dia mengenakan gaun warna merah yang membuatnya tampak anggun dan feminin. Berbeda sekali dengan Lusi yang kukenal sehari-hari mengenakan T-shirt yang dipadu dengan celana jeans serta tas punggung dengan jam besar di belakangnya. Penampilan Lusi yang paling kuingat adalah ketika dia memakai kaos kuning dan celana jeans Levi’s berwarna biru muda nyaris putih.

Lusi kulihat maju ke panggung dengan percaya diri berpasangan dengan salah satu siswa pria yang tidak kukenal membacakan nominasi untuk siswa ‘ter’. Melihat penampilan Lusi malam itu nyaliku untuk minta nomer teleponnya jadi menciut. Tapi aku tetap berniat untuk melakukannya, karena aku berpikir bisa jadi setelah malam ini aku tidak akan bertemu Lusi lagi.

Sepanjang malam itu aku menunggu kesempatan untuk bisa mendekati dia, mencari momen yang tepat. Tapi yang kulihat sejak turun dari panggung dan kemudian naik kembali ketika dia dinobatkan sebagai Putri perrsahabatan angkatan 1992 (sebuah gelar yang wajar mengingat karakter Lusi yang hangat terhadap siapapun). Lusi terus dikelilingi abang-abang tentor yang tampaknya juga menyukainya membuatku benar-benar kehilangan seluruh rasa percaya diriku untuk mendekat.

Sampai acara berakhir aku sama sekali tidak mendapatkan celah atau kesempatan untuk bertemu Lusi secara pribadi sampai kulihat dia keluar dari ruangan beramai-ramai dengan beberapa teman perempuannya dan beberapa tentor, mungkin mereka diantar pulang naik ‘kereta’ oleh abang-abang tentor yang merubunginya. Yang jelas setelah itu aku tidak melihatnya lagi.

Aku pulang naik labi-labi terakhir jurusan kota yang menunggu di seberang Taman Budaya di dekat Kherkoff (perkuburan belanda) yang kernetnya berteriak-teriak sambil melambaikan tangan kepada setiap orang yang keluar dari gedung Taman Budaya. Labi-labi itu membawaku ke terminal di jalan Diponegoro untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Kampung Laksana dengan labi-labi jurusan Darussalam.

Sepanjang jalan dalam labi-labi dan ketika berjalan kaki dari simpang Jalan Dharma sampai ke Jalan Besi, aku berharap bisa bertemu Lusi kembali entah besok pagi, atau dua hari kemudian saat UMPTN atau di terminal Bis Seutui saat kami pulang ke kampung masing-masing, atau ketika makan malam di terminal bis di Bireun. Tapi harapanku itu tidak terwujud.

Saat pengumuman UMPTN, selain namaku, nama Lusi adalah nama pertama yang ingin aku lihat ada di daftar nama Mahasiswa yang lulus di Unsyiah. Aku diterima di jurusan Teknik Sipil Unsyiah, tapi nama Lusi tidak aku temukan. Ketika tidak menemukan namanya dalam daftar nama mahasiswa yang lulus di Unsyiah, aku berharap namanya ada di daftar nama mahasiswa yang di terima di PTN lain, karena dengan begitu aku tetap akan bisa melacaknya. Tapi semua harapanku itu sia-sia, nama Lusi tidak berhasil aku temukan. Sehingga yang terjadi tepat seperti yang kuduga malam itu. Malam perpisahan Bimafika di Taman Budaya adalah kali terakhir aku melihat Lusi dan selanjutnya dia menghilang dan tidak akan pernah kutemui lagi.

Saat sudah kuliah, beberapa kali aku mencoba mencari informasi tentang keberadaannya melalui teman-temanku yang juga berasal dari Lhokseumawe, salah satunya temanku di Leuser yang juga teman satu timku waktu mendaki jalur selatan Leuser pada ahun 1994. Tapi aku juga tidak berhasil mendapatkan informasi apapun dari temanku ini, yang terjadi malah aku dijadikannya bahan ledekan karena menurutnya tidak pantas aku suka pada Lusi, padahal waktu itu kepada temanku ini aku cuma menanyakan kalau-kalau dia mengetahui informasi tentang Lusi. Aku sama sekali tidak pernah mengatakan pada temanku itu kalau aku suka pada Lusi.

Aku juga sempat mencari informasi ke tempat lain tapi hasilnya juga nihil. Mendapati kenyataan seperti itu akupun sadar dan mau tidak mau, ikhlas atau tidak ikhlas aku harus menerima kenyataan kalau kenangan singkat bersama Lusi, meskipun berkesan tapi tidak lebih hanya menjadi cerita sekilas lewat dalam sejarah hidupku.

http://www.youtube.com/watch?v=VOe5jFUQHXI

Bersambung ke bagian 2…

Minggu, 19 Juli 2009

Indahnya Masa Kanak-kanak Tanpa Semai Kebencian

Beberapa waktu yang lalu menjelang akhir masa sekolah tahun ajaran ini. Sekolah Montessori, tempat Matahari Kecil anak saya bersekolah, mengadakan International Day, sebuah acara yang merupakan tradisi tahunan di sekolah ini.

Dalam acara International Day, di sekolah yang siswanya berasal dari berbagai pelosok planet biru yang kita diami ini, para siswa sekolah tersebut tampil dalam kostum khas daerah/negara asalnya dan memperkenalkan daerah/negara asalnya dengan bahasa nasional masing-masing.

Matahari Kecil anak saya tentu saja tampil dengan kostum Kerawang Gayo, pakaian berbahan kain berwarna hitam yang dihiasi bordiran bermotif kerawang yang merupakan pakaian khas daerah kami, pakaian khas yang belakangan telah banyak dikaburkan identitasnya menjadi Kerawang Aceh oleh suku mayoritas di daerah kami. Teman anak saya yang berasal Denmark, tampil dengan Kostum viking lengkap dengan topi bertanduk dan pedang khas mereka, seorang siswa asal Selandia Baru tampil dengan tato khas suku Maori dan siswa-siswa lain juga tampil dengan ciri khasnya masing-masing.

Kami para orang tua diminta membawa makanan yang merupakan ciri khas daerah/negara masing-masing. Matahari kecil anak saya yang orang Gayo membawa masakan ikan mujair pengat, sementara Karuna temannya yang orang jepang membawa onigiri dan berbagai masakan jepang lainnya anak-anak lainpun membawa makanan khas daerah/negaranya masing-masing.

International Day di Montessori ini adalah salah satu dari sekian banyak konsep di Montessori yang sangat saya suka. Melalui acara ini anak-anak diajak untuk tidak melupakan akarnya sambil di saat yang sama diajarkan untuk menghargai keberagaman dengan cara menghormati budaya orang lain yang berbeda dari kebudayaan yang mereka punya.

Acara International Day ini diawali dengan kemunculan masing-masing delegasi siswa di atas pentas. Anak-anak ini memperkenalkan negara asal mereka masing-masing dengan bahasa nasional masing-masing pula. Diawali dengan delegasi Amerika dan diakhiri dengan Kazakhtan.

Setiap kali anak-anak ini memperkenalkan diri dan negaranya dengan penuh rasa bangga, anak-anak lain dan para orang tua menyambutnya dengan tepuk tangan yang membahana.

Selesai acara perkenalan, acara dilanjutkan dengan penampilan anak-anak Montessori dari masing-masing tingkatan mulai dari anak-anak Pre-School yang masih terlihat lucu dan menggemaskan dilanjutkan dengan penampilan anak-anak Lower Elementery yang baru mulai belajar memainkan alat musik dan diakhiri dengan penampilan anak-anak Higher-Elementery yang sudah mulai sempurna baik dalam memainkan alat musik, menyanyi maupun menari.

Qien Mattane Lao, matahari kecil saya, bersama anak-anak Pre-School lain yang satu tingkatan dengannya memulai konser ini dengan menyanyikan lagu ‘Ouvrez La Cage aux Oiseau’, lagu berbahasa Perancis karangan Pierre Perret yang melalui liriknya mengajak pendengarnya untuk melepaskan burung-burung kecil yang malang yang terpenjara di dalam sangkar oleh penggemar burung yang egois ingin menikmati sendiri merdunya kicauan dan indahnya warna-warni bulu burung peliharaannya.

Begini kira-kira arti lirik lagu ini jika diartikan ke dalam bahasa melayu.

Buka buka sangkar burungnya
Perhatikanlah (ketika) burung-burung itu mulai terbang betapa indahnya
Anak-anak yang kalian lihat
(Mereka sebenarnya seperti) Burung-burung Kecil yang terpenjara
(Karena itu) Bukalah pintu sangkarnya dan biarkanlah mereka bebas merdeka

Lirik lagu ini adalah sebuah metafora sekaligus kritik dan sentilan bagi kebanyakan orang tua yang gemar’memenjara’ anak-anak mereka dalam ’sangkar’ keinginan dan ambisi sang orang tua.

Di permukaan planet ini, orang tua sejenis ini dari dulu sampai sekarang jumlahnya banyak sekali. Jumlah orang tua ’spesies’ ini bertambah dengan jumlah yang semakin menjadi-jadi di masa modern dengan tekanan dan persaingan hidup yang semakin ketat seperti sekarang ini.

Dulu orang-orang tua semacam ini sering ‘memenjara’ anak-anak mereka dengan cara menakut-nakuti anak-anak dengan cerita-cerita semacam ‘Malin Kundang’ dan ‘Sampuraga’. Di zaman sekarang orang tua semacam ini ‘memenjara’ anak-anak mereka dengan cara memaksa anak-anak untuk mengikuti berbagai kegiatan yang menurut para orang tua ini akan menjadi bekal kehidupan anak-anak tersebut di masa depan, diantaranya dengan memaksakan anak untuk mengikuti berbagai les dan kursus yang kadang tidak disukai oleh anak-anak itu.

Begitu banyaknya orang tua jenis ini di negara ini sekarang, sampai-sampai Departemen pendidikan Indonesia melalui menteri pendidikannya yang cerdas dan bergelar Professor itupun memformalkan ‘penyiksaan’ terhadap anak-anak ini dalam sebuah kurikulum nasional yang ‘kejam’ dan tidak ‘berperikemanusiaan’. Begitu tinggi dan ‘istimewanya’ standar kurikulum bikinan menteri pendidikan yang profesor ini sampai-sampai sekarang beberapa sekolah dasar mensyaratkan kemampuan membaca dan berhitung bagi calon siswanya yang akan masuk ke kelas 1 di sekolah tersebut, sehingga sekarang banyak orang tua yang ‘peduli’ pada masa depan anak-anak mereka yang memaksa anak-anak yang belum genap berumur 6 tahun untuk belajar membaca dan berhitung, padahal seringkali secara kognitif anak-anak itu belum siap untuk mendapatkan materi seperti itu.

Kalau orang tua-orang tua itu mengatakan apa yang mereka lakukan itu adalah demi masa depan anak-anak mereka, saya akan bertanya, siapa sih yang tahu masa depan itu sebenarnya seperti apa?. Kita tidak pernah bisa memperkirakan dengan tepat. Contohnya di waktu saya kecil, ketika berbicara tentang profesi orang tua hanya bisa membayangkan, Insinyur, Dokter, Pilot dan pekerjaan-pekerjaan prestisius lain sesuai dengan situasi zaman itu.

Orang tua saya dan juga saya sendiri misalnya tidak pernah berpikir kalau di masa saya dewasa akan ada profesi yang sangat menjanjikan yang bernama entah itu ahli multimedia, MC, Event Organizer, Motivator bahkan profesi penyelenggara perjalanan wisata, seperti yang saya jalani saat ini.

Anak-anak justru akan mudah menemukan jalannya di masa depan jika di masa kanak-kanaknya dibiarkan bebas melepaskan kreatifitas dan kegembiraan. Contoh dari anak-anak yang dibesarkan dengan cara seperti ini yang sukses di masa dewasa adalah pemilik mesin pencari ‘Google’.

Selesai menyanyikan ‘Ouvrez La Cage aux Oiseau’, Mattane Lao anak saya dan anak-anak Pre-School lainnya menyanyikan sebuah lagu berbahasa Italia dan dilanjutkan dengan lagu ‘Menanam Jagung’ yang sekaligus merupakan penampilan terakhir mereka di panggung.

Selesai menyanyikan lagu ‘Menanam Jagung’ anak-anak Pre-School turun dari pentas dan menjadi penonton, tempat mereka di panggung digantikan oleh anak-anak Lower-Elementery. Anak-anak di tingkatan ini sudah mampu memperlihatkan keterampilan mereka memainkan alat musik, meskipun belum terlalu istimewa. Pada penampilan mereka kali inipun, konsepnya tetap mengusung ide “berbeda tapi saling menghargai”. Pada sesi ini di sela-sela permainan biola yang mereka mainkan bersama-sama, dua orang murid Lower-Elementery asal Cina menyanyikan lagu ‘Twinkle Twinkle Little Star’, lagu terkenal gubahan Mozart seorang komposer besar asal Austria. Kedua murid perempuan dari tingkat Lower-Elementary ini menyanyikan lagu tersebut dalam bahasa Cina.

Puncak acara pertunjukan kesenian ini dipungkasi dengan penampilan anak-anak Upper-Elementery yang merupakan prototype ‘produk’ sistem pendidikan Montessori. Melalui anak-anak Upper Elementary ini kita sudah bisa memperkirakan seperti apa nantinya anak-anak ini di masa dewasanya.

Pada sesi terakhir ini terlihat penampilan anak-anak Upper-Elementary yang rata-rata berusia 10 tahun ini begitu mengagumkan untuk usianya. Mereka memainkan biola dengan baik, anak-anak yang berasal dari berbagai negara dengan warna kulit, mata dan rambut yang berwarna-warni ini menyanyikan lagu Morning is Broken-nya Cat Steven dengan bahasa Inggris yang fasih kemudian dilanjutkan dengan lagu ‘Waktu Ku Kecil’ dalam bahasa melayu dengan aksen Indonesia yang sempurna, yang sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan aksen terkenal milik pahlawan saya CINTA LAURA yang sekarang menjadi ikon EF, sebuah lembaga pendidikan Bahasa Inggris asal Swedia.

Penampilan anak-anak Upper-Elementery yang sekaligus merupakan penampilan terakhir dalam acara kesenian ini diakhiri dengan pertunjukan tari ‘Janger’, sebuah tari tradisional dari Bali yang mengisahkan tentang persahabatan antar muda-mudi. Tarian inipun ditarikan dengan sempurna oleh anak-anak Upper-Elementery yang masih mengenakan pakaian nasionalnya masing-masing.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan makan-makan, anak-anak dan orang tua saling bertukar makanan yang merupakan ciri khas dari daerah/negara masing-masing sambil tetap menghormati pantangan-pantangan yang diyakini dalam masing-masing kepercayaan.

Saat acara makan-makan, anak-anak yang berasal beragam latar belakang tapi sama-sama penghuni planet biru berair yang kita namakan Bumi inipun berbaur dan bercanda dengan gembira. Jelas sekali terlihat kalau anak-anak ini sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengklasifikasikan manusia berdasarkan tinggi rendahnya derajat yang dinilai dari latar belakang budaya, agama dan kepercayaan apalagi warna kulit.

Ouvrez ouvrez la cage aux oiseaux
Regardez-les s’envoler c’est beau
Les enfants si vous voyez
Des p’tits oiseaux prisonniers
Ouvrez-leur la porte vers la liberté

Wassalam

Win Wan Nur

Rabu, 01 Juli 2009

Final Copa dan Carut Marut Sepakbola Indonesia

Jarang-jarang saya menyaksikan pertandingan sepakbola Indonesia di televisi. Tapi beberapa waktu yang lalu saya melakukannya, saya menonton final Copa Indonesia yang mempertemukan Sriwijaya FC melawan Persipura yang merupakan juara Liga Super Indonesia. Tidak disangka pertandingan dua tim sepakbola ini berlangsung seru dengan Sriwijaya FC lebih banyak menekan dengan sesekali dibalas oleh Persipura dengan sengatan serangan balasan yang cukup mematikan.

Sayangnya dalam pertandingan yang dilangsungkan di stadion Jakabaring Palembang ini wasit kurang bisa bersikap netral, meskipun tidak kentara, tapi beberapa kali terlihat keputusan wasit merugikan kubu Persipura. Misalnya seperti ketika Ernest jeremiah dijatuhkan di kotak penalti. Wasit tidak memberikan hukuman pada Sriwijaya. Kemudian ketika di penghujung babak pertama Persipura mendapat tendangan pojok, tanpa menunggu tuntasnya prosesi tendangan pojok, wasit langsung meniup peluit ketika bola yang ditendang pemain Persipura mengenai kepala seorang pemain Persipura yang lain.

Babak kedua pertandingan berlangsung seru, Boaz Salossa pemain sensasional milik Persipura yang wajahnya sekilas mirip pemain Barcelona Thierry Henry, beberapa kali menunjukkan kualitasnya sebagai striker yang mungkin adalah yang terbaik di negeri ini. Pada babak ini serangan masih berimbang tapi beberapa kali para pemain persipura membahayakan gawang Sriwijaya FC, tapi tidak sampai menghasilkan gol entah itu karena dimentahkan oleh barisan belakang Sriwijaya FC atau ditangkap oleh Kiper Ferry Rotinsulu.

Dalam sebuah serangan dari sisi kanan pertahanan Persipura, Nasuha pemain Sriwijaya melepaskan umpan lambung ke kotak penalti, di sana sudah menunggu dua orang pemain Sriwijaya yang ditempel ketat oleh bek-bek Persipura. Dalam pengawalan ketat itu, Obiora salah seorang pemain asing milik Sriwijaya masih bisa melompat tinggi mengalahkan bek Persipura yang menempelnya, menanduk bola umpan lambung itu dan menempatkannya di sisi bagian kiri gawang Persipura tanpa bisa dihadang oleh Jendry Pitoy, mantan penjaga gawang utama Timnas Indonesia yang berasal dari Sulawesi Utara. 1-0 untuk Sriwijaya.

Ketinggalan satu gol, Persipura seolah tersentak, serangan demi serangan dibangun oleh persipura secara bergelombang. Dalam sebuah serangan Ian Kabes masuk ke kotak Penalti Sriwijaya dan dihadang oleh beberapa bek Sriwijaya FC. Lalu entah karena pertimbangan apa saat ian Kabes menguasai bola, Ferry Rotinsulu kiper Sriwijaya FC yang seperti Jendry Pitoy juga berasal dari Sulawesi Utara maju berusaha merebut bola sambil menebas kaki Ian Kabes, tapi bola tidak berhasil dia kuasai malah mendekati kaki Ernest Jeremiah yang langsung melepaskan tendangan keras ke arah gawang Sriwijaya yang kosong karen ditinggal Ferry. Tendangan Ernest Jeremiah ditahan dengan tangan oleh seorang bek Sriwijaya. Jelas dua momen yang berdekatan ini seharusnya berbuah hukuman penalti buat Sriwijaya.

Tapi entah karena tidur atau alasan apa, Purwanto salah satu wasit terbaik di Indonesia yang memimpin pertandingan ini beserta hakim garis yang membantunya hanya memberikan tendangan pojok untuk Persipura. Pemain-pemain Persipura jelas meradang dan segera merubungi wasit. Tapi Purwanto tegas pada keputusannya. Ofisial Persipura di pinggir lapangan terlihat mencak-mencak dengan keputusan wasit. Alih-alih memberi penalti, Purwanto malah mengkartu ,erah Ernest jeremiah, pemain Persipura yang memprotes keras keputusannya. Lalu, entah siapa yang memulai tiba-tiba terlihat satu persatu pemain persipura meninggalkan lapangan dan masuk ke ruang ganti. Pertandingan seru dengan atmosfer luar biasa yang tersaji selama 64 menit tadipun berubah menjadi 'garing'.

Tidak seperti pertandingan di luar negeri yang jika terjadi hal seperti itu, penyelenggara pertandingan langsung bertindak tegas memberikan kekalahan W.O bagi tim yang meninggalkan lapangan. Pada pertandingan ini tidak demikian, terjadi tarik ulur yang panjang.

Tapi persipura tidak juga kunjung keluar. Hal ini bisa dimaklumi sebab dengan situasi ini setelah mogok selama satu Jam lebih, jelas tidak mungkin Persipura mau kembali ke lapangan, secara moral mereka sudah jatuh, motivasi dan semangat tempur pemainpun pasti sudah menguap. Kalaupun mereka kembali turun ke lapangan mereka akan bermain tanpa jiwa dan malah akan lebih memalukan dan menjatuhkan harga diri mereka.

Di layar televisi Muhammad Al hadad, pelatih Deltras yang menjadi komentator menyalahkan pelatih Persipura Jacksen F. Tiago atas kejadian ini, entah pendapat Al Hadad itu objektif atau karena dia punya sentimen pribadi terhadap jacksen yang dulu menggantikannya sebagai pelatih di persebaya yang justru setelah ditangani Jacksen berhasil menjadi Juara Liga Indonesia. Komentator lain menyamakan apa yang terjadi dengan di luar negeri yang jika wasit berbuat kesalahan pemain yang bertanding bersikap dewasa dengan tetap melanjutkan pertandingan. Mereka juga menyesalkan PSSI yang pejabat terasnya hadir di sana tidak bisa bertindak tegas dengan langsung memberikan kemenangan W.O bagi Sriwijaya.

Menurut saya, masalah yang terlihat di lapangan saat final Copa Indonesia itu tidaklah sesederhana yang terlihat. Ketika Persipura memutuskan meninggalkan lapangan saat terjadi insiden tersebut, itupun bukanlah keputusan yang dibuat akibat dari peristiwa sesaat yang terjadi sebelumnya. Apa yang dilakukan Persipura adalah puncak kekesalan dari carut-marutnya organisasi sepakbola Indonesia.

Sebelum pertandingan final Copa Indonesia ini dilaksanakan di Stadion Jakabaring Palembang, sudah banyak pihak yang mengkritik keputusan PSSI yang memilih kandang Sriwijaya FC tersebut sebagai venue partai final. Keputusan PSSI untuk memilih tempat ini dikhawatirkan akan membuat wasit yang memimpin pertandingan berpihak kepada tuan rumah.

Jika pertandingan Copa Indonesia ini terjadi di liga mapan eropa, semacam Inggris atau Italia, kekhawatiran seperti ini tidak perlu terjadi karena meskipun wasit sering berbuat kesalahan para pemain dan juga petinggi klub tahu wasit tidak ada niat memihak. Memang bahkan di eropapun keberpihakan wasit pada salah satu tim sering terjadi, salah satunya yang terjadi pada Juventus di Liga Italia. Hal yang membuat saya benci Juventus sampai hari ini. Tapi yang terjadi disana otoritas Liga Italia kemudian bertindak tegas terhadap Juventus ketika kasus ini terbongkar.

Ini yang tidak terjadi di Indonesia, di sini masalah keberpihakan wasit sudah jadi lagu lama dan tidak pernah mendapat perhatian dari PSSI. Keberpihakan wasit pada tuan rumah adalah cerita usang.

Saya teringat pada sekitar tahun 1993, ketika saya bermain sebagai penjaga gawang tim Cremona 92, sebutan untuk tim Sipil 92 angkatan saya di fakultas teknik Unsyiah. Waktu itu tim kami akan mengikuti kejuaraan Piston Cup. Kejuaraan sepakbola antar jurusan antar angkatan di fakultas teknik Unsyiah tempat saya kuliah.

Karena panitia hanya mampu menyewa wasit dan tidak mampu menyewa hakim garis profesional untuk kejuaraan itu maka yang bertugas untuk menjadi hakim garis dalam kejuaraan itu adalah kami sendiri para pemain yang bertanding dalam kejuaraan. Untuk itu panitia mendatangkan seorang wasit dari PSSI Aceh untuk memberi pelatihan pada kami.

Dalam pelatihan itu, si wasit dari PSSI Aceh ini membeberkan apa yang terjadi dalam perwasitan Indonesia yang memang selalu memihak pada tuan rumah. Masih menurut bapak ini, tiap tim yang berlaga di divisi utama (saat itu belum ada liga super) memiliki wasit sendiri yang akan membela tim tersebut jika pertandingan dilaksanakan dikandang tim yang berlaga. Untuk Persiraja tim asal Banda Aceh yang berlaga di divisi utama, bapak itu menyebutkan nama seorang wasit asal Bengkulu (gara-gara UU ITE saya jadi kurang nyaman menyebut nama) sebagai wasit yang menjadi 'milik' Persiraja . Menurut Bapak ini Persiraja memiliki alokasi dana khusus untuk membiayai sang wasit asal Bengkulu ini.

Apa yang terjadi dengan persiraja dan wasit asal Bengkulu tersebut saya yakin pasti juga dialami semua tim yang berlaga di Liga Indonesia. Karena itulah dalam setiap pertandingan di divisi utama liga Indonesia, hampir tidak terjadi sebuah tim tuan rumah menderita kekalahan.

Persipura yang berlaga di final Copa beberapa waktu yang lalupun tentu sangat paham akan hal ini. Apalagi faktanya Purwanto, wasit yang memimpin final sebelumnya juga pernah memimpin partai Copa di stadion yang sama antara Sriwijaya melawan PSMS yang juga berakhir dengan kekalahan W.O untuk PSMS karena meninggalkan lapangan sebab tidak puas dengan keputusan Purwanto yang menguntungkan Sriwijaya. Fakta-fakta tersebut tentu membuat Persipura mengawali pertandingan dengan perasaan akan dikerjai.

Sebelum pertandingan, saya yakin Persipura tentu sudah lebih dulu memprotes pemilihan tempat pertandingan, tapi kemudian pengurus PSSI meyakinkan Persipura kalau pertandingan akan berjalan netral dan akan dipimpin oleh wasit yang tidak memihak. Tapi saat pertandingan berlangsung, Persipura lalu merasakan adanya keputusan-keputusan yang merugikan pihak mereka, ditambah dengan tekanan kemasukan satu gol dan berpuncak pada insiden di menit ke 64 tersebut. Jadilah final Copa Indonesia yang disponsori Dji Sam Soe yang digelar secara spektakuler dengan menghadirkan kedahsyatan God Bless sebelum pemberian piala terasa hambar.

Setelah pertandingan tertunda sekitar satu jam di layar televisi, tampak Ketua PSSI Nurdin Halid yang notabene adalah mantan narapidana kasus korupsi didampingi Darsussalam Tabussala terlihat berwajah kusut dan gelisah. Dia mencoba membujuk Persipura untuk kembali bermain agar penonton tidak kecewa dan final ideal Copa Indonesia yang berlangsung seru tadi tidak berakhir anti klimaks dan mencoreng muka PSSI sebagai otoritas tertinggi sepakbola Indonesia. Tapi karena memang sejak awal tidak pernah konsisten dan plintat-plintut dalam menegakkan peraturan, yang terlihat jelas di televisi justru adalah PSSI yang sama sekali tidak memiliki wibawa.

Yang lucu, kemudian ketika Persipura tidak kunjung keluar Nurdin Halid mulai berbicara tentang Sanksi, bukannya lebih dulu bercermin memperhatikan baik-baik coreng moreng di muka PSSI.

Kita tentu tidak lupa bagaimana saat Persipura menjuarai Ligina saat Nurdin Halid mendekam di dalam penjara. Tim dari ujung timur Indonesia ini gagal mengikuti Liga Champion Asia karena PSSI alpa mendaftarkan mereka. Kalau hal sememalukan ini terjadi di liga sekelas Liga Italia atau Inggris sudah pasti ketua asosiasi Sepakbolanya sudah dipaksa mengundurkan diri oleh anggotanya. Tapi di Indonesia yang pengurus daerah PSSI yang memiliki suara untuk memilih ketua umum dari dulu tetap diisi orang-orang lama, hal seperti itu jelas mustahil terjadi. Oleh PSSI masalah ini sudah dianggap selesai dengan mengkambinghitamkan Dali Tahir yang menjabat urusan luar negeri.

Seandainya kali ini Persipura kembali gagal mengikuti Liga Champion Asia gara-gara diberi sanksi oleh PSSI, saya akan sangat maklum jika Persipura memilih tidak ikut kompetisi ligina atau seperti almarhum Bandung Raya malah memilih membubarkan diri.

Begitulah carut marutnya organisasi sepak bola negeri ini.

Kalau timnas Indonesia dari zaman dulu yang merupakan kekuatan yang cukup diperhitungkan di Asia, lalu turun menjadi raja Asia Tenggara, tapi sekarang malah untuk bersaing di tingkat regional inipun megap-megap bersaing dengan Thailand, Singapura dan Vietnam, negara yang baru saja lepas dari konflik berkepanjangan. Itu bukanlah karena di negeri yang berpenduduk hampir 240 juta ini tidak ada pemain berbakat. Melihat permainan Ambrizal, Tony Sucipto, Imanuel Wanggai, Boaz Salossa, Ian Kabes atau Christian Worabai di final Copa kemarin. Jelas yang salah bukanlah pemain, tapi PSSI-lah yang menjadi induk olah raga paling populer di negeri ini yang harus direformasi.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com

Ulang Tahun; Kelahiran dan Pernikahan

Kemarin aku genap berumur 35 tahun jika dihitung berdasarkan kalender Gregorian dan sudah hampir 61 tahun kalau dihitung berdasarkan Kalender Bali.

Seperti biasa saat umur yang dihitung dengan Kalender Gregorian ini berulang aku mendapat banyak ucapan selamat dari orang-orang yang mengenalku, tapi berkat facebook, ulang tahunku yang ke 35 berdasarkan kalender Gregorian kemarin terasa lebih istimewa, karena ulang tahunku yang ke 35 berdasarkan kalender Gregorian kemarin berhasil mencetak rekor baru jumlah ucapan selamat ulang tahun yang ditujukan kepadaku yang berasal dari kerabat, teman-teman dan sahabat seluruh pelosok permukaan planet ini.

Dalam banyak kebudayaan, Ulang Tahun kelahiran adalah sebuah hal penting. Dalam kebudayaan Cina misalnya, ulang tahun selalu dirayakan besar-besaran dengan pesta. Di Bali Ulang Tahun juga sangat penting, ulang Tahun kelahiran yang terjadi tiap 210 hari menurut kalender Bali ini oleh orang Bali dirayakan dengan upacara yang bersifat spiritual.

Tapi bagi orang Gayo seperti aku, sebenarnya hari lahir bukanlah sesuatu yang dirasa penting untuk dirayakan, bahkan terasa janggal untuk sekedar diucapkan sekalipun.

Dalam keluargaku, sebagaimana halnya keluarga Gayo tradisional lainnya, sama sekali tidak ada tradisi merayakan Ulang Tahun kelahiran.Jangankan merayakan, sekedar mengucapkan Selamat Ulang Tahun di saat berulangnya hari jadipun sama sekali tidak pernah terlintas di kepala kami. Dari kecil sampai hari ini aku sama sekali tidak pernah menerima yang namanya ucapan, "selamat ulang tahun" dari keluarga terdekatku (Ayah, Ibu dan kedua adikku). Bagi keluarga kami tradisi berulang tahun benar-benar tradisi asing, tradisi yang kalau kami lakukan rasanya sangat janggal, dengan mengucapkan selamat ulang tahun kami merasa seolah-olah jadi berlagak 'sok modern' dalam pengertian kebarat-baratan.

Situasi seperti ini menyebabkan aku sewaktu masih kecil tidak pernah ingat kapan ulang tahunku, begitu juga hari ulang tahun anggota keluargaku yang lain. Dari 5 orang anggota inti keluargaku, aku cuma ingat hari lahir adik laki-lakiku. Hari lahirnya kuingat karena kami lahir di bulan yang sama tapi adikku lahir tanggal 16. Sementara hari lahir adik perempuanku tidak pernah kuingat, yang kutahu dia lahir bulan agustus sama seperti ayahku, tapi jangan tanyakan tanggalnya. Kalau hari lahir ibuku aku sama sekali tidak tahu, bahkan bulan dan tahunnyapun aku tidak dapat memastikan. Apatah lagi kalau ditanyakan hari ulang tahun kakek dan nenekku, jangankan bahkan mereka sendiripun tidak bisa memastikan umur mereka secara tepat.

Aku mulai merasa Ulang Tahun kelahiran itu adalah sesuatu yang istimewa waktu aku kelas 5 SD diundang ke Ulang Tahun teman sekelasku yang baru pindah dari Jakarta, namanya Ricky yang bapaknya waktu itu menjabat kapolres Aceh Tengah. Itu pertama kali aku menyaksikan sendiri pesta Ulang tahun dengan kue tart dan balon yang sebelumnya cuma pernah yang kulihat di TV atau di film, entah itu film Indonesia atau film barat.

Tapi meskipun aku sudah tahu kalau Ulang tahun itu adalah hari istimewa tapi tetap saja setiap ulang tahunku berlalu begitu saja dan baru kuingat beberapa hari sesudahnya.

Seingatku, hari ulang tahun kelahiran baru terasa penting bagiku sejak aku kuliah. Saat itu hari ulang tahun adalah saat-saat paling menyebalkan buatku, dan selalu bukan aku tapi kawan-kawankulah yang paling ingat hari Ulang tahunku. Mereka ingat karena entah siapa yang memulai, di Banda Aceh ada tradisi bagi siapa saja yang Ulang Tahun untuk mentraktir makan kawan-kawan. Tradisi ajaib yang sempat membuat heran seorang temanku asal Australia, temanku itu heran karena menurut dia di Australia tempat asalnya, justru orang yang berulang tahunlah yang selalu ditraktir ramai-ramai oleh teman-teman yang lain, dibuat senang dan gembira dengan cara memberikan apapun yang dia inginkan.

Setelah tidak kuliah lagi, cara pandangku terhadap Ulang tahun kelahiran kembali ke sikap awal. Aku tidak pernah lagi menganggap ulang tahun itu sebagai hari yang istimewa. Aku biasanya baru ingat Ulang Tahun kelahiranku setelah seorang teman akrab yang belakangan menjadi seperti adikku sendiri mengucapkan selamat Ulang Tahun yang sejak aku mengenalnya pertama kali tidak pernah absen mengucapkan "Selamat Ulang Tahun" dan memberikan sekedar kado untukku meskipun seperti biasa sampai hari ini aku tidak pernah mengingat hari Ulang Tahunnya.

Ketika aku menikah pandanganku terhadap ulang tahun kelahiran juga sama, aku tidak pernah menganggap Ulang Tahun kelahiran sebagai sesuatu yang istimewa.

Aku berpikir seperti itu karena menurutku kelahiran itu adalah takdir yang tanpa bisa aku usahakan dan aku tolak terjadinya, dan nyaris tanpa ada usahapun umurku terus bertambah dengan sendirinya.

Tapi sejak menikah pula aku mulai merasakan pentingnya ulang tahun, bukan ulang tahun kelahiran melainkan ulang tahun pernikahan.

Berbeda dengan kelahiran yang adalah takdir yang tidak bisa ditolak atau dinegosiasi ulang, pernikahan adalah sebuah peristiwa besar yang merupakan hasil dari sebuah keputusan yang diambil oleh dua orang manusia merdeka dengan pikiran jernih dan penuh kesadaran dan kerelaan untuk mengorbankan beberapa keinginan dan cita-cita demi tercapainya cita-cita yang lebih besar yang menjamin kelangsungan ide dan pikiran besar yang ada di diri masing-masing sampai akhir zaman.

Pernikahan adalah sebuah pilihan yang dilakukan dengan penuh kesadaran, pilihan untuk menyatukan dua visi dan dua misi dan cinta dari dua manusia berlainan jenis untuk menghadirkan makhluk manusia baru yang merupakan perpaduan dari kompleksnya aspek intelektual, emosional, spiritual dan fisik yang dimiliki oleh dua manusia berlainan jenis. Dan berbeda dengan kelahiran, pernikahan bisa dinegosiasikan ulang dan bisa diakhiri dengan penuh kesadaran pula.

Karena itulah aku merasa kemampuan mempertahankan setiap detik pertambahan usia pernikahan, setiap menyaksikan senyum anakku yang setiap hari bertambah besar, bertambah pintar dan bertambah dewasa, aku merasa itu adalah sebuah keberhasilan, itulah adalah sebuah prestasi dalam mempertahankan keputusan yang telah diambil secara sadar, sebuah bukti kemampuan diri untuk berkorban, mengabaikan beberapa keinginan yang terkadang terlihat begitu menyenangkan.

Menurutku dan juga istriku, bukan kelahiran, tapi pernikahanlah yang merupakan peristiwa terbesar dalam hidup kami, dan karena keputusan besar itu pula Matahari kecil kami bisa terlahir ke Bumi sehingga peristiwa tahunan berulangnya hari pernikahan kami yang sekarang sudah memasuki tahun ke-6 inilah yang selalu kami rayakan dalam keluarga kami.

Hanya saja karena kami merasa ulang tahun pernikahan ini adalah sifatnya sangat pribadi yang maknanya hanya bisa dirasakan dengan sempurna oleh kami berdua, aku dan istriku selalu hanya merayakan ulang tahun pernikahan kami bertiga saja. Aku, istriku dan matahari kecil yang merupakan buah dari pernikahan kami.

Tapi ketika pada hari ulang tahun kelahiranku ini aku melihat begitu banyak perhatian tulus dari teman-teman yang merasa ulang tahun kelahiran itu adalah sesuatu yang penting. Sementara bagiku pertambahan usia pernikahanlah yang paling penting untuk dirayakan, dan karena akupun tidak peduli kalau pertambahan itu harus dihitung dengan cara apa, karena seperti kukatakan sebelumnya setiap detik pertambahan usia pernikahan adalah prestasi. Jadinya di saat begitu banyak perhatian yang diotujukan kepadaku seperti hari ini, tiba-tiba aku merasa ingin mengganti foto di profilku dengan foto pernikahanku.

Sayangnya foto-foto pernikahanku yang disimpan dalam file di beberapa keping CD tidak bisa lagi dibuka karena keping CD-nya rusak akibat lembab sehingga aku tidak bisa mendapatkan foto resepsi pernikahan kami. Yang kudapat hanya foto pre wedding yang dulu dipakai untuk dekorasi dalam acara resepsi pernikahan kami. Foto itu kudapat dengan cara mengubek-ubek situs internet milik studio 55. Sebuah studio foto yang beralamat di jalan Raden Saleh, Salemba. Studio foto yang dulu disewa oleh mertuaku untuk memotret dan memfilmkan acara pernikahan kami. Foto itulah yang sekarang terpampang di profilku hari ini.


Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com

Minggu, 07 Juni 2009

Besarnya Alam, Sempurnanya Sang Pencipta dan Terbatasnya Manusia

Hal yang paling saya suka dalam pekerjaan saya di bidang pariwisata ini adalah seringnya saya bertemu dengan orang baru yang memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman menarik yang memberi saya kesempatan untuk berdiskusi tentang tema-tema menarik.

Selama ini, kebanyakan klien saya adalah para pensiunan yang tidak lagi bekerja yang sedang menikmati masa tua. Mereka ini seringkali di masa tuanya mendalami hal-hal yang merupakan ketertarikannya di masa muda tapi tidak sempat dijalani karena banyaknya waktu yang tersita oleh pekerjaan mereka.

Jika beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan Jean Panis, seorang petani yang gila terbang, sekarang saya bertemu dengan Jean Pierre Bourdery, seorang pensiunan dokter spesialis anestesi asal Bourdeaux yang di masa pensiunnya menaruh minat besar dalam bidang serangga. Sebagai ahli anestesi Jean-Pierre sangat tertarik pada sistem syaraf serangga karena berkaitan dengan pekerjaannya sebagai ahli anestesi dia banyak berurusan dengan sistem syaraf.

Menurut Jean Pierre, meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana tapi secara ajaib sistem syaraf serangga yang dia temui ternyata banyak kemiripan fungsi dengan sistem syaraf manusia.

Jean Pierre sangat senang ketika saya tertarik pada ceritanya karena menurutnya tidak banyak orang yang tertarik mendengarkan cerita tentang hobinya tersebut. Setiap ada waktu luang di sela-sela kegiatan wisata, Jean Pierre memanfaatkannya untuk bercerita dengan saya, bahkan ketika di dalam bis yang membawa kami dari Jogja menuju Ambarawa, ketika guide kami yang bernama Ibu Agatha dengan serius bercerita tentang hal-hal menarik yang ditemui di sepanjang perjalanan, Jean Pierre memilih berdiskusi dengan saya.

Dari cerita soal serangga pembicaraan kami berkembang ke hal yang lebih luas, mengenai lingkungan, manusia sampai ke hakikat semesta dan kisah terbentuknya alam. Tentang teori-teori baru yang berkembang belakangan untuk mengukur luasnya semesta, mengenai lubang hitam dan juga ide-ide dari penulis terkenal Stephen Hawking juga Fred Hoyle, ilmuan astronomi terkenal yang meneliti tentang proses pembentukan planet-planet.

Meskipun kami berdua tidak memahami teorinya secara detail, kami membicarakan tentang batas alam semesta dalam kerangka teori Relativitas Umum (General Relativity Theory) yang diperkenalkan oleh Einstein, yang memperkirakan secara ekperimental bahwa ruang semesta itu melengkung dalam dimensi ke-4 dan tertutup. Tapi selain perkiraan alam semesta yang berada dalam dimensi ke-4 itu, Jean-Pierre mengatakan kalau sekarang juga sudah ada usaha dari beberapa ilmuwan yang juga menggunakan General Relativity Theory yang menghitung luas semesta dengan perhitungan x,y,z ala dimensi tiga.

Kepada Jean Pierre saya mengatakan pikiran saya tentang anehnya semesta ini yang sebegitu luas tapi hanya memberi tempat pada satu noktah kecil di tepian galaksi bima sakti untuk menjadi tempat kehidupan berkembang. Tapi menurut Jean Pierre, bisa jadi faktanya memang seperti itu, tapi lebih besar lagi kemungkinan bahwa itu karena ketidak tahuan kita. Kita tidak tahu karena kita hanya bisa berpikir sebatas realitas yang bisa kita cerna menurut perangkat panca indera dan mental yang kita punya. Gambaran yang kita punya dalam kesadaran kita akan dunia realitas secara umum adalah semata-mata rekonstruksi dari semua yang kita tangkap dengan panca-indera dengan logika kita sebagai alat rekonstruksi, sehingga kita bisa memahami saling keberhubungannya (hukum-hukum alam) dan juga sebab-sebabnya (hukum kausalitas), dan menjadi puncak dari semuanya, mengontrolnya.

Di luar itu, semua serba spekulasi. Soal kehidupan misalnya, kita hanya mengenal kehidupan berbasis karbon, karena memang kehidupan jenis itu yang berkembang di planet yang kita diami ini. Sementara di tempat lain bisa jadi berkembang jenis kehidupan yang berbasis unsur lain, katakan berbasis belerang (sulfur) misalnya. Kita tidak tahu.

Mengenai alam dan kehidupan segala isi dan permasalahannya ini, belakangan saya melihat banyak orang dan malah seperti menjadi trend untuk memhaminya bukan berdasarkan pengamatan dengan panca indera tapi berdasarkan pada teks-teks kitab suci. Trend ini terutama berkembang di kalangan penganut dua agama samawi (abrahamic) yaitu Islam dan Kristen.

Saya sendiri adalah orang Islam yang terlahir sebagai orang Gayo yang merupakan bagian dari Aceh.

Sebagaimana orang Aceh lainnya, cara kami di Gayo memandang keislaman berbeda dengan cara pandang banyak suku-suku lain di Nusantara dalam memandang keislaman mereka. Kalau beberapa suku di Nusantara yang beragama Islam bisa menolerir ada penganut agama yang berbeda dalam satu keluarga atau bisa menerima pernikahan beda agama. Tidak demikian halnya dengan kami di Aceh, bagi kami orang Aceh, Islam bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar. Di Aceh kami merasa menjadi Islam itu bukanlah sebuah pilihan, tapi merupakan takdir yang dibawa lahir. Kami orang Aceh sama sekali tidak bisa membayangkan mengganti agama yang kami anut sebagai mana kami tidak mungkin bisa membayangkan mengganti orang tua yang melahirkan kami.

Karena begitu melekatnya Islam dengan identitas kami inilah, kami orang Aceh bisa menolerir berbagai bentuk hujatan dan hinaan terhadap diri kami dengan tingkat kesabaran dan daya tahan yang bervariasi dari rendah sampai tinggi. Tapi kami orang Aceh sama sekali tidak bisa menerima perkataan bahwa KAMI BUKAN ISLAM. Kami sama sekali tidak bisa menerima omongan itu, tidak peduli siapapun yang mengatakannya, termasuk orang-orang berjenggot yang karena memahami Islam ala wahabi dan bersikap ala kaum wahabi merasa diri lebih Islam dari kami.

Orang-orang Non-Aceh atau orang yang secara genetik Aceh tapi tidak lahir di Aceh dan tidak tumbuh dalam nilai-nilai keacehan, terutama orang-orang yang menganut pandangan bahwa sesuatu agama itu murni sebagai pilihan pribadi, banyak yang tidak memahami karakter kami ini. Mereka tidak bisa mengerti jika melihat kami bereaksi sangat keras terhadap orang yang berani mengusik identitas keislaman kami.

Karena itulah dulu banyak orang non-Aceh dan orang Aceh yang tidak pernah hidup dengan nilai-nilai Aceh tidak bisa memahami kemarahan saya saat ada seorang simpatisan PKS menuduh saya sebagai musuh Islam dan agen Yahudi. Sebaliknya orang Aceh yang dibesarkan di Aceh dan dengan nilai-nilai keacehan sangat memahami alasan kemarahan saya.

Tapi meskipun Islam melekat pada identitas kami dan kami semua tidak bisa menerima cap BUKAN ISLAM dilekatkan pada diri kami, cara kami di Aceh dalam memandang dan memahami Islam sebagai sebuah agama sangat bervariasi.

Di Aceh kita bisa menemui berbagai macam karakter penganut Islam, mulai dari yang memahami dan mempraktekkan Islam secara ketat ala kaum wahabi yang sama sekali tidak menolerir segala bentuk praktek keagamaan yang bercampur dengan praktek-praktek kegamaan pra-islam seperti kenduri, peusijuek dan lain sebagainya, yang agak moderat yang ketat dalam berbagai hal tapi masih menerima praktek kenduri dan peusijuek sampai kepada yang masih mempraktekkan perdukunan dan upacara-upacara berbau animisme ala masyarakat pra-islam yang memberi sesajen pada benda-benda tertentu seperti pohon besar, kuburan dan batu yang dianggap keramat.

Saya sendiri mengenal Islam pertama kali melalui almarhum kakek saya yang bernama Tgk. Ashaluddin. Seorang ulama yang cukup dikenal di tempat kelahiran saya.
Almarhum kakek saya fasih berbahasa arab dan sangat gemar membaca Al Qur'an dan selalu terkagum-kagum dengan bahasa dan informasi yang ada dalam kitab suci yang sangat beliau hormati itu. Tapi satu hal yang selalu saya ingat dari kakek saya adalah beliau sama sekali tidak pernah berani memahami Al Qur'an secara literer apalagi menggunakan ayat-ayat suci dari Al Qur'an yang sangat beliau kagumi itu sebagai bahan argumen dalam berdebat. Kakek saya juga suka menggubah Sya'ir Gayo : Sa'er) dan sama seperti dalam berdebat, dalam menggubah syairpun kakek saya tidak pernah berani menggunakan ayat-ayat suci Al Qur'an karena beliau tahu beliau atau manusia manapun tidak akan pernah bisa menafsirkan Al Qur'an sesuai dengan maksud 'penulisnya'.

Kepada orang yang menanyakan soal sikapnya itu, kakek saya selalu mengatakan "Al Qur'an itu berisi ucapan sempurna dari yang maha sempurna yang hanya bisa dimengerti dengan tepat maknanya juga oleh yang maha sempurna, karena saya bukan yang maha sempurna ayat-ayat itu hanya bisa saya pahami sebatas kemampuan saya yang tidak sempurna".

Dulu saat kakek saya masih hidup, saya tidak pernah benar-benar memahami kata-kata kakek saya ini, tapi belakangan ketika informasi yang saya dapatkan semakin banyak saya mulai memahami alasan kakek saya.

Sekarang saya bisa memberikan contoh sederhana dari pemahaman kakek saya tentang relevannya kesenjangan pengetahuan dalam membuat kemungkinan salah tafsir.
Contoh sederhana itu adalah resep dokter.

Kalau seorang dokter menuliskan resepnya dengan benar (tidak diakal-akali dengan tulisan yang dijelek-jelekkan), semua orang yang bisa baca tulis bisa membaca resep tersebut. Tapi tidak semua orang paham apa makna dari kata-kata yang tertulis di resep tersebut, karena itulah perlu profesi apoteker, yang berguna untuk menterjemahkan resep tersebut, yang bisa memahami dengan persis apa yang dimaksud oleh dokter (yang bahkan dapat memahami dengan maksud resep tersebut dengan tepat ketika dokter menulisnya dengan tulisan cakar ayam) dan bisa memberikan obat yang kegunaannya tepat sesuai resep.

Contoh lain, seorang ahli kimia dapat dengan mudah berkomunikasi dengan sesama ahli kimia menggunakan berbagai istilah aneh yang sama-sama mereka pahami. Tapi kalau orang awam yang tidak mengerti istilah-istilah itu ikut-ikutan merasa mengerti hal itu bisa menjadi masalah dan malah bisa menimbulkan kekacauan, kalau si awam yang sok tau yang karena menurut persepsi awamnya merasa ada yang tidak beres langsung bertindak menyerang sumber ketidakberesan itu.

Contoh kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak mengerti tapi sok tau ini adalah heboh kasus Hydrolicic Acid atau Dihidrogen Monoksida yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan teh botol SOSRO. Mereka bereaksi begitu keras sampai menghujat pemerintah segala karena dianggap lalai mengawasi penggunaan Dihidrogen Monoksida sebagai bahan baku makanan. Padahal yang namanya Dihidrogen Monoksida itu sebenarnya tidak lain adalah Air Murni yang kita minum sehari-hari.

Dua contoh di atas adalah contoh antara manusia dengan manusia yang sama-sama makhluk, yang sama-sama tidak sempurna tapi bisa memiliki tingkat kesenjangan pengetahuan yang sangat berbeda dan bisa membuat kesalah pahaman akibat kesenjangan pengetahuan itu.

Kalau antar manusia saja bisa sangat berbeda memahami sebuah kata atau kalimat, apalagi dengan YANG MAHA SEMPURNA, bukankah kesombongan yang luar biasa besarnya namanya kalau ada MANUSIA yang untuk memahami pemikiran manusia lain yang pengetahuannya melebihi dirinya saja masih tergagap-gagap tapi dengan berani menggunakan perkataan YANG MAHA SEMPURNA sebagai bahan argumen untuk mendebat manusia lain?

Bukankah itu mempertuhankan diri namanya?

Al Qur'an saya percaya sebagai firman dari YANG MAHA SEMPURNA tapi karena tertulis dengan tulisan yang bisa dipahami manusia, kita bisa membacanya, kita bisa membacanya dengan bacaan yang benar karena ada ahli tajwid yang bisa membenarkan kesalahan ucapan kita, sebagaimana seorang ahli membaca tulisan bisa membaca resep dokter dengan benar.

Tapi untuk mengerti persis seperti apa maksud ayat-ayat yang SEMPURNA itu seperti maksud yang menurunkan firman itu JELAS dibutuhkan syarat bahwa yang membaca juga memiliki pengetahuan yang PERSIS sama soal materi yang dibicarakan dengan yang menurunkan firman. Seperti untuk yang bisa bisa mengerti PERSIS maksud resep dokter, yang dibutuhkan adalah seorang apoteker, bukan seorang yang ahli membaca tulisan tangan.

Dalam Al Qur'an, YANG MAHA SEMPURNA banyak menjelaskan soal diriNya, alam semesta dan juga manusia. Karena DIA adalah YANG MAHA SEMPURNA. Dalam bayangan saya, ketika YANG MAHA SEMPURNA berfirman menurunkan ayat-ayat itu DIA tentu tahu persis setiap detail firmannya. Tentang Alam misalnya, saya membayangkan ketika YANG MAHA SEMPURNA berfirman, DIA tahu persis jumlah bintang, jumlah galaksi luasnya semesta dan batas-batasannya sampai ke atom-atom terkecil penyusunnya dan jenis-jenis kehidupan yang berkembang di sana, kapan awal dan akhirnya bahkan sampai ke banyak hal lain yang tidak sanggup saya pikirkan karena perangkat untuk memikirkan itu tidak tersedia dalam diri saya.

Tapi apakah di planet ini ada manusia yang bisa mengerti persis maksud dari YANG MAHA SEMPURNA ketika berkata seperti itu?

Dari pembicaraan dengan Dr. Bourdery, saya bisa memahami betapa luasnya alam ini dan betapa sedikit yang kita ketahui dan betapa terbatasnya pengetahuan kita sebagai manusia dibandingkan dengan 'sesuatu' yang kita percaya telah menciptakannya sehingga sayapun sependapat dengan kakek saya bahwa TIDAK ADA SATUPUN MANUSIA YANG BISA MEMAHAMI AL QUR'AN PERSIS SAMA SEPERTI MAKSUD PENULISNYA yang dipercaya adalah 'sesuatu' yang sama dengan yang menciptakan alam semesta ini.

Karena itulah saya merasa tidaklah relevan seorang manusia mengutip ayat dari kitab suci untuk berdebat. Hakekat Tuhan sendiri bagi saya adalah sesuatu yang bersifat pribadi yang hanya bisa dihayati dari pengalaman rohani masing-masing individu manusia. Saya berpandangan begitu karena bagi saya YANG MAHA SEMPURNA itu tidak terbatas oleh ruang dan waktu dan juga TRANSENDEN yang artinya diatas atau diluar kemampuan logika manusia.

Tapi sedikit sekali orang yang sependapat dengan saya dan banyak sekali orang-orang yang belajar dalil-dalil agama, yang mempelajari Al Qur'an lengkap sampai ke arti per khalimah, sejarah turunnya ayatnya, sejarah penafsirannya dan lain sebagainya lalu merasa sangat mengerti dengan maksud ayat-ayat itu lalu menjadikannya sebagai bahan argumen untuk memaksa manusia lain untuk mengikutinya, manusia lain yang menentang pendapat orang-orang yang belajar dan ahli dalam dalil-dalil agama ini dibuat seolah-olah menentang pendapat YANG MAHA SEMPURNA.

Seperti kekacauan yang timbul akibat orang sok tau yang tidak mengerti Dihidrogen Monoksida yang mempost cerita itu kemana-mana. Orang-orang sok tau yang merasa memahami perkataan YANG MAHA SEMPURNA persis sama seperti maksudNya juga menimbulkan kekacauan di mana-mana. Tapi skala kekacauan dan kerusakan yang ditimbulkannyapun bukan hanya sebatas kekacauan yang terjadi akibat kasus Teh Botol Sosro yang mengandung Dihidrogen Monoksida yang mengakibatkan penurunan volume penjualan Teh dalam kemasan botol tersebut.

Skala kerusakan yang ditimbulkan oleh kengototan orang-orang sok tau ini jauh lebih besar, orang-orang seperti ini telah membuat Islam turun ke titik terendah sepanjang sejarah peradabannya, bahkan menyebabkan banyak manusia kehilangan nyawa akibat kekejaman yang mengatasnamakan AGAMA.

Salah satu orang yang merasa mampu memahami perkataan YANG MAHA SEMPURNA persis sama seperti MaksudNya ini adalah IKHWANA MEHATDI KOBAT, orang Gayo yang tinggal di Medan yang dengan gagah berani mengutip ayat-ayat Al Qur'an dalam argumennya.

Meskipun dalam balasan ke blog saya Sang Ketua Dewan Pengurus Nasional Generasi Muda Masjid Indonesia ini mengatakan dia beristighfar berulang-ulang ketika membaca balasan saya. Tapi dengan keberaniannya menggunakan ayat-ayat Al Qur'an yang merupakan firman dari YANG MAHA SEMPURNA sebagai dasar argumen tentang Manusia dan Bumi dan segala isinya, ketika menuliskan itu dan merasa apa yang dia tuliskan itulah kebenaran yang tak terbantahkan, maka secara tidak langsung, jelas saat itu IKHWANA MEHATDI KOBAT orang Gayo yang tinggal di Medan ini sedang merasa dirinya adalah sesuatu yang MAHA SEMPURNA juga.

Inilah yang saya sebut sebagai SYIRIK YANG NYATA.

Wassalam

Win Wan Nur

Jumat, 05 Juni 2009

Prita Mulyasari Vs tai Kucing Neolib dan Ekonomi Kerakyatan

Belakangan ini saya tidak terlalu mengikuti perkembangan berita terbaru, baik itu melalui koran atau televisi bahkan internet. Hal itu terjadi disamping karena belakangan ini berita di berbagai media dipenuhi cerita membosankan tentang kampanye para calon presiden yang sibuk berkutat di omong kosong neolib versus ekonomi kerakyatan, hal tersebut juga diakibatkan oleh padatnya jadwal pekerjaan saya. Sehingga ada banyak perkembangan terbaru yang terjadi di negeri ini tidak saya ketahui.

Tadi malam saya tidak bisa tidur karena kebanyakan minum kopi, jam 1.30 wib saya menghidupkan televisi. Kebetulan saat saya nyalakan, saluran televisi yang menyala adalah TV one yang sedang menyiarkan perdebatan antar tim sukses calon presiden tentang neolib versus ekonomi kerakyatan yang membosankan itu.
Dalam acara ini dipandu oleh Alfito Deanova ini, saya lihat gaya para anggota tim sukses itu menyampaikan gagasan mereka, tampak sekali mereka berusaha keras supaya terlihat seolah-olah mereka paham sekali yang namanya neolib dan ekonomi kerakyatan itu dan paham betul segala konsekwensinya bagi masyarakat jika kebijakan itu diterapkan. Seolah-olah mereka seperti sedang berdebat dalam pemilu amerika yang kita saksikan beberapa waktu yang lalu, yang mempertarungkan dua gagasan ekstrim antara konservatif melawan liberal, dimana kedua kubu benar-benar memiliki platform gagasan yang jelas dan lengkap dengan segala strategi untuk menerapkan gagasan dalam kampanye tersebut di dunia nyata seandainya salah satu dari kandidat tersebut terpilih.

Tapi yang saya lihat dalam tayangan TV One ini sangat berbeda. Di sini, ketika mereka berbicara tentang neolib versus ekonomi kerakyatan, kentara sekali terlihat kalau semua anggota tim sukses ini lebih banyak beretorika untuk menearik simpati calon pemilih tanpa mereka sendiri benar-benar menguasai materi yang sedang mereka omongkan. Sehingga yang terlihat kentara, perdebatan ini tidak lain hanyalah bagian dari strategi untuk saling memojokkan antar kandidat yang ujung-ujungnya kita tau persis tidak lain hanyalah untuk mengantarkan jago mereka ke empuknya kursi presiden untuk kemudian memberi peluang bagi para tim sukses itu untuk ikut menikmati empuknya kursi kekuasaan juga. Setelah jadi presiden nanti kebijakan akan seperti apa yang akan diterapkan, ya nanti dibicarakan lagi tergantung bagaimana hasil 'dagang sapi'.

Sementara bagi kita masyarakat luas, sebenarnya siapapun yang menjadi presiden dari ketiga calon itu dampaknya terhadap kehidupan kita sehari-hari tidak akan terlalu banyak berbeda.

Malas melihat segala omong kosong itu saya memindahkan channel televisi dan menyasar ke TV-7. Di sana ditayangkan sebuah berita yang jauh lebih menggetarkan dan membawa pengaruh besar bagi masa depan kehidupan dan kemerdekaan bernegara ketimbang segala macam tai kucing ekonomi neolib versus ekonomi kerakyatan yang diomongkan dengan mulut berbuih-buih oleh para tim sukses calon presiden itu.

Di TV 7 disiarkan sebuah berita tentang seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyawati yang dipenjara karena menuliskan pengalaman buruknya ketika dirawat di Omny Internasional, sebuah rumah sakit Internasional di Tangerang. Di layar kaca saya lihat seorang blogger yang namanya ditulis Andi Piliang tapi melihat wajahnya saya yakin itu adalah Iwan Piliang, salah satu dedengkot Superkoran. Piliang menyatakan kegusaran dan keprihatinannya atas kasus yang menimpa Prita ini.

Sebenarnya terus terang saya agak grogi menuliskan nama rumah sakit ini karena saya khawatir jangan-jangan penulisan nama rumah sakit ini dalam tulisan saya nanti diterjemahkan oleh kuasa hukum mereka yang handal sebagai bentuk pencemaran nama baik juga. Sehingga akibatnya sayapun akan masuk penjara seperti Prita dan anak saya jadi tidak dapat meneruskan sekolahnya akibat bapaknya tidak dapat mencari nafkah karena mendekam di penjara.

Tapi setelah saya pikir lagi, nama rumah sakit ini memang harus dituliskan karena apa yang telah dilakukan oleh rumah sakit ini adalah sebuah bentuk PENJAJAHAN. Kalau hal seperti yang dilakukan oleh Rumah sakit Omny Internasional ini dibiarkan, maka kemerdekaan yang didengung-dengungkan sejak tahun 1945, kebebasan yang diteriakkan dengan pekik penuh kemenangan sejak reformasi 1998 adalah kemerdekaan dan kebebasan semu belaka.

Kalau kita perhatikan fenomena pengekangan kebebasan berpendapat dan sikap represi terhadap orang yang menyuarakan ketidak adilan ini semakin menjadi-jadi sejak Mahkamah Konstitusi menyetujui pembatasan kebebasan berekspresi di media, terutama media internet. Alasan MK waktu itu adalah kebebasan berekspresi ini harus dibatasi karena kalau tidak, dikhawatirkan akan berkembang menjadi fitnah yang tidak terkendali.

Logika MK ketika memutuskan perkara ini adalah logika yang sama seperti yang dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menghambat tokoh-tokoh pergerakan masa lalu dalam menyampaikan ide-ide perjuangan mereka.

Apa yang dilakukan oleh aparat Hukum Indonesia terhadap Prita yang dipenjara karena menyuarakan ketidakadilan yang dia alami di rumah sakit Omny Internasional, persis sama seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Soekarno, Hatta, Syahrir dan teman-teman seperjuangan mereka yang dipenjara akibat tulisan-tulisan mereka di media tentang ketidakadilan pemerintah Belanda memperlakukan kaum Bumi Putera.

Ketika membuat keputusan itu MK sama sekali menafikan kecenderungan umum yang ditampilkan aparat hukum di Indonesia yang sangat fasih menerjemahkan pasal-pasal pencemaran nama baik yang berpihak pada kaum berduit dan berkuasa ketimbang pasal-pasal yang memberi peluang kepada masyarakt kecil untuk memperoleh keadilan.

Saat keputusan ini dikeluarkan, beragam bentuk protes bermunculan salah satunya datang dari Iwan Piliang seorang blogger kawakan dengan mewakili kaum blogger secara terang-terangan menyatakan kegusarannya atas keputusan MK ini. Dengan keputusan MK ini Iwan khawatir kebebasan berekspresi yang belum lama kita nikamti akan kembali mati. Tapi MK seolah tuli dan sama sekali tidak bergeming dengan keputusannya.

Tidak perlu waktu terlalu lama untuk menunggu efek dari keputusan MK ini, hari ini apa yang dikhawatirkan Iwan Piliang telah terjadi. Hari ini Prita dipenjara, besok bisa jadi Iwan, lalu lusa saya sendiri.

Saya sendiripun sudah merrasakan langsung efek dari keputusan MK ini.

Akibat dari tulisan-tulisan saya di berbagai media internet yang mempermasalahkan kebijakan Pemda Aceh Tengah menjual lahan Panti Asuhan Budi Luhur beserta Mesjid yang ada di dalamnya, dalam waktu tidak lama lagi saya sendiri sangat mungkin akan dipenjara mengikuti jejak Prita.

Indikasinya bisa saya lihat dari ucapan Ir. Yurmiza Putra alias Winja yang pernah menjadi pasangan saya bermain domino. Beberapa waktu yang lalu Winja yang merupakan salah seorang anggota pansus DPRK Aceh Tengah yang dibuat untuk menggoalkan rencana penjualan lahan panti Asuhan Budi Luhur dengan nada mengancam mengatakan .

Ucapan ini dikeluarkan oleh Winja tidak lama setelah MK mengeluarkan keputusan untuk membatasi kebebebasan berekspresi.

Winja mengatakan ini karena kemungkinan besar dia gusar dengan maraknya tuntutan pengusutan terhadap janggalnya keputusan yang dikeluarkan oleh Pansus yang dianggotainya ini yang menyetujui penjualan lahan Panti Asuhan Budi Luhur bersama mesjid yang ada di dalamnya tepat pada hari yang sama dengan hari terbentuknya Pansus tersebut. Sepertinya dia juga berani berbicara dengan nada mengancam seperti itu karena merasa di atas angin karena keputusan mereka, Mungkin pikirnya saya dan orang-orang yang peduli pada nasib anak yatim di Panti Asuhan Budi Luhur takut dipenjara karena menyuarakan kata hati nuraninya.

Padahal saya jelas tidak peduli dengan omongan Winja yang tampaknya mulai gugup saat perannya dalam kasus penjualan lahan panti Asuhan Budi Luhur dan mesjidnya ini terungkap ke permukaan.

Tapi bukan karena alasan itu saya menyuarakan penolakan terhadap keputusan MK ini, saya menolak karena ini karena keputusan semacam ini adalah sebuah bentuk penjajahan, keputusan semacam ini adalah satu bentuk kelakuan tiran yang menindas peradaban.

Saya menolak ini dengan harapan penolakan saya ini akan memicu lebih banyak penolakan lagi dari berbagai kalangan.

Pada kasus Prita kita melihat KOMNAS HAM sudah menyatakan dukungan pada Prita yang menjadi korban, demikian juga beberapa LSM. Tapi itu semua tidak cukup, kita butuh kekuatan yang lebih besar untuk melawan tiran dan penindasan.

Pemerintah, para politisi dan anggota parlemen terpilih, para calon presiden dan anggota tim suksesnya sama sekali tidak bisa diharapkan untuk memperjuangkan hal semacam ini, urusan tai burung yang sama sekali tidak menyentuh kepentingan mereka.

Di negara ini, untuk membuat sebuah perubahan selalu dibutuhkan kekuatan besar yang berasal dari bawah. Seperti yang sudah-sudah, berdasarkan pengalaman, segala bentuk ketidakadilan dan penindasan yang terjadi di negara ini selalu hanya bisa diubah dengan upaya-upaya unjuk kekuatan di luar sistem. Di negara ini yang berhasil menumbangkan tiran selalu adalah kekuatan di luar sistem, bukan hukum, pemerintahan atau parlemen.

Dengan terus menyuarakan penolakan ini dan terus menuliskan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di media internet adalah sebuah usaha kecil saya untuk ikut masuk kedalam kekuatan besar untuk melawan penindasan itu. Soal orang lain mau ikut melawan atau cuma jadi penonton saja itu adalah hak mereka, saya tidak bisa memaksa.

Yang terpenting bagi saya adalah; saya sudah melakukan apa yang harus saya lakukan sebagai MANUSIA MERDEKA.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com

Kamis, 28 Mei 2009

Merendahkan Pengetahuan Manusia, Orang Sombong Atau Orang Gila?

Hari ini saya membaca tulisan saya Tentang Kesempurnaan Islam dan Kesempurnaan Alam ditanggapi oleh seorang Gayo yang berdomisili di Medan bernama Ikhwana Mehatdi Kobat. Tanggapan ini meninggalkan sedikit ganjalan bagi saya karena tidak ditanggapi di tempat saya me-post berita tersebut, tapi di tempat lain. Sehingga saya baru mengetahui adanya tanggapan ini dari seorang teman saya yang kebetulan membaca media tempat Ikhwana mem-post tanggapannya tersebut.

Penanggap ini sepertinya adalah orang yang sangat memahami dalil-dalil agama. Orang seperti ini seperti biasa menganggap dengan memahami dalil-dalil agama berarti dia sudah memahami alam secara keseluruhan. Lalu menganggap rendah seluruh ilmu pengetahuan yang sudah dicapai oleh manusia melalui rentang ribuan tahun perkembangan peradaban.

Dalam tanggapannya yang bisa dibaca lengkap di http://gayolinge.com/index.php?open=news&bid=939 , dengan mengutip berbagai ayat Al Qur'an Ikhwana menggambarkan islam menurut ayat-ayat tersebut (yang tentu saja sesuai dengan PENAFSIRANNYA) bahwa orang, kaum, bangsa, atau suku yang menjalankan aturan Islam akan sejahtera.

Apa yang dikatakan Ikhawana ini, meskipun dalam bahasa yang dibuat rumit dan terlihat lebih ilmiah serta terstruktur ala seoarang akademisi, tapi isinya sebenarnya persis sama seperti yang dikatakan tengku dan guru agama yang mengajari saya waktu saya masih SD dulu, seperti yang saya katakan dalam tulisan saya yang dia tanggapi.

Meski berbelit kemana-mana, yang mau Ikhwana katakan sebenarnya tidak lain adalah Islam itu SUDAH SEMPURNA tidak ada alasan lagi untuk meragukannya.

Tapi seperti yang saya tulis dalam tulisan saya yang ditanggapi oleh Ikhwana "SEMPURNA adalah sebuah kata yang maknanya sangat subjektif, pengertian kata ini sangat bergantung sebanyak apa informasi yang ada dalam kepala orang yang memaknai kata SEMPURNA itu".

Maka ketika Ikhwana dengan berani mengajak (bahkan kalau kita amati dengan teliti nada tulisannya ada kecenderungan memaksa) kita memahami manusia dengan mengacu pada penjelasan Allah pada ayat Al Qur'an (QS. 2:30, QS. 6:165). Sebenarnya Ikhwana tidak lain adalah sedang mengajak (memaksa) kita memahami manusia dengan mengacu pada penjelasan Allah BERDASARKAN PENAFSIRAN IKHWANA sendiri. Melalui ajakannya ini, seolah-olah Allah sendiri telah memberi kekuasan eksklusif kepada Ikhwana untuk menjadi satu-satunya PENAFSIR SAH ayat-ayatNYA.

Tapi ketika dia memaksa kita untuk memahami ayat-ayat tersebut berdasarkan cara pandangnya, Ikhwana Mehatdi Kobat yang merasa sebagai satu-satunya PENAFSIR SAH ayat-ayat Allah ini saya lihat kemudian tampak kebingungan sendiri.

Ikhwana mengatakan Ilmu manusia sangat sedikit dan terbatas dan itupun datangnya dari Allah. Jadi untuk menentukan aturan hidup dan penghidupan apakah kita mereferensi kepada Allah atau dengan ilmu “manusia yang sedikit itu dimata Allah” dalam kemasan penggelaran atau sebutan antropologi, sosiologi, psikologi sejarah dan juga ekonomi (menurut sdr. Winwannur. Ref).

Apa yang bisa kita tangkap atas statemen Ikhwana di atas adalah; seolah-olah Ikhwana Mehatdi Kobat Urang Gayo berdomisili di Medan ini merasa sudah sangat menguasai SELURUH Ilmu manusia yang sangat sedikit dan terbatas yang datangnya dari Allah itu. Dengan penguasaannya SELURUH Ilmu manusia yang sangat sedikit dan terbatas itu dia menyimpulkan bahwa semua ilmu manusia itu sama sekali tidak berguna untuk dipakai untuk menentukan aturan hidup dan penghidupan. Sehingga ketika kita akan menentukan aturan hidup dan penghidupan, SELURUH Ilmu manusia sangat sedikit dan terbatas itu sama sekali tidak perlu lagi kita perhitungkan. Sehingga ketika kita akan menentukan aturan hidup dan penghidupan, dia menyuruh kita langsung saja mereferensi kepada Allah yang pengetahuanNYA tidak terbatas.

Tapi benarkah seperti itu?

Saya bukanlah orang yang langsung mudah percaya ketika ada orang seperti Ikhawana ini pamer kesombongan merendahkan ilmu manusia yang terbatas, seolah-olah ilmu manusia itu sama sekali tidak ada artinya sehingga untuk menyelesaikan masalah sehari-hari kita langsung saja mereferensi kepada Allah yang pengetahuanNYA tidak terbatas.

Karenanya saya ingin menguji pengetahuan Ikhwana yang memandang rendah pengetahuan manusia yang terbatas ini.

Pertama saya ingin menanyakan pertanyaan yang hanya merupakan bagian sangat-sangat kecil dari ilmu manusia yang terbatas yang tidak ada setetespun dibandingkan lautan ilmu yang sudah diturunkan Allah.

Bagaimana bisa cahaya matahari bisa sampai ke bumi tanpa membuat kerusakan?
Apa materi yang menyusun bulan?
Faktor genetik apa yang menyebabkan kegemukan?
Apa beda ritual kematian di Togo dengan di Bali?
Apa beda antara Psikoanalisa-nya Freud dengan Psikologi Analitis-nya Jung?

Saya ingin Ikhwana Mehatdi Kobat bisa menjelaskan kepada saya dengan detail ilmu-ilmu manusia yang terbatas yang saya ini dengan detail dan menyeluruh.

Kalau Ikhwana Mehatdi Kobat bisa menjelaskan ini dengan sempurna, baru saya percaya Ikhawana ini memang luar biasa. Kemudian saya akan meningkatkan mutu pertanyaan dari sebagian sangat kecil ilmu manusia ini.

Kalau semua pertanyaan yang berisi sebagian sangat kecil ilmu manusia ini bisa dijelaskan oleh Ikhwana Mehatdi Kobat dan kemudian dia bisa membuktikan kalau semua Ilmu itu memang tidak berguna dalam menyelesaikan masalah manusia. Baru saya bisa yakin kalau untuk menentukan aturan hidup dan penghidupan ILMU MANUSIA yang sedikit dimata Allah itu sama sekali tidak berguna. Dan untuk itu saya akan langsung sepakat dengan Ikhawana bahwa kita harus langsung mereferensi kepada Allah yang pengetahuanNYA tidak terbatas.

Tapi sebaliknya kalau bagian sangat-sangat kecil dari ILMU MANUSIA yang sangat terbatas inipun tidak sanggup dijelaskan oleh Ikhwana Mehatdi Kobat dengan sempurna. Maka tentu saja saya sangat tidak mungkin bisa percaya kalau Ikhwana mampu memahami perkataan Allah yang pengetahuanNYA tidak terbatas itu, persis seperti Allah sendiri memahaminya.

Kalau bagian sangat-sangat kecil dari ILMU MANUSIA yang sangat terbatas inipun tidak sanggup dijelaskan oleh Ikhwana Mehatdi Kobat dengan sempurna, maka bagi saya tanggapan Ikhwana Mehatdi Kobat atas tulisan saya yang dia post BUKAN DI TEMPAT SAYA MEMPOST TULISAN YANG DIA TANGGAPI INI adalah tidak lebih dari ocehan orang gila, yang sama sekali tidak paham apa yang diocehkannya.

Wassalam

Win Wan Nur