hari ini saya membaca sebuah tulisan dari seorang peneliti di Aceh Institute bernama Fajran Zain yang dia beri judul POLITIK PROFIT-TAKING. dalam tulisan ini Fajran menyoroti panasnya situasi yang terjadi di Aceh di saat menjelang pemilu seperti sekarang ini yang ditandai dengan banyaknya kekerasan yang menurut Fajran tidak lain adalah sebuah rancangan dari Jakarta, tapi orang Aceh tidak menyadarinya, malah sibut bertarung sendiri.
Persis seperti yang dikatakan Fajran, itu pulalah yang saya rasakan terhadap situasi di Aceh saat ini. Orang Aceh sibuk bertarung sendiri sesama orang Aceh dan orang Aceh lupa kalau lawan mereka yang sebenarnya adalah Jakarta.
Saat ini banyak orang Aceh yang tidak setuju dengan MoU Helsinki, yang merasakan itu sebagai bentuk kekalahan Aceh dari Jakarta. Tapi di Jakarta sendiri jauh lebih banyak lagi yang tidak setuju dengan MoU Helsinki, banyak kelompok ultra nasionalis di sana yang merasa bahwa MoU Helsinki ini adalah bentuk pengkhianatan penyelenggara negara terhadap NKRI.
Beberapa kelompok berpengaruh di Jakarta yang sangat tidak sepakat dan merasa terhina dengan ditandatanganinya MoU Helsinki ini melakukan segala daya dan upaya agar MoU ini batal. Bagaimana caranya?...yang termudah tentu saja dengan memancing supaya Aceh sendiri melanggarnya, sehingga mereka punya alasan untuk melanggarnya pula.
Pancingan inilah yang saya lihat sangat intens mereka lakukan belakangan ini, terutama menjelang pemilu yang tidak lama lagi. Emosi dan kesabaran orang Aceh sekarang benar-benar sedang mereka uji. Tugas mereka serasa lebih mudah karena mereka juga tahu persis kalau gubernur Aceh adalah orang yang dalam menghadapi masalah sangat suka mengedepankan emosi.
Pancingan ini mereka lakukan dari segala lini, baik langsung di dunia nyata untuk mengaduk emosi masyarakat umum maupun di dunia maya untuk memancing emosi masyarakat intelektual. Mereka juga tahu persis di komunitas dunia maya mana para intelektual, aktivis, pegiat LSM dan politikus Aceh berkumpul. Lalu komunitas itulah yang mereka sasar.
Yang menjengkelkan saya adalah dalam melakukan pancingan ini salah satu umpan yang digunakan oleh Jakarta adalah Gayo suku saya. Fenomena "minorities within minorities" dalam relasi Aceh dan Gayo, belakangan ini saya lihat benar-benar dieksplioitasi oleh Jakarta untuk kepentingan mereka.
Beberapa waktu yang lalu di dunia maya ada seorang Gayo yang lahir besar di Jawa, yang menggunakan kegayoannya untuk memancing rasa sentimen kaum intelektual Aceh terhadap suku kami. Dia melakukan itu seolah-olah seperti sedang memaparkan pemikirannya, seolah sedang berusaha membuat opini baru. Padahal yang terlihat jelas sekali yang sedang dia lakukan tidak lain hanyalah untuk memancing emosi para penghuni milis yang berisi segala macam kaum intelektual Aceh yang dia tahu persis kapasitasnya di dunia nyata. Sasaran jelas h supaya komunitas milis ini membenci dia yang dia gambarkan sebagai representasi dari suku Gayo, sehingga komunitas inipun akan membenci suku Gayo secara keseluruhan.
Apa yang dipraktekkan oleh Jakarta di milis juga gencar dilakukan di dunia nyata. Informasi-informasi seperti yang saya baca di berbagai media dunia maya. Itu pula yang saya temukan disampaikan kepada masyarakat di Gayo sana. Sehingga tidak heran, sekarang di beberapa tempat telah muncul kelompok-kelompok militan yang sangat membenci Aceh dan siap berperang dengan Aceh yang dalam persepsi mereka adalah sekelompok orang yang sangat membenci Gayo, sebagaimana yang dipropagandakan oleh orang-orang semacam para propagandis yang marak diberbagai media dunia maya beberapa waktu yang lalu.
Bedanya, jika propaganda mereka di media dunia ini banyak mendapat perlawanan kritis dan bisa dipatahkan. Propaganda mereka di dunia nyata berlangsung mulus dan sempurna tanpa sedikitpun perlawanan dari pemerintah Aceh yang memang menjadi sasaran pembusukan mereka. Bukannya membantu memadamkan, pemerintah Aceh melalui kebijakan-kebijakannya yang aneh dan tidak membumi justru semakin menguatkan argumen-argumen propaganda mereka.
Yang saya lihat, kKetika mereka melakukan propaganda semacam itu terhadap orang Aceh, jelas mereka tidak sedang bermaksud untuk mengubah opini orang Aceh agar menjadi sama dengan opini yang seolah sedang mereka bangun. Mereka melakukan itu, sekali lagi samata hanya untuk mengaduk emosi, targetnya jelas adalah supaya Aceh yang emosinya naik kemudian menyerang Gayo. Inilah yang menjadi sasaran utama mereka, lalu saat itu terjadi, dengan mengatasnamakan GAYO, mereka punya alasan untuk minta perlindungan dari Jakarta.
Ketika mempraktekkan taktik ini, Jakarta juga rupanya sangat memperhatikan perkembangan isu internasional. Dulu saat histeria dunia terhadap bencana tsunami masih sedemikian kuatnya. Mereka tidak melakukan taktik ini karena mereka tahu persis saat itu Aceh masih menjadi pusat perhatian dunia, setiap gerakan kecil yang tidak wajar yang mereka lakukan akan segera mengundang perhatian dan kecaman. Tapi sekarang Jakarta sangat tahu, negara-negara di dunia sudah mulai kembali disibukkan oleh urusan rumah tangga mereka masing-masing. Yang paling aktual sekarang bagaimana menghadapi krisis ekonomi terberat sepanjang sejarah yang sudah di depan mata. Isu utama politik internasional juga sekarang sudah kembali ke 'khittah' asalnya,Timur tengah ditambah dengan isu nuklir Iran dan Korea Utara. Urusan Aceh dan Jakarta, seperti yang sudah-sudah kembali menjadi prioritas kesekian. Kalaupun sekarang Jakarta mulai berani mengusik Aceh lagi, perhatian internasional memang ada, tapi kualitas perhatian itu tidak lagi seintens awal-awal tsunami dulu.
Perkembangan seperti ini sangat disadari sepenuhnya oleh Jakarta, tapi sebaliknya dengan kita di Aceh. Seperti yang ditulis oleh Fajran, para elit baik di pemerintahan maupun ditingkat politisi di Aceh rata-rata tidak menyadarinya. Kita malah sibuk ribut sesama kita sendiri dan tidak menyadari kalau saat ini kita sudah larut dalam taktik dan langgam permainan Jakarta.
Wassalam
Win Wan Nur
Rabu, 25 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar