Selasa, 17 Februari 2009

Dipenjara Karena Membela Kehormatan Aceh dan Gayo...Kenapa Tidak?

Usaha Kosasih untuk menghancurkan Aceh dan Gayo kini memasuki babak baru. Setelah sekian lama dia bersembunyi di balik topeng budi halusnya, akhirnya kini saya berhasil melucuti topeng terakhirnya dan Kosasihpun kini mau tidak mau terpaksa muncul dengan wajah aslinya yang kejam dan ganas. Wajah kejam dan ganas yang selama ini dia sembunyikan dengan rapi. Sekarang Kosasih sudah tanpa malu-malu lagi menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya yang mau menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Untuk saya sendiri, ketika saya memutuskan untuk memulai proyek pelucutan Topeng Kosasih. Saya sangat sadar kalau ancaman seperti yang dikeluarkan Kosasih ini memang hanya tinggal menunggu waktu saja dan sudah saya perkirakan memang akan muncul dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena sudah saya perkirakan inilah, saya benar-benar berhitung dengan cermat kapan waktunya yang tepat buat saya untuk memulai proyek pelucutan topeng Kosasih ini. Untuk memulai proyek ini saya terlebih dahulu menunggu momen yang tepat. Momen yang tepat itu adalah Momen ketika saya bisa memastikan kalau saya tidak perlu lagi hadir secara fisik dalam usaha yang selama ini saya bangun. Jadi kalaupun dalam usaha saya membuka topeng Kosasih ini saya menghadapi situasi yang paling buruk, anak dan istri saya tidak akan lagi bermasalah dari segi ekonomi. Dan sekarang momen itu sudah tiba, usaha yang saya jalani sekarang sebenarnya tidak lagi membutuhkan kehadiran saya secara fisik, kalaupun sekarang saya masih menjalani sendiri, itu lebih hanya karena adanya unsur petualangan dalam usaha ini dan itu tidak ingin saya lewatkan.

Tapi ketika saya melihat ada petualangan baru yang lebih menantang, tentu saja saya sedikitpun tidak keberatan untuk meninggalkan aktivitas saya yang sekarang yang lama-lama sudah mulai membosankan juga.

Membaca ancaman Kosasih, saya seperti menemukan semangat untuk memulai petualangan baru lagi dan yang namanya petualangan baru selalu merupakan hal yang mengasyikkan bagi saya.

Sudah banyak hal yang saya alami, entah itu menjelajahi berbagai hutan dan gunung di negeri ini, mengunjungi berbagai kota di negeri ini dan manca negara sambil mengenal orang-orangnya bahkan saya pernah menjadi gelandangan dalam arti yang sebenarnya. Tapi tinggal di penjara dalam arti yang sebenarnya belum pernah saya rasakan.

pengalaman menjadi gelandangan, terjadi tepat 6 tahun yang lalu pada februari tahun 2003 ketika saya memutuskan pindah ke Bali, setelah seluruh uang saya dan partner asing saya sejumlah 350 juta digelapkan oleh partner bisnis saya, orang Gayo asal Bebesan yang bernama IRUL, yang sekarang saya dengar sudah membuka konter HP di Banda Aceh.

Saat itu saya ke Bali tepat 4 bulan setelah Legian dihantam Bom oleh Amrozi dan kawan-kawan. Saya datang ke Bali pada saat semua orang keluar dari Bali karena kehilangan pekerjaan akibat sepinya kedatangan turis asing yang membuat efek domino ke seluruh segi kehidupan orang Bali. Sampai tukang bakso, tukang ikan dan tukang sayur asal Jawapun tidak bisa lagi menghidupi diri di Bali karena tidak ada orang yang membeli dagangan mereka. Saat itu dengan modal hanya 1 juta di kantong saya menggelandang kemana-mana.

Pada masa menggelandang itu banyak sekali pengalaman menarik yang saya dapati. Kesempatan yang saya dapatkan waktu itu membuat saya bisa mengenal berbagai macam orang di lapisan bawah strata sosial, yang bertahan untuk hidup dengan menggunakan segala potensi dirinya yang mungkin bisa dia olah menjadi uang. Pada masa ini, di lorong-lorong kecil Poppies Lane I dan II, Bene Sari, Sahadewa dan putihnya pasir pantai Kuta saya berkenalan dengan Dian, pelukis jalanan yang berbicara gagap asal Subang yang kualitas lukisannya mengimbangi karya Basuki Abdullah. Saya juga berkenalan dengan dua orang pemuda asal Ambon yang bekerja sebagai gigolo yang akibat pekerjaannya sama sekali tidak bisa lagi tertarik pada perempuan muda, mata mereka hanya tertarik melihat bule-bule yang sudah tua. Saya juga bertemu dan bersahabat dengan seorang penjual narkoba palsu asal Jember yang bertahan hidup dengan menjual hassis palsu yang dia buat dari jamu Jago, Kokain palsu yang dia buat dari bubuk obat sakit kepala naspro yang digiling halus, Ganja palsu dari daun kenikir dan berbagai narkotika palsu lainnnya. Beberapa kali turis asing konsumen teman saya ini merasa tertipu dengan narkoba yang dia beli, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak mungkin mereka bisa melaporkan teman saya ini ke Polisi dengan alasan melakukan penipuan. Beberapa kali pula teman saya ini ditangkap oleh Polisi yang rupanya telah lama mengamati gerak-geriknya, tapi ketika tertangkap dan diketahui ternyata barang bukti hassis yang dijual adalah Jamu Jago, hukuman yang harus diterima teman saya ini adalah disuruh menelan habis barang dagangannya.

Saya sendiri bertahan hidup dengan menjualkan perak milik orang Bali asal Karangasem bernama Bli Made yang entah kenapa merasa prihatin melihat saya dan langsung mempercayakan saya untuk menjajakan peraknya yang bernilai ratusan juta saat dia harus kembali ke kampungnya ke Karangasem untuk mengikuti berbagai upacara keagamaan. Bli Made ini pula yang memberi saya dua cincin perak yang salah satunya saya jadikan mas kawin saat saya menikahi istri saya tahun 2004.
Cukup lama saya menjalani hidup menggelandang seperti ini sampai saya bertemu dengan orang Gayo yang memberi saya tempat disebuah bengkel pembuatan sandal miliknya dan selama 6 bulan saya tinggal di sana tidur diantara spons dan karet material pembuat sandal dan bertahan hidup dengan penghasilan 3000 rupiah sehari. Meskipun banyak orang melihat kehidupan yang saya jalani selama setahun itu sangat jauh dari layak, tapi latar belakang saya sebelumnya membuat saya justru bisa menikmati kehidupan seperti ini, karena bagi saya itu adalah petualangan. Selama masa itu saya belajar soal segala seluk beluk bisnis di Bali, mengenal karakter orang-orangnya membangun jaringan dan akhirnya memiliki usaha sandal sendiri lalu sekarang berekspansi ke usaha Pariwisata dan punya usaha lain di Jakarta.

Ketika Kosasih mengancam akan melaporkan saya ke Polisi. Saya menganggap ancaman ini bukan ancaman main-main, tentu saja kalau itu nanti terjadi sayapun bisa mengajukan bukti-bukti bahwa Kosasihlah yang memulai mencari gara-gara terhadap saya. Tapi seperti yang saya katakan, dalam hukum positif penilaian akhir terhadap suatu masalah hukum akan tetap berada di tangan para aparat penegak hukum. Nah melihat latar belakang Kosasih dan siapa-siapa saja yang ada di belakang Kosasih, saya sama sekali tidak akan kaget kalau dalam pertarungan melalui jalur hukum positif ini sayalah yang akan berada di pihak yang kalah dan mau tidak mau harus mendekam di penjara. Dan setelah saya pelajari latar belakangnya, sayapun sama sekali tidak kaget membaca ulasan Kosasih yang sangat mengetahui detail masa lalu saya.

Kenyataan inilah yang membuat saya sangat antusias. Apalagi setelah saya membaca buku Abal-abal karangan Arswendo Atmowiloto yang berdasarkan atas pengalamannya selama menjalani hukuman Penjara. Melalui buku itu saya melihat ternyata kehidupan penjara itu sangat menarik untuk diamati dan dibukukan. Ketika saya menceritakan hal ini pada istri dan anak saya, istri dan anak sayapun menanggapinya sama antusiasnya dengan saya. Karena suami dan bapak masuk penjara juga akan merupakan hal baru bagi mereka berdua.

Memang sebelumnya saya sudah pernah mengalami tinggal di balik jeruji, tapi saat itu saya ditahan di tahanan militer, bukan tahanan sipil. Tahanan militer ini tidak menarik dan membosankan karena isinya tidak banyak dan yang tidak banyak itupun isi kepalanya persis sama seperti isi kepala saya, karena mereka adalah teman saya sendiri. Sama sekali tidak ada variasi seperti dalam tahanan sipil sebagaimana digambarkan Arswendo dalam buku Abal-Abal-nya. Apalagi dalam tahanan militer itupun saya hanya sempat ditahan satu hari karena oleh masyarakat yang merasa saya dan dua teman saya yang lain ditahan karena membela kepentingan dan hak mereka, memilih bertahan di gedung DPRD sampai kami bertiga di lepaskan. Salah satu teman yang ditahan bersama-sama dengan saya saat itu, bernama LUKMAN AGE yang sekarang bekerja sebagai direktur Aceh Institute.

Yang paling saya ingat saat itu adalah ketika saya diinterogasi oleh petugas militer di sana. Pada akhir interogasi si bapak petugas itu mengatakan kalau seluruh data diri saya yang mereka catat hari itu akan disebarkan ke seluruh Kodim, Korem dan institusi militer lainnya di seluruh Indonesia. Dan karena itu saya tidak akan mudah mendapatkan surat berkelakuan baik. Karena nama saya sudah tercatat dalam buku besar Angkatan Darat, menurut si bapak petugas saya juga akan sulit sekali untuk menjadi pegawai negeri apalagi anggota ABRI. Kebetulan pada waktu itu menjadi pegawai negeri apalagi menjadi anggota ABRI, adalah dua hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di kepala saya. Jadi resiko ini sama sekali tidak ada pengaruhnya buat saya.

Dulu saya ditahan di KODIM hanya karena ledakan emosi masa muda saya yang terpancing saat saya melihat sebuah perusahaan HTI besar milik konglomerat besar Ibrahim Risjad yang bekerja sama dengan Liem Sioe Liong dengan seenak perutnya mencaplok lahan warga Kuta Baro yang oleh perusahaan ini di klaim termasuk lahan kerjanya yang telah disetujui oleh pemerintah pusat di Jakarta. Secara sepihak perusahaan ini memagar lahan milik warga, dan meracuni sapi-sapi milik warga yang mencari makan di lahan yang mereka klaim telah diberikan izin oleh Jakarta untuk mereka kelola. Mengetahui ini sayapun tidak menolak ketika seorang teman mengajak Saya, Lukman dan beberapa teman lainnya untuk mendampingi masyarakat desa ini berdemo ke DPRD Aceh. Saya dan Lukman tertangkap karena kami berdua memegang spanduk secara mencolok tepat di depan hidung para anggota DPRD yang diam seribu basa ketika satu truk pasukan berbaju loreng dari Kodim masuk ke halaman gedung tersebut dan menangkap kami berdua, memegangi tangan dan kaki saya tepat di depan hidung para anggota dewan terhormat tersebut.

Yang membuat saya lebih bersemangat membaca ancaman Kosasih ini adalah ketika saya memahami alasan seandainya kali ini saya benar-benar di penjara.

Kali ini kalau benar saya jadi ditahan nanti, alasan akan lebih personal dan lebih emosional bagi saya, bukan hanya sekedar akibat dari ledakan emosi masa muda. Kali ini, kalau saya benar ditahan nanti, ini akan menjadi sebuah kehormatan dan kebanggaan besar bagi saya sebab kali ini saya ditahan karena membela kehormatan dan harga diri Aceh dan terutama GAYO suku saya sendiri.

Yang lebih istimewa lagi, kalau saya benar dipenjara akibat laporan Kosasih ini, saya yakin ini akan menjadi berita menarik.Seorang blogger provokator yang selama ini memprovokasi dan melecehkan orang Aceh dan orang Gayo. Yang tanpa didukung data yang bisa dipertanggungjawabkan mengatakan kata Aceh berasal dari kata ASU, Orang Aceh hanya bisa ONANI, Didong Jalu yang budaya Gayo menjadi begitu terus terang adalah karena hasutan dari Snouck Rounge (maksudnya Snouck Hurgronje). Justru secara ajaib merasa nama baiknya tercemar karena kalah beradu argumen dengan seorang blogger lain yang mempertahankan harga diri pribadi dan sukunya dan berhasil mementahkan semua argumen kosongnya. Si Blogger Provokator ini kemudian melaporkan lawan debatnya ke polisi dan berhasil memenjarakan lawan yang tidak bisa dia kalahkan di dunia maya. Hmmm...berita semacam ini tentu akan menjadi berita istimewa menjelang akhir masa tugas pemerintahan SBY-Kalla.

Tapi kalau ancaman Kosasih ini hanya gertak sambal saja, ini juga tidak apa-apa. Karena ini sekaligus bisa jadi pelajaran bagi siapapun juga yang mencoba-coba mengusik kehormatan dan harga diri Aceh dan juga GAYO suku saya di berbagai media internet. Karena kalau nanti kedepan ada yang mencoba berbuat seperti itu dan saya menemukannya, mereka harus tahu selama saya masih bebas dan belum dipenjara. Saya bisa pastikan kalau orang sok jago yang mencoba-coba mengusik kehormatan dan harga diri Aceh dan juga GAYO suku saya akan saya buat remuk redam lebih dari yang telah saya lakukan pada Kosasih hari ini. Untuk Kosasih sendiri terus terang saya masih cukup banyak menahan diri, karena untuk Kosasih saya sangat menyadari bahwa sebangsat apapun dia, bagi saya karena darah Gayo yang mengalir di nadinya, Kosasih tetap serinen saya.

Wassalam

Win Wan Nur

2 komentar:

dthage mengatakan...

Pak,
apa tidak perlu dimodifikasi blognya. Ditambahi tulisan baca selanjutnya.... lalu yang ditampilkan cuma sepenggal paragrap. lalu kalau ada yang minat baca, baru diklik dan tampillah seluruh tulisannya.

email saya dthage@yahoo.com, saya akan kirimi bapak artikel tentang itu.

Salam,
Daniel T. Hage

Asal Linge Awal Serule mengatakan...

Ada sih rencana buat begitu, tapi belum sempat aja. Sekarang aktivitas saya sedang lebih banyak di jalan...akses internet paling 15 menit sampai setengah Jam pas istirahat nemu Hot Spot atau warnet di pinggir jalan.