Senin, 02 Februari 2009

Ukuran Kesantunan dan Daging Babi

Beberapa waktu yang lalu saya diajak perang oleh seorang blogger bernama Kosasih Ali Abu Bakar. Si Blogger ini adalah orang Gayo juga, sama seperti saya. Tapi bedanya kalau saya lahir dan besar di Gayo, dia lahir dan besar di pulau Jawa.

Kosasih ini adalah seorang pendukung berat sekaligus propagandis ALA, yang merupakan ide pemecahan provinsi Aceh.

Dalam setiap tulisannya, Kosasih selalu menghujat Aceh dan GAM yang menurutnya hanya membuat Gayo, suku kami terjebak dalam perang bodoh. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan tulisan-tulisan Kosasih ini dan sayapun sebenarnya tidak begitu antusias menanggapinya. Karena saya tahu orang-orang pendukung ALA ini gayanya sama semua, suka memaksakan kehendak dan tidak mendasarkan argumennya pada data dan fakta.

Tapi kadang saya masuk untuk mengomentari tulisannya. Biasanya itu terjadi ketika saya melihat dia mulai ngawur dan mengaburkan fakta yang sebenarnya. Saya juga sering membantah omongannya ketika dia memaparkan ide pribadinya tapi mengatas namakan orang Gayo secara keseluruhan. Apalagi saya sering mendapati ide-idenya itu adalah ide yang asing dalam budaya kami. Tapi meskipun membantah, saya tetap tidak ingin terang-terangan menghantamnya karena mempertimbangkan statusnya sebagai orang Gayo, yang dengan sendirinya saya anggap saudara saya juga, SERINEN dalam bahasa gayonya.

Tapi rupanya kritik-kritik kecil yang saya sampaikan pada ide-ide yang berdasarkan fantasinya itu membuat Kosasih tidak senang. Lalu diapun mulai mencoba menyerang saya dari berbagai sisi. Tapi serangannya itu tidak pernah saya tanggapi terlalu serius, dan hal itu membuatnya semakin jengkel pada saya. Sampai suatu saat dia mulai memaksakan cara pandangnya terhadap Tuhan dan cara pandangnya terhadap etika kepada saya.

Saat itu secara agak terbuka, sayapun mulai menunjukkan rasa tidak senang saya kepadanya. Dan keterbukaan saya ini rupanya menyulut emosi Kosasih dan diapun mendeklarasikan perang pribadi terhadap saya.

Cara perang ala Kosasih ini adalah dengan cara menulis cerpen, dalam cerpen yang dia tulis itu dia membuat tokoh-tokoh antagonis dengan perilaku yang benar-benar menjijikkan. Nama-nama ketiga tokoh antagonis itu dia buat dari potongan tiap suku kata nama saya. Win, Wan dan Nur. Kemudian Kosasih mempost cerpennya itu ke berbagai milis yang juga saya ikuti. (cerita lengkap cerpennya silahkan baca di Blog pribadi Kosasih www.cossablu.blogspot.com)

Tapi rupanya cerpennya itu tidak mendapat tanggapan positif di milis-milis tersebut, malah sebaliknya justru Kosasih yang dihujat orang dari kanan kiri.

Pembaca cerpennya rata-rata mengatakan cerpennya itu tidak bermutu, persis seperti kualitas tulisan yang dia post di berbagai milis selama ini yang selalu hanya menggambarkan GAM adalah sumber dari segala sumber masalah di dunia. Dan apapun persoalannya ALA adalah satu-satunya solusi yang ada. Kata-kata lain yang sangat sering diulang-ulang oleh Kosasih adalah Perang Bodoh.

Jika kita lihat sekilas, Cerpen Kosasih ini memang sama sekali tidak bermutu, persis sama seperti tulisan-tulisannya yang lain yang tidak pernah lari dari jurus andalannya, GAM dan perang bodoh.

Padahal jika kita pahami agak lebih mendalam, untuk kasus cerpen ini. Saat Kosasih mem-post cerpen karangannya tersebut ke berbagai milis. Kita akan melihat sebenarnya apa yang dilakukan oleh Kosasih Ali Abu Bakar serinen saya ini adalah menunjukkan kualitas dan mutu dirinya dalam penguasaan teknik komunikasi massa.

Dalam strategi komunikasi massa, apa yang dilakukan Kosasih ini dikenal dengan nama 'teknik bola-bola salju'.

'Teknik bola-bola salju' adalah sebuah teknik komunikasi yang digunakan untuk mempengaruhi opini dan psikologis massa dengan cara menjejali kepala masyarakat dengan informasi yang diberikan secara terus menerus, tidak peduli informasi itu logis atau tidak, yang penting massa bisa larut dengan informasi yang dijejalkan itu.

Ketika massa sudah larut dan emosinya terikat dengan informasi yang dijejalkan. Secara tidak sadar mereka telah terjebak oleh nilai-nilai yang ditanamkan melalui informasi tersebut.

Teknik komunikasi seperti ini banyak digunakan oleh penguasa di negara-negara yang diperintah oleh junta militer untuk menghabisi musuh-musuh politik mereka. Dalam novel politik terkenal Animal Farm, karangan George Orwell, satu tokohnya yang bernama Napoleon memakai teknik komunikasi massa seperti ini untuk menghabisi musuhnya Snow Ball.

Di Indonesia, keberhasilan paling nyata 'Teknik bola-bola salju' adalah pencitraan PKI di zaman orde baru. Dengan memakai teknik komunikasi ini, Orde Baru berhasil membuat segala sesuatu yang berkaitan dengan PKI bahkan segala sesuatu yang berbau 'kiri' tampak begitu menjijikkan. Begitu suksesnya teknik ini sampai-sampai seorang sastrawan besar sekelas Pramoedya saja bisa terlihat sangat menjijikkan hanya karena statusnya yang merupakan anggota Lekra. Orde baru sangat berhasil menerapkan teknik ini untuk kepentingan politisnya dan menghancurkan ciira PKI sampai ke titik terendah, sehingga bahkan sampai hari inipun orang Indonesia lebih marah dimaki dengan sebutan anak PKI daripada anak Setan.


Contoh lain penggunaan 'Teknik bola-bola salju' yang berhasil membuat tata nilai baru dalam masyarakat adalah cerita sinetron. Atau dulu semasa stasiun TV cuma ada TVRI, cerita drama radio. Dalam Sinetron dan Drama Radio ini, beragam informasi tentang tokoh-tokoh dalam ceritanya secara terus menerus diberikan kepada massa penikmatnya. Massa penikmat sinetron dan drama radio tanpa bisa dihindari larut dalam cerita yang dibuat pengarang, larut dalam penderitaan si tokoh utama, larut dalam kekaguman terhadap kehebatannya dan sedikit-demi sedikit mulai membenci tokoh antagonis sampai lama-lama tanpa disadari tiba-tiba kekaguman terhadap tokoh utama dan kebencian terhadap tokoh antagonis itu telah menjadi tata nilai baru yang berlaku dalam masyarakat.

Dan fakta yang paling menarik berkaitan dengan teknik bola-bola salju ini adalah, citra negatif selalu lebih mudah diterima masyarakat ketimbang citra positif.

Contohnya ketika dulu TVRI menayangkan sinetron Siti Nurbaya yang begitu populer. Dalam sinetron yang sangat populer di masanya itu, tokoh yang paling diingat orang bukanlah tokoh protagnisnya Syamsul Bahri yang diperankan oleh Gusti Randa, atau bahkan Siti Nurbayanya sendiri yang diperankan oleh Novia Kolopaking. Tokoh dalam cerita tersebut yang paling diingat orang sampai hari ini adalah Datuk Maringgih. Begitu populernya tokoh ini sampai-sampai tokoh antagonis ini melekat erat pada HIM Damsyik pemerannya.

Tokoh-tokoh antagonis populer lainnya juga sama, misalnya tokoh-tokoh dalam cerita Misteri Gunung Merapi yang dulu sempat populer juga. Hari ini orang malah sudah banyak lupa nama tokoh protagonis dalam cerita itu, tapi tetap akrab dengan tokoh-tokoh Gerandong atau Mak Lampir.

Begitu populernya nama-nama tokoh antagonis itu sehingga sampai sekarangpun orang masih menggunakan nama-nama tersebut untuk mengungkapkan rasa tidak suka atau kebencian terhadap sosok tertentu. Misalnya Anak buah yang tidak menyukai atasan perempuannya, atau murid SMA yang tidak menyukai ibu gurunya, biasa kita dengar memaki atasannya atau gurunya itu dengan sebutan Mak Lampir.

Serinen saya Kosasih ini tampaknya sangat menguasai teknik komunikasi seperti ini. Kebetulan sekarang dia punya musuh yaitu saya, yang beberapa kali mematahkan argumennya. Sepertinya Kosasih merasa apa yang saya lakukan itu telah menjatuhkan reputasi yang dia bangun dengan susah payah dan diapun berusaha menjatuhkan saya, tapi dia makin jengkel karena usahanya itu tidak pernah berhasil. Sehingga Kosasihpun sepertinya merasa tertantang untuk menghantam saya dengan ilmu andalannya.

Sebenarnya, saat saya mengetahui Kosasih merasa tidak senang kepada saya, saya langsung terang-terangan mengajaknya untuk bertarung satu lawan satu. Seperti yang sejak dulu saya lakukan kepada orang yang tidak senang pada saya.

Karena Kosasih orang Gayo dan sayapun sama, sayapun mengajaknya bertarung dengan cara khas suku Gayo yaitu melakukan Didong Jalu yang menurut saya adalah cara bertarung yang jantan dan khas laki-laki. Bertarung saling berhadap-hadapan, saling tunjuk hidung, mencela setiap kelemahan lawan dan membela kelemahan sendiri. Dan yang paling istimewa dari cara bertarung Didong jalu ini adalah di akhir acara kedua pihak yang bertarung saling bermaaf-maafan.

Tapi oleh serinen saya Kosasih yang lahir dan dibesarkan di Jawa ini, cara orang Gayo bertarung seperti yang saya tawarkan itu ditolak mentah-mentah. Menurutnya cara orang Gayo bertarung itu adalah cara bertarung yang tidak beradab, bodoh, kampungan dan tidak berbudaya.

Dalam cara pandang Kosasih yang lahir dan dibesarkan di Jawa yang terkenal dengan budayanya yang adi luhung, cara bertarung yang bermartabat itu adalah bertarung dengan diam-diam, tidak menunjukkan rasa tidak senang secara terang-terangan, tidak langsung menunjuk hidung lawan, sebaliknya sebenci apapun kita pada lawan, saat bertemu wajah senyum harus ditampilkan. Kalaupun sangat membenci orang dan terpaksa harus menghujat lawan, hujatlah lawan dengan cara yang sesantun mungkin.

Dan inilah cara menghujat dengan santun menurut Kosasih; mengarang sebuah cerita tidak bermutu dan menciptakan tokoh-tokoh antagonis yang berperangai sangat jelek yang nama-namanya dikaitkan dengan unsur-unsur yang ada dalam nama lawan yang dihujat. Lalu cerita itu dipost ke berbagai milis dan dimuat di blog pribadi.

Saat dia menulis cerpennya itu, Kosasih yang lahir dan besar dalam lingkungan budaya Jawa tentu membayangkan bahwa orang yang membaca kisah karangannya akan larut membaca cerita tidak bermutunya itu. Karena sudah larut dengan cerita tersebut, pembacanya tidak akan menyadari taktik busuknya untuk mendiskreditkan saya melalui cerita itu. Lalu penikmat ceritanya itupun tanpa sadar akan membenci tokoh-tokoh antagonis dalam cerita karangannya.

Kosasih sepertinya begitu terinspirasi oleh kuatnya pengaruh penggambaran citra buruk yang digambarkan oleh tokoh-tokoh antagonis populer semacam Mak Lampir dan Datuk Maringgih ini di masyarakat. Dan tentu saja bukan sebuah kebetulan, Kosasih serinen saya ini memberi nama Win, Wan dan Nur untuk tokoh-tokoh antagonis dalam cerpennya itu.

Dengan memberikan nama-nama tersebut kepada tokoh-tokoh antagonis dalam ceritanya itu, serinen saya Kosasih yang berdarah 100% Gayo tapi bermental 100% Jawa ini tentu berharap pembaca ceritanya akan membenci tokoh-tokoh antagonis ciptaannya itu dengan membabi-buta seperti penonton Siti Nurbaya membenci Datuk maringgih atau penonton Misteri Dari Gunung Berapi membenci Mak Lampir.

Lalu ketika orang sudah membenci tokoh-tokoh itu dengan sendirinya nama-nama ketiga tokoh antagonis ciptaan Kosasih tersebut akan terdengar sangat buruk bahkan dijadikan sebagai bahan makian, contohnya seperti kasus Mak Lampir sebagaimana yang saya gambarkan di atas.

Kosasih sepertinya paham betul, citra buruk yang bisa diciptakan oleh tokoh antagonis semacam itu kuat sekali, sebegitu kuatnya hingga kalau kebetulan ada orang yang jauh sebelum cerita itu populer memiliki nama yang sama dengan tokoh antagonis populer itu, bisa dipastikan orang itu akan menjadi bahan olok-olok dan tidak akan sanggup lagi menyandang namanya.

Bayangkan misalnya ada orang yang bernama Mak Lampir, apakah sekarang dia masih mau memakai namanya itu?. Apalagi kalau ada orang yang bernama 'Mak Lampir Gerandong'. Matilah dia. Saya jamin dia akan membenci orang tuanya yang memberinya nama yang membuatnya dijadikan bahan olok-olok orang sekampung.

Nah yang luar biasa dari cerpen Kosasih ini adalah; tokoh antagonisnya bukan hanya satu atau dua tapi TIGA. Bayangkan kalau suatu saat cerpen maha karya Kosasih serinen saya ini menjadi sepopuler Misteri Gunung Berapi. Betapa sialnya nanti orang yang bernama Win. Apalagi yang namanya Win Wan, orang yang bernama seperti ini nanti akan sama musibahnya dengan orang yang memiliki nama 'Mak Lampir Gerandong' apalagi kalau ada orang yang sedemikian sial dan musibahnya malah punya nama yang secara kebetulan merupakan nama ketiga nama tokoh Antagonis ciptaan Kosasih itu ' Win Wan Nur', ini sudah bukan sial atau musibah lagi namanya, tapi bencana tingkat pertama.

Begitulah 'teknik bola-bola salju' melalui media cerpen yang digunakan oleh Kosasih serinen saya ini untuk menjatuhkan saya, yang selama ini dia anggap mengancam reputasinya.

Tapi 'teknik bola-bola salju' Kosasih ini gagal total, malah menjadi senjata makan tuna. Bukan tokoh antagonis ciptaannya yang dihujat orang, tapi malah namanya yang menjadi bahan olok-olok sampai-sampai ada yang mengusulkan namanya digunakan sebagai pengganti kata 'bego'. Saya baca di milis tempat dia mempost tulisannya ada yang mengusulkan mengganti kata "bego banget sih lu" dengan ":Kosasih banget sih lu".

Cara yang dilakukan Kosasih ini sebenarnya sudah tepat sekali, kalau cara ini dia terapkan kepada orang-orang yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan subjektif yang sama dengannya. Cara Kosasih ini pasti berhasil karena mereka menganut nilai-nilai yang sama dengan Kosasih. Kata-kata 'bermartabat', 'beradab' dan 'berbudaya' yang mereka pahami, persis sama maknanya seperti yang dipahami Kosasih.

Kegagalan 'teknik bola-bola salju' ini terjadi karena kesalahan Kosasih sendiri. Kegagalan ini terjadi karena Kosasih dengan keras kepala sengaja mengabaikan fakta bahwa bagi orang Gayo secara khusus dan Aceh secara umum, caranya menghujat lawan yang menurut tata nilai yang dianut itu dipahami sebagai cara yang santun itu adalah cara menghujat yang sangat menjijikkan.

Kosasih yang sepertinya IQ-nya tidak terlalu tinggi ini sama sekali tidak bisa memahami rasa jijik pembaca cerpennya. Meskipun dihujat dan dicibir orang, dia jalan terus. Kosasih merasa sama sekali tidak ada yang salah dengan cerpennya. Dia merasa apa yang dilakukannya itu adalah salah satu cara untuk mengekspresikan idenya.

Saya sendiri sebenarnya sangat memahami ketidak mengertian Kosasih ini, ketidak mengertian Kosasih tentang rasa jijik orang Gayo dan orang Aceh dalam membaca tulisannya sebenarnya sama seperti ketidak mengertian para pelahap daging babi yang merasa heran dan tidak mengerti melihat orang Islam yang merasa jijik terhadap makanan favorit mereka.

Seperti orang yang dalam budayanya tidak pernah diajarkan untuk merasa jijik terhadap daging babi yang merasa bahwa daging babi adalah daging paling enak di dunia. Kosasih yang lahir dan besar di Jawa inipun sama, dia merasa bahwa cara menghujat yang dia gunakan itu adalah cara menghujat yang paling santun di dunia.

Seperti beberapa pelahap daging babi yang kurang bijaksana yang merasa kaum muslim adalah sekumpulan orang bodoh yang tidak bisa memahami kenikmatan daging babi, Kosasihpun sama. Dia merasa orang Gayo dan orang Aceh adalah sekumpulan orang-orang bodoh yang tidak bisa memahami betapa adi luhungnya budaya Jawa.

Itulah sebabnya meskipun Cerpennya dihujat kanan kiri, dipandang dengan jijik oleh mayoritas penghuni milis, Kosasih jalan terus dan dengan penuh semangat dan percaya diri melanjutkan kisah cerpennya. Dia sama sekali tidak peduli kalau sebenarnya sekarang pembaca cerpennya yang mayoritas Aceh dan Gayo ini mau muntah tiap kali membaca cerpennya.

Saya tidak tahu apa yang dibayangkan oleh orang Gayo atau orang Aceh lain yang juga merasa jijik membaca cerpen Kosasih. Tapi bisa jadi apa yang mereka rasakan sama seperti yang saya rasakan. Ketika saya memaksakan diri membaca cerpen Kosasih, rasanya saya seperti sedang dipaksa untuk menyaksikan orang gendut yang berkeringat, tanpa baju dengan perut bergelambir dan bau badan busuk yang khas sedang makan daging babi dengan lahap dengan mulut belepotan minyak dengan bunyi kecapan yang keras karena saat makan mulutnya tidak ditutup sehingga minyak babi yang kental itu bermuncratan dari sudut-sudut bibirnya dan membasahi meja.

Tapi Kosasih yang seperti si pelahab daging babi yang merasa daging babi adalah makanan ternikmat di dunia tidak menyadari rasa jijik orang melihat lahapnya cara makannya. Seperti si pelahab daging babi yang larut dalam kelezatan menikmati makanannya yang sama sekali tidak sadar kalau orang disekelilingnya mau muntah melihat cara makannya. Kosasih yang larut menghayati cerita dalam cerpen karangannya sendiri inipun sama, dia sama sekali tidak menyadari kalau perut pembaca cerpennya seperti sedang diaduk-aduk, ketika dia merasa begitu bangga dengan hasil karyanya itu. Apalagi ketika Kosasih dengan penuh percaya diri mengatakan "bagi yang menikmati cerpen saya, cerita lengkapnya ada di blog saya".

Kosasih tidak sadar kalau ajakannya itu bagi pembaca cerpennya, sama rasanya seperti orang yang makan daging babi dengan lahap dengan minyak yang bermuncratan dari sudut-sudut bibirnya itu, dengan penuh percaya diri mengatakan "Kalau kalian suka masakan ini, silahkan datang dan makan sepuasnya di rumah saya"

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Sebagai salah satu pelahap babi, saya tidak pernah menganggap bodoh sekumpulan umat muslim. Dan berani jamin gak sampai muncrat kok makannya. Hehehehe

Sebagai pelahap babi saya tidak pernah mau muntah (walaupun jijik) melihat orang menyantap bekicot, kelelawar, biawak, ular, laron bahkan biji penis (skrotum) kambing.

Bahkan para pelahap kare dengan bumbu daun/biji GANJA pun saya tidak menganggap rendah mereka walaupun itu salah satu pemakaian NARKOTIKA dengan cara lain.

Tapi menganggap rendah orang berdasarkan suku, agama bahkan makanannya adalah sudah pasti suatu kebodohan.

Salam!
Tuhan mengasihi Anda!

Asal Linge Awal Serule mengatakan...

Saya juga tidak bilang semua pelahap Babi menganggap bodoh umat muslim bro. Yang saya katakan ada sebagian dan saya mengalaminya sendiri.

Untuk mengetahui lebih jelas sikap saya tentang daging babi ini nbaca tulisan saya "Linguistik Saussure dan
Fatwa haram MUI"

Anonim mengatakan...

Yang mengganggap bodoh umat muslim itu bukan berarti AJARAN agamanya mendasari pandangan itu.

Beda dengan ajaran agama yg jelas2 menyuruh Anda bersikap ANTI sampai harus cuci 7x dan muntah2 sbg akibatnya.

Saya jijik dengan bekicot, biji penis kambing apalagi GANJA. Tapi ajaran agama saya tidak mengajari saya bersikap jijik dengan cuci tangan 7x segala.

Sikap jijik itu murni dari saya pribadi. Begitu juga dgn mereka yg berpandangan spt yg Anda utarakan.

paham?
bisa lihat bedanya?

Asal Linge Awal Serule mengatakan...

Terima kasih atas Komentarnya Jephman.

Terima kasih anda telah memaparkan pandangan SUBJEKTIF anda di sini dan keunggulan agama anda.

Yang saya tahu yang namanya agama, alias keyakinan selalu tampak benar sejauh itu kita yakini.

Jadi saya pikir andapaun demikian dan silahkan anda pegang keyakinan anda itu, asal jangan anda paksakan.

Anda tidak menganggap rendah jijik melihat apa yang anda sebutkan itu adalah urusan anda sendiri.

Saya juga sebenarnya tidak menganggap rendah pemakan Babi, hanya saya jijik melihat orang makan babi, itu saja.

Suku dan agama silahkan anda jalan sendiri, yang saya tidak suka sebenarnya hanya HEGEMONI.

Soal ajaran anda tidak mengajarkan cuci tangan 7 x itu adalah urusan agama anda sendiri, tidak ada urusannya dengan saya.

Kalau dengan tidak mengajarkan itu anda merasa agama anda lebih hebat, silahkan juga anda percayai dan anda pegang teguh keyakinan anda itu, karena saya sama sekali tidak tertarik untuk berdebat dalam urusan ini.

Tapi sekedar anda tahu saja, Jika anda menganggap ajaran agama anda sedemikian unggulnya dan agama lain sedemikian hinanya. Perlu anda tahu, orang lainpun bisa menunujukkan sebaris panjang kejelekan dan keburukan agama anda.

Tapi bersyukur pada Tuhan anda karena saya tidak tertarik melakukannya.

Wassalam

Win Wan Nur