Bang Wandi, dulu di awal-awal aku bergabung di milis ini, aku pernah mengatakan bahwa dalam setiap konflik dan pertarungan memperebutkan suatu wilayah, selalu terjadi apa yang disebut 'battle of the mind' yaitu sebuah usaha untuk menjadi pemegang sudut pandang massa.
Untuk memenangkan 'battle of the mind' ini, sejak jaman dulu berbagai cara dilakukan orang, asal cara pandangnya berlaku, para aktor yang terlibat dalam 'battle of the mind' menggunakan berbagai cara baik yang sifatnya objektif entah itu dengan cara jajak pendapat, bukti statistik dan lain-lain. Atau dengan cara subjektif seperti yang dilakukan Kosasih beberapa waktu yang lalu yaitu dengan cara-cara yang dia akui sebagai cara bermoral kek, cara Tuhan kek, cara nabi atau cara apa saja.
Menurutku, konflik antara Aceh versus Jakarta, jelas adalah pertarungan memperebutkan suatu wilayah. Sehingga yang terjadi di Acehpun sebenarnya adalah 'battle of the mind'.
Dalam 'battle of the mind' antara Aceh versus Jakarta, bertahun-tahun Aceh terus tertekan. Ibarat main catur, Aceh terus kena SKAK dan hanya bisa terus menghindar tanpa bisa memberi perlawanan berarti, sehingga seolah-olah Aceh hanya tinggal menghitung hari.
Tapi tanpa diduga terjadi sebuah momentum yang membalikkan segalanya, Aceh dilanda tsunami. Bencana yang dianggap salah satu bencana terbesar dalam sejarah modern umat manusia.
Oleh orang yang tidak percaya Tuhan, bencana Tsunami ini dianggap sebagai fenomena alam biasa.
Oleh orang yang gemar teori konspirasi, bencana Tsunami ini dianggap sebagai akibat dari test nuklir bawah laut yang dilakukan Amerika.
Oleh para pemuja Tuhan yang memahami Tuhan sebagai suatu entitas yang sedemikian buasnya (lagi-lagi Kosasih yang paling tepat kita gunakan sebagai contohnya), bencana Tsunami ini dimaknai sebagai hukuman Tuhan terhadap orang Aceh yang memberontak terhadap Jakarta, bencana Tsunami ini dimaknai hukuman Tuhan bagi manusia yang tidak mematuhi 'ulil amri'nya di Jawa sana.
Oleh para pemuja Tuhan yang memahami Tuhan sebagai suatu entitas yang sebegitu maha pengasih dan maha penyayangnya, bencana ini difahami sebagai rahmat terselubung dari Tuhan terhadap orang Aceh yang selama ini terus ditindas Jakarta. Bencana ini membuat Aceh jadi terbuka, membongkar kepada dunia semua ketidak adilan yang selama ini ditutupi oleh Jakarta dan yang terpenting memberi akses yang sedemikian luas bagi orang Aceh untuk meningkatkan kapasitas dirinya.
Terserahlah orang mau memaknai bencana Tsunami itu dari sudut pandang mana, yang jelas pasca Tsunami kulihat angin berbalik, Aceh yang biasanya tertekan kini bisa melakukan SKAK MESA. Yang ditandai dengan ditanda tanganinya MoU Helsinki dan kemudian diikuti dengan terpilihnya Bang Wandi sebagai gubernur.
Oleh kita di Aceh, situasi yang berbalik ini disambut dengan gegap gempita dan penuh euforia, seolah-olah raja lawan sudah tumbang dan pertarungan telah benar-benar dimenangkan. Padahal faktanya kita baru memiliki MESA. Lawan masih punya kekuatan lebih dari cukup untuk menumbangkan raja kita.
Sialnya MESA di tangan benar-benar telah melenakan kita. Sejak MESA lawan di tangan kita, kita benar-benar bertarung tanpa arah dan strategi yang jelas. Kita jadi ribut sesama kita sendiri dan lupa bahwa lawan kita yang sebenarnya itu adalah Jakarta.
Kita lupa pertarungan masih terus berjalan, tanpa MESA, lawan menyusun kekuatan strategi dan langkah yang mengepung setiap celah gerak kita.
Ternyata MESA di tangan sama sekali bukan keuntungan, sebaliknya bisa jadi inilah awal dari kekalahan permanen kita.
MESA di tangan telah membuat kita semua seolah lupa kalau Jakarta yang telah kita permalukan jelas-jelas sangat ingin membalas kekalahan.
Jakarta lawan kita itu bukan lawan biasa, mereka sangat mahir dan cermat membaca setiap gerak kita dan menyiapkan pukulan telak ke arah titik terlemah kita.
Mereka sangat memahami kondisi psikologis massa yang labil saat berada dalam situasi transisi, di mana masyarakat berharap tinggi pada perubahan dan merekapun tahu persis kalau harapan tinggi itupun akan cepat sekali berubah menjadi frustasi saat masyarakat menerima kegagalan.
Pemahaman seperti inilah yang membuat Jakarta sangat berkepentingan dan sangat berharap pemerintahan Bang Wandi gagal. Mereka tahu persis kegagalan Bang Wandi akan membuat masyarakat Aceh bernostalgia ke masa lalu. Mereka tahu persis, kegagalan Bang Wandi akan membuat masyarakat Aceh merindukan masa, saat Aceh masih sepenuhnya di bawah kendali Jakarta.
Melihat gerak langkah pemerintahan Bang Wandi belakangan ini. Dalam berbagai skala, harapan Jakarta itu sudah terjadi. Dan sejauh ini, atas 'kemenangan kecil' Jakarta itu, kami melihat sama sekali belum ada gerak tangkal alias jawaban yang mantap dari Bang Wandi. Inilah yang membuat kami yang di luaran sini banyak yang merasa gugup.
Perlu Bang Wandi tahu, saat ini sangat banyak orang di luaran sini yang berniat membantu Bang Wandi, mereka berniat membantu karena mereka sadar betapa sulitnya posisi kita sekarang, mereka melihat segala bangunan kebebasan yang dari dulu kita perjuangkan, saat ini benar-benar terancam dan sedang berada diambang kehancuran.
Tapi bagaimana orang-orang di luaran sini mau membantu kalau setiap kali diingatkan Bang Wandi langsung kumat darah tinggi?...sampai-sampai siapa bicara dengan siapa di SOLONG pun abang mata-matai.
Wassalam
Win Wan Nur
Rabu, 11 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar