Minggu, 15 Februari 2009

Sipil 92 dan Sepenggal Kisah Warganya

Teknologi informasi yang ada sekarang benar-benar memudahkan. Misalnya aku yang sudah sejak tahun 2002 meninggalkan Aceh dan kehilangan kontak dengan semua teman lama, tiba-tiba sekarang serasa berkumpul dalam satu ruangan lagi karena dipertemukan oleh facebook.

Beberapa waktu yang lalu seorang teman seangkatan kuliahku yang bernama Zulfan, mempost foto-foto kami semasa kuliah dulu. Foto itu dibuat saat aku masih berusia 18 tahun. Dalam foto itu aku terlihat masih sangat kurus dan memiliki wajah yang masih terlihat sangat muda.

Foto-foto yang dipost oleh Zulfan itu langsung mengingatkanku pada masa aku pertama masuk kuliah di tahun 1992. Seolah kejadian itu terjadi baru kemarin, padahal itu sudah terjadi 17 tahun yang lalu, hampir dua kali lipat umurku saat itu.

Situasi pada saat itu sudah sangat berbeda dengan situasi sekarang. Pada masa itu geopolitik dunia dan nasional masih sangat dipengaruhi dengan segala sesuatu yang serba seragam.

Saat pertama kali masuk kuliah kami harus mengenakan pakaian seragam hitam putih, dan diwajibkan untuk mengikuti penataran P4 selama dua minggu penuh, dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore.

Di Unsyiah, kampus terbesar di Aceh yang juga sering disebut jantong hatee rakyat Aceh, Fakultas Teknik adalah Fakultas favorit yang merupakan dambaan hampir semua anak SMA di Banda Aceh. Semasa SMA sebelum kuliah di Fakultas Teknik, aku dan rata-rata teman seangkatanku membayangkan Fakultas Teknik Unsyiah adalah sebuah kampus megah yang memiliki ruang kuliah seperti ruang perkuliahan kampus-kampus di pulau Jawa yang sering kami lihat di film, majalah atau TV.

Jadi, waktu melakukan pendaftaran ulang, ketika disebutkan kalau Penataran P4 untuk kami mahasiswa baru fakultas Teknik Unsyiah diselenggarakan di dalam gedung Aula Lama Fakultas Teknik. Dalam bayanganku gedung Aula Lama itu tentu saja kurang lebih mirip seperti gedung-gedung poerkuliahan di kampus-kampus besar lainnya di pulau Jawa. Tapi aku dan sepertinya juga rata-rata teman seangkatanku cukup kaget ketika mengetahui ruang kuliah fakultas Teknik yang hebat itu ternyata tampilannya lebih mirip kandang tempat pemerahan sapi daripada gedung perkuliahan.

Dalam gedung Aula Lama itu semua anak teknik angkatan 92 dari ketiga jurusan yang ada teknik Sipil, Teknik Kimia dan Teknik Mesin ditambah dengan beberapa anak angkatan 91 yang belum sempat mengikuti penataran tahun sebelumnya yang jumlah totalnya sekitar 200 orang, dikumpulkan untuk mengikuti penataran P4 selama dua minggu penuh tanpa jeda.

Saat itu, kami mahasiswa seangkatan di fakultas teknik rata-rata belum saling mengenal, tapi beberapa nama teman-teman baru sudah kami ketahui saat membaca pengumuman kelulusan UMPTN. Beberapa nama sudah aku kenal karena berasal dari SMA bahkan kelas yang sama denganku. Dari kelasku 3 A1 2 di SMA negeri 2 banda Aceh ada lima orang termasuk aku sendiri yang diterima di fakultas ini. Ditambah dengan 4 orang anak kelas lain, total ada sembilan orang anak SMA 2 di angkatan kami. Jumlah itu sudah terhitung rekor yang luar biasa untuk SMA kami yang di Banda Aceh lebih dikenal sebagai SMA tukang tawuran dan jagoan kebut-kebutan. Ratusan mahasiswa baru lainnya, seperti biasa didominasi oleh anak SMA 3 yang merupakan sekolah favorit di Banda Aceh, kota kami. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka seperti pindah kelas saja ke fakultas ini. Lainnya anak-anak lulusan SMA 1, SMA 5, MAN dan anak-anak dari daerah yang jika dibagi per asal SMA masing-masing jumlahnya tidak sebanyak kami dari SMA 2.

Sebelum masuk kuliah, aku memperhatikan nama-nama calon teman kuliahku dan berusaha memperkirakan seperti apa kira-kira karakter orangnya. Kuperhatikan di koran, calon teman kuliahku beberapa memiliki nama yang unik bahkan aneh, ada yang namanya merupakan gabungan antara nama islam dan barat. Salah satu yang menurutku paling aneh adalah Teungku Edward Kennedy. Nama ini aneh karena nama ini adalah perpaduan yang ganjil antara kesalehan Aceh yang Islam dengan nama barat yang Kristen. 'Teungku' adalah gelar terhormat yang diberikan masyarakat untuk ulama di Aceh, seperti Kyai di Jawa. Sementara 'Edward Kennedy' tentu saja nama seorang senator Amerika dari keluarga Kennedy yang bergama Katolik. Kubayangkan pemilik nama ini tentu orangnya gagah dan berwibawa. Selain Teungku Edward Kennedy, nama lain yang menurutku cukup janggal meskipun tidak separah kejanggalan nama pertama adalah 'John Faisal' yang kubayangkan orangnya perlente dan cool seperti pemain film-film cowboy. Nama lain yang menarik perhatianku adalah 'Dibrina Raseuki', nama ini menarik karena sangat unik karena diambil dari bahasa Aceh yang berarti 'diberi ada rezeki', saat melihat nama-nama calon teman kuliahku 'Dibrina Raseuki', nama terakhir ini kupikir salah satu nama terkeren dan aku membayangkan si pemilik nama ini pasti cewek Aceh berkelas, berkulit putih dan pasti cantik.

Sisanya daftar mahasiswa yang diterima di Fakultas Teknik, baik melalui jalur UMPTN maupun PMDK berisi nama-nama standar alias pasaran, semacam Iskandar,Bukhari, Junaidi, Syahril, Mirza, Zulfan, Akhyar, Fahmi Rizal, Irfan Hadi atau untuk yang perempuan bernama Devi, Mawaddah Noer, Asmaul Husna dan sejenisnya yang bisa ditemukan dalam jumlah melimpah ruah di tengah kerumunan orang yang berbelanja di Pasar Aceh. Beberapa nama standar ini ditambahi variasi nama depan 'Cut'atau 'Teuku' yang merupakan nama-nama keturunan bangsawan semacam Raden di Jawa, Andi di Bugis atau Anak Agung di Bali. Kalaupun nama lain ada yang tampak unik itu karena nama itu menunjukkan si pemakai nama memiliki Etnis yang berbeda semisal 'Sugihartono' atau 'Virgo Erlando Purba'.

Ternyata ketika aku mengamati nama-nama calon teman kuliahku, merekapun sama dan sepertiku, juga mengamati nama-nama calon teman kuliahnya. Dan kalau aku merasa nama paling antik dari semua nama calon teman kuliahku adalah nama-nama yang aku sebutkan di atas. Tapi bagi calon teman-teman kuliahku, dari semua nama yang terpampang di daftar itu justru 'Win Wan Nur'namakulah yang paling antik. Bagi orang Aceh, nama ini terdengar tidak serius dan seperti nama main-main karena bunyinya yang terdengar seperti 'Wan Win Wun', yang merupakan lafal dalam huruf 'WAU' yang sering kami hafalkan dalam pelajaran membaca huruf-huruf hijaiyah saat kami belajar mengaji di masa kecil dulu. Kemiripan bunyi ini pula yang membuat namaku sering dilafalkan orang Aceh secara salah menjadi 'Wan Win Nur'. Dan namaku itu rupanya bukan hanya menarik perhatian teman seangkatanku, tapi juga anak teknik senior kami. Entah karena memang namaku itu sebegitu antiknya atau karena terdengar sebegitu tidak seriusnya atau entah karena alasan apa, sehingga seorang temanku anak Mesin angkatan 91 bernama Andika, yang sekarang bekerja sebagai dosen di almamater kami pernah dengan semena-mena melafalkan namaku yang 'home made' dan dibuat khusus sesuai pesanan yang cuma satu-satunya di dunia yang jika diibaratkan mobil kelasnya kira-kira sekelas mobil pesanan khusus untuk kendaraan kepresiden Obama ini menjadi 'Sayur Mayur'. (kalau teman-teman seangkatanku membaca pendeskripsian tentang betapa berkelasnya namaku ini, aku yakin mereka bakal 'palak' sampai ke ubun-ubun kepala)

Saat jeda makan siang, kami sering nongkrong sambil minum kopi di kantin Barret (Bar restaurant Teknik), yang kondisinya justru lebih parah dibandingkan gedung tempat kami mengiukuti penataran yang super membosankan. Entah apa yang dibayangkan oleh teman-temanku saat mereka pertama kali membaca namaku, dan entah orang seperti apa yang mereka bayangkan yang menyandang nama itu sehingga suatu kali, saat sedang duduk di kantin Barret, aku mendengar sebuah celetukan yang mengatakan "Rupanya yang namanya Win Wan Nur itu anaknya heboh juga".

Ketika baru masuk kuliah, kami semua berusaha menampilkan kesan pertama yang kuat agar terlihat 'keren' dan hebat di depan teman-teman baru.'Keren' pada waktu itu artinya adalah menjadi imitasi Amerika. Kalau berbicara musik, 'keren' artinya berbicara tentang Guns'n Roses, Metallica, Nirvana, Mariah Carey atau Madonna. Kalau berbicara sepatu artinya 'Nike' atau 'adidas' yang meskipun buatan jerman tapi banyak dipakai para pemain NBA. Dan tentu saja LEVI's ketika berbicara soal celana. Sebegitu hebatnya Amerika di mata kami waktu itu sampai-sampai kamipun merasa hebat kalau ada sesuatu yang berkaitan dengan kami memiliki bau-bau Amerika. Contohnya seorang temanku yang berperawakan kecil dan berkacamata bernama Akhyar yang berasal dari Sigli yang merasa begitu bangga dengan kota asalnya karena kalau sedikit dipaksakan nama kotanya mirip kata 'Ugly' yang merupakan nama depan sebuah Grup Band asal amerika yang saat itu sedang naik daun sat itu "Ugly Kid Joe'. Kalau kami sedang bercanda dan saling meremehkan dan sedikit menyentuh SARA (lintas teritorial,menurut istilah kami). Kepadaku Akhyar sering bilang "Liat aku orang Sigli kan paten,'Sigli Kid Joe'", cobak kee, Takengon...mana cocok 'Takengon Kid Joe'". Begitu hebatnya Amerika di mata kami saat itu, sehingga kata 'Sigli' yang diplesetkan dari 'Ugly' pun karena ada kaitannya dengan Amerika sudah bisa dijadikan sebuah kebanggan.

Kalau dinilai dengan kacamata sekarang, ketika mengatakan itu, Akhyar pasti akan ditertawakan, karena apa yang ditunjukkan Akhyar kawanku ini akan tampak konyol sebab kata 'Ugly' yang dia plesetkan menjadi kata 'Sigli' itu sendiri artinya 'JELEK'. Tapi saat itu bahasa Inggris bagi kami masih terlihat seperti bahasanya para Dewa, jadi apapun yang diucapkan dengan bahasa Inggris terdengar keren. Saat itu jangankan mengatakan 'Ugly', membuat tanda jari tengah sambil mengatakan 'Fuck You' saja terdengar hebat. Karena itulah Akhyar merasa bangga dengan nama kotanya, sebab nama kotanya 'Sigli', mirip bunyi kata 'Ugly' yang berbau Amerika.

Pada saat itu segala sesuatu yang berbau Amerika tampak sedemikian hebatnya karena semua media di Indonesia memang mengarahkan opini komunikannya ke arah sana. Koran, Majalah, TV, Film dan lain sebaginya semuanya mengarahkan opini kalau pusat peradaban itu adalah Amerika.

Tapi bagi kami di Banda Aceh yang merupakan kota pinggiran, Amerika itu terlalu jauh jaraknya. Saat itu, Kota yang anak mudanya merupakan imitator utama Amerika di negara ini adalah Jakarta. Sehingga bagi kami saat itu, segala sesuatu yang diasosiasikan dengan kata 'keren' itu artinya adalah Jakarta. Tapi bagi kami saat itu, bahkan Jakarta pun masih terlalu di awang-awang karena rata-rata anak muda di Aceh yang seumuranku saat itu sedikit sekali yang pernah berkunjung ke luar Aceh. Sehingga saat itu segala sesuatu yang berasal dari luar Aceh terlihat hebat di mata kami. Jangankan Bandung, Semarang, Jogja atau kota-kota lain di pulau Jawa. Orang yang berlibur apalagi yang pernah tinggal di Medan sajapun saat itu dalam pandangan kami sudah terlihat luar biasa.

Begitulah saat kami ngumpul-ngumpul di saat jeda penataran, ketika menogobrol dan berbincang-bincang biasanya kami berusaha sedikit menyinggung nama-nama Kota di luar Aceh yang pernah kami kunjungi. Aku sendiri cukup lumayan karena sering ke Medan dan kalau sesekali ada temanku yang bercerita tentang Medan, aku bisa terlibat dan itu cukup membuatku terlihat hebat di mata teman-temanku yang belum pernah ke Medan. Tapi Medan adalah kota terjauh yang pernah kukunjungi, saat ada teman yang lain berbicara tentang Bandung apalagi Jakarta, aku jadi minder sendiri.

Teman baru kami yang berasal dari kota-kota di luar Aceh, meskipun tidak kami akui secara terbuka, sebenarnya kami pandang cukup tinggi. Teman semacam ini misalnya Medi Arjuna, teman kami asal Aceh Tenggara yang bersekolah di Medan, terlihat hebat di mata kami, apalagi dia pernah tinggal setahun di Bandung. Karena Medi yang menamatkan SMA nya di Medan dan pernah setahun tinggal di Bandung ini tampak begitu hebatnya, beberapa teman dari daerah bahkan tanpa sadar mengikuti logat bicara Medi yang terdengar beda dan dengan sendirinya terlihat 'gaya', padahal logat Medi sebenarnya bukan logat Medan atau Bandung, tapi Logat Kuta Cane, Aceh Tenggara.

Untuk anak Aceh sendiri, yang terlihat paling keren tentu saja anak Banda Aceh, anak daerah agak dipandang remeh. Tapi pandangan seperti itu juga tidak berlaku untuk semua daerah. Untuk beberapa daerah justru anak yang berasal dari sana justru dipandang lebih 'keren' dibanding anak Banda Aceh sendir. Daerah yang dipandang keren itu adalah Lhok Seumawe dan Langsa juga Kuala Simpang yang berada dalam kabupaten yang sama. Anak-anak dari dua kota itu dipandang tinggi karena biasanya anak-anak yang berasal dari kota itu orang tuanya bekerja di perusahaan raksasa semacam Arun, Mobil, PIM atau Pertamina. Mereka ini biasa berlibur ke Medan bahkan sampai ke Jakarta.

Kalau anak-anak yang berasal dari kota-kota itu dipandang keren, tidak demikian halnya dengan anak-anak yang berasal dari Blang Pidie, Labuhan Haji, Panton Labu, Sigli, Mereudu dan lain sebagainya, anak-anak yang berasal dari kota-kota ini tidak terlalu dianggap. Takengon apalagi, karena Takengon ini sudah daerah, Gayo pula. Di Banda Aceh secara umum relasi antara orang Gayo dan Orang Aceh memang tidak terlalu harmonis, Orang Gayo di Banda Aceh, seperti juga orang Pidie, dikenal tidak suka berbaur, bergaul hanya sesama orang Gayo sendiri, ngekos juga begitu harus sesama orang Gayo sendiri juga.

Mahasiswa asal Gayo di Banda Aceh rata-rata kuliah di Universitas Swasta. Kalaupun di Unsyiah paling-paling hanya di FKIP atau PAAP D3-nya fakultas ekonomi yang dianggap jurusan buangan karena untuk masuk kesana tidak melalui jalur UMPTN biasa. Jarang ada orang Gayo yang kuliah di jurusan yang agak lumayan semacam ekonomi, hukum, pertanian atau MIPA apalagi di jurusan Favorit Kedokteran dan Teknik, orang gayo hampir tidak ada. Tapi seperti anomali banyaknya anak SMA 2 yang lulus di Teknik tahun 1992, tahun inipun anak Gayo yang kuliah di Teknik cukup banyak juga, di Teknik Sipil sendiri kami ada 5 orang, ditambah 3 orang di Teknik Kimia dan satu di Teknik Mesin, total di angkatan kami orang Gayo ada 10 orang.

Tapi dari kami ber-10, tidak satupun yang bersekolah di Gayo, kami semua sekolah di Banda Aceh. Fenomena ini sebenarnya terjadi bukan karena rekan-rekan Gayo kami yang sekolah di Takengon, Blang kejeren dan kota-kota Gayo lainnya kualitasnya lebih rendah dari kami yang bersekolah di Banda Aceh. Tapi kami orang Gayo yang bersekolah di Banda Aceh lebih tahu seluk cara agar lulus UMPTN, bagaimana mensiasatinya dan yang paling penting kami punya jalur untuk mengatur nomor ujian supaya bisa ujian rame-rame di ruang yang sama.

Jadi meskipun kami yang lulus di Teknik dianggap adalah anak-anak yang istimewa dan sebagian anggapan itu memang ada benarnya, tapi sebenarnya bukanlah semuanya anak yang betul-betul punya kemampuan istimewa, beberapa dari kami lulus di Teknik karena waktu UMPTN dalam seruangan kelas kami mengerjakan soal dengan bekerja sama dan saling membagi jawaban. Sebenarnya yang benar-benar punya kemampuan istimewa di teknik itu cuma beberapa orang saja, sisanya, selain yang masuk ke Fakultas Teknik dengan memakai 'gacok', sebutan untuk 'Joki', rata-rata kami anak Banda Aceh masuk ke Fakultas Teknik dengan cara ikut ujian bersama-sama seperti yang saya gambarkan di atas.

Aku sendiri ketika ikut UMPTN juga melakukan praktek seperti itu, tapi aku tidak melakukannya dengan teman-temanku dari SMA 2. Aku diajak bergabung dalam kelompok oleh seorang teman yang kukenal di Bimafika, bimbingan belajar menjelang UMPTN yang paling terkenal di Banda Aceh. Kebanyakan dari anggota kelompokku yang berjumlah 20 orang ini tidak pernah kukenal sebelumnya. Tapi dengan didasari oleh kepentingan yang sama kamipun bergabung, menyusun strategi ujian, membagi kami ber-20 dalam kelompok yang mengerjakan masing masing bidang studi, ada yang mengerjakan Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Aku kebagian Matematika.

Setelah kelompok itu dibentuk lalu kami menyusun strategi untuk memilih ruang ujian, ruang terbuka dan gedung besar semacam lapangan Lampineung aatu Gelanggang Mahasiswa adalah lokasi ujian yang kami hindari. Sebaliknya kami mencari lokasi Ujian yang di sekolah-sekolah dengan menempatkan 20 orang peserta dalam satu ruangan kelas. Dan kamipun memilih ikut ujian di SMA negeri Darusussalam. Lalu strategi agar kami semua ditempatkan dalam satu kelaspun di susun. Karena kami tidak punya 'orang dalam' yang bisa mengatur urutan formulir yang kami dapatkan. Kamipun mengaturnya dengan cara tradisional yaitu antri sesuai nomer urut. Kami lihat nomer berapa yang sudah keluar dengan kelipatan 20-an, lalu kami masuk di belakangnya dan kamipun mendapatkan yang kami harapkan. Tapi sialnya, perhitungan kami agak salah sehingga kami terpisah dalam dua kelas. dan strategipun disusun ulang. Karena kekuatan kami sekarang berkurang 50%.

Nasib buruk kami semakin jelas ketika ternyata karena banyaknya indikasi kecurangan di UMPTN-UMPTN sebelumnya, untuk tahun 1992, nomor urutan duduk dalam ruangan tidak dibuat urut sesuai formulir tapi diacak sedemikian rupa. maka hancur leburah segala strategi kami. Ketika ujian kami memang masih tetap bisa bekerja sama, tapi sama sekali tidak maksimal. Akibatnya semua rencana kami berakhir jauh dari harapan. Dari kami ber 20- hanya aku sendiri yang lulus.

Sepertinya kebijakan baru ini pulalah yang membuat, komposisi mahasiswa teknik angkatan 92 cukup bervariasi. Ada banyak anak-anak dari daerah yang diterima tahun ini. Karena jika tidak ada kebijakan seperti itu, aku yakin setidaknya setengah dari kelompokku akan lulus di Teknik.

Mengenai pandangan umum tentang anak-anak yang berasal dari Lhok Seumawe, Langsa atau Kuala Simpang yang kami anggap hebat, seringkali ada benarnya. Contohnya ketika penataran, di bagian kelompok kami yang semuanya berisi anak Teknik Sipil, mahasiswa baru yang terlihat paling menonjol, yang sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbobot dan juga menjawab pertanyaan secara berbobot pula adalah dua orang mahasiswa baru asal Kuala Simpang. Keduanya teman sekelas di SMA, yang satu namanya Fahmi Rizal dan yang satu lagi Teuku Nurul Fuadi. Fahmi yang berbadan lebih kecil, terlihat lebih intelek dan lebih menonjol dari Nurul Fuadi yang badannya bongsor cenderung gendut sehingga mengingatkan kami pada bentuk makhluk langka yang bernama badak Sumatra, karena kemiripan ini kami kadang menjulukinya Badek II, label 'II' untuk membedakannya dengan 'badak' yang satu lagi, Ruziyandri alias'Kades' yang adalah teman sekolahku asal SMA 2.

Karena sosok dua anak Kulala Simpang di angkatan kami yang sangat menonjol selama penataran itulah, ketika selesai penataran P4 oleh abang-abang himpunan kami diminta untuk memilih komisaris tingkat kami yang disingkat KOMTING, yang terpikir di kepala kami adalah kedua anak Kula Simpang itu. Sebetulnya kami anak teknik sipil ingin memilih Fahmi sebagai komisaris kami. Tapi saat hari pemilihan yang memang tidak pernah direncanakan, Fahmi kebetulan tidak datang. Jadi kamipun mencalonkan temannya Teuku Nurul Fuadi sebagai calon komisaris angkatan kami. Tapi beberapa anak SMA 3 mencalonkan anak SMA mereka yang bernama Irfan yang sewaktu Ospek diberi nama 'Abua' yang berarti 'Pak De'. Jadilah pemilihan itu memiliki dua calon Teuku Nurul Fuadi dan Abua dan kamipun bersiap untuk melakukan pemungutan suara. Tapi menjelang pemungutan suara tiba-tiba tanpa diduga muncul calon independen yang mengajukan dirinya sendiri untuk menjadi komisaris. Calon independen ini bernama 'Virgo Erlando Purba' Orang Batak asal Siantar yang memiliki ciri khas rambut selalu berminyak dan disisir rapi seperti bos-bos mafia.

Kami yang tidak terlalu mengenal Virgo karena sewaktu penataran dia ada di kelompok anak-anak teknik mesin saling berpandangan melihat kejadian ini. Tapi panitia pemilihan menerima usulnya dan sekarang calonnya menjadi tiga. Saat dilakukan pemilihan Teuku Nurul Fuadi menang telak mengalahkan Abua, Virgo sendiri hanya mendapat satu suara, yaitu suaranya sendiri.

Sejak saat itu Nurul Fuadi pun resmi menjadi KOMTING angkatan kami dan sejak itu pula dia kehilangan nama pemberian orang tuanya karena sejak saat itu kami tidak pernah lagi memanggilnya Nurul, tapi KOMTING. Setelah kami bergaul lebih akrab, ternyata KOMTING kami yang selama penataran tampak begitu hebat dan kami pikir berwibawa ternyata sama sekali berbeda 180 derajat dengan aslinya. Karakter yang dia tunjukkan selama penataran ternyata hanya tipuan kesan pertama. Tapi apa boleh buat, kami sudah memilihnya sebagai KOMTING dan kamipun harus konsekwen dengan pilihan kami 'Istiqamah' istilah islamnya.

Teuku Nurul Fuadi memangku jabatan KOMTING-nya hanya selama 6 bulan saja. Dia kehilangan jabatannya karena secara sepihak dikudeta oleh ABUA, sehabis liburan semester pertama. Saat 'kudeta'itu terjadi, bukan hanya KOMTING yang merasa aneh kehilangan jabatannya, tapi juga kami semua, seluruh mahasiswa teknik Sipil angkatan 92. Kami sama sekali tidak pernah merasa memilih ABUA, tapi ABUA sendiri dengan keahliannya mendekati abang leting, secara sepihak mengaku dialah KOMTING angkatan 92. Tapi karena memang didapatkan secara tidak sah, ABUA pun memangku jabatannya tidak terlalu lama, karena kami melengserkannya dan kamipun memilih Komisaris baru. Saat pemilihan kedua ini, karakter asli kami semua sudah mulai terlihat, tidak ada lagi 'tipuan' kesan pertama. Jadi saat itu yang kami pilih adalah yang kami rasa paling tepat untuk mewakili kami, yaitu manejer tim bola kami Isvandi yang belakangan namanya kami plesetkan menjadi 'Pepeng' seperti nama pembawa acara kuis jari-Jari.

Tapi meskipun jabatan KOMTING di angkatan kami telah berpindah beberapa kali, panggilan nama KOMTING tetap kami pakai untuk memanggil Teuku Nurul Fuadi dan panggilan itu tetap tidak berubah sampai hari ini.

Begitulah Tulisan bagian pertama ini tentang anak-anak seangkatan kuliahku Sipil 92, kalau ada waktu, nanti akan aku lanjutkan ke bagian berikutnya.

Wassalam

Win Wan Nur

1 komentar:

Bhumi A Sing mengatakan...

salam kenal bang win wan nur...