Melanjutkan tulisan saya sebelumnya tentang pengaruh Lingkungan Subjektif terhadap karakter seseorang.
Manusia itu adalah makhluk yang unik, manusia tidak seperti makhluk lain yang perkembangan kehidupan badani dan kehidupan mentalnya berjalan seiring, statis dan linear. Manusia berbeda, untuk manusia kehidupan badani sangat berbeda dengan perkembangan mental.
Seperti pada makhluk lain perkembangan badani manusia juga bersifat statis dan linear, tapi tidak dengan perkembangan mental. Untuk makhluk yang bernama manusia perkembangan mentalnya bersifat dinamis.
Dalam bukunya Antara Tindakan dan Pikiran, Jean Piaget tokoh terbesar dalam psikologi perkembangan mengatakan Bahkan dinamisme itu sendiri merupakan sifat khas dari kehidupan mental manusia.
Pembentukan karakter dan perilaku seorang manusia bukanlah proses seperti sim salabim jadi begitu saja. Karakter manusia dibentuk sejak lahir melalui proses mental yang panjang. Perkembangan intelektual bukanlah sebuah proses singkat, bukan masa dewasa atau perkuliahan yang membuat warna intelektual seseorang tapi masa kanak-kanaknya. Karena di masa kanak-kanaklah warna mental dibentuk.
Menurut Piaget, pembentukan karakter atau mental diawali dengan berkembangnya kognitif dengan tahapan-tahapannya mulai dari tahap sensori motorik, operasi pemikiran kongkret sampai operasi-operasi pemikiran formal.
Pada tahap-tahap di ataslah karakter dan cara pandang terhadap dunia dibentuk. Pada masa-masa ini nilai-nilai yang hidup di lingkungan tumbuh akan menjadi cetak biru cara pandang terhadap dunia dan nilai-nilai yang dianut ketika manusia itu dewasa.
Pemahaman seperti di atas adalah landasan saya untuk memahami perilaku Kosasih, serinen saya yang lahir, tumbuh dan besar di Jawa. Melalui pemahaman itu saya bisa melihat dengan jelas kalau Kosasih ini adalah orang yang sudah demikian melekat dengan budaya Jawa yang membentuknya. Karena itulah ketika pertama kali dia mengaku Gayo, dia benar-benar terlihat asing asing di mata saya.
Rasa asing ini muncul karena Kosasih selalu menampilkan bahkan memaksakan tata nilai yang sangat Jawa. Dan terbukti semua kata-kata dan sikapnya sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai yang ada di lingkungan tumbuhnya, apapun yang berhubungan tentang Jawa adalah sesuatu yang begitu agung baginya.
Begitu menyatunya Kosasih dengan kehidupan Jawa, sehingga sejelas apapun dan serasional apapun kita uraikan tentang jijiknya kita terhadap sopan santun ala Jawa, bagi Kosasih Jawa tetap pusat peradaban dunia, segala bentuk sopan santun yang berlaku di masyarakat apapun di dunia ini harus mengikuti etika dan sopan santun ala Jawa.
Kosasih persis 'J' Ph.D asal Belanda yang ketika mengetahui saya jijik terhadap daging babi dan ketika dia mengetahui dalam daging babi ada cacing pita mengatakan kalau dimasak dengan benar, cacing itu akan mati sendiri. Sebaliknya menurut 'J' justru daging sapi yang lebih berbahaya, karena beresiko terkena anthrax.
Ajaibnya Kosasih adalah dia tidak mengenal yang namanya etika dasar dalam aturan hidup manusia dimana saja, hukum yang berlaku adalah
hukum kesetaraan. Kamu boleh begitu dan itu benar; maka orang lain juga boleh begitu.
Bagi Kossih, dia boleh bebas menilai Gayo dan Aceh dari kacamata Jawanya, tapi ketika kita memandang budayanya dari kacamata kita, itu adalah fasis, itu adalah rasis, itu adalah penzaliman . Saat kita menunjukkan cara pandang kita terhadap budayanya, Kosasih persis seperti 'J' lari kemana-mana dengan mengatakan bahwa bukti statistik menunjukkan kalau orang yang memiliki angka harapan hidup paling tinggi di dunia adalah warga negara-negara pemakan babi. Menurut 'J', justru sebaliknya, negara-negara Islam yang warganya hanya makan makanan 'daging sehat' (diucapkan dengan nada sinis) alias non-babi yang tercatat sebagai negara-negara dengan angka harapan hidup yang rendah.
Sekarang mari kita baca kembali kata-kata yang diucapkan oleh Kosasih, bukankah sebenarnya kata-kata itu sangat asing jika dipahami dengan cara pandang Kegayoan kita, sebab semua nilai dalam setiap kata-kata Kosasih tidak bisa terlepas dari nuansa Jawa.
Kata-kata adalah simbol, simbol dari peradaban yang membentuknya. Sebuah kata yang samapun akan berbeda maknanya jika kita pandang dari sudut budaya yang berbeda.
Ambil contoh misalnya ketika Kosasih menyebut kata 'caci maki'. Jika saya mencoba memahami kata ini melalui cara pandang Kegayoan saya, jelas ocehan Kosasih tentang saya yang mencaci makinya tidak akan mampu saya pahami. Karena jika ocehan Kosasih ini saya pahami melalui cara pandang Kegayoan saya, jelas saya tidak pernah memakinya. Yang saya lakukan hanyalah menunjukkan fakta bahwa Kosasih adalah demikian adanya.
Tapi jika saya mencoba memposisikan sebagai jawa, saya bayangkan diri saya memakai blangkon dan wajah yang tersenyum dengan keris di belakang punggung saya. Saya langsung bisa memahami ocehan Kosasih. karena jika saya memahami dengan cara pandang Kejawaan Kosasih, saya akan terlihat seperti orang yang memakan Blangkon terbalik, Keris yang dipakai seperti rencong di depan dan wajah yang terang-terangan menunjukkan tidak senang. Dan dipandang dari segi adi luhungnya budaya jawa, apa yang saya lakukan itu adalah pelecehan. yang saya lakukan itu adalah sebuah 'caci maki'.
Jadi jika kita lihat Kosasih begitu gusar membaca tulisan saya setelah dia mencanangkan perang terhadap saya. Maka kita harus memaknainya sebagai kegusaran khas orang Jawa.
Budaya Jawa adalah budaya yang dibentuk oleh penindasan yang terus menerus. Orang Jawa yang tertindas tidak dibolehkan oleh penindasnya untuk mengungkapkan rasa tidak senangnya secara terus terang. Rasa hormat pada penindas harus tetap dikedepankan. Lingkungan SUBJEKTIF yang seperti itu mengharuskan orang Jawa untuk mengenakan topeng paling tebal dalam setiap sikap dan perilakunya. Perilaku seperti ini membuat Orang jawa merasa paling merasa tidak aman jika hidup tanpa topeng. Karena itulah sulit sekali mengetahui maksud sebenarnya orang Jawa jika kita hanya melihat ucapan dan mimik wajahnya. Kalau orang Jawa tersenyum penuh hormat pada kia, hampir pasti bukan seperti itu pula dihatinya.
Jika orang Batak mengatakan "kita Saudara Lae", maka sampai mati dia bisa kita percaya sebagai saudara. Orang Jawa tidak begitu. Seperti Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung yang memungutnya sebagai pekerja dan menjadikan Kebo Ijo sahabatnya sebagai kambing hitam. Maka ketika orang seperti Kosasih mengatakan kepada kita "kita Saudara bang", maka saat itu kita harus cepat waspada, apa sebenarnya yang sedang dia incar dari kita.
Jadi ketika Kosasih yang uring-uringan menuduh saya mencaci makinya, menuduh kita membuat dia tidak berani lagi mengungkapkan pemikirannya, mengatakan pikirannya diperkosa, usulannya kita sunat. Semua kegusaran itu harus kita pahami sebagai kegusaran seorang Jawa yang saya comoti topeng-topengnya.
Ucapan Kosasih ini sebenarnya adalah ocehan khas orang Jawa yang tersudut yang berusaha menyelamatkan diri dengan cara khas budayanya.
Budaya Jawa yang dibentuk oleh LINGKUNGAN SUBJEKTIF seperti yang saya gambarkan sebelumnya telah membentuk suatu strategi mempertahankan diri yang khas. Cara orang Jawa yang tersudut dalam membela diri adalah dengan memohon-mohon dan menghiba, memancing belas kasihan dan simpati lawan, mengungkit-ungkit segala kebaikan masa lalunya dan menempatkan diri sebagai korban. Bahkan kalau perlu untuk mencari selamat, mereka juga tidak tabu memuji-muji lawan. Sambil tentu saja mengatakan semua akan lebih baik kalau dia diselamatkan.
Semua strategi pertahanan diri khas Jawa ini semua terangkum indah di balasan Kosasih atas analisa-analisa saya.
Untuk lebih mengerti maksud saya, bacalah tulisan Kosasih di bawah ini;
"Sebenarnya pada awal diskusi dengan Win Wan Nur saya begitu bahagia karena itulah didong sesungguhnya, penuh kesantunan dan pemikiran yang kritis, begitu indahnya, bahkan saya sempat kagum dengan Beliau dan bahkan saya rela memposting seluruh tulisannya kepada blog saya, tapi kemudian Win Wan Nur melakukan perubahan, ntah ada setan apa yang ada pada dirinya, dan saya hanya menyesalkannya saja, bahwa ternyata sudah terlihat intelektualnya seperti apa sesungguhnya. Rasanya kalau orang Gayo khususnya dan Aceh pada umumnya dipimpin oleh orang seperti dia maka anak cucu kita akan sengsara."
Strategi seperti ini seringkali sukses karena lawan yang dihadapi tersentuh dengan cara mereka; tapi tentu saja tidak mempan dipraktekkan kepada saya yang sangat mengenal Jawa. Saya tahu persis, serinen SEDARAH saya ini adalah orang yang dibentuk dalam budaya dan tata nilai Jawa, jadi saat dia menghiba, memuji saya dan mengungkit kebaikan-kebaikan yang telah poernah dia buat di masa lalu terhadap saya, dibalik rapinya blangkon yang dia tunjukkan dimuka, ada sesuatu yang berantakan di belakang, di balik wajah senyum dan menghibanya saya sadar sepenuhnya dan tahu persis...Kosasih Ali Abu Bakar tetap menyembunyikan sebilah keris di balik punggungnya yang setiap saat siap dia tusukkan ke perut saya.
Untuk menilai ocehan seorang Jawa seperti Kosasih kita tidak boleh hanya menilai dari ucapan terakhirnya saja. Tapi kita harus memahami latar belakangnya, siapa dia, ketika dia mengatakan saya mencaci makinya, kita harus kritis bertanya bukankah yang terjadi sebaliknya. Kalau Kosasih mangatakan dia tidak diperbolehkan bebas mengekspresikan dan mengungkapkan pemikirannya, kita harus bertanya sebaliknya, ketika dia mengatakan pikirannya diperkosa, kita juga harus bertanya sebaliknya, ketika dia mengatakan usulannya disunat, kita juga harus bertanya sebaliknya.
Itulah menariknya diskusi di milis, ketika Kosasih terkaing-kaing mengatakan dia dizalimi dan lain sebagainya, kita tinggal membuka arsip-arsip tulisannya. Dan disana segera terlihat;
Bukankah Kosasih yang selama ini memaki orang Aceh sebagai GAM Bodoh?
Bukankah Kosasih yang sebenarnya memaki kita dengan mengatakan NAD itu sebagai provinsi termiskin ke 2?
Bukankah Kosasih yang sebenarnya memaki kita dengan mengatakan NAD itu tidak lebih hidup karena belas kasihan orang karena ada tsunami ?
Bukankah Kosasih yang sebenarnya memaki kita dengan mengatakan kebodohan GAM dengan membawa rakyat Aceh selama 30 tahun lebih ?
Bukankah Kosasih yang sebenarnya memaki kita dengan mengatakan Aceh onani karena tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat ?
Jadi sebenarnya sekarang siapa yang memaki siapa?
Untuk membela diri dan membersihkan nama saya dari segala tudingan Kosasih. Saya yang Gayo dan memahami yang namanya kehormatan juga dengan cara khas LINGKUNGAN SUBJEKTIF saya yang GAYO tentu saja berbeda dengan cara Kosasih yang Njawani. Saya yang Gayo jelas merasa jijik dengan cara membela diri yang memutarbalikkan fakta, memohon-mohon, menyedih-nyedihkan diri seperti cara Jawanya Kosasih.
Untuk lebih jernih melihat siapa sebenarnya menzalimi dan siap yang dizalimi, siapa yang memperkosa pikiran, siapa yang menyunat usulan bacalah tulisan-tulisan Kosasih; mulai dari #21133 yang menghina orang Aceh dan GAM. #21753, #21760, #21792, #21896, #21285, #21308, #21569, #23201,#23336, #25011,#25079.
Siapapun yang mempercayai rintihan dan hibaan Kosasih yang menempatan diri sebagai korban yang saya zalimi, dan percaya bahwa sayalah yang menzalimi Kosasih, silahkan menuliskan angka-angka yang saya sebutkan di atas di kotak search milis ini dan anda akan melihat sendiri, Kosasih atau saya yang sebenarnya sedang dizalimi.
Soal hinaan dan fitnah yang Kosasih lancarkan terhadap kehormatan Didong Jalu, budaya Gayo yang sangat saya hargai itu, kita juga harus memahami hinaan dan fitnahan Kosasih itu sebagai hinaan dan fitnahan khas Jawa.
Untuk memahami duduk perkara soal budaya Didong Jalu. Perlu kita ketahui, kalau beberapa suku-suku yang mendiami negara yang bernama Indonesia ini, dalam budayanya mereka memiliki kearifan lokal yang menyadari perlunya dibuat saluran untuk melampiaskan perasaan tertekan dan perilaku agresif lainnya. Gunanya dibuat saluran ini apa?...jelas untuk menghindari terjadinya tumpukan rasa tertekan yang masif sehingga menimbulkan ledakan tak terkendali yang bisa menghancurkan semua peradaban.
Kearifan lokal seperti inilah yang menciptakan budaya Didong Jalu di Gayo, Seudati di Aceh, Perang berkuda bersenjatakan tombak kayu tumpul di Sumba, budaya sabung ayam di Bali, bahkan cara berbicara yang keras dan terus terangnya orang Batakpun bisa dilihat dari kacamata ini.
Pertandingan olah raga adalah budaya universal yang berfungsi sebagai saluran untuk mengalirkan perasaan tertekan dan agresifitas manusia ini.
Tapi kearifan seperti itupun hanya bisa dinilai maknanya oleh orang yang merasakan kearifan seperti itu dalam hidupnya. Bagi orang yang terbiasa berpura-pura, menganggap masalah seperti itu tidak ada, kearifan lokal yang menyediakan saluran pengeluaran untuk perasaan tertekan itu dianggap sebagai sesuatu yang Barbar dan tidak berbudaya, bahkan dianggap memalukan, jika budaya seperti itu eksis dalam budayanya.
Karena itulah, ketika Kosasih mengatakan "tidak ada dalam adat gayo yang sesungguhnya menggunakan didong jalu untuk mencaci maki, perubahan ini terjadi karena adanya hasutan dari Snouck Rounge". Perlu kita ketahui, pernyataan merendahkan budaya Gayo yang bernama Didong Jalu semacam itu, adalah berasal dari cara pandang Kosasih yang sedemikian memuja Jawa dan memandang rendah semua budaya lain. Termasuk budaya nenek moyangnya. Cara pandang yang rendah terhadap budaya Gayo inilah yang membuat Kosasih memandang rendah seni Didong Jalu.
Kosasih berpandangan seperti ini karena dalam budaya Jawa yang membesarkannya tidak seperti budaya Gayo, Aceh, Bali, Sumba dan Batak yang menyediakan saluran untuk melepaskan perasaan tertekan. Budaya Jawa yang bentuk nyatanya bisa kita lihat dari setiap tulisan dan pemikiran Kosasih adalah budaya yang menutup habis semua saluran yang memungkinkan untuk bisa mengalirkan rasa tertekan seperti ini.
Jadi Kalau kita amati lebih teliti, apa yang diungkapkan Kosasih di atas, itu jelas adalah cara pikir Jawa yang mengada-ada dengan mengadopsi secara gebyah uyah tulisan tentang Didong yang dimuat di Serambi ditulis oleh Cik Yusra dan kembali diingatkan oleh seorang miliser asal Gayo beberapa waktu yang lalu. Padahal faktanya Kosasih sama sekali tidak tahu apa-apa, ketika Kosasih berbicara tentang Snouck Hurgronje, sebenarnya Kosasih sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan, buktinya nama 'Snouck Hurgronje' saja dia tulis 'Snouck Rounge'.
Soal didong ini , jikapun Snouck Hurgronje punya andil atas evolusi syairnya yang menjadi lebih terang-terangan seperti sekarang, tapi andilnya itu kecil sekali. Andil terbesar dalam perubahan itu adalah perubahan sosial yang terjadi di Gayo beserta semua masalahnya. Untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan Kosasih ini semata adalah FITNAH terhadap BUDAYA GAYO, mari kita amati syair didong dari tahun 1900-1955, kita akan menemukan di sana tidak ada perubahan yang terlalu mencolok dalam pemilihan halus dan kerasnya kata-katanya.
Perubahan syair didong menjadi lebih terus terang meyerang pribadi lawan terjadi mulai tahun 1955, ketika Didong mulai dipakai sebagai alat untuk mendukung partai politik tertentu. Sejak saat itu syair didongpun mengikuti irama agresifitas persaingan antar kelompok di Gayo yang meningkat.
Kalau kita mengetahui fakta ini, maka akan dengan sendirinya ucapan Kosasih di atas terlihat aneh dan seperti datang tiba-tiba dari ruang angkasa. Adalah sebuah pernyataan sok tahu seorang yang begitu mengagungkan adi luhungnya Budaya Jawa yang sangat merendahkan dan menghina ketika Kosasih Ali Abu Bakar, orang Gayo yang lahir dan besar di Jawa ini mengatakan bahwa kata-kata terus terang (yang menurut budaya Jawa yang dianut Kosasih disebut caci maki) yang dengan indah ditampilkan oleh Ceh-Ceh besar Gayo sebagai "tidak ada dalam adat gayo yang sesungguhnya".
Lebih menghina lagi, tanpa berdasarkan pada data dan fakta apapun, Kosasih mengatakan perubahan syair Didong Jalu yang menjadi lebih terus terang ini terjadi adalah karena adanya hasutan dari Snouck Hurgronje (oleh Kosasih ditulis Snouck Rounge). Saat mengatakan ini Kosasih sebenarnya sedang menuduh Ceh-Ceh besar Gayo di semua kelop didong terkenal hari ini, mulai dari Sidang Temas, Arita, Winar Bujang, Teruna dan lain-lain sebagai orang-orang tolol yang gampang dihasut. Ini sama saja dengan dia mengatakan Ceh-Ceh semacam Mahlil, M.Din, Toet dan Lakiki itu sedemikian bodoh dan tololnya sehingga dengan mudah bisa dihasut oleh Hurgronje begitu saja.
Saya yang orang Gayo, lahir dan besar di Gayo, besar dalam kearifan lokal Gayo tentu saja menilai Didong Jalu dan semua Ceh yang membesarkannya dengan penuh rasa hormat berdasarkan kacamata Kegayoan saya. Saya tentu merasa tersinggung dengan ucapan Kosasih yang karena lahir di Jawa ini merasa budayanya lebih hebat dari budaya saya. Saya tersinggung karena saya tahu persis bahwa Didong Jalu adalah salah satu kearifan lokal dalam budaya saya, kearifan lokal yang berguna untuk meredam agresifitas terselubung, agar agresifitas itu tidak tumbuh menjadi kegilaan massal.
Cara pandang awal saya terhadap Didong yang seperti itu membuat saya bisa menilai dengan jernih berdasarkan fakta yang ada, bahwa perkembangan syair didong yang belakangan ini jauh lebih terus terang dibandingkan tahun 1900-an dulu, tidak lain adalah karena memang zaman yang mengharuskannya begitu. Sesuai fungsinya sebagai saluran melepaskan rasa tertekan dan agresifitas terselubung, maka logikanya ketika arus yang masuk semakin besar tentu ukuran saluran pembuangannya juga harus dibesarkan. Dan itulah yang dengan sempurna bisa dijawab oleh kearifan lokal Gayo melalui Ceh-Ceh besarnya. (Kutipan perubahan syair didong mulai dari 1900-1989 ada ditulis oleh Bowen dalam bukunya Sumatran Politics and Poetics yang terbit tahun 1991: Baca Bab 8, Poetry and Contest).
Jika budaya Gayo yang oleh orang berpikiran sempit semacam Kosasih ini terlihat sebagai budaya yang barbar dan tidak beradab. Budaya Jawa yang lembut dan halus sekilas memang sangat indah jika dilihat dipermukaan. Tapi jika kita masuk lebih dalam, kita akan menemui betapa berbahayanya budaya seperti ini, budaya semacam ini adalah cikal bakal dari perilaku sadis dan tidak berperi kemanusiaan.
Kenapa bisa demikian?...Ini bisa kita analisa dari permasalahan setiap psikopat dan pembunuh semacam Ryan. Penyebab perilakunya yag menyimpang itu adalah rasa tertekan yang dia alami sejak kecil yang tidak pernah diungkapkan. Sejak kecil, lingkungannya tidak pernah memberi peluang buat Ryan untuk mengungkapkan perasaan tertekannya, setiap perasaan tertekan yan baru muncul dia harus menyembunyikannya, datang lagi disembunyikan lagi, begitu terus. Sementara perasaan tertekan seperti itu sifatnya panas dan membakar dan yang namanya perangkat mental manusia itu bukanlah sebuah tempat penyimpan panas dengan kapasitas dan kekuatan tidak terbatas.Akibat dari banyaknya perasaan tertekan yang harus disembunyikan, kapasitas mental manusia yang seperti Ryan ini menjadi seperti kepundan gunung berapi yang bisa meledak setiap saat. Suatu saat jika kapasitas mental itu tidak dapat menampung semua rasa tertekan yang datang, diapun akan meledak dengan dahsyat. Dan itulah yang terjadi pada Ryan, saat dewasa dan dia mulai merasa punya kekuatan, ketika itulah rasa tertekannya itu dia lampiaskan.
Karena itulah dalam psikoanalisa, untuk mengobati orang yang sakit jiwa, yang dilakukan oleh seorang psikoanalis adalah mengeluarkan sedikit demi sedikit masalah yang menumpuk di jiwa pasiennya.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar