hari ini saya membaca sebuah tulisan dari seorang peneliti di Aceh Institute bernama Fajran Zain yang dia beri judul POLITIK PROFIT-TAKING. dalam tulisan ini Fajran menyoroti panasnya situasi yang terjadi di Aceh di saat menjelang pemilu seperti sekarang ini yang ditandai dengan banyaknya kekerasan yang menurut Fajran tidak lain adalah sebuah rancangan dari Jakarta, tapi orang Aceh tidak menyadarinya, malah sibut bertarung sendiri.
Persis seperti yang dikatakan Fajran, itu pulalah yang saya rasakan terhadap situasi di Aceh saat ini. Orang Aceh sibuk bertarung sendiri sesama orang Aceh dan orang Aceh lupa kalau lawan mereka yang sebenarnya adalah Jakarta.
Saat ini banyak orang Aceh yang tidak setuju dengan MoU Helsinki, yang merasakan itu sebagai bentuk kekalahan Aceh dari Jakarta. Tapi di Jakarta sendiri jauh lebih banyak lagi yang tidak setuju dengan MoU Helsinki, banyak kelompok ultra nasionalis di sana yang merasa bahwa MoU Helsinki ini adalah bentuk pengkhianatan penyelenggara negara terhadap NKRI.
Beberapa kelompok berpengaruh di Jakarta yang sangat tidak sepakat dan merasa terhina dengan ditandatanganinya MoU Helsinki ini melakukan segala daya dan upaya agar MoU ini batal. Bagaimana caranya?...yang termudah tentu saja dengan memancing supaya Aceh sendiri melanggarnya, sehingga mereka punya alasan untuk melanggarnya pula.
Pancingan inilah yang saya lihat sangat intens mereka lakukan belakangan ini, terutama menjelang pemilu yang tidak lama lagi. Emosi dan kesabaran orang Aceh sekarang benar-benar sedang mereka uji. Tugas mereka serasa lebih mudah karena mereka juga tahu persis kalau gubernur Aceh adalah orang yang dalam menghadapi masalah sangat suka mengedepankan emosi.
Pancingan ini mereka lakukan dari segala lini, baik langsung di dunia nyata untuk mengaduk emosi masyarakat umum maupun di dunia maya untuk memancing emosi masyarakat intelektual. Mereka juga tahu persis di komunitas dunia maya mana para intelektual, aktivis, pegiat LSM dan politikus Aceh berkumpul. Lalu komunitas itulah yang mereka sasar.
Yang menjengkelkan saya adalah dalam melakukan pancingan ini salah satu umpan yang digunakan oleh Jakarta adalah Gayo suku saya. Fenomena "minorities within minorities" dalam relasi Aceh dan Gayo, belakangan ini saya lihat benar-benar dieksplioitasi oleh Jakarta untuk kepentingan mereka.
Beberapa waktu yang lalu di dunia maya ada seorang Gayo yang lahir besar di Jawa, yang menggunakan kegayoannya untuk memancing rasa sentimen kaum intelektual Aceh terhadap suku kami. Dia melakukan itu seolah-olah seperti sedang memaparkan pemikirannya, seolah sedang berusaha membuat opini baru. Padahal yang terlihat jelas sekali yang sedang dia lakukan tidak lain hanyalah untuk memancing emosi para penghuni milis yang berisi segala macam kaum intelektual Aceh yang dia tahu persis kapasitasnya di dunia nyata. Sasaran jelas h supaya komunitas milis ini membenci dia yang dia gambarkan sebagai representasi dari suku Gayo, sehingga komunitas inipun akan membenci suku Gayo secara keseluruhan.
Apa yang dipraktekkan oleh Jakarta di milis juga gencar dilakukan di dunia nyata. Informasi-informasi seperti yang saya baca di berbagai media dunia maya. Itu pula yang saya temukan disampaikan kepada masyarakat di Gayo sana. Sehingga tidak heran, sekarang di beberapa tempat telah muncul kelompok-kelompok militan yang sangat membenci Aceh dan siap berperang dengan Aceh yang dalam persepsi mereka adalah sekelompok orang yang sangat membenci Gayo, sebagaimana yang dipropagandakan oleh orang-orang semacam para propagandis yang marak diberbagai media dunia maya beberapa waktu yang lalu.
Bedanya, jika propaganda mereka di media dunia ini banyak mendapat perlawanan kritis dan bisa dipatahkan. Propaganda mereka di dunia nyata berlangsung mulus dan sempurna tanpa sedikitpun perlawanan dari pemerintah Aceh yang memang menjadi sasaran pembusukan mereka. Bukannya membantu memadamkan, pemerintah Aceh melalui kebijakan-kebijakannya yang aneh dan tidak membumi justru semakin menguatkan argumen-argumen propaganda mereka.
Yang saya lihat, kKetika mereka melakukan propaganda semacam itu terhadap orang Aceh, jelas mereka tidak sedang bermaksud untuk mengubah opini orang Aceh agar menjadi sama dengan opini yang seolah sedang mereka bangun. Mereka melakukan itu, sekali lagi samata hanya untuk mengaduk emosi, targetnya jelas adalah supaya Aceh yang emosinya naik kemudian menyerang Gayo. Inilah yang menjadi sasaran utama mereka, lalu saat itu terjadi, dengan mengatasnamakan GAYO, mereka punya alasan untuk minta perlindungan dari Jakarta.
Ketika mempraktekkan taktik ini, Jakarta juga rupanya sangat memperhatikan perkembangan isu internasional. Dulu saat histeria dunia terhadap bencana tsunami masih sedemikian kuatnya. Mereka tidak melakukan taktik ini karena mereka tahu persis saat itu Aceh masih menjadi pusat perhatian dunia, setiap gerakan kecil yang tidak wajar yang mereka lakukan akan segera mengundang perhatian dan kecaman. Tapi sekarang Jakarta sangat tahu, negara-negara di dunia sudah mulai kembali disibukkan oleh urusan rumah tangga mereka masing-masing. Yang paling aktual sekarang bagaimana menghadapi krisis ekonomi terberat sepanjang sejarah yang sudah di depan mata. Isu utama politik internasional juga sekarang sudah kembali ke 'khittah' asalnya,Timur tengah ditambah dengan isu nuklir Iran dan Korea Utara. Urusan Aceh dan Jakarta, seperti yang sudah-sudah kembali menjadi prioritas kesekian. Kalaupun sekarang Jakarta mulai berani mengusik Aceh lagi, perhatian internasional memang ada, tapi kualitas perhatian itu tidak lagi seintens awal-awal tsunami dulu.
Perkembangan seperti ini sangat disadari sepenuhnya oleh Jakarta, tapi sebaliknya dengan kita di Aceh. Seperti yang ditulis oleh Fajran, para elit baik di pemerintahan maupun ditingkat politisi di Aceh rata-rata tidak menyadarinya. Kita malah sibuk ribut sesama kita sendiri dan tidak menyadari kalau saat ini kita sudah larut dalam taktik dan langgam permainan Jakarta.
Wassalam
Win Wan Nur
Rabu, 25 Februari 2009
Minggu, 22 Februari 2009
Rama Candi Dasa Kemewahan yang Sederhana
Bagi turis asal eropa, Bali adalah sebuah pulau tujuan wisata yang khas dan unik.
Image Bali di mata mereka adalah image sebuah pulau yang hijau, alam yang asri, budaya yang eksotik, penduduk yang ramah, dan bersahaja. Bali di mata mereka, tidak seperti Malaysia yang menjual resort wisata artifisial atau Thailand yang tidak bisa melepaskan diri dari citra wisata prostitusi.
Para pengelola hotel-hotel, resort dan restoran di Bali rata-rata menangkap image seperti ini dengan baik dan merekapun bisa mengaplikasikannya dengan sempurna dalam konsep hotel dan restoran yang mereka mereka, baik dalam hal desain maupun pelayanan.
Lalu, seperti biasa saat aku menghilang dari peredaran, itu artinya aku sedang bekerja, menemani para turis yang menjadi klienku melakukan perjalanan wisata.
Kemarin, aku menemani klienku melakukan perjalanan wisata di Bali. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah kawasan Bali Timur, di sana kami mengunjungi Tenganan, sebuah desa Bali Aga, sebutan untuk orang Bali asli yang bukan keturunan imigran dari Jawa yang pindah ke Bali pasca kedatangan islam dan runtuhnya kerajaan Majapahit.
Di Bali Timur, kami menginap di sebuah Hotel yang bernama Hotel Rama Candi Dasa yang memiliki restoran bernama Garpu.
Hotel Rama Candi Dasa dan Restoran Garpu-nya yang terletak di desa Candi Dasa, kabupaten Karangasem, Bali.
Kepada para pelanggannya, manajemen hotel ini menawarkan konsep desain dan pelayanan menyatu dengan alam, saling menyapa dengan lingkungan sekitar, serta kental dengan nilai-nilai lokal.
Kamar Hotel dibuat kental dengan nuansa Bali, ranjang didekorasi dengan kelambu yang khas, ruangan kamar dihiasi dengan tanaman hidup serta pemandangan yang langsung menarah ke laut.
Bagian taman, koridor yang menghubungkan kamar-kamar hotel dengan restoran dibuat seperti jembatan kayu di hutan bakau yang di kanan-kirinya ditumbuhi tanaman tropis nan eksotis, mulai dari pisang hias, bunga jepun sampai pandan duri dengan karnya yang menonjol keluar yang hanya tumbuh di pantai. Pada bagian tertentu, taman ini dipercantik dengan tanaman teratai berbunga merah jambu yang tumbuh di dalam kolam.
Restoran dibangun tepat dipinggir pantai, sejajar dengan kolam renang yang dinaungi pohon-pohon nyiur melambai. Saat sedang menikmati sarapan pagi atau makan malam, deburan ombak dan hembusan angin laut langsung dapat kita dengar dan rasakan. Pada pagi hari sembari menikmati tegukan jus jeruk dan roti dengan selai atau mentega Selandia Baru sebagai sarapan. Tepat di bawah jendela, kita bisa menyaksikan nelayan yang menaikkan perahu jukungnya ke pasir setelah semalaman di laut menangkap ikan.
Seluruh dinding restoran dibuat dari kaca transparan, sehingga pulau Tapekong yang luasnya cuma dua hektar (kira-kira seluas pulau Rubiah di Sabang) juga bisa kita lihat di kejauhan, tampak seperti ikan paus yang sedang menyembul di permukaan.
Konsep menyatu dengan alam serta kental dengan nilai-nilai lokal ini juga terlihat jelas dari penampilan para pelayan di restoran ini yang tidak seperti Luna Maya atau VJ Rianti yang cantik berlebihan. Mereka hanyalah gadis-gadis setempat yang berpakaian dan berdandan apa adanya sebagaimana yang mereka pakai dalam keseharian. Wajah mereka bersih dari segala kosmetik dan bibir juga demikian, dibiarkan alami tanpa dipulas gincu yang membuatnya tampak merah menantang.
Semua tampak begitu alami dan sederhana, tapi segala kesederhanaan yang ditawarkan oleh hotel ini justru membuat para pelanggan seperti saya yang menginap di sana merasa betah dan nyaman.
Wassalam
Win Wan Nur
Image Bali di mata mereka adalah image sebuah pulau yang hijau, alam yang asri, budaya yang eksotik, penduduk yang ramah, dan bersahaja. Bali di mata mereka, tidak seperti Malaysia yang menjual resort wisata artifisial atau Thailand yang tidak bisa melepaskan diri dari citra wisata prostitusi.
Para pengelola hotel-hotel, resort dan restoran di Bali rata-rata menangkap image seperti ini dengan baik dan merekapun bisa mengaplikasikannya dengan sempurna dalam konsep hotel dan restoran yang mereka mereka, baik dalam hal desain maupun pelayanan.
Lalu, seperti biasa saat aku menghilang dari peredaran, itu artinya aku sedang bekerja, menemani para turis yang menjadi klienku melakukan perjalanan wisata.
Kemarin, aku menemani klienku melakukan perjalanan wisata di Bali. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah kawasan Bali Timur, di sana kami mengunjungi Tenganan, sebuah desa Bali Aga, sebutan untuk orang Bali asli yang bukan keturunan imigran dari Jawa yang pindah ke Bali pasca kedatangan islam dan runtuhnya kerajaan Majapahit.
Di Bali Timur, kami menginap di sebuah Hotel yang bernama Hotel Rama Candi Dasa yang memiliki restoran bernama Garpu.
Hotel Rama Candi Dasa dan Restoran Garpu-nya yang terletak di desa Candi Dasa, kabupaten Karangasem, Bali.
Kepada para pelanggannya, manajemen hotel ini menawarkan konsep desain dan pelayanan menyatu dengan alam, saling menyapa dengan lingkungan sekitar, serta kental dengan nilai-nilai lokal.
Kamar Hotel dibuat kental dengan nuansa Bali, ranjang didekorasi dengan kelambu yang khas, ruangan kamar dihiasi dengan tanaman hidup serta pemandangan yang langsung menarah ke laut.
Bagian taman, koridor yang menghubungkan kamar-kamar hotel dengan restoran dibuat seperti jembatan kayu di hutan bakau yang di kanan-kirinya ditumbuhi tanaman tropis nan eksotis, mulai dari pisang hias, bunga jepun sampai pandan duri dengan karnya yang menonjol keluar yang hanya tumbuh di pantai. Pada bagian tertentu, taman ini dipercantik dengan tanaman teratai berbunga merah jambu yang tumbuh di dalam kolam.
Restoran dibangun tepat dipinggir pantai, sejajar dengan kolam renang yang dinaungi pohon-pohon nyiur melambai. Saat sedang menikmati sarapan pagi atau makan malam, deburan ombak dan hembusan angin laut langsung dapat kita dengar dan rasakan. Pada pagi hari sembari menikmati tegukan jus jeruk dan roti dengan selai atau mentega Selandia Baru sebagai sarapan. Tepat di bawah jendela, kita bisa menyaksikan nelayan yang menaikkan perahu jukungnya ke pasir setelah semalaman di laut menangkap ikan.
Seluruh dinding restoran dibuat dari kaca transparan, sehingga pulau Tapekong yang luasnya cuma dua hektar (kira-kira seluas pulau Rubiah di Sabang) juga bisa kita lihat di kejauhan, tampak seperti ikan paus yang sedang menyembul di permukaan.
Konsep menyatu dengan alam serta kental dengan nilai-nilai lokal ini juga terlihat jelas dari penampilan para pelayan di restoran ini yang tidak seperti Luna Maya atau VJ Rianti yang cantik berlebihan. Mereka hanyalah gadis-gadis setempat yang berpakaian dan berdandan apa adanya sebagaimana yang mereka pakai dalam keseharian. Wajah mereka bersih dari segala kosmetik dan bibir juga demikian, dibiarkan alami tanpa dipulas gincu yang membuatnya tampak merah menantang.
Semua tampak begitu alami dan sederhana, tapi segala kesederhanaan yang ditawarkan oleh hotel ini justru membuat para pelanggan seperti saya yang menginap di sana merasa betah dan nyaman.
Wassalam
Win Wan Nur
Rabu, 18 Februari 2009
Berbuat Tidak Harus Berorientasi Pada Hasil
Saat saya menulis surat terbuka untuk Irwandi, seorang teman berkomentar "Aku suka sama tulisan kee ni Win, tapi siapa yang bisa menjamin tulisan kee ni bisa sampe ke Meja Irwandi?". begitu kata teman saya ini. Intinya, sebenarnya teman saya ini ingin mengatakan 'ngapain susah-susah nulis kalau sudah tahu hasilnya tidak terlalu bisa diharapkan'.
Dulu saat saya juga mulai menulis segala macam argumen untuk menolak ide pendirian provinsi ALA, seorang teman lain juga mengatakan hal yang kurang lebih sama, "buat apa kee susah-susah menolak, sementara orang-orang yang ingin mendirikan Provinsi ALA sudah terkonsolidasi sedemikian kuatnya, sudah membangun jaringan yang sangat kuat baik di pusat maupun di Gayo sendiri. Sudah begitu mereka didukung oleh dana yang kuat pula". Pokoknya si teman ini ingin mengatakan kalau apa yang saya lakukan itu adalah sesuatu yang sia-sia.
Menurut saya sendiri, apa yang dikatakan oleh kedua teman saya ini adalah bagian dari cara pandang keduanya dalam melihat dunia. Cara pandang yang berbeda dengan cara pandang saya sendiri. Kedua teman saya ini memandang dunia dengan cara pandang mainstream yang berlaku di dunia modern saat ini yang sangat dipengaruhi oleh filsafat pragmatisme-nya Amerika. Setiap usaha yang dilakukan harus mendapatkan hasil yang setimpal.
Sementara saya sendiri sudah lama sekali meninggalkan cara pandang seperti itu. Ketika berbuat sesuatu, saya sudah tidak pernah lagi memikirkan apa hasil dari usaha yang saya lakukan itu nantinya. Dalam melakukan sesuatu, bagi saya yang penting adalah apa yang saya lakukan itu BENAR menurut kriteria saya. Dan apa yang saya anggap benar itu akan saya lakukan dengan sebaik-baiknya dan saya nikmati prosesnya. Soal hasil, terlalu banyak faktor yang mempengaruhinya, banyak dari faktor-faktor itu yang tidak bisa kita perkirakan sebelumnya. Jadi soal hasil saya terbiasa menyerahkan kepada takdir saja. Soal proses, baru itu urusan saya.
Dalam membesarkan anak misalnya. Saya sama sekali tidak peduli nanti sudah besar anak saya mau jadi apa. Yang terpenting bagi saya saat ini adalah memberikan pendidikan dan kasih sayang yang terbaik buat dia. Apakah dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang terbaik itu nantinya anak saya pasti jadi lebih baik dari anak-anak lain yang mendapatkan pendidikan dan kasih sayang tidak sebaik dia?...tidak ada yang menjamin. Sayapun tidak pernah mempedulikan itu, yang jelas tugas saya saat ini memberikan pendidikan dan kasih sayang terbaik buat dia, soal hasil nanti biar takdir yang menetukannya.
Saat menulis surat terbuka terhadap Irwandi atau ketika saya menyatakan penentangan secara terbuka terhadap ide pembentukan provinsi ALA. Saya juga didasari oleh cara pandang yang sama. Saya hanya melakukan apa yang memang seharusnya saya lakukan. Soal hasil saya tidak mempedulikan.
Soal ini, Logika yang saya anut berbeda seratus delapan puluh derajat dengan logika yang digunakan kedua teman saya. Jika mereka mengatakan buat apa menulis dan capek-capek menentang kalau sudah tau akan gagal. Saya berpikir, kalau sudah berbuat saja sudah hampir pasti gagal apalagi kalau kita diam menunggu nasib dan tidak berbuat apa-apa.
Jadi ketika menulis surat terbuka pada Irwandi, saya tahu persis kalau adalah tidak mungkin surat itu bisa mengubah langsung cara pandang Irwandi yang makin lama makin kelihatan mental inlandernya yang minder terhadap orang asing berkulit putih dan berambut pirang. Yang setiap titahnya dituruti oleh Irwandi dengan takzimnya seperti titah para dewa. Irwandi jelas tidak pernah menyadari kalau para bule penasehatnya itu cuma bisa berpikir dalam batas pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional.
Bule-bule di sekitar Irwandi itu sebenarnya sama seperti para Ekonom IMF ketika mereka membuat teori ekonomi, teori yang mereka buat jelas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional. Pengalaman yang khas ini menggantung di belakang pikiran mereka, terproyeksi keluar melalui teorinya seolah-olah situasi pengalaman itu sendiri sifatnya 'universal'. Orang Amerika misalnya, rata-rata taat hukum dan katakan saja punya sikap ABC terhadap bisnis; jadi waktu orang Amerika berpikir ekonomi, tanpa sadar mereka sebetulnya telah memperhitungkan sikap 'taat hukum' & 'sikap ABC'tadi MESKIPUN tidak secara nyata menyebutnya. Kedua sikap itu adalah sikap masyarakat Amerika sana yang sudah begitu dari dulu secara terberi.
Ketika Irwandi menggunakan kecerdasan para penasehat asingnya itu dalam soal pengelolaan hutanpun ya sama saja. Ketika para penasehat Irwandi membuat teori kehutanan, teori kehutanan yang mereka buat jelas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional. Dalam pikiran mereka mana terpikir orang di pinggir hutan yang hidup dari menebang satu dua batang kayu, dalam pikiran mereka tidak terbayangkan kalau satu batang pohonpun tidak boleh ditebang, akan banyak orang yang hidup di sekitar hutan yang keparan. Jadi waktu orang asing penasehat Irwandi berpikir soal hutan, tanpa sadar mereka sebetulnya telah memperhitungkan sikap 'kesadaran atas global warming', 'hutan tropis adalah paru-paru dunia' & 'sikap ABC lainnya' yang MESKIPUN tidak secara nyata menyebutnya. Sebenarnya itu adalah sikap masyarakat mereka di negerinya sana yang sudah begitu secara terberi.
Karena itulah banyak kebijakan Irwandi yang tidak membumi, dan konsep Aceh Green-nya ditertawakan orang di kanan-kiri.
Sama dengan teori-teori yang dipakai para pegiat ALA di Jakarta sana. Ketika membayangkan penyelesaian seperti apa yang cocok untuk diterapkan di Aceh. Mereka yang sejenis dengan Kosasih yang membuat teori-teori itu, tidak pernah benar-benar merasakan apa yang terjadi di Aceh. Inilah yang mendasari keluarnya teori 'PERANG BODOH' yang legendaris itu. Itu terjadi karena tanpa sadar mereka mendasarkan segala teorinya pada sikap dan kesadaran masyarakat di Jakarta dan pulau jawa sana, yang memang sudah begitu dari dulu secara terberi. Karena itu pulalah segala macam argumen dan teori mereka tidak membumi.
Masalahnya orang-orang yang berpikiran seperti inilah yang mayoritas memegang kendali di negeri ini. Orang-orang waras yang bisa menilai segala sesuatu dengan jernih, sebisa mungkin dijauhkan dari sekitar mereka, karena keberadaan orang-orang seperti ini akan merusak rencana yang mereka pikir baik dan mereka pikir sudah sama sekali tidak ada cacat celanya.
Tapi meskipun sudah begitu keadaannya, tidak ada alasan buat saya untuk berhenti menyampaikan ide dan pemikiran saya. Tidak ada alasan bagi saya untuk berhenti melawan mereka, meski saya tahu peluang saya untuk menang kecil sekali.
Bagi saya, meskipun saya gagal kali ini. Itu sama sekali bukan masalah besar. Yang penting saya tidak tinggal diam melihat proses kehancuran suku dan bangsa saya. Kalaupun kali ini saya tidak berhasil, paling tidak nanti saya bisa memperlihatkan pada anak dan cucu saya. Kalau dalam proses kehancuran yang dialami oleh suku dan bangsanya itu saya tidak tinggal diam saja. Saya sudah berusaha. Dan mudah-mudahan nanti anak cucu saya bisa terinspirasi dan melanjutkan apa yang sudah saya lakukan hari ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Dulu saat saya juga mulai menulis segala macam argumen untuk menolak ide pendirian provinsi ALA, seorang teman lain juga mengatakan hal yang kurang lebih sama, "buat apa kee susah-susah menolak, sementara orang-orang yang ingin mendirikan Provinsi ALA sudah terkonsolidasi sedemikian kuatnya, sudah membangun jaringan yang sangat kuat baik di pusat maupun di Gayo sendiri. Sudah begitu mereka didukung oleh dana yang kuat pula". Pokoknya si teman ini ingin mengatakan kalau apa yang saya lakukan itu adalah sesuatu yang sia-sia.
Menurut saya sendiri, apa yang dikatakan oleh kedua teman saya ini adalah bagian dari cara pandang keduanya dalam melihat dunia. Cara pandang yang berbeda dengan cara pandang saya sendiri. Kedua teman saya ini memandang dunia dengan cara pandang mainstream yang berlaku di dunia modern saat ini yang sangat dipengaruhi oleh filsafat pragmatisme-nya Amerika. Setiap usaha yang dilakukan harus mendapatkan hasil yang setimpal.
Sementara saya sendiri sudah lama sekali meninggalkan cara pandang seperti itu. Ketika berbuat sesuatu, saya sudah tidak pernah lagi memikirkan apa hasil dari usaha yang saya lakukan itu nantinya. Dalam melakukan sesuatu, bagi saya yang penting adalah apa yang saya lakukan itu BENAR menurut kriteria saya. Dan apa yang saya anggap benar itu akan saya lakukan dengan sebaik-baiknya dan saya nikmati prosesnya. Soal hasil, terlalu banyak faktor yang mempengaruhinya, banyak dari faktor-faktor itu yang tidak bisa kita perkirakan sebelumnya. Jadi soal hasil saya terbiasa menyerahkan kepada takdir saja. Soal proses, baru itu urusan saya.
Dalam membesarkan anak misalnya. Saya sama sekali tidak peduli nanti sudah besar anak saya mau jadi apa. Yang terpenting bagi saya saat ini adalah memberikan pendidikan dan kasih sayang yang terbaik buat dia. Apakah dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang terbaik itu nantinya anak saya pasti jadi lebih baik dari anak-anak lain yang mendapatkan pendidikan dan kasih sayang tidak sebaik dia?...tidak ada yang menjamin. Sayapun tidak pernah mempedulikan itu, yang jelas tugas saya saat ini memberikan pendidikan dan kasih sayang terbaik buat dia, soal hasil nanti biar takdir yang menetukannya.
Saat menulis surat terbuka terhadap Irwandi atau ketika saya menyatakan penentangan secara terbuka terhadap ide pembentukan provinsi ALA. Saya juga didasari oleh cara pandang yang sama. Saya hanya melakukan apa yang memang seharusnya saya lakukan. Soal hasil saya tidak mempedulikan.
Soal ini, Logika yang saya anut berbeda seratus delapan puluh derajat dengan logika yang digunakan kedua teman saya. Jika mereka mengatakan buat apa menulis dan capek-capek menentang kalau sudah tau akan gagal. Saya berpikir, kalau sudah berbuat saja sudah hampir pasti gagal apalagi kalau kita diam menunggu nasib dan tidak berbuat apa-apa.
Jadi ketika menulis surat terbuka pada Irwandi, saya tahu persis kalau adalah tidak mungkin surat itu bisa mengubah langsung cara pandang Irwandi yang makin lama makin kelihatan mental inlandernya yang minder terhadap orang asing berkulit putih dan berambut pirang. Yang setiap titahnya dituruti oleh Irwandi dengan takzimnya seperti titah para dewa. Irwandi jelas tidak pernah menyadari kalau para bule penasehatnya itu cuma bisa berpikir dalam batas pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional.
Bule-bule di sekitar Irwandi itu sebenarnya sama seperti para Ekonom IMF ketika mereka membuat teori ekonomi, teori yang mereka buat jelas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional. Pengalaman yang khas ini menggantung di belakang pikiran mereka, terproyeksi keluar melalui teorinya seolah-olah situasi pengalaman itu sendiri sifatnya 'universal'. Orang Amerika misalnya, rata-rata taat hukum dan katakan saja punya sikap ABC terhadap bisnis; jadi waktu orang Amerika berpikir ekonomi, tanpa sadar mereka sebetulnya telah memperhitungkan sikap 'taat hukum' & 'sikap ABC'tadi MESKIPUN tidak secara nyata menyebutnya. Kedua sikap itu adalah sikap masyarakat Amerika sana yang sudah begitu dari dulu secara terberi.
Ketika Irwandi menggunakan kecerdasan para penasehat asingnya itu dalam soal pengelolaan hutanpun ya sama saja. Ketika para penasehat Irwandi membuat teori kehutanan, teori kehutanan yang mereka buat jelas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional. Dalam pikiran mereka mana terpikir orang di pinggir hutan yang hidup dari menebang satu dua batang kayu, dalam pikiran mereka tidak terbayangkan kalau satu batang pohonpun tidak boleh ditebang, akan banyak orang yang hidup di sekitar hutan yang keparan. Jadi waktu orang asing penasehat Irwandi berpikir soal hutan, tanpa sadar mereka sebetulnya telah memperhitungkan sikap 'kesadaran atas global warming', 'hutan tropis adalah paru-paru dunia' & 'sikap ABC lainnya' yang MESKIPUN tidak secara nyata menyebutnya. Sebenarnya itu adalah sikap masyarakat mereka di negerinya sana yang sudah begitu secara terberi.
Karena itulah banyak kebijakan Irwandi yang tidak membumi, dan konsep Aceh Green-nya ditertawakan orang di kanan-kiri.
Sama dengan teori-teori yang dipakai para pegiat ALA di Jakarta sana. Ketika membayangkan penyelesaian seperti apa yang cocok untuk diterapkan di Aceh. Mereka yang sejenis dengan Kosasih yang membuat teori-teori itu, tidak pernah benar-benar merasakan apa yang terjadi di Aceh. Inilah yang mendasari keluarnya teori 'PERANG BODOH' yang legendaris itu. Itu terjadi karena tanpa sadar mereka mendasarkan segala teorinya pada sikap dan kesadaran masyarakat di Jakarta dan pulau jawa sana, yang memang sudah begitu dari dulu secara terberi. Karena itu pulalah segala macam argumen dan teori mereka tidak membumi.
Masalahnya orang-orang yang berpikiran seperti inilah yang mayoritas memegang kendali di negeri ini. Orang-orang waras yang bisa menilai segala sesuatu dengan jernih, sebisa mungkin dijauhkan dari sekitar mereka, karena keberadaan orang-orang seperti ini akan merusak rencana yang mereka pikir baik dan mereka pikir sudah sama sekali tidak ada cacat celanya.
Tapi meskipun sudah begitu keadaannya, tidak ada alasan buat saya untuk berhenti menyampaikan ide dan pemikiran saya. Tidak ada alasan bagi saya untuk berhenti melawan mereka, meski saya tahu peluang saya untuk menang kecil sekali.
Bagi saya, meskipun saya gagal kali ini. Itu sama sekali bukan masalah besar. Yang penting saya tidak tinggal diam melihat proses kehancuran suku dan bangsa saya. Kalaupun kali ini saya tidak berhasil, paling tidak nanti saya bisa memperlihatkan pada anak dan cucu saya. Kalau dalam proses kehancuran yang dialami oleh suku dan bangsanya itu saya tidak tinggal diam saja. Saya sudah berusaha. Dan mudah-mudahan nanti anak cucu saya bisa terinspirasi dan melanjutkan apa yang sudah saya lakukan hari ini.
Wassalam
Win Wan Nur
Selasa, 17 Februari 2009
Dipenjara Karena Membela Kehormatan Aceh dan Gayo...Kenapa Tidak?
Usaha Kosasih untuk menghancurkan Aceh dan Gayo kini memasuki babak baru. Setelah sekian lama dia bersembunyi di balik topeng budi halusnya, akhirnya kini saya berhasil melucuti topeng terakhirnya dan Kosasihpun kini mau tidak mau terpaksa muncul dengan wajah aslinya yang kejam dan ganas. Wajah kejam dan ganas yang selama ini dia sembunyikan dengan rapi. Sekarang Kosasih sudah tanpa malu-malu lagi menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya yang mau menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Untuk saya sendiri, ketika saya memutuskan untuk memulai proyek pelucutan Topeng Kosasih. Saya sangat sadar kalau ancaman seperti yang dikeluarkan Kosasih ini memang hanya tinggal menunggu waktu saja dan sudah saya perkirakan memang akan muncul dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena sudah saya perkirakan inilah, saya benar-benar berhitung dengan cermat kapan waktunya yang tepat buat saya untuk memulai proyek pelucutan topeng Kosasih ini. Untuk memulai proyek ini saya terlebih dahulu menunggu momen yang tepat. Momen yang tepat itu adalah Momen ketika saya bisa memastikan kalau saya tidak perlu lagi hadir secara fisik dalam usaha yang selama ini saya bangun. Jadi kalaupun dalam usaha saya membuka topeng Kosasih ini saya menghadapi situasi yang paling buruk, anak dan istri saya tidak akan lagi bermasalah dari segi ekonomi. Dan sekarang momen itu sudah tiba, usaha yang saya jalani sekarang sebenarnya tidak lagi membutuhkan kehadiran saya secara fisik, kalaupun sekarang saya masih menjalani sendiri, itu lebih hanya karena adanya unsur petualangan dalam usaha ini dan itu tidak ingin saya lewatkan.
Tapi ketika saya melihat ada petualangan baru yang lebih menantang, tentu saja saya sedikitpun tidak keberatan untuk meninggalkan aktivitas saya yang sekarang yang lama-lama sudah mulai membosankan juga.
Membaca ancaman Kosasih, saya seperti menemukan semangat untuk memulai petualangan baru lagi dan yang namanya petualangan baru selalu merupakan hal yang mengasyikkan bagi saya.
Sudah banyak hal yang saya alami, entah itu menjelajahi berbagai hutan dan gunung di negeri ini, mengunjungi berbagai kota di negeri ini dan manca negara sambil mengenal orang-orangnya bahkan saya pernah menjadi gelandangan dalam arti yang sebenarnya. Tapi tinggal di penjara dalam arti yang sebenarnya belum pernah saya rasakan.
pengalaman menjadi gelandangan, terjadi tepat 6 tahun yang lalu pada februari tahun 2003 ketika saya memutuskan pindah ke Bali, setelah seluruh uang saya dan partner asing saya sejumlah 350 juta digelapkan oleh partner bisnis saya, orang Gayo asal Bebesan yang bernama IRUL, yang sekarang saya dengar sudah membuka konter HP di Banda Aceh.
Saat itu saya ke Bali tepat 4 bulan setelah Legian dihantam Bom oleh Amrozi dan kawan-kawan. Saya datang ke Bali pada saat semua orang keluar dari Bali karena kehilangan pekerjaan akibat sepinya kedatangan turis asing yang membuat efek domino ke seluruh segi kehidupan orang Bali. Sampai tukang bakso, tukang ikan dan tukang sayur asal Jawapun tidak bisa lagi menghidupi diri di Bali karena tidak ada orang yang membeli dagangan mereka. Saat itu dengan modal hanya 1 juta di kantong saya menggelandang kemana-mana.
Pada masa menggelandang itu banyak sekali pengalaman menarik yang saya dapati. Kesempatan yang saya dapatkan waktu itu membuat saya bisa mengenal berbagai macam orang di lapisan bawah strata sosial, yang bertahan untuk hidup dengan menggunakan segala potensi dirinya yang mungkin bisa dia olah menjadi uang. Pada masa ini, di lorong-lorong kecil Poppies Lane I dan II, Bene Sari, Sahadewa dan putihnya pasir pantai Kuta saya berkenalan dengan Dian, pelukis jalanan yang berbicara gagap asal Subang yang kualitas lukisannya mengimbangi karya Basuki Abdullah. Saya juga berkenalan dengan dua orang pemuda asal Ambon yang bekerja sebagai gigolo yang akibat pekerjaannya sama sekali tidak bisa lagi tertarik pada perempuan muda, mata mereka hanya tertarik melihat bule-bule yang sudah tua. Saya juga bertemu dan bersahabat dengan seorang penjual narkoba palsu asal Jember yang bertahan hidup dengan menjual hassis palsu yang dia buat dari jamu Jago, Kokain palsu yang dia buat dari bubuk obat sakit kepala naspro yang digiling halus, Ganja palsu dari daun kenikir dan berbagai narkotika palsu lainnnya. Beberapa kali turis asing konsumen teman saya ini merasa tertipu dengan narkoba yang dia beli, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak mungkin mereka bisa melaporkan teman saya ini ke Polisi dengan alasan melakukan penipuan. Beberapa kali pula teman saya ini ditangkap oleh Polisi yang rupanya telah lama mengamati gerak-geriknya, tapi ketika tertangkap dan diketahui ternyata barang bukti hassis yang dijual adalah Jamu Jago, hukuman yang harus diterima teman saya ini adalah disuruh menelan habis barang dagangannya.
Saya sendiri bertahan hidup dengan menjualkan perak milik orang Bali asal Karangasem bernama Bli Made yang entah kenapa merasa prihatin melihat saya dan langsung mempercayakan saya untuk menjajakan peraknya yang bernilai ratusan juta saat dia harus kembali ke kampungnya ke Karangasem untuk mengikuti berbagai upacara keagamaan. Bli Made ini pula yang memberi saya dua cincin perak yang salah satunya saya jadikan mas kawin saat saya menikahi istri saya tahun 2004.
Cukup lama saya menjalani hidup menggelandang seperti ini sampai saya bertemu dengan orang Gayo yang memberi saya tempat disebuah bengkel pembuatan sandal miliknya dan selama 6 bulan saya tinggal di sana tidur diantara spons dan karet material pembuat sandal dan bertahan hidup dengan penghasilan 3000 rupiah sehari. Meskipun banyak orang melihat kehidupan yang saya jalani selama setahun itu sangat jauh dari layak, tapi latar belakang saya sebelumnya membuat saya justru bisa menikmati kehidupan seperti ini, karena bagi saya itu adalah petualangan. Selama masa itu saya belajar soal segala seluk beluk bisnis di Bali, mengenal karakter orang-orangnya membangun jaringan dan akhirnya memiliki usaha sandal sendiri lalu sekarang berekspansi ke usaha Pariwisata dan punya usaha lain di Jakarta.
Ketika Kosasih mengancam akan melaporkan saya ke Polisi. Saya menganggap ancaman ini bukan ancaman main-main, tentu saja kalau itu nanti terjadi sayapun bisa mengajukan bukti-bukti bahwa Kosasihlah yang memulai mencari gara-gara terhadap saya. Tapi seperti yang saya katakan, dalam hukum positif penilaian akhir terhadap suatu masalah hukum akan tetap berada di tangan para aparat penegak hukum. Nah melihat latar belakang Kosasih dan siapa-siapa saja yang ada di belakang Kosasih, saya sama sekali tidak akan kaget kalau dalam pertarungan melalui jalur hukum positif ini sayalah yang akan berada di pihak yang kalah dan mau tidak mau harus mendekam di penjara. Dan setelah saya pelajari latar belakangnya, sayapun sama sekali tidak kaget membaca ulasan Kosasih yang sangat mengetahui detail masa lalu saya.
Kenyataan inilah yang membuat saya sangat antusias. Apalagi setelah saya membaca buku Abal-abal karangan Arswendo Atmowiloto yang berdasarkan atas pengalamannya selama menjalani hukuman Penjara. Melalui buku itu saya melihat ternyata kehidupan penjara itu sangat menarik untuk diamati dan dibukukan. Ketika saya menceritakan hal ini pada istri dan anak saya, istri dan anak sayapun menanggapinya sama antusiasnya dengan saya. Karena suami dan bapak masuk penjara juga akan merupakan hal baru bagi mereka berdua.
Memang sebelumnya saya sudah pernah mengalami tinggal di balik jeruji, tapi saat itu saya ditahan di tahanan militer, bukan tahanan sipil. Tahanan militer ini tidak menarik dan membosankan karena isinya tidak banyak dan yang tidak banyak itupun isi kepalanya persis sama seperti isi kepala saya, karena mereka adalah teman saya sendiri. Sama sekali tidak ada variasi seperti dalam tahanan sipil sebagaimana digambarkan Arswendo dalam buku Abal-Abal-nya. Apalagi dalam tahanan militer itupun saya hanya sempat ditahan satu hari karena oleh masyarakat yang merasa saya dan dua teman saya yang lain ditahan karena membela kepentingan dan hak mereka, memilih bertahan di gedung DPRD sampai kami bertiga di lepaskan. Salah satu teman yang ditahan bersama-sama dengan saya saat itu, bernama LUKMAN AGE yang sekarang bekerja sebagai direktur Aceh Institute.
Yang paling saya ingat saat itu adalah ketika saya diinterogasi oleh petugas militer di sana. Pada akhir interogasi si bapak petugas itu mengatakan kalau seluruh data diri saya yang mereka catat hari itu akan disebarkan ke seluruh Kodim, Korem dan institusi militer lainnya di seluruh Indonesia. Dan karena itu saya tidak akan mudah mendapatkan surat berkelakuan baik. Karena nama saya sudah tercatat dalam buku besar Angkatan Darat, menurut si bapak petugas saya juga akan sulit sekali untuk menjadi pegawai negeri apalagi anggota ABRI. Kebetulan pada waktu itu menjadi pegawai negeri apalagi menjadi anggota ABRI, adalah dua hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di kepala saya. Jadi resiko ini sama sekali tidak ada pengaruhnya buat saya.
Dulu saya ditahan di KODIM hanya karena ledakan emosi masa muda saya yang terpancing saat saya melihat sebuah perusahaan HTI besar milik konglomerat besar Ibrahim Risjad yang bekerja sama dengan Liem Sioe Liong dengan seenak perutnya mencaplok lahan warga Kuta Baro yang oleh perusahaan ini di klaim termasuk lahan kerjanya yang telah disetujui oleh pemerintah pusat di Jakarta. Secara sepihak perusahaan ini memagar lahan milik warga, dan meracuni sapi-sapi milik warga yang mencari makan di lahan yang mereka klaim telah diberikan izin oleh Jakarta untuk mereka kelola. Mengetahui ini sayapun tidak menolak ketika seorang teman mengajak Saya, Lukman dan beberapa teman lainnya untuk mendampingi masyarakat desa ini berdemo ke DPRD Aceh. Saya dan Lukman tertangkap karena kami berdua memegang spanduk secara mencolok tepat di depan hidung para anggota DPRD yang diam seribu basa ketika satu truk pasukan berbaju loreng dari Kodim masuk ke halaman gedung tersebut dan menangkap kami berdua, memegangi tangan dan kaki saya tepat di depan hidung para anggota dewan terhormat tersebut.
Yang membuat saya lebih bersemangat membaca ancaman Kosasih ini adalah ketika saya memahami alasan seandainya kali ini saya benar-benar di penjara.
Kali ini kalau benar saya jadi ditahan nanti, alasan akan lebih personal dan lebih emosional bagi saya, bukan hanya sekedar akibat dari ledakan emosi masa muda. Kali ini, kalau saya benar ditahan nanti, ini akan menjadi sebuah kehormatan dan kebanggaan besar bagi saya sebab kali ini saya ditahan karena membela kehormatan dan harga diri Aceh dan terutama GAYO suku saya sendiri.
Yang lebih istimewa lagi, kalau saya benar dipenjara akibat laporan Kosasih ini, saya yakin ini akan menjadi berita menarik.Seorang blogger provokator yang selama ini memprovokasi dan melecehkan orang Aceh dan orang Gayo. Yang tanpa didukung data yang bisa dipertanggungjawabkan mengatakan kata Aceh berasal dari kata ASU, Orang Aceh hanya bisa ONANI, Didong Jalu yang budaya Gayo menjadi begitu terus terang adalah karena hasutan dari Snouck Rounge (maksudnya Snouck Hurgronje). Justru secara ajaib merasa nama baiknya tercemar karena kalah beradu argumen dengan seorang blogger lain yang mempertahankan harga diri pribadi dan sukunya dan berhasil mementahkan semua argumen kosongnya. Si Blogger Provokator ini kemudian melaporkan lawan debatnya ke polisi dan berhasil memenjarakan lawan yang tidak bisa dia kalahkan di dunia maya. Hmmm...berita semacam ini tentu akan menjadi berita istimewa menjelang akhir masa tugas pemerintahan SBY-Kalla.
Tapi kalau ancaman Kosasih ini hanya gertak sambal saja, ini juga tidak apa-apa. Karena ini sekaligus bisa jadi pelajaran bagi siapapun juga yang mencoba-coba mengusik kehormatan dan harga diri Aceh dan juga GAYO suku saya di berbagai media internet. Karena kalau nanti kedepan ada yang mencoba berbuat seperti itu dan saya menemukannya, mereka harus tahu selama saya masih bebas dan belum dipenjara. Saya bisa pastikan kalau orang sok jago yang mencoba-coba mengusik kehormatan dan harga diri Aceh dan juga GAYO suku saya akan saya buat remuk redam lebih dari yang telah saya lakukan pada Kosasih hari ini. Untuk Kosasih sendiri terus terang saya masih cukup banyak menahan diri, karena untuk Kosasih saya sangat menyadari bahwa sebangsat apapun dia, bagi saya karena darah Gayo yang mengalir di nadinya, Kosasih tetap serinen saya.
Wassalam
Win Wan Nur
Untuk saya sendiri, ketika saya memutuskan untuk memulai proyek pelucutan Topeng Kosasih. Saya sangat sadar kalau ancaman seperti yang dikeluarkan Kosasih ini memang hanya tinggal menunggu waktu saja dan sudah saya perkirakan memang akan muncul dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena sudah saya perkirakan inilah, saya benar-benar berhitung dengan cermat kapan waktunya yang tepat buat saya untuk memulai proyek pelucutan topeng Kosasih ini. Untuk memulai proyek ini saya terlebih dahulu menunggu momen yang tepat. Momen yang tepat itu adalah Momen ketika saya bisa memastikan kalau saya tidak perlu lagi hadir secara fisik dalam usaha yang selama ini saya bangun. Jadi kalaupun dalam usaha saya membuka topeng Kosasih ini saya menghadapi situasi yang paling buruk, anak dan istri saya tidak akan lagi bermasalah dari segi ekonomi. Dan sekarang momen itu sudah tiba, usaha yang saya jalani sekarang sebenarnya tidak lagi membutuhkan kehadiran saya secara fisik, kalaupun sekarang saya masih menjalani sendiri, itu lebih hanya karena adanya unsur petualangan dalam usaha ini dan itu tidak ingin saya lewatkan.
Tapi ketika saya melihat ada petualangan baru yang lebih menantang, tentu saja saya sedikitpun tidak keberatan untuk meninggalkan aktivitas saya yang sekarang yang lama-lama sudah mulai membosankan juga.
Membaca ancaman Kosasih, saya seperti menemukan semangat untuk memulai petualangan baru lagi dan yang namanya petualangan baru selalu merupakan hal yang mengasyikkan bagi saya.
Sudah banyak hal yang saya alami, entah itu menjelajahi berbagai hutan dan gunung di negeri ini, mengunjungi berbagai kota di negeri ini dan manca negara sambil mengenal orang-orangnya bahkan saya pernah menjadi gelandangan dalam arti yang sebenarnya. Tapi tinggal di penjara dalam arti yang sebenarnya belum pernah saya rasakan.
pengalaman menjadi gelandangan, terjadi tepat 6 tahun yang lalu pada februari tahun 2003 ketika saya memutuskan pindah ke Bali, setelah seluruh uang saya dan partner asing saya sejumlah 350 juta digelapkan oleh partner bisnis saya, orang Gayo asal Bebesan yang bernama IRUL, yang sekarang saya dengar sudah membuka konter HP di Banda Aceh.
Saat itu saya ke Bali tepat 4 bulan setelah Legian dihantam Bom oleh Amrozi dan kawan-kawan. Saya datang ke Bali pada saat semua orang keluar dari Bali karena kehilangan pekerjaan akibat sepinya kedatangan turis asing yang membuat efek domino ke seluruh segi kehidupan orang Bali. Sampai tukang bakso, tukang ikan dan tukang sayur asal Jawapun tidak bisa lagi menghidupi diri di Bali karena tidak ada orang yang membeli dagangan mereka. Saat itu dengan modal hanya 1 juta di kantong saya menggelandang kemana-mana.
Pada masa menggelandang itu banyak sekali pengalaman menarik yang saya dapati. Kesempatan yang saya dapatkan waktu itu membuat saya bisa mengenal berbagai macam orang di lapisan bawah strata sosial, yang bertahan untuk hidup dengan menggunakan segala potensi dirinya yang mungkin bisa dia olah menjadi uang. Pada masa ini, di lorong-lorong kecil Poppies Lane I dan II, Bene Sari, Sahadewa dan putihnya pasir pantai Kuta saya berkenalan dengan Dian, pelukis jalanan yang berbicara gagap asal Subang yang kualitas lukisannya mengimbangi karya Basuki Abdullah. Saya juga berkenalan dengan dua orang pemuda asal Ambon yang bekerja sebagai gigolo yang akibat pekerjaannya sama sekali tidak bisa lagi tertarik pada perempuan muda, mata mereka hanya tertarik melihat bule-bule yang sudah tua. Saya juga bertemu dan bersahabat dengan seorang penjual narkoba palsu asal Jember yang bertahan hidup dengan menjual hassis palsu yang dia buat dari jamu Jago, Kokain palsu yang dia buat dari bubuk obat sakit kepala naspro yang digiling halus, Ganja palsu dari daun kenikir dan berbagai narkotika palsu lainnnya. Beberapa kali turis asing konsumen teman saya ini merasa tertipu dengan narkoba yang dia beli, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak mungkin mereka bisa melaporkan teman saya ini ke Polisi dengan alasan melakukan penipuan. Beberapa kali pula teman saya ini ditangkap oleh Polisi yang rupanya telah lama mengamati gerak-geriknya, tapi ketika tertangkap dan diketahui ternyata barang bukti hassis yang dijual adalah Jamu Jago, hukuman yang harus diterima teman saya ini adalah disuruh menelan habis barang dagangannya.
Saya sendiri bertahan hidup dengan menjualkan perak milik orang Bali asal Karangasem bernama Bli Made yang entah kenapa merasa prihatin melihat saya dan langsung mempercayakan saya untuk menjajakan peraknya yang bernilai ratusan juta saat dia harus kembali ke kampungnya ke Karangasem untuk mengikuti berbagai upacara keagamaan. Bli Made ini pula yang memberi saya dua cincin perak yang salah satunya saya jadikan mas kawin saat saya menikahi istri saya tahun 2004.
Cukup lama saya menjalani hidup menggelandang seperti ini sampai saya bertemu dengan orang Gayo yang memberi saya tempat disebuah bengkel pembuatan sandal miliknya dan selama 6 bulan saya tinggal di sana tidur diantara spons dan karet material pembuat sandal dan bertahan hidup dengan penghasilan 3000 rupiah sehari. Meskipun banyak orang melihat kehidupan yang saya jalani selama setahun itu sangat jauh dari layak, tapi latar belakang saya sebelumnya membuat saya justru bisa menikmati kehidupan seperti ini, karena bagi saya itu adalah petualangan. Selama masa itu saya belajar soal segala seluk beluk bisnis di Bali, mengenal karakter orang-orangnya membangun jaringan dan akhirnya memiliki usaha sandal sendiri lalu sekarang berekspansi ke usaha Pariwisata dan punya usaha lain di Jakarta.
Ketika Kosasih mengancam akan melaporkan saya ke Polisi. Saya menganggap ancaman ini bukan ancaman main-main, tentu saja kalau itu nanti terjadi sayapun bisa mengajukan bukti-bukti bahwa Kosasihlah yang memulai mencari gara-gara terhadap saya. Tapi seperti yang saya katakan, dalam hukum positif penilaian akhir terhadap suatu masalah hukum akan tetap berada di tangan para aparat penegak hukum. Nah melihat latar belakang Kosasih dan siapa-siapa saja yang ada di belakang Kosasih, saya sama sekali tidak akan kaget kalau dalam pertarungan melalui jalur hukum positif ini sayalah yang akan berada di pihak yang kalah dan mau tidak mau harus mendekam di penjara. Dan setelah saya pelajari latar belakangnya, sayapun sama sekali tidak kaget membaca ulasan Kosasih yang sangat mengetahui detail masa lalu saya.
Kenyataan inilah yang membuat saya sangat antusias. Apalagi setelah saya membaca buku Abal-abal karangan Arswendo Atmowiloto yang berdasarkan atas pengalamannya selama menjalani hukuman Penjara. Melalui buku itu saya melihat ternyata kehidupan penjara itu sangat menarik untuk diamati dan dibukukan. Ketika saya menceritakan hal ini pada istri dan anak saya, istri dan anak sayapun menanggapinya sama antusiasnya dengan saya. Karena suami dan bapak masuk penjara juga akan merupakan hal baru bagi mereka berdua.
Memang sebelumnya saya sudah pernah mengalami tinggal di balik jeruji, tapi saat itu saya ditahan di tahanan militer, bukan tahanan sipil. Tahanan militer ini tidak menarik dan membosankan karena isinya tidak banyak dan yang tidak banyak itupun isi kepalanya persis sama seperti isi kepala saya, karena mereka adalah teman saya sendiri. Sama sekali tidak ada variasi seperti dalam tahanan sipil sebagaimana digambarkan Arswendo dalam buku Abal-Abal-nya. Apalagi dalam tahanan militer itupun saya hanya sempat ditahan satu hari karena oleh masyarakat yang merasa saya dan dua teman saya yang lain ditahan karena membela kepentingan dan hak mereka, memilih bertahan di gedung DPRD sampai kami bertiga di lepaskan. Salah satu teman yang ditahan bersama-sama dengan saya saat itu, bernama LUKMAN AGE yang sekarang bekerja sebagai direktur Aceh Institute.
Yang paling saya ingat saat itu adalah ketika saya diinterogasi oleh petugas militer di sana. Pada akhir interogasi si bapak petugas itu mengatakan kalau seluruh data diri saya yang mereka catat hari itu akan disebarkan ke seluruh Kodim, Korem dan institusi militer lainnya di seluruh Indonesia. Dan karena itu saya tidak akan mudah mendapatkan surat berkelakuan baik. Karena nama saya sudah tercatat dalam buku besar Angkatan Darat, menurut si bapak petugas saya juga akan sulit sekali untuk menjadi pegawai negeri apalagi anggota ABRI. Kebetulan pada waktu itu menjadi pegawai negeri apalagi menjadi anggota ABRI, adalah dua hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di kepala saya. Jadi resiko ini sama sekali tidak ada pengaruhnya buat saya.
Dulu saya ditahan di KODIM hanya karena ledakan emosi masa muda saya yang terpancing saat saya melihat sebuah perusahaan HTI besar milik konglomerat besar Ibrahim Risjad yang bekerja sama dengan Liem Sioe Liong dengan seenak perutnya mencaplok lahan warga Kuta Baro yang oleh perusahaan ini di klaim termasuk lahan kerjanya yang telah disetujui oleh pemerintah pusat di Jakarta. Secara sepihak perusahaan ini memagar lahan milik warga, dan meracuni sapi-sapi milik warga yang mencari makan di lahan yang mereka klaim telah diberikan izin oleh Jakarta untuk mereka kelola. Mengetahui ini sayapun tidak menolak ketika seorang teman mengajak Saya, Lukman dan beberapa teman lainnya untuk mendampingi masyarakat desa ini berdemo ke DPRD Aceh. Saya dan Lukman tertangkap karena kami berdua memegang spanduk secara mencolok tepat di depan hidung para anggota DPRD yang diam seribu basa ketika satu truk pasukan berbaju loreng dari Kodim masuk ke halaman gedung tersebut dan menangkap kami berdua, memegangi tangan dan kaki saya tepat di depan hidung para anggota dewan terhormat tersebut.
Yang membuat saya lebih bersemangat membaca ancaman Kosasih ini adalah ketika saya memahami alasan seandainya kali ini saya benar-benar di penjara.
Kali ini kalau benar saya jadi ditahan nanti, alasan akan lebih personal dan lebih emosional bagi saya, bukan hanya sekedar akibat dari ledakan emosi masa muda. Kali ini, kalau saya benar ditahan nanti, ini akan menjadi sebuah kehormatan dan kebanggaan besar bagi saya sebab kali ini saya ditahan karena membela kehormatan dan harga diri Aceh dan terutama GAYO suku saya sendiri.
Yang lebih istimewa lagi, kalau saya benar dipenjara akibat laporan Kosasih ini, saya yakin ini akan menjadi berita menarik.Seorang blogger provokator yang selama ini memprovokasi dan melecehkan orang Aceh dan orang Gayo. Yang tanpa didukung data yang bisa dipertanggungjawabkan mengatakan kata Aceh berasal dari kata ASU, Orang Aceh hanya bisa ONANI, Didong Jalu yang budaya Gayo menjadi begitu terus terang adalah karena hasutan dari Snouck Rounge (maksudnya Snouck Hurgronje). Justru secara ajaib merasa nama baiknya tercemar karena kalah beradu argumen dengan seorang blogger lain yang mempertahankan harga diri pribadi dan sukunya dan berhasil mementahkan semua argumen kosongnya. Si Blogger Provokator ini kemudian melaporkan lawan debatnya ke polisi dan berhasil memenjarakan lawan yang tidak bisa dia kalahkan di dunia maya. Hmmm...berita semacam ini tentu akan menjadi berita istimewa menjelang akhir masa tugas pemerintahan SBY-Kalla.
Tapi kalau ancaman Kosasih ini hanya gertak sambal saja, ini juga tidak apa-apa. Karena ini sekaligus bisa jadi pelajaran bagi siapapun juga yang mencoba-coba mengusik kehormatan dan harga diri Aceh dan juga GAYO suku saya di berbagai media internet. Karena kalau nanti kedepan ada yang mencoba berbuat seperti itu dan saya menemukannya, mereka harus tahu selama saya masih bebas dan belum dipenjara. Saya bisa pastikan kalau orang sok jago yang mencoba-coba mengusik kehormatan dan harga diri Aceh dan juga GAYO suku saya akan saya buat remuk redam lebih dari yang telah saya lakukan pada Kosasih hari ini. Untuk Kosasih sendiri terus terang saya masih cukup banyak menahan diri, karena untuk Kosasih saya sangat menyadari bahwa sebangsat apapun dia, bagi saya karena darah Gayo yang mengalir di nadinya, Kosasih tetap serinen saya.
Wassalam
Win Wan Nur
Minggu, 15 Februari 2009
Sipil 92 dan Sepenggal Kisah Warganya
Teknologi informasi yang ada sekarang benar-benar memudahkan. Misalnya aku yang sudah sejak tahun 2002 meninggalkan Aceh dan kehilangan kontak dengan semua teman lama, tiba-tiba sekarang serasa berkumpul dalam satu ruangan lagi karena dipertemukan oleh facebook.
Beberapa waktu yang lalu seorang teman seangkatan kuliahku yang bernama Zulfan, mempost foto-foto kami semasa kuliah dulu. Foto itu dibuat saat aku masih berusia 18 tahun. Dalam foto itu aku terlihat masih sangat kurus dan memiliki wajah yang masih terlihat sangat muda.
Foto-foto yang dipost oleh Zulfan itu langsung mengingatkanku pada masa aku pertama masuk kuliah di tahun 1992. Seolah kejadian itu terjadi baru kemarin, padahal itu sudah terjadi 17 tahun yang lalu, hampir dua kali lipat umurku saat itu.
Situasi pada saat itu sudah sangat berbeda dengan situasi sekarang. Pada masa itu geopolitik dunia dan nasional masih sangat dipengaruhi dengan segala sesuatu yang serba seragam.
Saat pertama kali masuk kuliah kami harus mengenakan pakaian seragam hitam putih, dan diwajibkan untuk mengikuti penataran P4 selama dua minggu penuh, dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore.
Di Unsyiah, kampus terbesar di Aceh yang juga sering disebut jantong hatee rakyat Aceh, Fakultas Teknik adalah Fakultas favorit yang merupakan dambaan hampir semua anak SMA di Banda Aceh. Semasa SMA sebelum kuliah di Fakultas Teknik, aku dan rata-rata teman seangkatanku membayangkan Fakultas Teknik Unsyiah adalah sebuah kampus megah yang memiliki ruang kuliah seperti ruang perkuliahan kampus-kampus di pulau Jawa yang sering kami lihat di film, majalah atau TV.
Jadi, waktu melakukan pendaftaran ulang, ketika disebutkan kalau Penataran P4 untuk kami mahasiswa baru fakultas Teknik Unsyiah diselenggarakan di dalam gedung Aula Lama Fakultas Teknik. Dalam bayanganku gedung Aula Lama itu tentu saja kurang lebih mirip seperti gedung-gedung poerkuliahan di kampus-kampus besar lainnya di pulau Jawa. Tapi aku dan sepertinya juga rata-rata teman seangkatanku cukup kaget ketika mengetahui ruang kuliah fakultas Teknik yang hebat itu ternyata tampilannya lebih mirip kandang tempat pemerahan sapi daripada gedung perkuliahan.
Dalam gedung Aula Lama itu semua anak teknik angkatan 92 dari ketiga jurusan yang ada teknik Sipil, Teknik Kimia dan Teknik Mesin ditambah dengan beberapa anak angkatan 91 yang belum sempat mengikuti penataran tahun sebelumnya yang jumlah totalnya sekitar 200 orang, dikumpulkan untuk mengikuti penataran P4 selama dua minggu penuh tanpa jeda.
Saat itu, kami mahasiswa seangkatan di fakultas teknik rata-rata belum saling mengenal, tapi beberapa nama teman-teman baru sudah kami ketahui saat membaca pengumuman kelulusan UMPTN. Beberapa nama sudah aku kenal karena berasal dari SMA bahkan kelas yang sama denganku. Dari kelasku 3 A1 2 di SMA negeri 2 banda Aceh ada lima orang termasuk aku sendiri yang diterima di fakultas ini. Ditambah dengan 4 orang anak kelas lain, total ada sembilan orang anak SMA 2 di angkatan kami. Jumlah itu sudah terhitung rekor yang luar biasa untuk SMA kami yang di Banda Aceh lebih dikenal sebagai SMA tukang tawuran dan jagoan kebut-kebutan. Ratusan mahasiswa baru lainnya, seperti biasa didominasi oleh anak SMA 3 yang merupakan sekolah favorit di Banda Aceh, kota kami. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka seperti pindah kelas saja ke fakultas ini. Lainnya anak-anak lulusan SMA 1, SMA 5, MAN dan anak-anak dari daerah yang jika dibagi per asal SMA masing-masing jumlahnya tidak sebanyak kami dari SMA 2.
Sebelum masuk kuliah, aku memperhatikan nama-nama calon teman kuliahku dan berusaha memperkirakan seperti apa kira-kira karakter orangnya. Kuperhatikan di koran, calon teman kuliahku beberapa memiliki nama yang unik bahkan aneh, ada yang namanya merupakan gabungan antara nama islam dan barat. Salah satu yang menurutku paling aneh adalah Teungku Edward Kennedy. Nama ini aneh karena nama ini adalah perpaduan yang ganjil antara kesalehan Aceh yang Islam dengan nama barat yang Kristen. 'Teungku' adalah gelar terhormat yang diberikan masyarakat untuk ulama di Aceh, seperti Kyai di Jawa. Sementara 'Edward Kennedy' tentu saja nama seorang senator Amerika dari keluarga Kennedy yang bergama Katolik. Kubayangkan pemilik nama ini tentu orangnya gagah dan berwibawa. Selain Teungku Edward Kennedy, nama lain yang menurutku cukup janggal meskipun tidak separah kejanggalan nama pertama adalah 'John Faisal' yang kubayangkan orangnya perlente dan cool seperti pemain film-film cowboy. Nama lain yang menarik perhatianku adalah 'Dibrina Raseuki', nama ini menarik karena sangat unik karena diambil dari bahasa Aceh yang berarti 'diberi ada rezeki', saat melihat nama-nama calon teman kuliahku 'Dibrina Raseuki', nama terakhir ini kupikir salah satu nama terkeren dan aku membayangkan si pemilik nama ini pasti cewek Aceh berkelas, berkulit putih dan pasti cantik.
Sisanya daftar mahasiswa yang diterima di Fakultas Teknik, baik melalui jalur UMPTN maupun PMDK berisi nama-nama standar alias pasaran, semacam Iskandar,Bukhari, Junaidi, Syahril, Mirza, Zulfan, Akhyar, Fahmi Rizal, Irfan Hadi atau untuk yang perempuan bernama Devi, Mawaddah Noer, Asmaul Husna dan sejenisnya yang bisa ditemukan dalam jumlah melimpah ruah di tengah kerumunan orang yang berbelanja di Pasar Aceh. Beberapa nama standar ini ditambahi variasi nama depan 'Cut'atau 'Teuku' yang merupakan nama-nama keturunan bangsawan semacam Raden di Jawa, Andi di Bugis atau Anak Agung di Bali. Kalaupun nama lain ada yang tampak unik itu karena nama itu menunjukkan si pemakai nama memiliki Etnis yang berbeda semisal 'Sugihartono' atau 'Virgo Erlando Purba'.
Ternyata ketika aku mengamati nama-nama calon teman kuliahku, merekapun sama dan sepertiku, juga mengamati nama-nama calon teman kuliahnya. Dan kalau aku merasa nama paling antik dari semua nama calon teman kuliahku adalah nama-nama yang aku sebutkan di atas. Tapi bagi calon teman-teman kuliahku, dari semua nama yang terpampang di daftar itu justru 'Win Wan Nur'namakulah yang paling antik. Bagi orang Aceh, nama ini terdengar tidak serius dan seperti nama main-main karena bunyinya yang terdengar seperti 'Wan Win Wun', yang merupakan lafal dalam huruf 'WAU' yang sering kami hafalkan dalam pelajaran membaca huruf-huruf hijaiyah saat kami belajar mengaji di masa kecil dulu. Kemiripan bunyi ini pula yang membuat namaku sering dilafalkan orang Aceh secara salah menjadi 'Wan Win Nur'. Dan namaku itu rupanya bukan hanya menarik perhatian teman seangkatanku, tapi juga anak teknik senior kami. Entah karena memang namaku itu sebegitu antiknya atau karena terdengar sebegitu tidak seriusnya atau entah karena alasan apa, sehingga seorang temanku anak Mesin angkatan 91 bernama Andika, yang sekarang bekerja sebagai dosen di almamater kami pernah dengan semena-mena melafalkan namaku yang 'home made' dan dibuat khusus sesuai pesanan yang cuma satu-satunya di dunia yang jika diibaratkan mobil kelasnya kira-kira sekelas mobil pesanan khusus untuk kendaraan kepresiden Obama ini menjadi 'Sayur Mayur'. (kalau teman-teman seangkatanku membaca pendeskripsian tentang betapa berkelasnya namaku ini, aku yakin mereka bakal 'palak' sampai ke ubun-ubun kepala)
Saat jeda makan siang, kami sering nongkrong sambil minum kopi di kantin Barret (Bar restaurant Teknik), yang kondisinya justru lebih parah dibandingkan gedung tempat kami mengiukuti penataran yang super membosankan. Entah apa yang dibayangkan oleh teman-temanku saat mereka pertama kali membaca namaku, dan entah orang seperti apa yang mereka bayangkan yang menyandang nama itu sehingga suatu kali, saat sedang duduk di kantin Barret, aku mendengar sebuah celetukan yang mengatakan "Rupanya yang namanya Win Wan Nur itu anaknya heboh juga".
Ketika baru masuk kuliah, kami semua berusaha menampilkan kesan pertama yang kuat agar terlihat 'keren' dan hebat di depan teman-teman baru.'Keren' pada waktu itu artinya adalah menjadi imitasi Amerika. Kalau berbicara musik, 'keren' artinya berbicara tentang Guns'n Roses, Metallica, Nirvana, Mariah Carey atau Madonna. Kalau berbicara sepatu artinya 'Nike' atau 'adidas' yang meskipun buatan jerman tapi banyak dipakai para pemain NBA. Dan tentu saja LEVI's ketika berbicara soal celana. Sebegitu hebatnya Amerika di mata kami waktu itu sampai-sampai kamipun merasa hebat kalau ada sesuatu yang berkaitan dengan kami memiliki bau-bau Amerika. Contohnya seorang temanku yang berperawakan kecil dan berkacamata bernama Akhyar yang berasal dari Sigli yang merasa begitu bangga dengan kota asalnya karena kalau sedikit dipaksakan nama kotanya mirip kata 'Ugly' yang merupakan nama depan sebuah Grup Band asal amerika yang saat itu sedang naik daun sat itu "Ugly Kid Joe'. Kalau kami sedang bercanda dan saling meremehkan dan sedikit menyentuh SARA (lintas teritorial,menurut istilah kami). Kepadaku Akhyar sering bilang "Liat aku orang Sigli kan paten,'Sigli Kid Joe'", cobak kee, Takengon...mana cocok 'Takengon Kid Joe'". Begitu hebatnya Amerika di mata kami saat itu, sehingga kata 'Sigli' yang diplesetkan dari 'Ugly' pun karena ada kaitannya dengan Amerika sudah bisa dijadikan sebuah kebanggan.
Kalau dinilai dengan kacamata sekarang, ketika mengatakan itu, Akhyar pasti akan ditertawakan, karena apa yang ditunjukkan Akhyar kawanku ini akan tampak konyol sebab kata 'Ugly' yang dia plesetkan menjadi kata 'Sigli' itu sendiri artinya 'JELEK'. Tapi saat itu bahasa Inggris bagi kami masih terlihat seperti bahasanya para Dewa, jadi apapun yang diucapkan dengan bahasa Inggris terdengar keren. Saat itu jangankan mengatakan 'Ugly', membuat tanda jari tengah sambil mengatakan 'Fuck You' saja terdengar hebat. Karena itulah Akhyar merasa bangga dengan nama kotanya, sebab nama kotanya 'Sigli', mirip bunyi kata 'Ugly' yang berbau Amerika.
Pada saat itu segala sesuatu yang berbau Amerika tampak sedemikian hebatnya karena semua media di Indonesia memang mengarahkan opini komunikannya ke arah sana. Koran, Majalah, TV, Film dan lain sebaginya semuanya mengarahkan opini kalau pusat peradaban itu adalah Amerika.
Tapi bagi kami di Banda Aceh yang merupakan kota pinggiran, Amerika itu terlalu jauh jaraknya. Saat itu, Kota yang anak mudanya merupakan imitator utama Amerika di negara ini adalah Jakarta. Sehingga bagi kami saat itu, segala sesuatu yang diasosiasikan dengan kata 'keren' itu artinya adalah Jakarta. Tapi bagi kami saat itu, bahkan Jakarta pun masih terlalu di awang-awang karena rata-rata anak muda di Aceh yang seumuranku saat itu sedikit sekali yang pernah berkunjung ke luar Aceh. Sehingga saat itu segala sesuatu yang berasal dari luar Aceh terlihat hebat di mata kami. Jangankan Bandung, Semarang, Jogja atau kota-kota lain di pulau Jawa. Orang yang berlibur apalagi yang pernah tinggal di Medan sajapun saat itu dalam pandangan kami sudah terlihat luar biasa.
Begitulah saat kami ngumpul-ngumpul di saat jeda penataran, ketika menogobrol dan berbincang-bincang biasanya kami berusaha sedikit menyinggung nama-nama Kota di luar Aceh yang pernah kami kunjungi. Aku sendiri cukup lumayan karena sering ke Medan dan kalau sesekali ada temanku yang bercerita tentang Medan, aku bisa terlibat dan itu cukup membuatku terlihat hebat di mata teman-temanku yang belum pernah ke Medan. Tapi Medan adalah kota terjauh yang pernah kukunjungi, saat ada teman yang lain berbicara tentang Bandung apalagi Jakarta, aku jadi minder sendiri.
Teman baru kami yang berasal dari kota-kota di luar Aceh, meskipun tidak kami akui secara terbuka, sebenarnya kami pandang cukup tinggi. Teman semacam ini misalnya Medi Arjuna, teman kami asal Aceh Tenggara yang bersekolah di Medan, terlihat hebat di mata kami, apalagi dia pernah tinggal setahun di Bandung. Karena Medi yang menamatkan SMA nya di Medan dan pernah setahun tinggal di Bandung ini tampak begitu hebatnya, beberapa teman dari daerah bahkan tanpa sadar mengikuti logat bicara Medi yang terdengar beda dan dengan sendirinya terlihat 'gaya', padahal logat Medi sebenarnya bukan logat Medan atau Bandung, tapi Logat Kuta Cane, Aceh Tenggara.
Untuk anak Aceh sendiri, yang terlihat paling keren tentu saja anak Banda Aceh, anak daerah agak dipandang remeh. Tapi pandangan seperti itu juga tidak berlaku untuk semua daerah. Untuk beberapa daerah justru anak yang berasal dari sana justru dipandang lebih 'keren' dibanding anak Banda Aceh sendir. Daerah yang dipandang keren itu adalah Lhok Seumawe dan Langsa juga Kuala Simpang yang berada dalam kabupaten yang sama. Anak-anak dari dua kota itu dipandang tinggi karena biasanya anak-anak yang berasal dari kota itu orang tuanya bekerja di perusahaan raksasa semacam Arun, Mobil, PIM atau Pertamina. Mereka ini biasa berlibur ke Medan bahkan sampai ke Jakarta.
Kalau anak-anak yang berasal dari kota-kota itu dipandang keren, tidak demikian halnya dengan anak-anak yang berasal dari Blang Pidie, Labuhan Haji, Panton Labu, Sigli, Mereudu dan lain sebagainya, anak-anak yang berasal dari kota-kota ini tidak terlalu dianggap. Takengon apalagi, karena Takengon ini sudah daerah, Gayo pula. Di Banda Aceh secara umum relasi antara orang Gayo dan Orang Aceh memang tidak terlalu harmonis, Orang Gayo di Banda Aceh, seperti juga orang Pidie, dikenal tidak suka berbaur, bergaul hanya sesama orang Gayo sendiri, ngekos juga begitu harus sesama orang Gayo sendiri juga.
Mahasiswa asal Gayo di Banda Aceh rata-rata kuliah di Universitas Swasta. Kalaupun di Unsyiah paling-paling hanya di FKIP atau PAAP D3-nya fakultas ekonomi yang dianggap jurusan buangan karena untuk masuk kesana tidak melalui jalur UMPTN biasa. Jarang ada orang Gayo yang kuliah di jurusan yang agak lumayan semacam ekonomi, hukum, pertanian atau MIPA apalagi di jurusan Favorit Kedokteran dan Teknik, orang gayo hampir tidak ada. Tapi seperti anomali banyaknya anak SMA 2 yang lulus di Teknik tahun 1992, tahun inipun anak Gayo yang kuliah di Teknik cukup banyak juga, di Teknik Sipil sendiri kami ada 5 orang, ditambah 3 orang di Teknik Kimia dan satu di Teknik Mesin, total di angkatan kami orang Gayo ada 10 orang.
Tapi dari kami ber-10, tidak satupun yang bersekolah di Gayo, kami semua sekolah di Banda Aceh. Fenomena ini sebenarnya terjadi bukan karena rekan-rekan Gayo kami yang sekolah di Takengon, Blang kejeren dan kota-kota Gayo lainnya kualitasnya lebih rendah dari kami yang bersekolah di Banda Aceh. Tapi kami orang Gayo yang bersekolah di Banda Aceh lebih tahu seluk cara agar lulus UMPTN, bagaimana mensiasatinya dan yang paling penting kami punya jalur untuk mengatur nomor ujian supaya bisa ujian rame-rame di ruang yang sama.
Jadi meskipun kami yang lulus di Teknik dianggap adalah anak-anak yang istimewa dan sebagian anggapan itu memang ada benarnya, tapi sebenarnya bukanlah semuanya anak yang betul-betul punya kemampuan istimewa, beberapa dari kami lulus di Teknik karena waktu UMPTN dalam seruangan kelas kami mengerjakan soal dengan bekerja sama dan saling membagi jawaban. Sebenarnya yang benar-benar punya kemampuan istimewa di teknik itu cuma beberapa orang saja, sisanya, selain yang masuk ke Fakultas Teknik dengan memakai 'gacok', sebutan untuk 'Joki', rata-rata kami anak Banda Aceh masuk ke Fakultas Teknik dengan cara ikut ujian bersama-sama seperti yang saya gambarkan di atas.
Aku sendiri ketika ikut UMPTN juga melakukan praktek seperti itu, tapi aku tidak melakukannya dengan teman-temanku dari SMA 2. Aku diajak bergabung dalam kelompok oleh seorang teman yang kukenal di Bimafika, bimbingan belajar menjelang UMPTN yang paling terkenal di Banda Aceh. Kebanyakan dari anggota kelompokku yang berjumlah 20 orang ini tidak pernah kukenal sebelumnya. Tapi dengan didasari oleh kepentingan yang sama kamipun bergabung, menyusun strategi ujian, membagi kami ber-20 dalam kelompok yang mengerjakan masing masing bidang studi, ada yang mengerjakan Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Aku kebagian Matematika.
Setelah kelompok itu dibentuk lalu kami menyusun strategi untuk memilih ruang ujian, ruang terbuka dan gedung besar semacam lapangan Lampineung aatu Gelanggang Mahasiswa adalah lokasi ujian yang kami hindari. Sebaliknya kami mencari lokasi Ujian yang di sekolah-sekolah dengan menempatkan 20 orang peserta dalam satu ruangan kelas. Dan kamipun memilih ikut ujian di SMA negeri Darusussalam. Lalu strategi agar kami semua ditempatkan dalam satu kelaspun di susun. Karena kami tidak punya 'orang dalam' yang bisa mengatur urutan formulir yang kami dapatkan. Kamipun mengaturnya dengan cara tradisional yaitu antri sesuai nomer urut. Kami lihat nomer berapa yang sudah keluar dengan kelipatan 20-an, lalu kami masuk di belakangnya dan kamipun mendapatkan yang kami harapkan. Tapi sialnya, perhitungan kami agak salah sehingga kami terpisah dalam dua kelas. dan strategipun disusun ulang. Karena kekuatan kami sekarang berkurang 50%.
Nasib buruk kami semakin jelas ketika ternyata karena banyaknya indikasi kecurangan di UMPTN-UMPTN sebelumnya, untuk tahun 1992, nomor urutan duduk dalam ruangan tidak dibuat urut sesuai formulir tapi diacak sedemikian rupa. maka hancur leburah segala strategi kami. Ketika ujian kami memang masih tetap bisa bekerja sama, tapi sama sekali tidak maksimal. Akibatnya semua rencana kami berakhir jauh dari harapan. Dari kami ber 20- hanya aku sendiri yang lulus.
Sepertinya kebijakan baru ini pulalah yang membuat, komposisi mahasiswa teknik angkatan 92 cukup bervariasi. Ada banyak anak-anak dari daerah yang diterima tahun ini. Karena jika tidak ada kebijakan seperti itu, aku yakin setidaknya setengah dari kelompokku akan lulus di Teknik.
Mengenai pandangan umum tentang anak-anak yang berasal dari Lhok Seumawe, Langsa atau Kuala Simpang yang kami anggap hebat, seringkali ada benarnya. Contohnya ketika penataran, di bagian kelompok kami yang semuanya berisi anak Teknik Sipil, mahasiswa baru yang terlihat paling menonjol, yang sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbobot dan juga menjawab pertanyaan secara berbobot pula adalah dua orang mahasiswa baru asal Kuala Simpang. Keduanya teman sekelas di SMA, yang satu namanya Fahmi Rizal dan yang satu lagi Teuku Nurul Fuadi. Fahmi yang berbadan lebih kecil, terlihat lebih intelek dan lebih menonjol dari Nurul Fuadi yang badannya bongsor cenderung gendut sehingga mengingatkan kami pada bentuk makhluk langka yang bernama badak Sumatra, karena kemiripan ini kami kadang menjulukinya Badek II, label 'II' untuk membedakannya dengan 'badak' yang satu lagi, Ruziyandri alias'Kades' yang adalah teman sekolahku asal SMA 2.
Karena sosok dua anak Kulala Simpang di angkatan kami yang sangat menonjol selama penataran itulah, ketika selesai penataran P4 oleh abang-abang himpunan kami diminta untuk memilih komisaris tingkat kami yang disingkat KOMTING, yang terpikir di kepala kami adalah kedua anak Kula Simpang itu. Sebetulnya kami anak teknik sipil ingin memilih Fahmi sebagai komisaris kami. Tapi saat hari pemilihan yang memang tidak pernah direncanakan, Fahmi kebetulan tidak datang. Jadi kamipun mencalonkan temannya Teuku Nurul Fuadi sebagai calon komisaris angkatan kami. Tapi beberapa anak SMA 3 mencalonkan anak SMA mereka yang bernama Irfan yang sewaktu Ospek diberi nama 'Abua' yang berarti 'Pak De'. Jadilah pemilihan itu memiliki dua calon Teuku Nurul Fuadi dan Abua dan kamipun bersiap untuk melakukan pemungutan suara. Tapi menjelang pemungutan suara tiba-tiba tanpa diduga muncul calon independen yang mengajukan dirinya sendiri untuk menjadi komisaris. Calon independen ini bernama 'Virgo Erlando Purba' Orang Batak asal Siantar yang memiliki ciri khas rambut selalu berminyak dan disisir rapi seperti bos-bos mafia.
Kami yang tidak terlalu mengenal Virgo karena sewaktu penataran dia ada di kelompok anak-anak teknik mesin saling berpandangan melihat kejadian ini. Tapi panitia pemilihan menerima usulnya dan sekarang calonnya menjadi tiga. Saat dilakukan pemilihan Teuku Nurul Fuadi menang telak mengalahkan Abua, Virgo sendiri hanya mendapat satu suara, yaitu suaranya sendiri.
Sejak saat itu Nurul Fuadi pun resmi menjadi KOMTING angkatan kami dan sejak itu pula dia kehilangan nama pemberian orang tuanya karena sejak saat itu kami tidak pernah lagi memanggilnya Nurul, tapi KOMTING. Setelah kami bergaul lebih akrab, ternyata KOMTING kami yang selama penataran tampak begitu hebat dan kami pikir berwibawa ternyata sama sekali berbeda 180 derajat dengan aslinya. Karakter yang dia tunjukkan selama penataran ternyata hanya tipuan kesan pertama. Tapi apa boleh buat, kami sudah memilihnya sebagai KOMTING dan kamipun harus konsekwen dengan pilihan kami 'Istiqamah' istilah islamnya.
Teuku Nurul Fuadi memangku jabatan KOMTING-nya hanya selama 6 bulan saja. Dia kehilangan jabatannya karena secara sepihak dikudeta oleh ABUA, sehabis liburan semester pertama. Saat 'kudeta'itu terjadi, bukan hanya KOMTING yang merasa aneh kehilangan jabatannya, tapi juga kami semua, seluruh mahasiswa teknik Sipil angkatan 92. Kami sama sekali tidak pernah merasa memilih ABUA, tapi ABUA sendiri dengan keahliannya mendekati abang leting, secara sepihak mengaku dialah KOMTING angkatan 92. Tapi karena memang didapatkan secara tidak sah, ABUA pun memangku jabatannya tidak terlalu lama, karena kami melengserkannya dan kamipun memilih Komisaris baru. Saat pemilihan kedua ini, karakter asli kami semua sudah mulai terlihat, tidak ada lagi 'tipuan' kesan pertama. Jadi saat itu yang kami pilih adalah yang kami rasa paling tepat untuk mewakili kami, yaitu manejer tim bola kami Isvandi yang belakangan namanya kami plesetkan menjadi 'Pepeng' seperti nama pembawa acara kuis jari-Jari.
Tapi meskipun jabatan KOMTING di angkatan kami telah berpindah beberapa kali, panggilan nama KOMTING tetap kami pakai untuk memanggil Teuku Nurul Fuadi dan panggilan itu tetap tidak berubah sampai hari ini.
Begitulah Tulisan bagian pertama ini tentang anak-anak seangkatan kuliahku Sipil 92, kalau ada waktu, nanti akan aku lanjutkan ke bagian berikutnya.
Wassalam
Win Wan Nur
Beberapa waktu yang lalu seorang teman seangkatan kuliahku yang bernama Zulfan, mempost foto-foto kami semasa kuliah dulu. Foto itu dibuat saat aku masih berusia 18 tahun. Dalam foto itu aku terlihat masih sangat kurus dan memiliki wajah yang masih terlihat sangat muda.
Foto-foto yang dipost oleh Zulfan itu langsung mengingatkanku pada masa aku pertama masuk kuliah di tahun 1992. Seolah kejadian itu terjadi baru kemarin, padahal itu sudah terjadi 17 tahun yang lalu, hampir dua kali lipat umurku saat itu.
Situasi pada saat itu sudah sangat berbeda dengan situasi sekarang. Pada masa itu geopolitik dunia dan nasional masih sangat dipengaruhi dengan segala sesuatu yang serba seragam.
Saat pertama kali masuk kuliah kami harus mengenakan pakaian seragam hitam putih, dan diwajibkan untuk mengikuti penataran P4 selama dua minggu penuh, dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore.
Di Unsyiah, kampus terbesar di Aceh yang juga sering disebut jantong hatee rakyat Aceh, Fakultas Teknik adalah Fakultas favorit yang merupakan dambaan hampir semua anak SMA di Banda Aceh. Semasa SMA sebelum kuliah di Fakultas Teknik, aku dan rata-rata teman seangkatanku membayangkan Fakultas Teknik Unsyiah adalah sebuah kampus megah yang memiliki ruang kuliah seperti ruang perkuliahan kampus-kampus di pulau Jawa yang sering kami lihat di film, majalah atau TV.
Jadi, waktu melakukan pendaftaran ulang, ketika disebutkan kalau Penataran P4 untuk kami mahasiswa baru fakultas Teknik Unsyiah diselenggarakan di dalam gedung Aula Lama Fakultas Teknik. Dalam bayanganku gedung Aula Lama itu tentu saja kurang lebih mirip seperti gedung-gedung poerkuliahan di kampus-kampus besar lainnya di pulau Jawa. Tapi aku dan sepertinya juga rata-rata teman seangkatanku cukup kaget ketika mengetahui ruang kuliah fakultas Teknik yang hebat itu ternyata tampilannya lebih mirip kandang tempat pemerahan sapi daripada gedung perkuliahan.
Dalam gedung Aula Lama itu semua anak teknik angkatan 92 dari ketiga jurusan yang ada teknik Sipil, Teknik Kimia dan Teknik Mesin ditambah dengan beberapa anak angkatan 91 yang belum sempat mengikuti penataran tahun sebelumnya yang jumlah totalnya sekitar 200 orang, dikumpulkan untuk mengikuti penataran P4 selama dua minggu penuh tanpa jeda.
Saat itu, kami mahasiswa seangkatan di fakultas teknik rata-rata belum saling mengenal, tapi beberapa nama teman-teman baru sudah kami ketahui saat membaca pengumuman kelulusan UMPTN. Beberapa nama sudah aku kenal karena berasal dari SMA bahkan kelas yang sama denganku. Dari kelasku 3 A1 2 di SMA negeri 2 banda Aceh ada lima orang termasuk aku sendiri yang diterima di fakultas ini. Ditambah dengan 4 orang anak kelas lain, total ada sembilan orang anak SMA 2 di angkatan kami. Jumlah itu sudah terhitung rekor yang luar biasa untuk SMA kami yang di Banda Aceh lebih dikenal sebagai SMA tukang tawuran dan jagoan kebut-kebutan. Ratusan mahasiswa baru lainnya, seperti biasa didominasi oleh anak SMA 3 yang merupakan sekolah favorit di Banda Aceh, kota kami. Seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka seperti pindah kelas saja ke fakultas ini. Lainnya anak-anak lulusan SMA 1, SMA 5, MAN dan anak-anak dari daerah yang jika dibagi per asal SMA masing-masing jumlahnya tidak sebanyak kami dari SMA 2.
Sebelum masuk kuliah, aku memperhatikan nama-nama calon teman kuliahku dan berusaha memperkirakan seperti apa kira-kira karakter orangnya. Kuperhatikan di koran, calon teman kuliahku beberapa memiliki nama yang unik bahkan aneh, ada yang namanya merupakan gabungan antara nama islam dan barat. Salah satu yang menurutku paling aneh adalah Teungku Edward Kennedy. Nama ini aneh karena nama ini adalah perpaduan yang ganjil antara kesalehan Aceh yang Islam dengan nama barat yang Kristen. 'Teungku' adalah gelar terhormat yang diberikan masyarakat untuk ulama di Aceh, seperti Kyai di Jawa. Sementara 'Edward Kennedy' tentu saja nama seorang senator Amerika dari keluarga Kennedy yang bergama Katolik. Kubayangkan pemilik nama ini tentu orangnya gagah dan berwibawa. Selain Teungku Edward Kennedy, nama lain yang menurutku cukup janggal meskipun tidak separah kejanggalan nama pertama adalah 'John Faisal' yang kubayangkan orangnya perlente dan cool seperti pemain film-film cowboy. Nama lain yang menarik perhatianku adalah 'Dibrina Raseuki', nama ini menarik karena sangat unik karena diambil dari bahasa Aceh yang berarti 'diberi ada rezeki', saat melihat nama-nama calon teman kuliahku 'Dibrina Raseuki', nama terakhir ini kupikir salah satu nama terkeren dan aku membayangkan si pemilik nama ini pasti cewek Aceh berkelas, berkulit putih dan pasti cantik.
Sisanya daftar mahasiswa yang diterima di Fakultas Teknik, baik melalui jalur UMPTN maupun PMDK berisi nama-nama standar alias pasaran, semacam Iskandar,Bukhari, Junaidi, Syahril, Mirza, Zulfan, Akhyar, Fahmi Rizal, Irfan Hadi atau untuk yang perempuan bernama Devi, Mawaddah Noer, Asmaul Husna dan sejenisnya yang bisa ditemukan dalam jumlah melimpah ruah di tengah kerumunan orang yang berbelanja di Pasar Aceh. Beberapa nama standar ini ditambahi variasi nama depan 'Cut'atau 'Teuku' yang merupakan nama-nama keturunan bangsawan semacam Raden di Jawa, Andi di Bugis atau Anak Agung di Bali. Kalaupun nama lain ada yang tampak unik itu karena nama itu menunjukkan si pemakai nama memiliki Etnis yang berbeda semisal 'Sugihartono' atau 'Virgo Erlando Purba'.
Ternyata ketika aku mengamati nama-nama calon teman kuliahku, merekapun sama dan sepertiku, juga mengamati nama-nama calon teman kuliahnya. Dan kalau aku merasa nama paling antik dari semua nama calon teman kuliahku adalah nama-nama yang aku sebutkan di atas. Tapi bagi calon teman-teman kuliahku, dari semua nama yang terpampang di daftar itu justru 'Win Wan Nur'namakulah yang paling antik. Bagi orang Aceh, nama ini terdengar tidak serius dan seperti nama main-main karena bunyinya yang terdengar seperti 'Wan Win Wun', yang merupakan lafal dalam huruf 'WAU' yang sering kami hafalkan dalam pelajaran membaca huruf-huruf hijaiyah saat kami belajar mengaji di masa kecil dulu. Kemiripan bunyi ini pula yang membuat namaku sering dilafalkan orang Aceh secara salah menjadi 'Wan Win Nur'. Dan namaku itu rupanya bukan hanya menarik perhatian teman seangkatanku, tapi juga anak teknik senior kami. Entah karena memang namaku itu sebegitu antiknya atau karena terdengar sebegitu tidak seriusnya atau entah karena alasan apa, sehingga seorang temanku anak Mesin angkatan 91 bernama Andika, yang sekarang bekerja sebagai dosen di almamater kami pernah dengan semena-mena melafalkan namaku yang 'home made' dan dibuat khusus sesuai pesanan yang cuma satu-satunya di dunia yang jika diibaratkan mobil kelasnya kira-kira sekelas mobil pesanan khusus untuk kendaraan kepresiden Obama ini menjadi 'Sayur Mayur'. (kalau teman-teman seangkatanku membaca pendeskripsian tentang betapa berkelasnya namaku ini, aku yakin mereka bakal 'palak' sampai ke ubun-ubun kepala)
Saat jeda makan siang, kami sering nongkrong sambil minum kopi di kantin Barret (Bar restaurant Teknik), yang kondisinya justru lebih parah dibandingkan gedung tempat kami mengiukuti penataran yang super membosankan. Entah apa yang dibayangkan oleh teman-temanku saat mereka pertama kali membaca namaku, dan entah orang seperti apa yang mereka bayangkan yang menyandang nama itu sehingga suatu kali, saat sedang duduk di kantin Barret, aku mendengar sebuah celetukan yang mengatakan "Rupanya yang namanya Win Wan Nur itu anaknya heboh juga".
Ketika baru masuk kuliah, kami semua berusaha menampilkan kesan pertama yang kuat agar terlihat 'keren' dan hebat di depan teman-teman baru.'Keren' pada waktu itu artinya adalah menjadi imitasi Amerika. Kalau berbicara musik, 'keren' artinya berbicara tentang Guns'n Roses, Metallica, Nirvana, Mariah Carey atau Madonna. Kalau berbicara sepatu artinya 'Nike' atau 'adidas' yang meskipun buatan jerman tapi banyak dipakai para pemain NBA. Dan tentu saja LEVI's ketika berbicara soal celana. Sebegitu hebatnya Amerika di mata kami waktu itu sampai-sampai kamipun merasa hebat kalau ada sesuatu yang berkaitan dengan kami memiliki bau-bau Amerika. Contohnya seorang temanku yang berperawakan kecil dan berkacamata bernama Akhyar yang berasal dari Sigli yang merasa begitu bangga dengan kota asalnya karena kalau sedikit dipaksakan nama kotanya mirip kata 'Ugly' yang merupakan nama depan sebuah Grup Band asal amerika yang saat itu sedang naik daun sat itu "Ugly Kid Joe'. Kalau kami sedang bercanda dan saling meremehkan dan sedikit menyentuh SARA (lintas teritorial,menurut istilah kami). Kepadaku Akhyar sering bilang "Liat aku orang Sigli kan paten,'Sigli Kid Joe'", cobak kee, Takengon...mana cocok 'Takengon Kid Joe'". Begitu hebatnya Amerika di mata kami saat itu, sehingga kata 'Sigli' yang diplesetkan dari 'Ugly' pun karena ada kaitannya dengan Amerika sudah bisa dijadikan sebuah kebanggan.
Kalau dinilai dengan kacamata sekarang, ketika mengatakan itu, Akhyar pasti akan ditertawakan, karena apa yang ditunjukkan Akhyar kawanku ini akan tampak konyol sebab kata 'Ugly' yang dia plesetkan menjadi kata 'Sigli' itu sendiri artinya 'JELEK'. Tapi saat itu bahasa Inggris bagi kami masih terlihat seperti bahasanya para Dewa, jadi apapun yang diucapkan dengan bahasa Inggris terdengar keren. Saat itu jangankan mengatakan 'Ugly', membuat tanda jari tengah sambil mengatakan 'Fuck You' saja terdengar hebat. Karena itulah Akhyar merasa bangga dengan nama kotanya, sebab nama kotanya 'Sigli', mirip bunyi kata 'Ugly' yang berbau Amerika.
Pada saat itu segala sesuatu yang berbau Amerika tampak sedemikian hebatnya karena semua media di Indonesia memang mengarahkan opini komunikannya ke arah sana. Koran, Majalah, TV, Film dan lain sebaginya semuanya mengarahkan opini kalau pusat peradaban itu adalah Amerika.
Tapi bagi kami di Banda Aceh yang merupakan kota pinggiran, Amerika itu terlalu jauh jaraknya. Saat itu, Kota yang anak mudanya merupakan imitator utama Amerika di negara ini adalah Jakarta. Sehingga bagi kami saat itu, segala sesuatu yang diasosiasikan dengan kata 'keren' itu artinya adalah Jakarta. Tapi bagi kami saat itu, bahkan Jakarta pun masih terlalu di awang-awang karena rata-rata anak muda di Aceh yang seumuranku saat itu sedikit sekali yang pernah berkunjung ke luar Aceh. Sehingga saat itu segala sesuatu yang berasal dari luar Aceh terlihat hebat di mata kami. Jangankan Bandung, Semarang, Jogja atau kota-kota lain di pulau Jawa. Orang yang berlibur apalagi yang pernah tinggal di Medan sajapun saat itu dalam pandangan kami sudah terlihat luar biasa.
Begitulah saat kami ngumpul-ngumpul di saat jeda penataran, ketika menogobrol dan berbincang-bincang biasanya kami berusaha sedikit menyinggung nama-nama Kota di luar Aceh yang pernah kami kunjungi. Aku sendiri cukup lumayan karena sering ke Medan dan kalau sesekali ada temanku yang bercerita tentang Medan, aku bisa terlibat dan itu cukup membuatku terlihat hebat di mata teman-temanku yang belum pernah ke Medan. Tapi Medan adalah kota terjauh yang pernah kukunjungi, saat ada teman yang lain berbicara tentang Bandung apalagi Jakarta, aku jadi minder sendiri.
Teman baru kami yang berasal dari kota-kota di luar Aceh, meskipun tidak kami akui secara terbuka, sebenarnya kami pandang cukup tinggi. Teman semacam ini misalnya Medi Arjuna, teman kami asal Aceh Tenggara yang bersekolah di Medan, terlihat hebat di mata kami, apalagi dia pernah tinggal setahun di Bandung. Karena Medi yang menamatkan SMA nya di Medan dan pernah setahun tinggal di Bandung ini tampak begitu hebatnya, beberapa teman dari daerah bahkan tanpa sadar mengikuti logat bicara Medi yang terdengar beda dan dengan sendirinya terlihat 'gaya', padahal logat Medi sebenarnya bukan logat Medan atau Bandung, tapi Logat Kuta Cane, Aceh Tenggara.
Untuk anak Aceh sendiri, yang terlihat paling keren tentu saja anak Banda Aceh, anak daerah agak dipandang remeh. Tapi pandangan seperti itu juga tidak berlaku untuk semua daerah. Untuk beberapa daerah justru anak yang berasal dari sana justru dipandang lebih 'keren' dibanding anak Banda Aceh sendir. Daerah yang dipandang keren itu adalah Lhok Seumawe dan Langsa juga Kuala Simpang yang berada dalam kabupaten yang sama. Anak-anak dari dua kota itu dipandang tinggi karena biasanya anak-anak yang berasal dari kota itu orang tuanya bekerja di perusahaan raksasa semacam Arun, Mobil, PIM atau Pertamina. Mereka ini biasa berlibur ke Medan bahkan sampai ke Jakarta.
Kalau anak-anak yang berasal dari kota-kota itu dipandang keren, tidak demikian halnya dengan anak-anak yang berasal dari Blang Pidie, Labuhan Haji, Panton Labu, Sigli, Mereudu dan lain sebagainya, anak-anak yang berasal dari kota-kota ini tidak terlalu dianggap. Takengon apalagi, karena Takengon ini sudah daerah, Gayo pula. Di Banda Aceh secara umum relasi antara orang Gayo dan Orang Aceh memang tidak terlalu harmonis, Orang Gayo di Banda Aceh, seperti juga orang Pidie, dikenal tidak suka berbaur, bergaul hanya sesama orang Gayo sendiri, ngekos juga begitu harus sesama orang Gayo sendiri juga.
Mahasiswa asal Gayo di Banda Aceh rata-rata kuliah di Universitas Swasta. Kalaupun di Unsyiah paling-paling hanya di FKIP atau PAAP D3-nya fakultas ekonomi yang dianggap jurusan buangan karena untuk masuk kesana tidak melalui jalur UMPTN biasa. Jarang ada orang Gayo yang kuliah di jurusan yang agak lumayan semacam ekonomi, hukum, pertanian atau MIPA apalagi di jurusan Favorit Kedokteran dan Teknik, orang gayo hampir tidak ada. Tapi seperti anomali banyaknya anak SMA 2 yang lulus di Teknik tahun 1992, tahun inipun anak Gayo yang kuliah di Teknik cukup banyak juga, di Teknik Sipil sendiri kami ada 5 orang, ditambah 3 orang di Teknik Kimia dan satu di Teknik Mesin, total di angkatan kami orang Gayo ada 10 orang.
Tapi dari kami ber-10, tidak satupun yang bersekolah di Gayo, kami semua sekolah di Banda Aceh. Fenomena ini sebenarnya terjadi bukan karena rekan-rekan Gayo kami yang sekolah di Takengon, Blang kejeren dan kota-kota Gayo lainnya kualitasnya lebih rendah dari kami yang bersekolah di Banda Aceh. Tapi kami orang Gayo yang bersekolah di Banda Aceh lebih tahu seluk cara agar lulus UMPTN, bagaimana mensiasatinya dan yang paling penting kami punya jalur untuk mengatur nomor ujian supaya bisa ujian rame-rame di ruang yang sama.
Jadi meskipun kami yang lulus di Teknik dianggap adalah anak-anak yang istimewa dan sebagian anggapan itu memang ada benarnya, tapi sebenarnya bukanlah semuanya anak yang betul-betul punya kemampuan istimewa, beberapa dari kami lulus di Teknik karena waktu UMPTN dalam seruangan kelas kami mengerjakan soal dengan bekerja sama dan saling membagi jawaban. Sebenarnya yang benar-benar punya kemampuan istimewa di teknik itu cuma beberapa orang saja, sisanya, selain yang masuk ke Fakultas Teknik dengan memakai 'gacok', sebutan untuk 'Joki', rata-rata kami anak Banda Aceh masuk ke Fakultas Teknik dengan cara ikut ujian bersama-sama seperti yang saya gambarkan di atas.
Aku sendiri ketika ikut UMPTN juga melakukan praktek seperti itu, tapi aku tidak melakukannya dengan teman-temanku dari SMA 2. Aku diajak bergabung dalam kelompok oleh seorang teman yang kukenal di Bimafika, bimbingan belajar menjelang UMPTN yang paling terkenal di Banda Aceh. Kebanyakan dari anggota kelompokku yang berjumlah 20 orang ini tidak pernah kukenal sebelumnya. Tapi dengan didasari oleh kepentingan yang sama kamipun bergabung, menyusun strategi ujian, membagi kami ber-20 dalam kelompok yang mengerjakan masing masing bidang studi, ada yang mengerjakan Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi. Aku kebagian Matematika.
Setelah kelompok itu dibentuk lalu kami menyusun strategi untuk memilih ruang ujian, ruang terbuka dan gedung besar semacam lapangan Lampineung aatu Gelanggang Mahasiswa adalah lokasi ujian yang kami hindari. Sebaliknya kami mencari lokasi Ujian yang di sekolah-sekolah dengan menempatkan 20 orang peserta dalam satu ruangan kelas. Dan kamipun memilih ikut ujian di SMA negeri Darusussalam. Lalu strategi agar kami semua ditempatkan dalam satu kelaspun di susun. Karena kami tidak punya 'orang dalam' yang bisa mengatur urutan formulir yang kami dapatkan. Kamipun mengaturnya dengan cara tradisional yaitu antri sesuai nomer urut. Kami lihat nomer berapa yang sudah keluar dengan kelipatan 20-an, lalu kami masuk di belakangnya dan kamipun mendapatkan yang kami harapkan. Tapi sialnya, perhitungan kami agak salah sehingga kami terpisah dalam dua kelas. dan strategipun disusun ulang. Karena kekuatan kami sekarang berkurang 50%.
Nasib buruk kami semakin jelas ketika ternyata karena banyaknya indikasi kecurangan di UMPTN-UMPTN sebelumnya, untuk tahun 1992, nomor urutan duduk dalam ruangan tidak dibuat urut sesuai formulir tapi diacak sedemikian rupa. maka hancur leburah segala strategi kami. Ketika ujian kami memang masih tetap bisa bekerja sama, tapi sama sekali tidak maksimal. Akibatnya semua rencana kami berakhir jauh dari harapan. Dari kami ber 20- hanya aku sendiri yang lulus.
Sepertinya kebijakan baru ini pulalah yang membuat, komposisi mahasiswa teknik angkatan 92 cukup bervariasi. Ada banyak anak-anak dari daerah yang diterima tahun ini. Karena jika tidak ada kebijakan seperti itu, aku yakin setidaknya setengah dari kelompokku akan lulus di Teknik.
Mengenai pandangan umum tentang anak-anak yang berasal dari Lhok Seumawe, Langsa atau Kuala Simpang yang kami anggap hebat, seringkali ada benarnya. Contohnya ketika penataran, di bagian kelompok kami yang semuanya berisi anak Teknik Sipil, mahasiswa baru yang terlihat paling menonjol, yang sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbobot dan juga menjawab pertanyaan secara berbobot pula adalah dua orang mahasiswa baru asal Kuala Simpang. Keduanya teman sekelas di SMA, yang satu namanya Fahmi Rizal dan yang satu lagi Teuku Nurul Fuadi. Fahmi yang berbadan lebih kecil, terlihat lebih intelek dan lebih menonjol dari Nurul Fuadi yang badannya bongsor cenderung gendut sehingga mengingatkan kami pada bentuk makhluk langka yang bernama badak Sumatra, karena kemiripan ini kami kadang menjulukinya Badek II, label 'II' untuk membedakannya dengan 'badak' yang satu lagi, Ruziyandri alias'Kades' yang adalah teman sekolahku asal SMA 2.
Karena sosok dua anak Kulala Simpang di angkatan kami yang sangat menonjol selama penataran itulah, ketika selesai penataran P4 oleh abang-abang himpunan kami diminta untuk memilih komisaris tingkat kami yang disingkat KOMTING, yang terpikir di kepala kami adalah kedua anak Kula Simpang itu. Sebetulnya kami anak teknik sipil ingin memilih Fahmi sebagai komisaris kami. Tapi saat hari pemilihan yang memang tidak pernah direncanakan, Fahmi kebetulan tidak datang. Jadi kamipun mencalonkan temannya Teuku Nurul Fuadi sebagai calon komisaris angkatan kami. Tapi beberapa anak SMA 3 mencalonkan anak SMA mereka yang bernama Irfan yang sewaktu Ospek diberi nama 'Abua' yang berarti 'Pak De'. Jadilah pemilihan itu memiliki dua calon Teuku Nurul Fuadi dan Abua dan kamipun bersiap untuk melakukan pemungutan suara. Tapi menjelang pemungutan suara tiba-tiba tanpa diduga muncul calon independen yang mengajukan dirinya sendiri untuk menjadi komisaris. Calon independen ini bernama 'Virgo Erlando Purba' Orang Batak asal Siantar yang memiliki ciri khas rambut selalu berminyak dan disisir rapi seperti bos-bos mafia.
Kami yang tidak terlalu mengenal Virgo karena sewaktu penataran dia ada di kelompok anak-anak teknik mesin saling berpandangan melihat kejadian ini. Tapi panitia pemilihan menerima usulnya dan sekarang calonnya menjadi tiga. Saat dilakukan pemilihan Teuku Nurul Fuadi menang telak mengalahkan Abua, Virgo sendiri hanya mendapat satu suara, yaitu suaranya sendiri.
Sejak saat itu Nurul Fuadi pun resmi menjadi KOMTING angkatan kami dan sejak itu pula dia kehilangan nama pemberian orang tuanya karena sejak saat itu kami tidak pernah lagi memanggilnya Nurul, tapi KOMTING. Setelah kami bergaul lebih akrab, ternyata KOMTING kami yang selama penataran tampak begitu hebat dan kami pikir berwibawa ternyata sama sekali berbeda 180 derajat dengan aslinya. Karakter yang dia tunjukkan selama penataran ternyata hanya tipuan kesan pertama. Tapi apa boleh buat, kami sudah memilihnya sebagai KOMTING dan kamipun harus konsekwen dengan pilihan kami 'Istiqamah' istilah islamnya.
Teuku Nurul Fuadi memangku jabatan KOMTING-nya hanya selama 6 bulan saja. Dia kehilangan jabatannya karena secara sepihak dikudeta oleh ABUA, sehabis liburan semester pertama. Saat 'kudeta'itu terjadi, bukan hanya KOMTING yang merasa aneh kehilangan jabatannya, tapi juga kami semua, seluruh mahasiswa teknik Sipil angkatan 92. Kami sama sekali tidak pernah merasa memilih ABUA, tapi ABUA sendiri dengan keahliannya mendekati abang leting, secara sepihak mengaku dialah KOMTING angkatan 92. Tapi karena memang didapatkan secara tidak sah, ABUA pun memangku jabatannya tidak terlalu lama, karena kami melengserkannya dan kamipun memilih Komisaris baru. Saat pemilihan kedua ini, karakter asli kami semua sudah mulai terlihat, tidak ada lagi 'tipuan' kesan pertama. Jadi saat itu yang kami pilih adalah yang kami rasa paling tepat untuk mewakili kami, yaitu manejer tim bola kami Isvandi yang belakangan namanya kami plesetkan menjadi 'Pepeng' seperti nama pembawa acara kuis jari-Jari.
Tapi meskipun jabatan KOMTING di angkatan kami telah berpindah beberapa kali, panggilan nama KOMTING tetap kami pakai untuk memanggil Teuku Nurul Fuadi dan panggilan itu tetap tidak berubah sampai hari ini.
Begitulah Tulisan bagian pertama ini tentang anak-anak seangkatan kuliahku Sipil 92, kalau ada waktu, nanti akan aku lanjutkan ke bagian berikutnya.
Wassalam
Win Wan Nur
Sabtu, 14 Februari 2009
Pemaksaan Atas Dasar Cinta yang Menyebalkan dan Merusak
Sangat sering saya melihat dan mengalami sendiri pemaksaan berdasarkan rasa Cinta. Pemaksaan berdasarkan alasan ini sangat menyebalkan karena si pemaksa merasa apapun yang dilakukan berdasarkan niat baik dan ketulusan apalagi CINTA pasti akan baik pula hasilnya. Padahal pemaksaan model ini seringkali pada akhirnya merusak, baik itu merusak si pemaksa maupun yang dipaksa.
Pemakasaan model ini yang paling sering terjadi adalah pemaksaan berdasarkan rasa cinta yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Pemaksaan itu bentuknya bermacam-macam, mulai dari memaksakan pemilihan pakaian, memaksakan pemilihan jurusan di sekolah dan kuliah, memaksakan pemilihan prosesi anak sampai yang paling parah memaksakan pemilihan pasangan hidup anaknya.
Yang lebih menyebalkan, seringkali pemaksaan itu disertai dengan ancaman mulai dari yang pasif dengan mengumbar kelemahan semacam "kalau kamu tidak menuruti ibu, nanti sakit jantung ibu bisa kumat" diikuti dengan yang aktif semacam "awas nanti kamu bisa kualat kalau tidak menuruti nasehat orang tua", biasanya ancaman begini dikeluarkjan oleh para orang tua yang di masa kecilnya banyak diracuni cerita semacam Malin Kundang dan sejenisnya, sampai ke yang hiper aktif yang mengumbar ancaman nyata semacam "kalau kamu tidak mengikuti nasehat bapak, kamu boleh pergi dari rumah ini" atau "kamu bukan anak bapak lagi", atau "kamu tidak akan bapak beri warisan".
Orang tua semacam ini biasanya memang sangat mencintai anaknya, tapi terperangkap dalam situasi uniknya sendiri yang dia alami di lingkungannya baik saat ini dan terutama di masa mudanya. Dia tidak sadar kalau situasi unik yang dia alami itu sifatnya cuma 'terberi'. Hadir begitu saja di lingkungannya.
Seperti yang saya tulis dalam tulisan sebelumnya, ketika'yang terberi' itu diabaikan, maka selalu saja diasumsikan bahwa yang terberi itu sifatnya universal. Mereka berfikir 'saya manusia dan anak saya juga manusia'..., maka 'kalau ini bagus buat saya jelas ini juga bagus buat anak saya'. Orang tua semacam ini tidak pernah mau tahu kalau gaya berpakaian zaman sekarang sudah berbeda dengan zaman di masa dia muda, mereka tidak pernah mau tau kalau minat dan bakat anaknya belum tentu sama dengan minat dan bakatnya, mereka tidak pernah mau tau kalau profesi yang dia anggap hebat di masa mudanya sekarang sudah jadi profesi semenjana bahkan mereka tidak pernah mau tau kalau selera terhadap pasangan hidup anaknya juga berbeda dengan seleranya.
Yang jelas dengan memaksakan pendapat dan keinginannya pada anak yang dia cintai, Orang tua semacam ini sudah merasa berbuat baik, merasa berpahala pada Tuhan dan telah memberikan yang terbaik bagi buah hatinya.
Pemaksaan semacam ini sering berkahir seperti yang diinginkan orang tua, si anak hanya bisa manut dan makan hati sampai tua. Tapi kadang juga berakhir sebaliknya, si anak yang dipaksa memberontak dan melawan keinginan orang tua, memusuhi dan membenci orang tuanya, kadang si anak jatuh ke jeratan narkoba sampai yang paling parah si anak bunuh diri, seperti yang digambarkan Sophia Coppola dalam filmnya 'Virgin Suicide' yang salah dibintangi antara lain oleh Kirsten Dunst. Atau di film Indy- buatan Singapura 'I Not Stupid'.
Pemaksaan berdasarkan cinta ini juga kadang terjadi dalam hubungan romantis, tapi untuk pemaksaan berdasarkan cinta jenis ini jarang sekali berakhir sukses. Lalu ada juga karena preferensi agama bahkan budaya, pemaksaan berdasarkan rasa cinta dengan alasan terakhir, belakangan saya lihat marak di milis-milis yang saya ikuti, pelakunya siapa lagi kalau bukan Kosasih, serinen saya yang lahir dan besar di Jawa.
Kosasih yang orang Gayo ini merasa hidupnya begitu nyaman, tentram dan berbudaya sejak dia mengadopsi tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa. Karenanya Kosasih yang mengaku sangat mencintai Gayo tanah nenek moyangnya dan kami semua orang Gayo sernennya ini untuk meninggalkan segala nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Gayo kami yang dia pandang demikian rendah. Untuk diganti atau setidaknya dimodifikasi menjadi mirip nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa seperti yang dia anut. Karena dalam pandangannya tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa begitu tinggi, agung dan Adi luhung sehingga tidak ada yang menandingi di bumi nusantara ini.
Apa yang ditunjukkan Kosasih ini mengingatkan saya pada apa yang saya saksikan di tahun 2005, ketika seorang teman yang saya kenal saat saya tinggal di Bandung mengundang saya untuk menghadiri "kesaksian" di gereja Lembah Pujian yang terletak di jalan Nangka Utara Bali.
Teman saya ini adalah seorang keturunan Cina asal Malang yang selalu gelisah karena merasa ada sesuatu yang kosong dalam jiwanya, yang dia simpulkan sendiri itu adalah kekosongan spiritual. Untuk mengisi kekosongan itu dia bermaksud mengisinya dengan mengimani sebuah agama. Tapi selama yang saya tahu, teman saya ini tidak pernah puas dengan ajaran agama yang dianutnya, karena itulah dia terus mencari. Dari 5 agama resmi yang diakui pemerintah di negara ini, hanya Islam yang belum pernah dimasuki teman saya ini. Karena pengalaman buruk berkaitan dengan Islam yang dia alami di masa lalu, sejak awal teman saya ini memutuskan untuk menghindari Islam sebagai sebuah alternatif untuk mengisi kekosongan jiwanya.
Teman saya ini terlahir dari orang tua etnis Cina asal Bali yang entah bagaimana ceritanya bisa menganut hindu malah punya kasta Weisya. Latar belakang orang tuanya yang seperti ini membuat teman saya ini lahir sebagai Hindu juga dan mendapat nama Gusti sebagai nama depan sebagai penanda kastanya. saat tumbuh dewasa dia merasa tidak puas dengan agama Hindu yang sedemikian mengikat dan begitu banyak aturan dan upacara yang harus dipenuhi, menurut teman saya ini Hindu tidak Universal karena itu dia meninggalkannya. Lalu dia beralih ke Buddha, agama ini sempat dia anut beberapa lama dan diapun merasa tenang dengannya, tapi kemudian dia kembali merasa hampa, karena menurutnya Buddha terlalu mengawang-awang sampai-sampai tidak boleh ada keinginan. Dia kemudian beralih ke Katolik, agama ini dia anut cukup lama dan diapun merasakan ketenangan di dalamnya.
Teman saya ini bisa merasa akrab dengan saya karena dia tahu kalau sayapun senang mempelajari agama-agama lain di luar agama yang saya yakini. Dia pikir sayapun seperti dia, melakukannya karena saya juga merasa ada sesuatu yang kosong dalam jiwa saya. Padahal yang terjadi pada saya justru sebaliknya, saya sudah sangat puas dengan agama yang saya anut dan melalui agama yang saya anut pula saya mampu secara utuh mengisi kebutuhan spiritual dalam jiwa saya. Saya mempelajari agama lain hanya semata karena ditarik oleh rasa penasaran saja. Jadi berbeda dengan teman saya itu yang ketika mempelajari sebuah agama ikut masuk secara emosional dalam tata nilai dan doktrin yang ada di dalamnya, saya mempelajari agama-agama lain dengan mentalitas seperti seorang antropolog yang ambigu terhadap materi yang diamatinya, memahami kenapa orang percaya, kenapa orang meyakini agamanya tapi saya sendiri sama sekali tidak terlibat secara emosional di dalamnya.
Lagi-lagi seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, karena orang cuma bisa berpikir dalam batas pengalamannya sendiri saja, teman saya inipun begitu juga. Bisa jadi karena dia punya pengalaman buruk dengan agama yang saya anut lalu memiliki pandangan negatif pula terhadapnya, dia pikir sayapun begitu terhadap agama saya, karena itulah saya mencari.
Saat dia menganut Katolik dia merasa begitu tenang dan diapun ingin membagi ketenangan yang dia dapatkan itu kepada saya. Katanya melalui pengamatannya, saya adalah salah seorang yang jiwanya gelisah. Sampai hari ini saya tidak pernah tahu, apa dasar pengamatannya itu dan entah menggunakan metode apa, saya juga tidak tahu. Yang jelas atas pengamatan yang dia buat sendiri dan dia yakini sendiri, lalu diapun membuat solusi sendiri pula atas apa yang dia simpulkan sebagai masalah saya itu. Maka sayapun diajarinya do'a 'Novena Salam Maria' dan dihadiahi sebuah palang salib yang disebut Rosario. Karena menurut teman saya ini kedua hal itulah yang memberi ketenangan pada jiwanya.
Tapi belakangan, teman saya ini juga merasa tidak puas dengan Katolik yang terlalu kaku, tapi dia sudah sangat percaya pada kasih Yesus yang menurutnya satu-satunya juru selamat yang bisa menyelamatkan seluruh umat manusia dan dia sendiri sudah merasakannya, menurutnya sensasi yang dia dapatkan saat mendapatkan kasih Yesus terasa berbeda dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Karena itulah ketika kembali berpindah agama, dia tetap memilih Kristen, tapi kali ini Kristen Protestan. Aliran yang dia pilih adalah aliran Kharismatik, aliran kristen Protestan yang paling giat melakukan penginjilan alias penyebaran agama kristen. Aliran ini didukung oleh tiga gereja, Bethany, Tiberias dan Pantekosta. Teman saya ini bergabung dengan gereja Bethany.
Suatu waktu, saya diajak oleh teman saya ini menghadiri sebuah acara 'kesaksian' yang diselenggarakan sebuah organisasi sosial kecil dengan didukung oleh Gereja tempat teman saya ini bernaung. Mereka mengadakan sebuah acara pertunjukan massal yang dibuka untuk umum. Acara ini didukung oleh musisi-musisi papan atas negeri ini seperti Rio Febrian, Glenn Fredly, Saba Brothers dan banyak lagi dan ditambah beberapa pesohor lain seperti Ari Wibowo. Untuk menarik banyak pengunjung, acara gratis yang diselenggarakan di lapangan Sabuga ini diiklankan besar-besaran di seantero Kota Bandung. Tapi dalam iklan itu sama sekali tidak disebutkan kalau acara ini adalah sebuah acara dakwah kristen.
Pada hari 'H', pengunjung acara ini luar biasa banyak sampai membludak, dan acaranya memang keren abis. Berbagai lagu ditampilkan oleh para penyanyi terkenal itu dalam kualitas tinggi yang diiringi dengan musik yang juga sama bagusnya. lagu yang dinyanyikan dalam acara ini adalah lagu-lagu terkenal yang di beberapa bagian liriknya diganti dengan kata "Yesus", "Kasih Tuhan", "Gembalamu" dan sejenisnya. Ini mengingatkan saya pada sebuah episode "South Park" yang berjudul "Christian Rock".
Mendengar keanehan lagu yang ditampilkan, beberapa cewek berjilbab di samping saya terlihat gelisah. Rupanya mereka merasa tertipu menghadiri acara gratis yang ternyata adalah media penyebaran agama secara terselubung ini. Cewek-cewek di samping saya semakin gelisah ketika pembawa acara mengajak seluruh pengunjung meneriakkan 'haleluyah'.
Cewek-cewek berjilbab ini semakin gelisah ketika acara musik ini diselingi dengan acara kesaksian dari seorang artis ganteng dan terkenal, Ari Wibowo, yang mengaku terlahir sebagai orang Islam tapi hidupnya terus merasa gelisah, padahal selama ini dia hidup bergelimang uang dan ketenaran. Sampai suatu waktu dia bermimpi mendengar sebuah suara yang penuh otoritas yang menyebutkan AMSAL yang merupakan salah satu nama surat dalam Perjanjian Baru (saya lupa ayat berapa dan juga redaksinya). Yang jelas menurut Ari Wibowo saat itu dia tidak pernah tahu apa itu Amsal, karena dia sama sekali tidak pernah belajar mengenai keimanan Kristen. Dia menceritakan dengan lidah cadelnya pengalaman masa kecilnya dulu sewaktu dia di Jerman, di sana Kristen adalah agama dominan, Islam di sana tidak dianggap, apalagi Ari Wibowo berasal dari negara semenjana, dia sama sekali tidak dianggap di kelasnya. Menurut Ati Wibowo, di sekolahnya di jerman dulu, memang ada pelajaran agama kristen, tapi karena saat itu dia muslim, maka setiap dikelasnya berlangsung pelajaran itu, dia dan beberapa temannya yang lain yang juga muslim asal Turki dipersilahkan bermain di luar kelas.
Tapi karena menurut Ari Wibowo suara yang dia dengar itu begitu jelas. Saat mengatakan itu Ari sempat memamerkan suara dan gaya bencong yang menurutnya kalau seperti itu tidak mungkin suara Tuhan, tapi suara yang dia dengar ini penuh otoritas, karenanya dia yakin itu suara Tuhan. Karena yakin itu suara Tuhan, Ari Wibowo kemudian mencari tahu dan mendapati kalau Amsal itu adalah nama sebuah surat dalam alkitab. Diapun mencari alkitab itu dan menemui memang apa yang dalam mimpinya persis tertulis di sana. Sejak saat itu menurut Ari Wibowo dia menjadi terpacu mengenal Yesus lebih dalam dan diapun mendapatkan ketenangan dalam hidupnya. Di panggung, Ari Wibowo yang dikenal sebagai aktor laga ini juga sempat memamerkan beberapa jurus tae Kwon do-nya. Dan menurutnya apa yang dia pamerkan itu tidak baik dan bertentangan dengan keimanan kristen yang menyuruh umatnya menyodorkan pipi kanan saat pipi kiri ditampar. Karena itulah menurut Ari Wibowo, sejak dia menganut kristen, dia tidak pernah lagi menerima tawaran bermain di sinetron laga.
Cewek-cewek berjilbab di samping saya bertambah gelisah dan memilih keluar, ketika kemudian kesaksian Ari Wibowo diikuti dengan kesaksian seorang warga asing berkulit putih dalam bahasa inggris yang diterjemahkan oleh pembawa acara dengan penuh semangat. Si bule ini mengisahkan kesaksiannya yang sembuh dari sebuah penyakit ganas saat dia berdoa dan mengingat Yesus sedemikian khusyuknya dan kemudian melihat cahaya dan seolah Yesus sendiri menghampirinya. Dia sembuh dari penyakit itu dan bisa bersaksi di sini, padahal saat itu dokter telah memvonis kalau umurnya tinggal beberapa hari lagi.
Dari Bandung saya pindah ke Bali, sementara teman saya ini kembali ke Malang, di Malang dia semakin dalam terikat dengan iman kekristenannya mulai melibatkan diri dalam aktivitas kekristenan.
Tahun 2005, di Bali, tepatnya di Hotel Conrad, Tanjung Benoa diadakan sebuah konferensi kreasionis kristen sedunia. Konferensi ini diselenggarakan oleh sebuah organisasi yang menolak segala teori ilmiah yang bertentangan dengan alkitab. Sasaran utama mereka tentu saja Teori Evolusi. Teman saya ini hadir diacara ini sebagai utusan dari gereja Bethany Malang.
Karena tahu saat itu saya tinggal di Bali, teman saya ini lagi-lagi mengundang saya untuk mengikuti salah satu rangkaian kegiatan ini yang mirip seperti yang saya ikuti di Sabuga, beberapa tahun sebelumnya. Kali ini yang menjadi EO acaranya adalah model terkenal Tracy Trinita. Cuma bedanya kali ini acaranya diadakan bukan di sebuah gedung untuk umum tapi di gereja Lembah Pujian seperti yang saya ceritakan di atas.
Gereja lembah pujian ini adalah salah satu pusat penyebaran kristen di Bali. Terletak di sebuah lembah yang luas dengan bangunan megah yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas semacam poliklinik untuk pengobatan gratis, klinik bersalin gratis dan bahkan gereja ini sering membagikan sembako gratis kepada siapa saja tanpa membedakan agamanya, yang penting bagi mereka orang mau datang berkunjung ke gereja itu dan tentu saja mendengarkan sedikit informasi tentang Kasih Yesus yang menenangkan. Gereja ini juga sangat terkenal di luar Bali, saya tahu itu ketika saya bertemu dengan salah seorang teman saya yang lain yang juga aktivis gereja yang sering mengirimi saya berbagai SMS yang mempromosikan kasih Yesus. Menurut teman saya ini Gereja Lembah Pujian adalah bukti kuasa Yesus, gereja itu bisa tegak berdiri di tengah masyarakat yang dinaungi kuasa jahat, penuh dengan berbagai teluh dan sihir.
Saya tiba di Lembah Pujian agak terlambat. Saat saya datang acara sudah dimulai, dan seperti di Sabuga, di gereja inipun pengunjungnya membludak. Tapi bedanya di sini sepertinya pengunjungnya semuanya kristen, kebanyakan berwajah timur seperti wajah Ambon, Kupang atau Flores, ada juga cina dan Jawa. Hampir tidak ada orang Bali.
Saat saya tiba, pintu gereja sudah ditutup. Untuk bisa masuk ke dalam, saya menelpon teman saya tersebut dan diapun datang dengan ditemani Tracy Trinita dan memperkenalkan si model ini pada saya dan lalu mengajak saya masuk.
Saat masuk, saya lihat keadaan dalam gereja ini tidak kalah dengan bagian luarnya. Gedung gereja ini dilengkapi dengan akustik ruangan yang sangat bagus sehingga suara nyanyian dan musik di dalam ruangan tidak menggema.
Acara di gereja ini tidak berbeda dengan yang saya saksikan di sabuga, ada nyanyian lagu-lagu Pop terkenal yang liriknya 'dikristenkan'. Saat saya masuk, penyanyi di panggung sedang menyanyikan "who Let the dogs out" yang liriknya diganti dengan "Jesus our saviour" sehingga berbunyi Jesus our Saviour..woof woof woof. Di acara ini juga ada kesaksian, yang lagi lagi oleh Ari Wibowo dengan cerita dan nada serta pamer gerakan Tae Kwon Do, persis seperti yang pernah saya lihat di Sabuga.
Yang membedakannya di acara ini juga ada pidato seorang profesor asal Amerika yang menjelaskan perjuangannya untuk memaksa pemerintah USA untuk memasukkan pelajaran tentang kreasionisme ke dalam kurikulum pelajaran IPA di sekolah-sekolah di sana.
Tapi yang paling menarik perhatian saya adalah kesaksian seorang Kristen asal Jawa Barat yang dulunya memeluk Islam. Si kristen mantan Islam ini dalam kesaksiannya menangis begitu sedihnya sampai mencucurkan air mata.
Menurut pengakuannya, air matanya itu adalah air mata bahagia bercampur kesedihan. Dia bahagia karena merasa sejak menganut Kristen, sejak dia menjadikan Yesus sebagai juru selamatnya, hidupnya terasa begitu indah, begitu tenang dan dia merasakan kenikmatan spiritual begitu sempurna, karenanya dia merasa sangat beruntung.
Dia merasa sedih karena menurutnya dia juga sangat mencintai orang tua dan keluarganya yang lain. Tapi orang-orang yang dia cintai itu semua terperangkap dalam kuasa gelap, tersesat dan jauh dari kasih Yesus. Menurut pengakuannya, selama ini dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk membawa orang tuanya untuk ikut menerima Yesus sebagai juru selamat dan mendapatkan kehidupan yang indah, tenang serta merasakan kenikmatan spiritual yang sempurna. Tapi alih-alih diterima, orang tuanya yang dengan keras kepala bertahan dalam kekafiran dan dalam pengaruh kuasa gelap malah marah dan mengusirnya. Dia sendiri sama sekali tidak sedih diusir orang tuanya, tapi yang disedihkannya adalah bagaimana orang-orang yang dia cintai itu nanti akan disiksa di neraka dan tidak dapat mencapai bapa karena tidak mengakui Tuhan Yesus yang baik sebagai juru selamatnya.
Tampaknya si orang kristen mantan islam ini sangat menghayati sebuah ayat dari surat Matius yang berbunyi "tiada yang dapat mencapai Bapa kecuali melaluiNya (Yesus)". Melalui penghayatannya yang mendalam, penuh kepasrahan dan tanpa tanya, tampaknya si mantan muslim ini juga telah merasakan suatu arus rasa yang sangat manis dan indah luar biasa secara estetis yang dalam tradisi hindu (yang kemudian diserap secara konseptual oleh bahasa Indonesia juga) disebut rasa.
Bahasa Sansekerta menyebutnya sebagai 'akhandaika-rasa' yang dalam bahasa inggris didefinisikan sebagai 'unbroken uniflow of sweetness'.
Saya sangat memaklumi rasa bahagia yang dialami si mantan muslim itu, karena 'Akhandaika-rasa' itu memang satu pengalaman puncak, 'Akhandaika-rasa' itu
seperti cinta yang benar-benar cinta yang memang tidak banyak orang yang mengalami serta merasakannya. Banyak orang yang kawin, tapi tidak banyak yang
bisa menikmati sejenis akhandaika-rasa dari cinta yang eksis di dalam perkawinan mereka.
Yang menjadi masalah dalam kesaksian si mantan muslim itu adalah ketika dia menjelaskan perasaannya atas 'unbroken uniflow of sweetness' itu sebagai BUKTI atas kasih Tuhan Yesus dan bahkan sebagai BUKTI atas eksistensi Tuhan Yesus yang disambut teriakan puji Tuhan oleh pembawa Acara dan diikuti oleh pengunjung lainnya.
Padahal 'akhandaika-rasa' itu betul-betul universal yang bisa dirasakan melalui musik, filsafat, agama, ketaatan, pelatihan SQ-nya Ary Ginanjar dan lain sebagainya. Bukan hanya kristen, agama atau isme apapun yang mengharuskan pengikutnya untuk menghayati ajaran agama atau ismenya, tanpa tanya, tanpa menggunakan akal sebagai sandaran tapi betul-betul hanya percaya pada TEXT yang dipercayai berasal dari Tuhan tapi dipahami berdasarkan kacamata manusia yang menjadi pemimpinnya juga pasti akan merasakan 'unbroken uniflow of sweetness' ini.
Inilah sebabnya banyak aliran-aliran sesat yang aneh-aneh bisa muncul, pemimpin aliran ini biasanya punya kemampuan untuk mengeksplorasi perasaan pengikutnya sehingga membuat umatnya merasakan 'akhandaika-rasa', ketika orang yang menjadi umatnya itu berhasil mendapatkannya. Tidak jarang umat yang telah merasakan 'unbroken uniflow of sweetness' ini sampai rela menyerahkan istrinya untuk ditiduri ketua alirannya, kadang pengalaman atas rasa ini menjadi aksi yang merusak kanan kiri. Bahkan ada yang saking larutnya sampai rela mengorbankan jiwanya.
Begitulah si mantan muslim yang membuat kesaksian di Lembah Pujian ini, dia merasa 'akhandaika-rasa' yang dia dapatkan karena rasa yakin dan percayanya kepada Yesus itu adalah bukti kasih Tuhan Yesus dan bahkan sebagai BUKTI atas eksistensi Tuhan Yesus. Dan hanya dengan cara seperti yang dia lakukan itulah siapaun juga bisa merasakan 'akhandaika-rasa' alias 'unbroken uniflow of sweetness'.
Dia sama sekali tidak bisa lagi melihat betapa banyak nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan universal dalam Islam, agama yang dianut orang tuanya. Baginya apa yang dianut oleh orang tuanya itu adalah ajaran sesat yang menjauhkan orang tuanya dari kasih Yesus yang demikian indah sehingga orang tuanya tidak akan pernah mencapai bapa di surga dan orang tua yang dia cintaipun akan terjerumus ke dalam neraka.
Kosasih serinen saya yang lahir dan besar di Jawa inipun tampaknya telah merasakan yang namanya 'unbroken uniflow of sweetness' dalam budaya Jawa. Dan seperti si mantan Muslim di lembah Pujian itu, Kosasihpun merasa kenikmatan seperti itu hanya bisa dirasakan melalui penerimaan terhadap segala tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa.
Karena itulah Kosasihpun dengan rasa cintanya yang besar terhadap kami orang Gayo serinennya, seperti si mantan muslim yang sekuat tenaga berusaha mengkristenkan orang tuanya. Kosasihpun demikian, karena besarnya rasa cintanya terhadap Gayo, diapun berusaha dengan segala cara agar kami orang Gayo meninggalkan segala unsur kegayoan kami segala tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya kami dan menggantinya dengan tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa.
Apa yang dilakukan Kosasih belakangan ini di berbagai milis dan juga dipraktekkan oleh orang-orang yang sekelompok dengannya, persis sama seperti yang dilakukan si Kristen yang mantan muslim yang saya ceritakan di atas. Orang-orang di kampung-kampung Gayo dibuat merasa rendah diri dengan budayanya sendiri. Secara halus orang Gayo dipaksa mengganti tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budayanya dengan tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa.
Bagi orang Gayo yang tidak mengenal budaya Gayo dengan baik dan merasa minder terhadap budaya Jawa, seperti Ari Wibowo yang minder jadi orang Islam di Jerman. Ajakan Kosasih ini tentu akan mudah mereka terima. Tapi bagi orang Gayo seperti saya yang sangat mengenal, menghormati dan menghargai budaya Gayo warisan Muyang Datu saya.
Saya tentu saja merasa sebal dan terganggu dengan aksi merusak yang dilakukan Kosasih atas dasar CINTA ini. Karena itulah belakangan ini kepada Kosasih saya mulai bersikap seperti orang tua si Kristen mantan Muslim tadi. Meminta bahkan memaki Kosasih supaya dia tidak mengusik budaya kami dan menyuruhnya tinggal diam duduk manis dan menikmati keindahan dan adi luhungnya budaya Jawanya.
Wassalam
Win Wan Nur
Pemakasaan model ini yang paling sering terjadi adalah pemaksaan berdasarkan rasa cinta yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Pemaksaan itu bentuknya bermacam-macam, mulai dari memaksakan pemilihan pakaian, memaksakan pemilihan jurusan di sekolah dan kuliah, memaksakan pemilihan prosesi anak sampai yang paling parah memaksakan pemilihan pasangan hidup anaknya.
Yang lebih menyebalkan, seringkali pemaksaan itu disertai dengan ancaman mulai dari yang pasif dengan mengumbar kelemahan semacam "kalau kamu tidak menuruti ibu, nanti sakit jantung ibu bisa kumat" diikuti dengan yang aktif semacam "awas nanti kamu bisa kualat kalau tidak menuruti nasehat orang tua", biasanya ancaman begini dikeluarkjan oleh para orang tua yang di masa kecilnya banyak diracuni cerita semacam Malin Kundang dan sejenisnya, sampai ke yang hiper aktif yang mengumbar ancaman nyata semacam "kalau kamu tidak mengikuti nasehat bapak, kamu boleh pergi dari rumah ini" atau "kamu bukan anak bapak lagi", atau "kamu tidak akan bapak beri warisan".
Orang tua semacam ini biasanya memang sangat mencintai anaknya, tapi terperangkap dalam situasi uniknya sendiri yang dia alami di lingkungannya baik saat ini dan terutama di masa mudanya. Dia tidak sadar kalau situasi unik yang dia alami itu sifatnya cuma 'terberi'. Hadir begitu saja di lingkungannya.
Seperti yang saya tulis dalam tulisan sebelumnya, ketika'yang terberi' itu diabaikan, maka selalu saja diasumsikan bahwa yang terberi itu sifatnya universal. Mereka berfikir 'saya manusia dan anak saya juga manusia'..., maka 'kalau ini bagus buat saya jelas ini juga bagus buat anak saya'. Orang tua semacam ini tidak pernah mau tahu kalau gaya berpakaian zaman sekarang sudah berbeda dengan zaman di masa dia muda, mereka tidak pernah mau tau kalau minat dan bakat anaknya belum tentu sama dengan minat dan bakatnya, mereka tidak pernah mau tau kalau profesi yang dia anggap hebat di masa mudanya sekarang sudah jadi profesi semenjana bahkan mereka tidak pernah mau tau kalau selera terhadap pasangan hidup anaknya juga berbeda dengan seleranya.
Yang jelas dengan memaksakan pendapat dan keinginannya pada anak yang dia cintai, Orang tua semacam ini sudah merasa berbuat baik, merasa berpahala pada Tuhan dan telah memberikan yang terbaik bagi buah hatinya.
Pemaksaan semacam ini sering berkahir seperti yang diinginkan orang tua, si anak hanya bisa manut dan makan hati sampai tua. Tapi kadang juga berakhir sebaliknya, si anak yang dipaksa memberontak dan melawan keinginan orang tua, memusuhi dan membenci orang tuanya, kadang si anak jatuh ke jeratan narkoba sampai yang paling parah si anak bunuh diri, seperti yang digambarkan Sophia Coppola dalam filmnya 'Virgin Suicide' yang salah dibintangi antara lain oleh Kirsten Dunst. Atau di film Indy- buatan Singapura 'I Not Stupid'.
Pemaksaan berdasarkan cinta ini juga kadang terjadi dalam hubungan romantis, tapi untuk pemaksaan berdasarkan cinta jenis ini jarang sekali berakhir sukses. Lalu ada juga karena preferensi agama bahkan budaya, pemaksaan berdasarkan rasa cinta dengan alasan terakhir, belakangan saya lihat marak di milis-milis yang saya ikuti, pelakunya siapa lagi kalau bukan Kosasih, serinen saya yang lahir dan besar di Jawa.
Kosasih yang orang Gayo ini merasa hidupnya begitu nyaman, tentram dan berbudaya sejak dia mengadopsi tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa. Karenanya Kosasih yang mengaku sangat mencintai Gayo tanah nenek moyangnya dan kami semua orang Gayo sernennya ini untuk meninggalkan segala nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Gayo kami yang dia pandang demikian rendah. Untuk diganti atau setidaknya dimodifikasi menjadi mirip nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa seperti yang dia anut. Karena dalam pandangannya tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa begitu tinggi, agung dan Adi luhung sehingga tidak ada yang menandingi di bumi nusantara ini.
Apa yang ditunjukkan Kosasih ini mengingatkan saya pada apa yang saya saksikan di tahun 2005, ketika seorang teman yang saya kenal saat saya tinggal di Bandung mengundang saya untuk menghadiri "kesaksian" di gereja Lembah Pujian yang terletak di jalan Nangka Utara Bali.
Teman saya ini adalah seorang keturunan Cina asal Malang yang selalu gelisah karena merasa ada sesuatu yang kosong dalam jiwanya, yang dia simpulkan sendiri itu adalah kekosongan spiritual. Untuk mengisi kekosongan itu dia bermaksud mengisinya dengan mengimani sebuah agama. Tapi selama yang saya tahu, teman saya ini tidak pernah puas dengan ajaran agama yang dianutnya, karena itulah dia terus mencari. Dari 5 agama resmi yang diakui pemerintah di negara ini, hanya Islam yang belum pernah dimasuki teman saya ini. Karena pengalaman buruk berkaitan dengan Islam yang dia alami di masa lalu, sejak awal teman saya ini memutuskan untuk menghindari Islam sebagai sebuah alternatif untuk mengisi kekosongan jiwanya.
Teman saya ini terlahir dari orang tua etnis Cina asal Bali yang entah bagaimana ceritanya bisa menganut hindu malah punya kasta Weisya. Latar belakang orang tuanya yang seperti ini membuat teman saya ini lahir sebagai Hindu juga dan mendapat nama Gusti sebagai nama depan sebagai penanda kastanya. saat tumbuh dewasa dia merasa tidak puas dengan agama Hindu yang sedemikian mengikat dan begitu banyak aturan dan upacara yang harus dipenuhi, menurut teman saya ini Hindu tidak Universal karena itu dia meninggalkannya. Lalu dia beralih ke Buddha, agama ini sempat dia anut beberapa lama dan diapun merasa tenang dengannya, tapi kemudian dia kembali merasa hampa, karena menurutnya Buddha terlalu mengawang-awang sampai-sampai tidak boleh ada keinginan. Dia kemudian beralih ke Katolik, agama ini dia anut cukup lama dan diapun merasakan ketenangan di dalamnya.
Teman saya ini bisa merasa akrab dengan saya karena dia tahu kalau sayapun senang mempelajari agama-agama lain di luar agama yang saya yakini. Dia pikir sayapun seperti dia, melakukannya karena saya juga merasa ada sesuatu yang kosong dalam jiwa saya. Padahal yang terjadi pada saya justru sebaliknya, saya sudah sangat puas dengan agama yang saya anut dan melalui agama yang saya anut pula saya mampu secara utuh mengisi kebutuhan spiritual dalam jiwa saya. Saya mempelajari agama lain hanya semata karena ditarik oleh rasa penasaran saja. Jadi berbeda dengan teman saya itu yang ketika mempelajari sebuah agama ikut masuk secara emosional dalam tata nilai dan doktrin yang ada di dalamnya, saya mempelajari agama-agama lain dengan mentalitas seperti seorang antropolog yang ambigu terhadap materi yang diamatinya, memahami kenapa orang percaya, kenapa orang meyakini agamanya tapi saya sendiri sama sekali tidak terlibat secara emosional di dalamnya.
Lagi-lagi seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, karena orang cuma bisa berpikir dalam batas pengalamannya sendiri saja, teman saya inipun begitu juga. Bisa jadi karena dia punya pengalaman buruk dengan agama yang saya anut lalu memiliki pandangan negatif pula terhadapnya, dia pikir sayapun begitu terhadap agama saya, karena itulah saya mencari.
Saat dia menganut Katolik dia merasa begitu tenang dan diapun ingin membagi ketenangan yang dia dapatkan itu kepada saya. Katanya melalui pengamatannya, saya adalah salah seorang yang jiwanya gelisah. Sampai hari ini saya tidak pernah tahu, apa dasar pengamatannya itu dan entah menggunakan metode apa, saya juga tidak tahu. Yang jelas atas pengamatan yang dia buat sendiri dan dia yakini sendiri, lalu diapun membuat solusi sendiri pula atas apa yang dia simpulkan sebagai masalah saya itu. Maka sayapun diajarinya do'a 'Novena Salam Maria' dan dihadiahi sebuah palang salib yang disebut Rosario. Karena menurut teman saya ini kedua hal itulah yang memberi ketenangan pada jiwanya.
Tapi belakangan, teman saya ini juga merasa tidak puas dengan Katolik yang terlalu kaku, tapi dia sudah sangat percaya pada kasih Yesus yang menurutnya satu-satunya juru selamat yang bisa menyelamatkan seluruh umat manusia dan dia sendiri sudah merasakannya, menurutnya sensasi yang dia dapatkan saat mendapatkan kasih Yesus terasa berbeda dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Karena itulah ketika kembali berpindah agama, dia tetap memilih Kristen, tapi kali ini Kristen Protestan. Aliran yang dia pilih adalah aliran Kharismatik, aliran kristen Protestan yang paling giat melakukan penginjilan alias penyebaran agama kristen. Aliran ini didukung oleh tiga gereja, Bethany, Tiberias dan Pantekosta. Teman saya ini bergabung dengan gereja Bethany.
Suatu waktu, saya diajak oleh teman saya ini menghadiri sebuah acara 'kesaksian' yang diselenggarakan sebuah organisasi sosial kecil dengan didukung oleh Gereja tempat teman saya ini bernaung. Mereka mengadakan sebuah acara pertunjukan massal yang dibuka untuk umum. Acara ini didukung oleh musisi-musisi papan atas negeri ini seperti Rio Febrian, Glenn Fredly, Saba Brothers dan banyak lagi dan ditambah beberapa pesohor lain seperti Ari Wibowo. Untuk menarik banyak pengunjung, acara gratis yang diselenggarakan di lapangan Sabuga ini diiklankan besar-besaran di seantero Kota Bandung. Tapi dalam iklan itu sama sekali tidak disebutkan kalau acara ini adalah sebuah acara dakwah kristen.
Pada hari 'H', pengunjung acara ini luar biasa banyak sampai membludak, dan acaranya memang keren abis. Berbagai lagu ditampilkan oleh para penyanyi terkenal itu dalam kualitas tinggi yang diiringi dengan musik yang juga sama bagusnya. lagu yang dinyanyikan dalam acara ini adalah lagu-lagu terkenal yang di beberapa bagian liriknya diganti dengan kata "Yesus", "Kasih Tuhan", "Gembalamu" dan sejenisnya. Ini mengingatkan saya pada sebuah episode "South Park" yang berjudul "Christian Rock".
Mendengar keanehan lagu yang ditampilkan, beberapa cewek berjilbab di samping saya terlihat gelisah. Rupanya mereka merasa tertipu menghadiri acara gratis yang ternyata adalah media penyebaran agama secara terselubung ini. Cewek-cewek di samping saya semakin gelisah ketika pembawa acara mengajak seluruh pengunjung meneriakkan 'haleluyah'.
Cewek-cewek berjilbab ini semakin gelisah ketika acara musik ini diselingi dengan acara kesaksian dari seorang artis ganteng dan terkenal, Ari Wibowo, yang mengaku terlahir sebagai orang Islam tapi hidupnya terus merasa gelisah, padahal selama ini dia hidup bergelimang uang dan ketenaran. Sampai suatu waktu dia bermimpi mendengar sebuah suara yang penuh otoritas yang menyebutkan AMSAL yang merupakan salah satu nama surat dalam Perjanjian Baru (saya lupa ayat berapa dan juga redaksinya). Yang jelas menurut Ari Wibowo saat itu dia tidak pernah tahu apa itu Amsal, karena dia sama sekali tidak pernah belajar mengenai keimanan Kristen. Dia menceritakan dengan lidah cadelnya pengalaman masa kecilnya dulu sewaktu dia di Jerman, di sana Kristen adalah agama dominan, Islam di sana tidak dianggap, apalagi Ari Wibowo berasal dari negara semenjana, dia sama sekali tidak dianggap di kelasnya. Menurut Ati Wibowo, di sekolahnya di jerman dulu, memang ada pelajaran agama kristen, tapi karena saat itu dia muslim, maka setiap dikelasnya berlangsung pelajaran itu, dia dan beberapa temannya yang lain yang juga muslim asal Turki dipersilahkan bermain di luar kelas.
Tapi karena menurut Ari Wibowo suara yang dia dengar itu begitu jelas. Saat mengatakan itu Ari sempat memamerkan suara dan gaya bencong yang menurutnya kalau seperti itu tidak mungkin suara Tuhan, tapi suara yang dia dengar ini penuh otoritas, karenanya dia yakin itu suara Tuhan. Karena yakin itu suara Tuhan, Ari Wibowo kemudian mencari tahu dan mendapati kalau Amsal itu adalah nama sebuah surat dalam alkitab. Diapun mencari alkitab itu dan menemui memang apa yang dalam mimpinya persis tertulis di sana. Sejak saat itu menurut Ari Wibowo dia menjadi terpacu mengenal Yesus lebih dalam dan diapun mendapatkan ketenangan dalam hidupnya. Di panggung, Ari Wibowo yang dikenal sebagai aktor laga ini juga sempat memamerkan beberapa jurus tae Kwon do-nya. Dan menurutnya apa yang dia pamerkan itu tidak baik dan bertentangan dengan keimanan kristen yang menyuruh umatnya menyodorkan pipi kanan saat pipi kiri ditampar. Karena itulah menurut Ari Wibowo, sejak dia menganut kristen, dia tidak pernah lagi menerima tawaran bermain di sinetron laga.
Cewek-cewek berjilbab di samping saya bertambah gelisah dan memilih keluar, ketika kemudian kesaksian Ari Wibowo diikuti dengan kesaksian seorang warga asing berkulit putih dalam bahasa inggris yang diterjemahkan oleh pembawa acara dengan penuh semangat. Si bule ini mengisahkan kesaksiannya yang sembuh dari sebuah penyakit ganas saat dia berdoa dan mengingat Yesus sedemikian khusyuknya dan kemudian melihat cahaya dan seolah Yesus sendiri menghampirinya. Dia sembuh dari penyakit itu dan bisa bersaksi di sini, padahal saat itu dokter telah memvonis kalau umurnya tinggal beberapa hari lagi.
Dari Bandung saya pindah ke Bali, sementara teman saya ini kembali ke Malang, di Malang dia semakin dalam terikat dengan iman kekristenannya mulai melibatkan diri dalam aktivitas kekristenan.
Tahun 2005, di Bali, tepatnya di Hotel Conrad, Tanjung Benoa diadakan sebuah konferensi kreasionis kristen sedunia. Konferensi ini diselenggarakan oleh sebuah organisasi yang menolak segala teori ilmiah yang bertentangan dengan alkitab. Sasaran utama mereka tentu saja Teori Evolusi. Teman saya ini hadir diacara ini sebagai utusan dari gereja Bethany Malang.
Karena tahu saat itu saya tinggal di Bali, teman saya ini lagi-lagi mengundang saya untuk mengikuti salah satu rangkaian kegiatan ini yang mirip seperti yang saya ikuti di Sabuga, beberapa tahun sebelumnya. Kali ini yang menjadi EO acaranya adalah model terkenal Tracy Trinita. Cuma bedanya kali ini acaranya diadakan bukan di sebuah gedung untuk umum tapi di gereja Lembah Pujian seperti yang saya ceritakan di atas.
Gereja lembah pujian ini adalah salah satu pusat penyebaran kristen di Bali. Terletak di sebuah lembah yang luas dengan bangunan megah yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas semacam poliklinik untuk pengobatan gratis, klinik bersalin gratis dan bahkan gereja ini sering membagikan sembako gratis kepada siapa saja tanpa membedakan agamanya, yang penting bagi mereka orang mau datang berkunjung ke gereja itu dan tentu saja mendengarkan sedikit informasi tentang Kasih Yesus yang menenangkan. Gereja ini juga sangat terkenal di luar Bali, saya tahu itu ketika saya bertemu dengan salah seorang teman saya yang lain yang juga aktivis gereja yang sering mengirimi saya berbagai SMS yang mempromosikan kasih Yesus. Menurut teman saya ini Gereja Lembah Pujian adalah bukti kuasa Yesus, gereja itu bisa tegak berdiri di tengah masyarakat yang dinaungi kuasa jahat, penuh dengan berbagai teluh dan sihir.
Saya tiba di Lembah Pujian agak terlambat. Saat saya datang acara sudah dimulai, dan seperti di Sabuga, di gereja inipun pengunjungnya membludak. Tapi bedanya di sini sepertinya pengunjungnya semuanya kristen, kebanyakan berwajah timur seperti wajah Ambon, Kupang atau Flores, ada juga cina dan Jawa. Hampir tidak ada orang Bali.
Saat saya tiba, pintu gereja sudah ditutup. Untuk bisa masuk ke dalam, saya menelpon teman saya tersebut dan diapun datang dengan ditemani Tracy Trinita dan memperkenalkan si model ini pada saya dan lalu mengajak saya masuk.
Saat masuk, saya lihat keadaan dalam gereja ini tidak kalah dengan bagian luarnya. Gedung gereja ini dilengkapi dengan akustik ruangan yang sangat bagus sehingga suara nyanyian dan musik di dalam ruangan tidak menggema.
Acara di gereja ini tidak berbeda dengan yang saya saksikan di sabuga, ada nyanyian lagu-lagu Pop terkenal yang liriknya 'dikristenkan'. Saat saya masuk, penyanyi di panggung sedang menyanyikan "who Let the dogs out" yang liriknya diganti dengan "Jesus our saviour" sehingga berbunyi Jesus our Saviour..woof woof woof. Di acara ini juga ada kesaksian, yang lagi lagi oleh Ari Wibowo dengan cerita dan nada serta pamer gerakan Tae Kwon Do, persis seperti yang pernah saya lihat di Sabuga.
Yang membedakannya di acara ini juga ada pidato seorang profesor asal Amerika yang menjelaskan perjuangannya untuk memaksa pemerintah USA untuk memasukkan pelajaran tentang kreasionisme ke dalam kurikulum pelajaran IPA di sekolah-sekolah di sana.
Tapi yang paling menarik perhatian saya adalah kesaksian seorang Kristen asal Jawa Barat yang dulunya memeluk Islam. Si kristen mantan Islam ini dalam kesaksiannya menangis begitu sedihnya sampai mencucurkan air mata.
Menurut pengakuannya, air matanya itu adalah air mata bahagia bercampur kesedihan. Dia bahagia karena merasa sejak menganut Kristen, sejak dia menjadikan Yesus sebagai juru selamatnya, hidupnya terasa begitu indah, begitu tenang dan dia merasakan kenikmatan spiritual begitu sempurna, karenanya dia merasa sangat beruntung.
Dia merasa sedih karena menurutnya dia juga sangat mencintai orang tua dan keluarganya yang lain. Tapi orang-orang yang dia cintai itu semua terperangkap dalam kuasa gelap, tersesat dan jauh dari kasih Yesus. Menurut pengakuannya, selama ini dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk membawa orang tuanya untuk ikut menerima Yesus sebagai juru selamat dan mendapatkan kehidupan yang indah, tenang serta merasakan kenikmatan spiritual yang sempurna. Tapi alih-alih diterima, orang tuanya yang dengan keras kepala bertahan dalam kekafiran dan dalam pengaruh kuasa gelap malah marah dan mengusirnya. Dia sendiri sama sekali tidak sedih diusir orang tuanya, tapi yang disedihkannya adalah bagaimana orang-orang yang dia cintai itu nanti akan disiksa di neraka dan tidak dapat mencapai bapa karena tidak mengakui Tuhan Yesus yang baik sebagai juru selamatnya.
Tampaknya si orang kristen mantan islam ini sangat menghayati sebuah ayat dari surat Matius yang berbunyi "tiada yang dapat mencapai Bapa kecuali melaluiNya (Yesus)". Melalui penghayatannya yang mendalam, penuh kepasrahan dan tanpa tanya, tampaknya si mantan muslim ini juga telah merasakan suatu arus rasa yang sangat manis dan indah luar biasa secara estetis yang dalam tradisi hindu (yang kemudian diserap secara konseptual oleh bahasa Indonesia juga) disebut rasa.
Bahasa Sansekerta menyebutnya sebagai 'akhandaika-rasa' yang dalam bahasa inggris didefinisikan sebagai 'unbroken uniflow of sweetness'.
Saya sangat memaklumi rasa bahagia yang dialami si mantan muslim itu, karena 'Akhandaika-rasa' itu memang satu pengalaman puncak, 'Akhandaika-rasa' itu
seperti cinta yang benar-benar cinta yang memang tidak banyak orang yang mengalami serta merasakannya. Banyak orang yang kawin, tapi tidak banyak yang
bisa menikmati sejenis akhandaika-rasa dari cinta yang eksis di dalam perkawinan mereka.
Yang menjadi masalah dalam kesaksian si mantan muslim itu adalah ketika dia menjelaskan perasaannya atas 'unbroken uniflow of sweetness' itu sebagai BUKTI atas kasih Tuhan Yesus dan bahkan sebagai BUKTI atas eksistensi Tuhan Yesus yang disambut teriakan puji Tuhan oleh pembawa Acara dan diikuti oleh pengunjung lainnya.
Padahal 'akhandaika-rasa' itu betul-betul universal yang bisa dirasakan melalui musik, filsafat, agama, ketaatan, pelatihan SQ-nya Ary Ginanjar dan lain sebagainya. Bukan hanya kristen, agama atau isme apapun yang mengharuskan pengikutnya untuk menghayati ajaran agama atau ismenya, tanpa tanya, tanpa menggunakan akal sebagai sandaran tapi betul-betul hanya percaya pada TEXT yang dipercayai berasal dari Tuhan tapi dipahami berdasarkan kacamata manusia yang menjadi pemimpinnya juga pasti akan merasakan 'unbroken uniflow of sweetness' ini.
Inilah sebabnya banyak aliran-aliran sesat yang aneh-aneh bisa muncul, pemimpin aliran ini biasanya punya kemampuan untuk mengeksplorasi perasaan pengikutnya sehingga membuat umatnya merasakan 'akhandaika-rasa', ketika orang yang menjadi umatnya itu berhasil mendapatkannya. Tidak jarang umat yang telah merasakan 'unbroken uniflow of sweetness' ini sampai rela menyerahkan istrinya untuk ditiduri ketua alirannya, kadang pengalaman atas rasa ini menjadi aksi yang merusak kanan kiri. Bahkan ada yang saking larutnya sampai rela mengorbankan jiwanya.
Begitulah si mantan muslim yang membuat kesaksian di Lembah Pujian ini, dia merasa 'akhandaika-rasa' yang dia dapatkan karena rasa yakin dan percayanya kepada Yesus itu adalah bukti kasih Tuhan Yesus dan bahkan sebagai BUKTI atas eksistensi Tuhan Yesus. Dan hanya dengan cara seperti yang dia lakukan itulah siapaun juga bisa merasakan 'akhandaika-rasa' alias 'unbroken uniflow of sweetness'.
Dia sama sekali tidak bisa lagi melihat betapa banyak nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan universal dalam Islam, agama yang dianut orang tuanya. Baginya apa yang dianut oleh orang tuanya itu adalah ajaran sesat yang menjauhkan orang tuanya dari kasih Yesus yang demikian indah sehingga orang tuanya tidak akan pernah mencapai bapa di surga dan orang tua yang dia cintaipun akan terjerumus ke dalam neraka.
Kosasih serinen saya yang lahir dan besar di Jawa inipun tampaknya telah merasakan yang namanya 'unbroken uniflow of sweetness' dalam budaya Jawa. Dan seperti si mantan Muslim di lembah Pujian itu, Kosasihpun merasa kenikmatan seperti itu hanya bisa dirasakan melalui penerimaan terhadap segala tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa.
Karena itulah Kosasihpun dengan rasa cintanya yang besar terhadap kami orang Gayo serinennya, seperti si mantan muslim yang sekuat tenaga berusaha mengkristenkan orang tuanya. Kosasihpun demikian, karena besarnya rasa cintanya terhadap Gayo, diapun berusaha dengan segala cara agar kami orang Gayo meninggalkan segala unsur kegayoan kami segala tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya kami dan menggantinya dengan tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa.
Apa yang dilakukan Kosasih belakangan ini di berbagai milis dan juga dipraktekkan oleh orang-orang yang sekelompok dengannya, persis sama seperti yang dilakukan si Kristen yang mantan muslim yang saya ceritakan di atas. Orang-orang di kampung-kampung Gayo dibuat merasa rendah diri dengan budayanya sendiri. Secara halus orang Gayo dipaksa mengganti tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budayanya dengan tata nilai, moralitas dan kearifan lokal budaya Jawa.
Bagi orang Gayo yang tidak mengenal budaya Gayo dengan baik dan merasa minder terhadap budaya Jawa, seperti Ari Wibowo yang minder jadi orang Islam di Jerman. Ajakan Kosasih ini tentu akan mudah mereka terima. Tapi bagi orang Gayo seperti saya yang sangat mengenal, menghormati dan menghargai budaya Gayo warisan Muyang Datu saya.
Saya tentu saja merasa sebal dan terganggu dengan aksi merusak yang dilakukan Kosasih atas dasar CINTA ini. Karena itulah belakangan ini kepada Kosasih saya mulai bersikap seperti orang tua si Kristen mantan Muslim tadi. Meminta bahkan memaki Kosasih supaya dia tidak mengusik budaya kami dan menyuruhnya tinggal diam duduk manis dan menikmati keindahan dan adi luhungnya budaya Jawanya.
Wassalam
Win Wan Nur
Rabu, 11 Februari 2009
Surat Terbuka Untuk Bang Wandi Bag II
Bang Wandi, dulu di awal-awal aku bergabung di milis ini, aku pernah mengatakan bahwa dalam setiap konflik dan pertarungan memperebutkan suatu wilayah, selalu terjadi apa yang disebut 'battle of the mind' yaitu sebuah usaha untuk menjadi pemegang sudut pandang massa.
Untuk memenangkan 'battle of the mind' ini, sejak jaman dulu berbagai cara dilakukan orang, asal cara pandangnya berlaku, para aktor yang terlibat dalam 'battle of the mind' menggunakan berbagai cara baik yang sifatnya objektif entah itu dengan cara jajak pendapat, bukti statistik dan lain-lain. Atau dengan cara subjektif seperti yang dilakukan Kosasih beberapa waktu yang lalu yaitu dengan cara-cara yang dia akui sebagai cara bermoral kek, cara Tuhan kek, cara nabi atau cara apa saja.
Menurutku, konflik antara Aceh versus Jakarta, jelas adalah pertarungan memperebutkan suatu wilayah. Sehingga yang terjadi di Acehpun sebenarnya adalah 'battle of the mind'.
Dalam 'battle of the mind' antara Aceh versus Jakarta, bertahun-tahun Aceh terus tertekan. Ibarat main catur, Aceh terus kena SKAK dan hanya bisa terus menghindar tanpa bisa memberi perlawanan berarti, sehingga seolah-olah Aceh hanya tinggal menghitung hari.
Tapi tanpa diduga terjadi sebuah momentum yang membalikkan segalanya, Aceh dilanda tsunami. Bencana yang dianggap salah satu bencana terbesar dalam sejarah modern umat manusia.
Oleh orang yang tidak percaya Tuhan, bencana Tsunami ini dianggap sebagai fenomena alam biasa.
Oleh orang yang gemar teori konspirasi, bencana Tsunami ini dianggap sebagai akibat dari test nuklir bawah laut yang dilakukan Amerika.
Oleh para pemuja Tuhan yang memahami Tuhan sebagai suatu entitas yang sedemikian buasnya (lagi-lagi Kosasih yang paling tepat kita gunakan sebagai contohnya), bencana Tsunami ini dimaknai sebagai hukuman Tuhan terhadap orang Aceh yang memberontak terhadap Jakarta, bencana Tsunami ini dimaknai hukuman Tuhan bagi manusia yang tidak mematuhi 'ulil amri'nya di Jawa sana.
Oleh para pemuja Tuhan yang memahami Tuhan sebagai suatu entitas yang sebegitu maha pengasih dan maha penyayangnya, bencana ini difahami sebagai rahmat terselubung dari Tuhan terhadap orang Aceh yang selama ini terus ditindas Jakarta. Bencana ini membuat Aceh jadi terbuka, membongkar kepada dunia semua ketidak adilan yang selama ini ditutupi oleh Jakarta dan yang terpenting memberi akses yang sedemikian luas bagi orang Aceh untuk meningkatkan kapasitas dirinya.
Terserahlah orang mau memaknai bencana Tsunami itu dari sudut pandang mana, yang jelas pasca Tsunami kulihat angin berbalik, Aceh yang biasanya tertekan kini bisa melakukan SKAK MESA. Yang ditandai dengan ditanda tanganinya MoU Helsinki dan kemudian diikuti dengan terpilihnya Bang Wandi sebagai gubernur.
Oleh kita di Aceh, situasi yang berbalik ini disambut dengan gegap gempita dan penuh euforia, seolah-olah raja lawan sudah tumbang dan pertarungan telah benar-benar dimenangkan. Padahal faktanya kita baru memiliki MESA. Lawan masih punya kekuatan lebih dari cukup untuk menumbangkan raja kita.
Sialnya MESA di tangan benar-benar telah melenakan kita. Sejak MESA lawan di tangan kita, kita benar-benar bertarung tanpa arah dan strategi yang jelas. Kita jadi ribut sesama kita sendiri dan lupa bahwa lawan kita yang sebenarnya itu adalah Jakarta.
Kita lupa pertarungan masih terus berjalan, tanpa MESA, lawan menyusun kekuatan strategi dan langkah yang mengepung setiap celah gerak kita.
Ternyata MESA di tangan sama sekali bukan keuntungan, sebaliknya bisa jadi inilah awal dari kekalahan permanen kita.
MESA di tangan telah membuat kita semua seolah lupa kalau Jakarta yang telah kita permalukan jelas-jelas sangat ingin membalas kekalahan.
Jakarta lawan kita itu bukan lawan biasa, mereka sangat mahir dan cermat membaca setiap gerak kita dan menyiapkan pukulan telak ke arah titik terlemah kita.
Mereka sangat memahami kondisi psikologis massa yang labil saat berada dalam situasi transisi, di mana masyarakat berharap tinggi pada perubahan dan merekapun tahu persis kalau harapan tinggi itupun akan cepat sekali berubah menjadi frustasi saat masyarakat menerima kegagalan.
Pemahaman seperti inilah yang membuat Jakarta sangat berkepentingan dan sangat berharap pemerintahan Bang Wandi gagal. Mereka tahu persis kegagalan Bang Wandi akan membuat masyarakat Aceh bernostalgia ke masa lalu. Mereka tahu persis, kegagalan Bang Wandi akan membuat masyarakat Aceh merindukan masa, saat Aceh masih sepenuhnya di bawah kendali Jakarta.
Melihat gerak langkah pemerintahan Bang Wandi belakangan ini. Dalam berbagai skala, harapan Jakarta itu sudah terjadi. Dan sejauh ini, atas 'kemenangan kecil' Jakarta itu, kami melihat sama sekali belum ada gerak tangkal alias jawaban yang mantap dari Bang Wandi. Inilah yang membuat kami yang di luaran sini banyak yang merasa gugup.
Perlu Bang Wandi tahu, saat ini sangat banyak orang di luaran sini yang berniat membantu Bang Wandi, mereka berniat membantu karena mereka sadar betapa sulitnya posisi kita sekarang, mereka melihat segala bangunan kebebasan yang dari dulu kita perjuangkan, saat ini benar-benar terancam dan sedang berada diambang kehancuran.
Tapi bagaimana orang-orang di luaran sini mau membantu kalau setiap kali diingatkan Bang Wandi langsung kumat darah tinggi?...sampai-sampai siapa bicara dengan siapa di SOLONG pun abang mata-matai.
Wassalam
Win Wan Nur
Untuk memenangkan 'battle of the mind' ini, sejak jaman dulu berbagai cara dilakukan orang, asal cara pandangnya berlaku, para aktor yang terlibat dalam 'battle of the mind' menggunakan berbagai cara baik yang sifatnya objektif entah itu dengan cara jajak pendapat, bukti statistik dan lain-lain. Atau dengan cara subjektif seperti yang dilakukan Kosasih beberapa waktu yang lalu yaitu dengan cara-cara yang dia akui sebagai cara bermoral kek, cara Tuhan kek, cara nabi atau cara apa saja.
Menurutku, konflik antara Aceh versus Jakarta, jelas adalah pertarungan memperebutkan suatu wilayah. Sehingga yang terjadi di Acehpun sebenarnya adalah 'battle of the mind'.
Dalam 'battle of the mind' antara Aceh versus Jakarta, bertahun-tahun Aceh terus tertekan. Ibarat main catur, Aceh terus kena SKAK dan hanya bisa terus menghindar tanpa bisa memberi perlawanan berarti, sehingga seolah-olah Aceh hanya tinggal menghitung hari.
Tapi tanpa diduga terjadi sebuah momentum yang membalikkan segalanya, Aceh dilanda tsunami. Bencana yang dianggap salah satu bencana terbesar dalam sejarah modern umat manusia.
Oleh orang yang tidak percaya Tuhan, bencana Tsunami ini dianggap sebagai fenomena alam biasa.
Oleh orang yang gemar teori konspirasi, bencana Tsunami ini dianggap sebagai akibat dari test nuklir bawah laut yang dilakukan Amerika.
Oleh para pemuja Tuhan yang memahami Tuhan sebagai suatu entitas yang sedemikian buasnya (lagi-lagi Kosasih yang paling tepat kita gunakan sebagai contohnya), bencana Tsunami ini dimaknai sebagai hukuman Tuhan terhadap orang Aceh yang memberontak terhadap Jakarta, bencana Tsunami ini dimaknai hukuman Tuhan bagi manusia yang tidak mematuhi 'ulil amri'nya di Jawa sana.
Oleh para pemuja Tuhan yang memahami Tuhan sebagai suatu entitas yang sebegitu maha pengasih dan maha penyayangnya, bencana ini difahami sebagai rahmat terselubung dari Tuhan terhadap orang Aceh yang selama ini terus ditindas Jakarta. Bencana ini membuat Aceh jadi terbuka, membongkar kepada dunia semua ketidak adilan yang selama ini ditutupi oleh Jakarta dan yang terpenting memberi akses yang sedemikian luas bagi orang Aceh untuk meningkatkan kapasitas dirinya.
Terserahlah orang mau memaknai bencana Tsunami itu dari sudut pandang mana, yang jelas pasca Tsunami kulihat angin berbalik, Aceh yang biasanya tertekan kini bisa melakukan SKAK MESA. Yang ditandai dengan ditanda tanganinya MoU Helsinki dan kemudian diikuti dengan terpilihnya Bang Wandi sebagai gubernur.
Oleh kita di Aceh, situasi yang berbalik ini disambut dengan gegap gempita dan penuh euforia, seolah-olah raja lawan sudah tumbang dan pertarungan telah benar-benar dimenangkan. Padahal faktanya kita baru memiliki MESA. Lawan masih punya kekuatan lebih dari cukup untuk menumbangkan raja kita.
Sialnya MESA di tangan benar-benar telah melenakan kita. Sejak MESA lawan di tangan kita, kita benar-benar bertarung tanpa arah dan strategi yang jelas. Kita jadi ribut sesama kita sendiri dan lupa bahwa lawan kita yang sebenarnya itu adalah Jakarta.
Kita lupa pertarungan masih terus berjalan, tanpa MESA, lawan menyusun kekuatan strategi dan langkah yang mengepung setiap celah gerak kita.
Ternyata MESA di tangan sama sekali bukan keuntungan, sebaliknya bisa jadi inilah awal dari kekalahan permanen kita.
MESA di tangan telah membuat kita semua seolah lupa kalau Jakarta yang telah kita permalukan jelas-jelas sangat ingin membalas kekalahan.
Jakarta lawan kita itu bukan lawan biasa, mereka sangat mahir dan cermat membaca setiap gerak kita dan menyiapkan pukulan telak ke arah titik terlemah kita.
Mereka sangat memahami kondisi psikologis massa yang labil saat berada dalam situasi transisi, di mana masyarakat berharap tinggi pada perubahan dan merekapun tahu persis kalau harapan tinggi itupun akan cepat sekali berubah menjadi frustasi saat masyarakat menerima kegagalan.
Pemahaman seperti inilah yang membuat Jakarta sangat berkepentingan dan sangat berharap pemerintahan Bang Wandi gagal. Mereka tahu persis kegagalan Bang Wandi akan membuat masyarakat Aceh bernostalgia ke masa lalu. Mereka tahu persis, kegagalan Bang Wandi akan membuat masyarakat Aceh merindukan masa, saat Aceh masih sepenuhnya di bawah kendali Jakarta.
Melihat gerak langkah pemerintahan Bang Wandi belakangan ini. Dalam berbagai skala, harapan Jakarta itu sudah terjadi. Dan sejauh ini, atas 'kemenangan kecil' Jakarta itu, kami melihat sama sekali belum ada gerak tangkal alias jawaban yang mantap dari Bang Wandi. Inilah yang membuat kami yang di luaran sini banyak yang merasa gugup.
Perlu Bang Wandi tahu, saat ini sangat banyak orang di luaran sini yang berniat membantu Bang Wandi, mereka berniat membantu karena mereka sadar betapa sulitnya posisi kita sekarang, mereka melihat segala bangunan kebebasan yang dari dulu kita perjuangkan, saat ini benar-benar terancam dan sedang berada diambang kehancuran.
Tapi bagaimana orang-orang di luaran sini mau membantu kalau setiap kali diingatkan Bang Wandi langsung kumat darah tinggi?...sampai-sampai siapa bicara dengan siapa di SOLONG pun abang mata-matai.
Wassalam
Win Wan Nur
Sabtu, 07 Februari 2009
Meninggalnya Aziz Angkat dan Surat Terbuka Buat Bang Wandi
Bang Wandi gubernur kami, kemarin aku nonton TV. Kulihat SBY bereaksi keras atas meninggalnya Aziz Angkat, Ketua DPRD Sumatera Utara di tangan para demonstran yang menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli. Momen itu langsung membuat SBY menegaskan kalau tahun ini tidak ada lagi pemekaran, baik kabupaten maupun provinsi.
Bukan hanya SBY, tapi opini masyarakat secara nasionalpun sekarang sudah mengarah ke anti segala bentuk pemekaran wilayah. Seperti SBY bilang dan juga dulu selalu aku katakan bahwa ide-ide pemekaran wilayah ini lebih banyak hanya untuk kepentingan segelintir elite lokal.
Aku yakin, angin yang berubah ini sedikit membuat hilang pusing di kepala Bang Wandi yang diakibatkan oleh bermacam tuntutan pemekaran ini, baik itu oleh ALA maupun ABAS.
Tapi Bang Wandi, meski momen ini menguntungkan, jangan Bang Wandi pikir Bang Wandi dan kita semua yang menolak pemekaran sudah menang. Belum Bang Wandi ini masih awal dari pertarungan.
Perlu Bang Wandi tahu, aku juga seperti Bang Wandi, tidak setuju dengan ide-ide yang dikembangkan pra elit lokal di daerahku soal pembentukan Provinsi ALA. Tapi dalam memandang mereka, aku berbeda sudut pandang dengan Bang Wandi. Meski berseberangan ide denganku, tapi aku mengakui kalau mereka itu, orang-orang di balik Ide ALA itu di tingkat lokal adalah orang-orang lama yang merupakan para politikus jempolan yang sangat berpengalaman.
Mereka bukan orang-orang seperti Bang Wandi yang suka menyelesaikan masalah dengan cara pamer emosi. Mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti kapasitas diri mereka sendiri. Misalnya untuk urusan ALA ini. Mereka tahu persis, Ide mereka ini akan mentah kalau dibawa ke ranah rasional, melalui perdebatan ilmiah yang mempertanyakan studi kelayakan yang mumpuni. Karena itulah sejak awal cara-cara seperti itu selalu mereka hindari.
Jadi kalau kemarin SBY bilang, ide-ide pemekaran ini bukan didasarkan atas suatu studi kelayakan yang teruji, bukan atas alasan-alasan rasional dan lebih kentara urusan kepentingan elit lokal. Dari dulu mereka tahu itu. Soal mereka tidak bisa mempertahankan ide mereka secara ilmiah, dari dulu mereka tahu itu. Buktinya bisa Bang Wandi lihat di milis ini, beberapa kali mereka mencoba dengan cara itu, berkali pula mereka terkaing-kaing dan kemudian bersembunyi. Mereka tahu persis soal ide-ide pemekaran ini mereka akan habis jika mereka mencoba menyelesaikannya dengan cara diskusi.
Jadi urusan SBY bilang pemekaran dihentikan dan opini yang berkembang secara nasional juga demikian, itu bukan hal baru bagi mereka. Karena itu sudah sangat mereka sadari. Dan sejak dulu merekapun tidak pernah berusaha untuk berjuang dengan strategi ini.
Perlu Bang Wandi tahu, dari dulu cara mereka menggoalkan ALA adalah dengan berusaha menciptakan KONFLIK TERBUKA. Isu-isu kesenjangan, ide ketidak adilan, diskriminasi terhadap minoritas, penindasan Aceh terhadap Gayo, peminggiran dalam segala bidang. Inilah ide-ide yang selama ini mereka kembangkan, tidak peduli apakah ide itu berdasarkan fakta atau bukan.
Mereka bermain di situ, dan setiap mereka melihat ada celah kecil yang memungkinkan buat mereka memainkan isu itu, celah itu akan mereka masuki dan mereka perlebar.
Aku tahu persis kalau Bang Wandi tidak benar-benar mengenal mereka, Bang Wandi sama sekali tidak tahu apa kelebihan dan apa kekurangan mereka. Tapi sebaliknya mereka sangat mengenal setiap detil kecil kelemahan dan kekurangan Bang Wandi yang dengan cermat mereka kantongi. Setiap ada kesempatan, setiap Bang Wandi membuat satu kesalahan kecil, kesalahan Bang Wandi itulah yang mereka eksploitasi.
Perlu Bang Wandi tahu, Selama di Gayo beberapa waktu yang lalu, aku berkeliling ke berbagai pelosok, menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana perasaan warga di tanahku sendiri.
Mungkin selama ini di koran, di TV atau dari bisikan pembantu Bang Wandi sendiri, informasi yang masuk mengatakan Masalah ALA ini masih dalam tataran elit dan itu Bang Wandi percayai. Tapi apa yang kusaksikan di Gayo sama sekali lain. Di beberapa tempat, soal ALA ini malah sudah menimbulkan sikap militansi, dan kenapa itu bisa muncul?...itulah yang kubilang tadi, lawan Bang Wandi soal ALA ini adalah para politikus jempolan. Untuk mempengaruhi emosi rakyat mereka turun sendiri, mengajari mereka tentang berbagai hal mengenai kelemahan dan ketidakadilan Bang Wandi.
Contohnya di sekitar Ramung Kengkang, jalan-jalan di pedesaan dan di kebun-kebun semuanya licin dan mulus sekali. Kontras dengan jalan besar yang penuh lobang di sana sini.
Waktu berada di sana aku mengobrol di sebuah warung yang didalamnya banyak penduduk setempat yang rata-rata petani. Ketika aku bertanya pada mereka soal ALA, mereka menjadi bersemangat dan antusias, semua orang di warung kopi itu mendukungnya. Meskipun beberapa mendukung dengan dalil yang tidak masuk akal, misalnya mengatakan kalau bergabung dengan Aceh, kita tidak akan bisa membangun rumah karena Irwandi tidak membolehkan menebang satu pohonpun kayu di hutan. Atau ada yang mengatakan, sekarang kita miskin karena oleh orang Aceh kita dipajaki, kopi yang kita panen diambil pajaknya di perbatasan, kalau ALA berdiri hal seperti itu tidak akan ada lagi.
Tapi di samping argumen-argumen yang tidak lucu seperti itu ada pula yang punya argumen tepat dan masuk akal, dan menurutku itu istimewa sebab belakangan ini kulihat pengetahuan mereka tentang politik cukup lumayan sekali. Aku berkesimpulan begini, ketika di antara kerumunan itu seorang petani yang saat kutanya mengatakan dia cuma tamat SMP menjeaskan dengan detail kepadaku, tentang apa yang dulu baru aku pelajari di bangku perguruan tinggi.
Si Petani ini menjelaskan kepadaku soal administrasi pengelolaan jalan di negara ini, dia menjelaskan kepadaku yang pernah kuliah di Teknik Sipil ini tentang klasifikasi jalan berdasarkan administrasi, ada jalan yang dikelola pusat, ada jalan yang dikelola provinsi dan ada jalan yang dikelola kabupaten. Padahal aku baru tahu soal ini, dulu di semester tiga dalam mata kuliah Jalan Raya.
Menurut si petani ini, jalan di kampung-kampung bagus dan mulus, karena jalan itu adalah jalan dibawah administrasi kabupaten, kebijakan memperbaiki atau tidak ada di tangan bupati. Itulah sebabnya jalan-jalan ini semuanya bagus. Berbeda dengan jalan Teritit Pondok Baru yang dikelola provinsi yang penuh lobang di sana sini, itu karena kebijakan pengelolaannya ada di Gubernur. Dan menurut mereka Gubernur yang GAM itu memang tidak senang orang di daerah ini maju dan karena itulah jalan itu tidak pernah diperbaiki.
Dan yang lebih mengagetkan lagi Bang Wandi, petani yang lain yang juga ikut mengobrol di warung kopi itu tahu soal dana OTDA segala, lengkap dengan angka-angkanya. Mereka mengatakan padaku kalau dana OTDA yang 53 milyar semua ditarik ke provinsi. Menurut mereka bagaimana Gayo mau maju kalau orang Aceh cara mainnya seperti ini.
Selayaknya orang Gayo manapun yang suka beranalogi, mereka mengatakan padaku, kenapa Gayo ini tertinggal itu karena ibarat sabung ayam, kita orang Gayo di pegang, orang Aceh dilepas bebas dan dengan leluasa mematuki.
Di sini, aku tidak berbicara soal benar salahnya informasi yang mereka terima, tapi yang aku bicarakan adalah soal kehebatan lawan Bang Wandi. Mereka berhasil menjadikan diri mereka pahlawan di masyarakat dan sebaliknya mereka berhasil menjadikan Bang Wandi sebagai musuh masyarakat. Dan dengan cara itulah mereka meyakinkan rakyat, bahwa orang Gayo memang butuh mendirikan Provinsi sendiri.
Apa yang kulihat di sana menunjukkan dengan jelas kalau lawan-lawan Bang Wandi ini begitu lihai memainkan strategi komunikasi ketika mereka berhadapan dengan rakyat bawah . Jujur aku katakan, kemampuan yang mereka miliki soal ini jauh di atas kemampuan Bang Wandi.
Sementara Bang Wandi merasa terlihat hebat dengan urusan-urusan besar, entah itu pertambangan, energi panas bumi, menghadiri konferensi gubernur yang katanya sedunia, meskipun setelah diteliti ternyata yang hadir cuma gubernur-gubernur dari negara-negara yang jadi dakocannya Amerika saja, bahkan gubernur yang dari Amerikapun yang hadir cuma ada tiga dan itupun satu sudah ditangkap karena tuduhan Korupsi. Bang Wandi tidak menyadari kalau lawan-lawan Bang Wandi di sini sudah sukses menghancurkan citra Bang Wandi.
Aku tahu Bang Wandi terlihat macho dan gagah nyetir mobil sendiri, merasa patriotis hanya menggunakan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Tapi satu yang Bang Wandi tidak sadari, gaya Bang Wandi yang Bang Wandi pikir hebat itulah yang dimanfaatkan lawan-lawan bang Wandi. Soal Bahasa Aceh misalnya, perlu Bang Wandi tahu, dengan gaya Bang Wandi itu banyak orang Gayo yang dulu simpati sekarang balik memusuhi Bang Wandi.
Perlu Bang Wandi ingat, penduduk asli negeri kita ini bukan hanya etnis Aceh semata dan Bang Wandi adalah gubernur dari semua etnis itu. Sejak dulu kita sudah begitu, bahasa yang kita gunakan dalam berkomunikasi antar etnis adalah bahasa Melayu. Tapi itu tidak Bang Wandi hargai, sebagai Gubernur dari warga yang plural ini Bang Wandi malah memamerkan kemachoan suku Bang Wandi sendiri. Inilah yang mengakibatkan banyak orang suku lain yang dulu simpati pada Bang Wandi, sekarang berubah jadi benci.
Contohnya beberapa waktu yang lalu, ketika Bang Wandi menghadiri konferensi UNFCC dan ditemui rombongan orang Aceh di Hotel Intercontinental, Jimbaran Bali. Bang Wandi dengan bangganya hanya berbicara dengan Bahasa Aceh, padahal Bang Wandi tahu persis karena Pak Bahtiar Ketua LAKA Bali sendiri yang mengungkapkannya bahwa di sana juga hadir sekelompok orang Aceh bersuku Gayo.
Saat akan bertemu Bang Wandi waktu itu, semua orang Gayo yang hadir itu menaruh respek dan hormat yang begitu tinggi pada Bang Wandi, tapi saat dalam pertemuan itu Bang wandi hanya mau berbahasa Aceh. Pulang dari sana mereka semua jadi memandang rendah dan memaki-maki Bang Wandi. Dengan sikap Bang Wandi, mereka merasa marah dan dilecehkan, mereka kesal karena dari semua orang Gayo yang hadir di sana, yang mengerti omongan Bang Wandi saat itu cuma saya sendiri.
Ada banyak lagi sebetulnya yang ingin kutuliskan, tapi untuk tahap ini aku pikir cukup segini, kalau terlalu banyak aku takut Bang Wandi bosan.
Cuma perlu Bang Wandi tahu, apa yang kusampaikan ini sebetulnya adalah keluhan banyak orang. Tapi ini tidak pernah Bang Wandi dengar karena orang yang merasakan yang kutulis ini cuma bisa diam. Bukan karena takut, tapi karena orang-orang yang merasakan ini, seperti teman-temanku yang pernah sama-sama turun ke jalan tahun 1998 dulu, sekarang mereka semua sudah terkotak dalam berbagai kelompok politik tertentu. Akibatnya mereka tidak lagi bebas seperti aku, kalau mereka ngomong, status mereka sebagai bagian kelompok ini dan itu tidak bisa mereka lepaskan. Mereka khawatir kalau mereka ngomong, nanti malah kelompoknya yang Bang Wandi maki, seperti anak-anak KAMMI yang underbownya PKS beberapa waktu yang lalu.
Kepada Bang Wandi aku minta maaf kalau Bang Wandi merasa gaya tulisanku ini sok akrab, tidak memanggil Bang Wandi dengan sebutan 'Pak' atau 'Teungku'.
Perlu Bang Wandi tahu, saat berbicara dengan pejabat, sebutan-sebutan semacam itu memang sengaja kuhindari karena bagiku sebutan seperti itu hanya melanggengkan budaya feodal hirarkis. Aku menghindarinya karena aku tahu persis, urusan feodal di Aceh sudah selesai dengan berkahirnya perang Cumbok dulu dan di Gayo malah sama sekali tidak pernah eksis dari zaman dulu.
Aku juga minta maaf kalau, penyampaianku yang melalui milis ini terlihat kurang sopan, karena milis ini bukan media yang tergistrasi secara resmi dan bukan pula di media cetak yang lebih membumi.
Sebenarnya itu bukan karena aku tidak mau menulis di media semacam itu Bang Wandi, masalahnya di Aceh ini media-media teregistrasi itu punya selera dan standar kebijakan sendiri. Sebagai contoh di koran serambi, untuk bisa meloloskan tulisan ke sana, semua harus melalui redaktur Opini. Masalahnya redaktur Opini di Serambi ini, alumni HMI yang bernama Ampuh Devayan lebih susah didekati daripada seorang menteri.
Dan terakhir, perlu juga Bang Wandi tahu, saat ini kami semua sudah cukup bangga dengan gaya Bang Wandi yang macho itu, apalagi sekarang dengan mobil baru pemberian Arnold si bintang Terminator. Jadi kalau soal gaya Bang Wandi sudah betul-betul Oke, jadi sekarang yang masih terus kami tunggu adalah kerja Abang, bukan penampilan.
Meskipun aku tahu suratku ini tak akan dibalas, tapi aku tahu Bang Wandi pasti akan membaca surat yang kutulis ini dan tanpa kuminta dipikirkanpun, aku tahu persis hari-hari ke depan apa-apa yang kutuliskan ini tak akan bisa Bang Wandi buang begitu saja dari kepala abang.
Karena itulah agar tidak menambah beban, aku merasa Bang Wandi perlu tahu, kalau aku menulis ini sama sekali bukan karena rasa benciku pada Bang Wandi. Tapi semata hanya sebagai masukan untuk tambahan informasi. Supaya Bang Wandi tetap ingat, kalau dulu Bang Wandi dipilih dengan harapan besar membawa perubahan. Masalahnya sejauh ini perubahan yang kami dapat baru sejauh gaya Bang Wandi yang blak-blakan, belum ke perubahan kebijakan yang memberi pengaruh signifikan pada kesejahteraan. Berkaitan dengan hal yang terakhir ini, justru yang kami lihat sekarang Bang Wandi sangat kedodoran.
Sebegitu dulu suratku ini Bang Wandi, kuharap suratku ini tidak menaikkan tensi Bang Wandi yang terkenal tinggi.
Wassalam
Adikmu
Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
Bukan hanya SBY, tapi opini masyarakat secara nasionalpun sekarang sudah mengarah ke anti segala bentuk pemekaran wilayah. Seperti SBY bilang dan juga dulu selalu aku katakan bahwa ide-ide pemekaran wilayah ini lebih banyak hanya untuk kepentingan segelintir elite lokal.
Aku yakin, angin yang berubah ini sedikit membuat hilang pusing di kepala Bang Wandi yang diakibatkan oleh bermacam tuntutan pemekaran ini, baik itu oleh ALA maupun ABAS.
Tapi Bang Wandi, meski momen ini menguntungkan, jangan Bang Wandi pikir Bang Wandi dan kita semua yang menolak pemekaran sudah menang. Belum Bang Wandi ini masih awal dari pertarungan.
Perlu Bang Wandi tahu, aku juga seperti Bang Wandi, tidak setuju dengan ide-ide yang dikembangkan pra elit lokal di daerahku soal pembentukan Provinsi ALA. Tapi dalam memandang mereka, aku berbeda sudut pandang dengan Bang Wandi. Meski berseberangan ide denganku, tapi aku mengakui kalau mereka itu, orang-orang di balik Ide ALA itu di tingkat lokal adalah orang-orang lama yang merupakan para politikus jempolan yang sangat berpengalaman.
Mereka bukan orang-orang seperti Bang Wandi yang suka menyelesaikan masalah dengan cara pamer emosi. Mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti kapasitas diri mereka sendiri. Misalnya untuk urusan ALA ini. Mereka tahu persis, Ide mereka ini akan mentah kalau dibawa ke ranah rasional, melalui perdebatan ilmiah yang mempertanyakan studi kelayakan yang mumpuni. Karena itulah sejak awal cara-cara seperti itu selalu mereka hindari.
Jadi kalau kemarin SBY bilang, ide-ide pemekaran ini bukan didasarkan atas suatu studi kelayakan yang teruji, bukan atas alasan-alasan rasional dan lebih kentara urusan kepentingan elit lokal. Dari dulu mereka tahu itu. Soal mereka tidak bisa mempertahankan ide mereka secara ilmiah, dari dulu mereka tahu itu. Buktinya bisa Bang Wandi lihat di milis ini, beberapa kali mereka mencoba dengan cara itu, berkali pula mereka terkaing-kaing dan kemudian bersembunyi. Mereka tahu persis soal ide-ide pemekaran ini mereka akan habis jika mereka mencoba menyelesaikannya dengan cara diskusi.
Jadi urusan SBY bilang pemekaran dihentikan dan opini yang berkembang secara nasional juga demikian, itu bukan hal baru bagi mereka. Karena itu sudah sangat mereka sadari. Dan sejak dulu merekapun tidak pernah berusaha untuk berjuang dengan strategi ini.
Perlu Bang Wandi tahu, dari dulu cara mereka menggoalkan ALA adalah dengan berusaha menciptakan KONFLIK TERBUKA. Isu-isu kesenjangan, ide ketidak adilan, diskriminasi terhadap minoritas, penindasan Aceh terhadap Gayo, peminggiran dalam segala bidang. Inilah ide-ide yang selama ini mereka kembangkan, tidak peduli apakah ide itu berdasarkan fakta atau bukan.
Mereka bermain di situ, dan setiap mereka melihat ada celah kecil yang memungkinkan buat mereka memainkan isu itu, celah itu akan mereka masuki dan mereka perlebar.
Aku tahu persis kalau Bang Wandi tidak benar-benar mengenal mereka, Bang Wandi sama sekali tidak tahu apa kelebihan dan apa kekurangan mereka. Tapi sebaliknya mereka sangat mengenal setiap detil kecil kelemahan dan kekurangan Bang Wandi yang dengan cermat mereka kantongi. Setiap ada kesempatan, setiap Bang Wandi membuat satu kesalahan kecil, kesalahan Bang Wandi itulah yang mereka eksploitasi.
Perlu Bang Wandi tahu, Selama di Gayo beberapa waktu yang lalu, aku berkeliling ke berbagai pelosok, menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana perasaan warga di tanahku sendiri.
Mungkin selama ini di koran, di TV atau dari bisikan pembantu Bang Wandi sendiri, informasi yang masuk mengatakan Masalah ALA ini masih dalam tataran elit dan itu Bang Wandi percayai. Tapi apa yang kusaksikan di Gayo sama sekali lain. Di beberapa tempat, soal ALA ini malah sudah menimbulkan sikap militansi, dan kenapa itu bisa muncul?...itulah yang kubilang tadi, lawan Bang Wandi soal ALA ini adalah para politikus jempolan. Untuk mempengaruhi emosi rakyat mereka turun sendiri, mengajari mereka tentang berbagai hal mengenai kelemahan dan ketidakadilan Bang Wandi.
Contohnya di sekitar Ramung Kengkang, jalan-jalan di pedesaan dan di kebun-kebun semuanya licin dan mulus sekali. Kontras dengan jalan besar yang penuh lobang di sana sini.
Waktu berada di sana aku mengobrol di sebuah warung yang didalamnya banyak penduduk setempat yang rata-rata petani. Ketika aku bertanya pada mereka soal ALA, mereka menjadi bersemangat dan antusias, semua orang di warung kopi itu mendukungnya. Meskipun beberapa mendukung dengan dalil yang tidak masuk akal, misalnya mengatakan kalau bergabung dengan Aceh, kita tidak akan bisa membangun rumah karena Irwandi tidak membolehkan menebang satu pohonpun kayu di hutan. Atau ada yang mengatakan, sekarang kita miskin karena oleh orang Aceh kita dipajaki, kopi yang kita panen diambil pajaknya di perbatasan, kalau ALA berdiri hal seperti itu tidak akan ada lagi.
Tapi di samping argumen-argumen yang tidak lucu seperti itu ada pula yang punya argumen tepat dan masuk akal, dan menurutku itu istimewa sebab belakangan ini kulihat pengetahuan mereka tentang politik cukup lumayan sekali. Aku berkesimpulan begini, ketika di antara kerumunan itu seorang petani yang saat kutanya mengatakan dia cuma tamat SMP menjeaskan dengan detail kepadaku, tentang apa yang dulu baru aku pelajari di bangku perguruan tinggi.
Si Petani ini menjelaskan kepadaku soal administrasi pengelolaan jalan di negara ini, dia menjelaskan kepadaku yang pernah kuliah di Teknik Sipil ini tentang klasifikasi jalan berdasarkan administrasi, ada jalan yang dikelola pusat, ada jalan yang dikelola provinsi dan ada jalan yang dikelola kabupaten. Padahal aku baru tahu soal ini, dulu di semester tiga dalam mata kuliah Jalan Raya.
Menurut si petani ini, jalan di kampung-kampung bagus dan mulus, karena jalan itu adalah jalan dibawah administrasi kabupaten, kebijakan memperbaiki atau tidak ada di tangan bupati. Itulah sebabnya jalan-jalan ini semuanya bagus. Berbeda dengan jalan Teritit Pondok Baru yang dikelola provinsi yang penuh lobang di sana sini, itu karena kebijakan pengelolaannya ada di Gubernur. Dan menurut mereka Gubernur yang GAM itu memang tidak senang orang di daerah ini maju dan karena itulah jalan itu tidak pernah diperbaiki.
Dan yang lebih mengagetkan lagi Bang Wandi, petani yang lain yang juga ikut mengobrol di warung kopi itu tahu soal dana OTDA segala, lengkap dengan angka-angkanya. Mereka mengatakan padaku kalau dana OTDA yang 53 milyar semua ditarik ke provinsi. Menurut mereka bagaimana Gayo mau maju kalau orang Aceh cara mainnya seperti ini.
Selayaknya orang Gayo manapun yang suka beranalogi, mereka mengatakan padaku, kenapa Gayo ini tertinggal itu karena ibarat sabung ayam, kita orang Gayo di pegang, orang Aceh dilepas bebas dan dengan leluasa mematuki.
Di sini, aku tidak berbicara soal benar salahnya informasi yang mereka terima, tapi yang aku bicarakan adalah soal kehebatan lawan Bang Wandi. Mereka berhasil menjadikan diri mereka pahlawan di masyarakat dan sebaliknya mereka berhasil menjadikan Bang Wandi sebagai musuh masyarakat. Dan dengan cara itulah mereka meyakinkan rakyat, bahwa orang Gayo memang butuh mendirikan Provinsi sendiri.
Apa yang kulihat di sana menunjukkan dengan jelas kalau lawan-lawan Bang Wandi ini begitu lihai memainkan strategi komunikasi ketika mereka berhadapan dengan rakyat bawah . Jujur aku katakan, kemampuan yang mereka miliki soal ini jauh di atas kemampuan Bang Wandi.
Sementara Bang Wandi merasa terlihat hebat dengan urusan-urusan besar, entah itu pertambangan, energi panas bumi, menghadiri konferensi gubernur yang katanya sedunia, meskipun setelah diteliti ternyata yang hadir cuma gubernur-gubernur dari negara-negara yang jadi dakocannya Amerika saja, bahkan gubernur yang dari Amerikapun yang hadir cuma ada tiga dan itupun satu sudah ditangkap karena tuduhan Korupsi. Bang Wandi tidak menyadari kalau lawan-lawan Bang Wandi di sini sudah sukses menghancurkan citra Bang Wandi.
Aku tahu Bang Wandi terlihat macho dan gagah nyetir mobil sendiri, merasa patriotis hanya menggunakan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Tapi satu yang Bang Wandi tidak sadari, gaya Bang Wandi yang Bang Wandi pikir hebat itulah yang dimanfaatkan lawan-lawan bang Wandi. Soal Bahasa Aceh misalnya, perlu Bang Wandi tahu, dengan gaya Bang Wandi itu banyak orang Gayo yang dulu simpati sekarang balik memusuhi Bang Wandi.
Perlu Bang Wandi ingat, penduduk asli negeri kita ini bukan hanya etnis Aceh semata dan Bang Wandi adalah gubernur dari semua etnis itu. Sejak dulu kita sudah begitu, bahasa yang kita gunakan dalam berkomunikasi antar etnis adalah bahasa Melayu. Tapi itu tidak Bang Wandi hargai, sebagai Gubernur dari warga yang plural ini Bang Wandi malah memamerkan kemachoan suku Bang Wandi sendiri. Inilah yang mengakibatkan banyak orang suku lain yang dulu simpati pada Bang Wandi, sekarang berubah jadi benci.
Contohnya beberapa waktu yang lalu, ketika Bang Wandi menghadiri konferensi UNFCC dan ditemui rombongan orang Aceh di Hotel Intercontinental, Jimbaran Bali. Bang Wandi dengan bangganya hanya berbicara dengan Bahasa Aceh, padahal Bang Wandi tahu persis karena Pak Bahtiar Ketua LAKA Bali sendiri yang mengungkapkannya bahwa di sana juga hadir sekelompok orang Aceh bersuku Gayo.
Saat akan bertemu Bang Wandi waktu itu, semua orang Gayo yang hadir itu menaruh respek dan hormat yang begitu tinggi pada Bang Wandi, tapi saat dalam pertemuan itu Bang wandi hanya mau berbahasa Aceh. Pulang dari sana mereka semua jadi memandang rendah dan memaki-maki Bang Wandi. Dengan sikap Bang Wandi, mereka merasa marah dan dilecehkan, mereka kesal karena dari semua orang Gayo yang hadir di sana, yang mengerti omongan Bang Wandi saat itu cuma saya sendiri.
Ada banyak lagi sebetulnya yang ingin kutuliskan, tapi untuk tahap ini aku pikir cukup segini, kalau terlalu banyak aku takut Bang Wandi bosan.
Cuma perlu Bang Wandi tahu, apa yang kusampaikan ini sebetulnya adalah keluhan banyak orang. Tapi ini tidak pernah Bang Wandi dengar karena orang yang merasakan yang kutulis ini cuma bisa diam. Bukan karena takut, tapi karena orang-orang yang merasakan ini, seperti teman-temanku yang pernah sama-sama turun ke jalan tahun 1998 dulu, sekarang mereka semua sudah terkotak dalam berbagai kelompok politik tertentu. Akibatnya mereka tidak lagi bebas seperti aku, kalau mereka ngomong, status mereka sebagai bagian kelompok ini dan itu tidak bisa mereka lepaskan. Mereka khawatir kalau mereka ngomong, nanti malah kelompoknya yang Bang Wandi maki, seperti anak-anak KAMMI yang underbownya PKS beberapa waktu yang lalu.
Kepada Bang Wandi aku minta maaf kalau Bang Wandi merasa gaya tulisanku ini sok akrab, tidak memanggil Bang Wandi dengan sebutan 'Pak' atau 'Teungku'.
Perlu Bang Wandi tahu, saat berbicara dengan pejabat, sebutan-sebutan semacam itu memang sengaja kuhindari karena bagiku sebutan seperti itu hanya melanggengkan budaya feodal hirarkis. Aku menghindarinya karena aku tahu persis, urusan feodal di Aceh sudah selesai dengan berkahirnya perang Cumbok dulu dan di Gayo malah sama sekali tidak pernah eksis dari zaman dulu.
Aku juga minta maaf kalau, penyampaianku yang melalui milis ini terlihat kurang sopan, karena milis ini bukan media yang tergistrasi secara resmi dan bukan pula di media cetak yang lebih membumi.
Sebenarnya itu bukan karena aku tidak mau menulis di media semacam itu Bang Wandi, masalahnya di Aceh ini media-media teregistrasi itu punya selera dan standar kebijakan sendiri. Sebagai contoh di koran serambi, untuk bisa meloloskan tulisan ke sana, semua harus melalui redaktur Opini. Masalahnya redaktur Opini di Serambi ini, alumni HMI yang bernama Ampuh Devayan lebih susah didekati daripada seorang menteri.
Dan terakhir, perlu juga Bang Wandi tahu, saat ini kami semua sudah cukup bangga dengan gaya Bang Wandi yang macho itu, apalagi sekarang dengan mobil baru pemberian Arnold si bintang Terminator. Jadi kalau soal gaya Bang Wandi sudah betul-betul Oke, jadi sekarang yang masih terus kami tunggu adalah kerja Abang, bukan penampilan.
Meskipun aku tahu suratku ini tak akan dibalas, tapi aku tahu Bang Wandi pasti akan membaca surat yang kutulis ini dan tanpa kuminta dipikirkanpun, aku tahu persis hari-hari ke depan apa-apa yang kutuliskan ini tak akan bisa Bang Wandi buang begitu saja dari kepala abang.
Karena itulah agar tidak menambah beban, aku merasa Bang Wandi perlu tahu, kalau aku menulis ini sama sekali bukan karena rasa benciku pada Bang Wandi. Tapi semata hanya sebagai masukan untuk tambahan informasi. Supaya Bang Wandi tetap ingat, kalau dulu Bang Wandi dipilih dengan harapan besar membawa perubahan. Masalahnya sejauh ini perubahan yang kami dapat baru sejauh gaya Bang Wandi yang blak-blakan, belum ke perubahan kebijakan yang memberi pengaruh signifikan pada kesejahteraan. Berkaitan dengan hal yang terakhir ini, justru yang kami lihat sekarang Bang Wandi sangat kedodoran.
Sebegitu dulu suratku ini Bang Wandi, kuharap suratku ini tidak menaikkan tensi Bang Wandi yang terkenal tinggi.
Wassalam
Adikmu
Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
Jumat, 06 Februari 2009
Ijen Resort dan Pak Yanto Pemiliknya
Saat berkunjung ke Kawah Ijen beberapa waktu yang lalu, sebagaimana biasa, saya dan para klien saya menginap di sebuah hotel yang terletak benar-benar di tengah sawah bernama Ijen Resort. Hotel di tengah sawah ini adalah hotel dengan tarif tertinggi di Jawa Timur, sebagai perbandingan saat menginap di Hotel Majapahit, hotel termewah di Surabaya, saya hanya membayar Rp.750.000 per kamarnya, sementara di hotel yang terletak di tengah sawah ini, saya harus membayar $110/ Kamar.
Ijen resort memang didesain sedemikian rupa sehingga tamu-tamu yang menginap di sana merasa seolah para dewa menurunkan Kahyangan tempat mereka bersemayam ke tempat ini. Seluruh desain hotel ini dibuat menyatu dengan lingkungan sekitarnya, bunga anggrek tanah, pakis haji, pohon kemiri, jati dan nangka dibuat menyatu dan saling menyapa dengan sawah dan petani yang bersama dua ekor sapinya membajak mengerjakannya sehingga secara bersama-sama menjadi elemen utuh yang membuat keeksotisan hotel ini semakin kentara.
Intinya Hotel ini benar-benar adalah tempat istirahat yang sempurna bagi turis-turis manja asal eropa yang baru saja seharian melakukan aktivitas fisik 'berat', ketika melakukan pendakian ke kawah Ijen dan menyaksikan keindahan sirkus kehidupan yang terjadi di sana.
Ketika duduk di restorannya, menikmati makanan dan minumannya yang memiliki cita rasa istimewa, disajikan dengan tampilan cita rasa keindahan luar biasa oleh Koki Hotel ini yang bernama Pak Heli, yang sebelum bekerja di sini adalah Koki Pribadi di Istana Sultan hasanal Bolkiah di Brunei sana. Terasa semakin istimewa sambil menikmati keindahan deretan gunung-gunung berapi , mulai dari Gunung Raung, Rante, Merapi dan Ijen yang melatari pemandangan Hotel ini. Dengan sedikit diselimuti kabut di bagian puncaknya, gunung-gunung itu seolah sengaja diletakkan di sana sebagai wall paper yang menjadi latar belakang keindahan hotel ini.
Pemilik hotel yang indah ini bernama Pak Yanto, berumur menjelang 50-an tahun dan kebetulan saya kenal cukup dekat. Dia adalah orang Jawa asli yang berasal dari kampung dan latar belakang keluarga yang kurang lebih sama dengan Adi, Sulaiman, Pak Agus dan para pengangkut belerang lainnya yang saya temui di kawah. Secara kepribadian dan cara bersikapnya, Pak Yanto ini asli Jawa, nilai-nilai yang dianut di rumahnya juga nilai-nilai Jawa, sama seperti yang dianut para pengangkut Belerang.
Yang membedakan Pak Yanto dengan mereka hanya sedikit saja. Dari dulu Pak yanto tidak pernah terperangkap dengan rasa nyaman yang sudah dia terima dan Pak Yanto juga tidak percaya rumus pasti yang dipercayai seperti 1+1 = 2 oleh para koleganya yaitu "Gusti tidak mungkin berbuat curang pada Kawula".
Saat masih muda di akhir tahun 70-an dulu, daripada bekerja fisik semacam mengangkut belerang dan sejenisnya yang menjanjikan peghasilan cukup menggiurkan bagi rekan sejawatnya, Pak Yanto memilih untuk pergi merantau ke Bali. Di sana dia belajar bahasa Perancis yang ketika itu penutur lokal yang menguasainya masih sangat langka.
Ketika Pak Yanto kemudian menguasai bahasa ini, tawaran menjadi pemandu wisatapun langsung menghampirinya. Dan Pak Yantopun merasa nyaman dengan pekerjaannya. Tapi sekali lagi dengan kenyamanan baru inipun, Pak Yanto tidak mau terperangkap dengan kenyamanannya. Suatu saat dia berkenalan dengan seorang klien yang menawarinya bekerja sama membuat restoran, Pak Yantopun segera menyambarnya dan kehidupan Pak Yantopun jadi jauh lebih baik dibanding teman sejawatnya yang lain.
Tapi kali inipun Pak Yanto tidak terperangkap dalam kenyamannya, suatu saat seorang pemilik biro wisata kecil di eropa menjadi pelanggan di restorannya. Saat bercakap-cakap si pelanggan ini mengajak Pak Yanto bekerja sama membuka biro wisata di Bali dan Pak Yantopun tidak menolaknya. Partnernya di eropa mengiriminya turis-turis dalam jumlah kecil untuk ditangani oleh Pak Yanto. Meskipun jumlah turis yang datang relatif kecil, tapi untung dari bisnis ini lumayan juga. Uang Pak Yantopun jadi makin banyak dan Pak Yanto menyimpan Dollarnya di sebuah Bank di Singapura.
Beberapa tahun setelah kerjasama yang baik ini, biro wisata milik partnernya di eropa bangkrut dan dijual kepada sebuah biro wisata besar Jet Tour yang juga sudah punya perwakilan di Bali. Tapi saat mengetahui biro wisata kecil yang merka beli juga punya Partner di Bali, manajemen Jet Tour penasaran ingin mengetahuinya. Dan ketika mereka datang untuk mempelajari partner biro wisata kecil yang baru mereka beli, mereka menamukan fakta kalau manajemen perusahaan kecil ini ternyata jauh lebih rapi dibandingkan partner mereka sebelumnya. Dan Pak Yantopun ketiban durian runtuh. Jet Tour, perusahaan biro wisata besar di perancis yang mengirimkan ribuan turis ke Bali setahunnya memilih perusahaan Pak Yanto sebagai partner barunya.
Akibatnya, tentu saja uang Pak Yanto di rekening banknya di Singapura semakin bertumpuk-tumpuk.
Tahun 1997, Indonesia dihantam krisis keuangan berat yang sampai menurunkan Soeharto dari jabatan presidennya. Pak Yanto yang menyimpan Dollar, tiba-tiba jadi hampir 8 kali lebih kaya.
Saat itulah Pak Yanto mengambil sebuah keputusan penting, uang dari rekeningnya di Singapura dia tarik, lalu dia belikan tanah di Banyuwangi yang harganya naik tidak secepat irama naiknya Dollar. Tanah sawah yang hasilnya tidak terlalu bagus itu dibeli pak Yanto dengan harga hampir dua kali lipat harga pasaran sawah yang berproduksi bagus. Para petani yang ditawari tentu bersukacita, dengan uang penjualan sawahnya mereka membeli sawah lain dnegan luas hampir dua kali lipat sawah sebelumnya dan ditempat yang bisa menghasilkan produksi yang hampir dua kali lipat pula. Ditambah bonus, mereka masih tetap bisa mengerjakan sawah yang mereka jual kepada Pak Yanto dengan hasil bagi tiga.
Di tengah sawah itu terdapat sebuah bukit yang tidak bisa dicapai air irigasi, sehingga dijadikan kebun oleh pemiliknya. Di tempat inilah Pak Yanto membangun Ijen Resort, hotel miliknya. Pohon Jengkol, kemiri, Kelapa dan rambutan yang sudah ada di kebun itu, oleh pak Yanto tetap dibiarkan tumbuh sebagaimana adanya.
Saat membangun hotel di negeri antah berantah itu, hampir semua orang menyebut pak Yanto gila. Karena jumlah turis yang berkunjung ke Banyuwangi sama sekali tidak bisa diandalkan bahkan untuk menghidupi hotel yang sudah ada.
Tapi, apa yang diketahui oleh Pak Yanto dan tidak diketahui oleh orang-orang yang mentertawakannya adalah, sejak Nicolas Hulot menayangkan cerita tentang kawah Ijen di acaranya. Minat orang Perancis untuk berkunjung kesana meningkat pesat. Tapi tidak ada satupun hotel berkelas di Banyuwangi yang mampu menampung ledakan peminat ini. Karena itulah Pak Yanto dengan penuh percaya diri mendirikan Hotelnya.
Perkiraan Pak Yanto terbukti tepat, sekarang, kamar-kamar di Ijen resort yang berjumlah 37 buah, untuk bulan Mei sampai September tahun ini sudah penuh dipesan berbagai biro wisata sejak januari tahun lalu.
Semua cerita kesuksesan Pak Yanto yang seperti cerita sinetron di atas tentu saja telah saya sederhanakan sedemikian rupa, ada banyak sekali detail jatuh bangunnya Pak Yanto yang tidak saya gambarkan di sana.
Tapi yang jelas, saat ini di usianya yang menjelang 50 tahun, Pak Yanto telah memiliki penghasilan bersih dan halal setidaknya beberapa ratus juta perbulan, menghidupi sekitar 60-an Karyawan dan anaknya sebentar lagi akan tamat SMA.
Meskipun Pak Yanto ini adalah orang yang sukses dan terbilang kaya apalagi kalau dinilai dengan kacamata orang kampungnya, tapi penampilan sehari-hari Pak Yanto sangat biasa, malah terlalu biasa. Kadang saya memergokinya sedang jalan-jalan sore dengan VW Safari butut miliknya yang kadang mogok di tengah perjalanan dan kalau itu terjadi Pak Yanto sendiri yang memperbaikinya.
Dari bincang-bincang yang beberapa kali saya lakukan dengannya, saya tahu Pak Yanto ini adalah orang yang tahu persis bahagia itu berasal; dari hati, bukan harta. Dan dari raut wajahnya yang selalu senyum, selalu ramah saat menyapa dan kehangatan yang saya rasakan saat mampir ke rumahnya, saya tahu Pak Yanto ini adalah orang yang berbahagia.
Begitulah cerita saya tentang Pak Yanto yang bisa dikaitkan dengan tulisan Keindahan Kawah Ijen dan Para Superman yang kalah dan Tersenyum. Berdasarkan perkenalan saya dengan Pak Yanto dan para pengangkut belerang, saya tahu, mereka yang sama-sama orang jawa, sama-sama merasa bahagia dan bersyukur dengan hidup yang mereka jalani.
Yang membedakan kebahagiaan Pak Yanto dengan sejawatnya para pengangkut belerang di Ijen sana hanya pada bentuk fisik kebahagiaan itu saja, kalau para pengangkut belerang memilih jadi kuli bangunan atau buruh tani di masa liburnya, maka Pak Yanto memilih berlibur ke Paris dan Kota-kota indah lain di Eropa.
Karena seperti yang saya katakan dan juga banyak ujaran bijak lainnya, ukuran kebahagiaan itu ada di hati yang kaitannya dengan besar kecilnya rasa syukur yang kita punya, bukan di materi atau banyak sedikitnya harta.
Jadi kalau kita ingin bahagia, perlapanglah hati dan perbesarlah rasa syukur, soal bentuknya tidak penting. Mau memilih bahagia model Pak Yanto?...atau bahagia model Pak Agus, Sulaiman, Adi dan Superman-Superman lain para pengangkut belerang di Ijen sana...Semua pilihan ada pada diri kita.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Ijen resort memang didesain sedemikian rupa sehingga tamu-tamu yang menginap di sana merasa seolah para dewa menurunkan Kahyangan tempat mereka bersemayam ke tempat ini. Seluruh desain hotel ini dibuat menyatu dengan lingkungan sekitarnya, bunga anggrek tanah, pakis haji, pohon kemiri, jati dan nangka dibuat menyatu dan saling menyapa dengan sawah dan petani yang bersama dua ekor sapinya membajak mengerjakannya sehingga secara bersama-sama menjadi elemen utuh yang membuat keeksotisan hotel ini semakin kentara.
Intinya Hotel ini benar-benar adalah tempat istirahat yang sempurna bagi turis-turis manja asal eropa yang baru saja seharian melakukan aktivitas fisik 'berat', ketika melakukan pendakian ke kawah Ijen dan menyaksikan keindahan sirkus kehidupan yang terjadi di sana.
Ketika duduk di restorannya, menikmati makanan dan minumannya yang memiliki cita rasa istimewa, disajikan dengan tampilan cita rasa keindahan luar biasa oleh Koki Hotel ini yang bernama Pak Heli, yang sebelum bekerja di sini adalah Koki Pribadi di Istana Sultan hasanal Bolkiah di Brunei sana. Terasa semakin istimewa sambil menikmati keindahan deretan gunung-gunung berapi , mulai dari Gunung Raung, Rante, Merapi dan Ijen yang melatari pemandangan Hotel ini. Dengan sedikit diselimuti kabut di bagian puncaknya, gunung-gunung itu seolah sengaja diletakkan di sana sebagai wall paper yang menjadi latar belakang keindahan hotel ini.
Pemilik hotel yang indah ini bernama Pak Yanto, berumur menjelang 50-an tahun dan kebetulan saya kenal cukup dekat. Dia adalah orang Jawa asli yang berasal dari kampung dan latar belakang keluarga yang kurang lebih sama dengan Adi, Sulaiman, Pak Agus dan para pengangkut belerang lainnya yang saya temui di kawah. Secara kepribadian dan cara bersikapnya, Pak Yanto ini asli Jawa, nilai-nilai yang dianut di rumahnya juga nilai-nilai Jawa, sama seperti yang dianut para pengangkut Belerang.
Yang membedakan Pak Yanto dengan mereka hanya sedikit saja. Dari dulu Pak yanto tidak pernah terperangkap dengan rasa nyaman yang sudah dia terima dan Pak Yanto juga tidak percaya rumus pasti yang dipercayai seperti 1+1 = 2 oleh para koleganya yaitu "Gusti tidak mungkin berbuat curang pada Kawula".
Saat masih muda di akhir tahun 70-an dulu, daripada bekerja fisik semacam mengangkut belerang dan sejenisnya yang menjanjikan peghasilan cukup menggiurkan bagi rekan sejawatnya, Pak Yanto memilih untuk pergi merantau ke Bali. Di sana dia belajar bahasa Perancis yang ketika itu penutur lokal yang menguasainya masih sangat langka.
Ketika Pak Yanto kemudian menguasai bahasa ini, tawaran menjadi pemandu wisatapun langsung menghampirinya. Dan Pak Yantopun merasa nyaman dengan pekerjaannya. Tapi sekali lagi dengan kenyamanan baru inipun, Pak Yanto tidak mau terperangkap dengan kenyamanannya. Suatu saat dia berkenalan dengan seorang klien yang menawarinya bekerja sama membuat restoran, Pak Yantopun segera menyambarnya dan kehidupan Pak Yantopun jadi jauh lebih baik dibanding teman sejawatnya yang lain.
Tapi kali inipun Pak Yanto tidak terperangkap dalam kenyamannya, suatu saat seorang pemilik biro wisata kecil di eropa menjadi pelanggan di restorannya. Saat bercakap-cakap si pelanggan ini mengajak Pak Yanto bekerja sama membuka biro wisata di Bali dan Pak Yantopun tidak menolaknya. Partnernya di eropa mengiriminya turis-turis dalam jumlah kecil untuk ditangani oleh Pak Yanto. Meskipun jumlah turis yang datang relatif kecil, tapi untung dari bisnis ini lumayan juga. Uang Pak Yantopun jadi makin banyak dan Pak Yanto menyimpan Dollarnya di sebuah Bank di Singapura.
Beberapa tahun setelah kerjasama yang baik ini, biro wisata milik partnernya di eropa bangkrut dan dijual kepada sebuah biro wisata besar Jet Tour yang juga sudah punya perwakilan di Bali. Tapi saat mengetahui biro wisata kecil yang merka beli juga punya Partner di Bali, manajemen Jet Tour penasaran ingin mengetahuinya. Dan ketika mereka datang untuk mempelajari partner biro wisata kecil yang baru mereka beli, mereka menamukan fakta kalau manajemen perusahaan kecil ini ternyata jauh lebih rapi dibandingkan partner mereka sebelumnya. Dan Pak Yantopun ketiban durian runtuh. Jet Tour, perusahaan biro wisata besar di perancis yang mengirimkan ribuan turis ke Bali setahunnya memilih perusahaan Pak Yanto sebagai partner barunya.
Akibatnya, tentu saja uang Pak Yanto di rekening banknya di Singapura semakin bertumpuk-tumpuk.
Tahun 1997, Indonesia dihantam krisis keuangan berat yang sampai menurunkan Soeharto dari jabatan presidennya. Pak Yanto yang menyimpan Dollar, tiba-tiba jadi hampir 8 kali lebih kaya.
Saat itulah Pak Yanto mengambil sebuah keputusan penting, uang dari rekeningnya di Singapura dia tarik, lalu dia belikan tanah di Banyuwangi yang harganya naik tidak secepat irama naiknya Dollar. Tanah sawah yang hasilnya tidak terlalu bagus itu dibeli pak Yanto dengan harga hampir dua kali lipat harga pasaran sawah yang berproduksi bagus. Para petani yang ditawari tentu bersukacita, dengan uang penjualan sawahnya mereka membeli sawah lain dnegan luas hampir dua kali lipat sawah sebelumnya dan ditempat yang bisa menghasilkan produksi yang hampir dua kali lipat pula. Ditambah bonus, mereka masih tetap bisa mengerjakan sawah yang mereka jual kepada Pak Yanto dengan hasil bagi tiga.
Di tengah sawah itu terdapat sebuah bukit yang tidak bisa dicapai air irigasi, sehingga dijadikan kebun oleh pemiliknya. Di tempat inilah Pak Yanto membangun Ijen Resort, hotel miliknya. Pohon Jengkol, kemiri, Kelapa dan rambutan yang sudah ada di kebun itu, oleh pak Yanto tetap dibiarkan tumbuh sebagaimana adanya.
Saat membangun hotel di negeri antah berantah itu, hampir semua orang menyebut pak Yanto gila. Karena jumlah turis yang berkunjung ke Banyuwangi sama sekali tidak bisa diandalkan bahkan untuk menghidupi hotel yang sudah ada.
Tapi, apa yang diketahui oleh Pak Yanto dan tidak diketahui oleh orang-orang yang mentertawakannya adalah, sejak Nicolas Hulot menayangkan cerita tentang kawah Ijen di acaranya. Minat orang Perancis untuk berkunjung kesana meningkat pesat. Tapi tidak ada satupun hotel berkelas di Banyuwangi yang mampu menampung ledakan peminat ini. Karena itulah Pak Yanto dengan penuh percaya diri mendirikan Hotelnya.
Perkiraan Pak Yanto terbukti tepat, sekarang, kamar-kamar di Ijen resort yang berjumlah 37 buah, untuk bulan Mei sampai September tahun ini sudah penuh dipesan berbagai biro wisata sejak januari tahun lalu.
Semua cerita kesuksesan Pak Yanto yang seperti cerita sinetron di atas tentu saja telah saya sederhanakan sedemikian rupa, ada banyak sekali detail jatuh bangunnya Pak Yanto yang tidak saya gambarkan di sana.
Tapi yang jelas, saat ini di usianya yang menjelang 50 tahun, Pak Yanto telah memiliki penghasilan bersih dan halal setidaknya beberapa ratus juta perbulan, menghidupi sekitar 60-an Karyawan dan anaknya sebentar lagi akan tamat SMA.
Meskipun Pak Yanto ini adalah orang yang sukses dan terbilang kaya apalagi kalau dinilai dengan kacamata orang kampungnya, tapi penampilan sehari-hari Pak Yanto sangat biasa, malah terlalu biasa. Kadang saya memergokinya sedang jalan-jalan sore dengan VW Safari butut miliknya yang kadang mogok di tengah perjalanan dan kalau itu terjadi Pak Yanto sendiri yang memperbaikinya.
Dari bincang-bincang yang beberapa kali saya lakukan dengannya, saya tahu Pak Yanto ini adalah orang yang tahu persis bahagia itu berasal; dari hati, bukan harta. Dan dari raut wajahnya yang selalu senyum, selalu ramah saat menyapa dan kehangatan yang saya rasakan saat mampir ke rumahnya, saya tahu Pak Yanto ini adalah orang yang berbahagia.
Begitulah cerita saya tentang Pak Yanto yang bisa dikaitkan dengan tulisan Keindahan Kawah Ijen dan Para Superman yang kalah dan Tersenyum. Berdasarkan perkenalan saya dengan Pak Yanto dan para pengangkut belerang, saya tahu, mereka yang sama-sama orang jawa, sama-sama merasa bahagia dan bersyukur dengan hidup yang mereka jalani.
Yang membedakan kebahagiaan Pak Yanto dengan sejawatnya para pengangkut belerang di Ijen sana hanya pada bentuk fisik kebahagiaan itu saja, kalau para pengangkut belerang memilih jadi kuli bangunan atau buruh tani di masa liburnya, maka Pak Yanto memilih berlibur ke Paris dan Kota-kota indah lain di Eropa.
Karena seperti yang saya katakan dan juga banyak ujaran bijak lainnya, ukuran kebahagiaan itu ada di hati yang kaitannya dengan besar kecilnya rasa syukur yang kita punya, bukan di materi atau banyak sedikitnya harta.
Jadi kalau kita ingin bahagia, perlapanglah hati dan perbesarlah rasa syukur, soal bentuknya tidak penting. Mau memilih bahagia model Pak Yanto?...atau bahagia model Pak Agus, Sulaiman, Adi dan Superman-Superman lain para pengangkut belerang di Ijen sana...Semua pilihan ada pada diri kita.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)