Saat berkunjung ke Kawah Ijen beberapa waktu yang lalu, sebagaimana biasa, saya dan para klien saya menginap di sebuah hotel yang terletak benar-benar di tengah sawah bernama Ijen Resort. Hotel di tengah sawah ini adalah hotel dengan tarif tertinggi di Jawa Timur, sebagai perbandingan saat menginap di Hotel Majapahit, hotel termewah di Surabaya, saya hanya membayar Rp.750.000 per kamarnya, sementara di hotel yang terletak di tengah sawah ini, saya harus membayar $110/ Kamar.
Ijen resort memang didesain sedemikian rupa sehingga tamu-tamu yang menginap di sana merasa seolah para dewa menurunkan Kahyangan tempat mereka bersemayam ke tempat ini. Seluruh desain hotel ini dibuat menyatu dengan lingkungan sekitarnya, bunga anggrek tanah, pakis haji, pohon kemiri, jati dan nangka dibuat menyatu dan saling menyapa dengan sawah dan petani yang bersama dua ekor sapinya membajak mengerjakannya sehingga secara bersama-sama menjadi elemen utuh yang membuat keeksotisan hotel ini semakin kentara.
Intinya Hotel ini benar-benar adalah tempat istirahat yang sempurna bagi turis-turis manja asal eropa yang baru saja seharian melakukan aktivitas fisik 'berat', ketika melakukan pendakian ke kawah Ijen dan menyaksikan keindahan sirkus kehidupan yang terjadi di sana.
Ketika duduk di restorannya, menikmati makanan dan minumannya yang memiliki cita rasa istimewa, disajikan dengan tampilan cita rasa keindahan luar biasa oleh Koki Hotel ini yang bernama Pak Heli, yang sebelum bekerja di sini adalah Koki Pribadi di Istana Sultan hasanal Bolkiah di Brunei sana. Terasa semakin istimewa sambil menikmati keindahan deretan gunung-gunung berapi , mulai dari Gunung Raung, Rante, Merapi dan Ijen yang melatari pemandangan Hotel ini. Dengan sedikit diselimuti kabut di bagian puncaknya, gunung-gunung itu seolah sengaja diletakkan di sana sebagai wall paper yang menjadi latar belakang keindahan hotel ini.
Pemilik hotel yang indah ini bernama Pak Yanto, berumur menjelang 50-an tahun dan kebetulan saya kenal cukup dekat. Dia adalah orang Jawa asli yang berasal dari kampung dan latar belakang keluarga yang kurang lebih sama dengan Adi, Sulaiman, Pak Agus dan para pengangkut belerang lainnya yang saya temui di kawah. Secara kepribadian dan cara bersikapnya, Pak Yanto ini asli Jawa, nilai-nilai yang dianut di rumahnya juga nilai-nilai Jawa, sama seperti yang dianut para pengangkut Belerang.
Yang membedakan Pak Yanto dengan mereka hanya sedikit saja. Dari dulu Pak yanto tidak pernah terperangkap dengan rasa nyaman yang sudah dia terima dan Pak Yanto juga tidak percaya rumus pasti yang dipercayai seperti 1+1 = 2 oleh para koleganya yaitu "Gusti tidak mungkin berbuat curang pada Kawula".
Saat masih muda di akhir tahun 70-an dulu, daripada bekerja fisik semacam mengangkut belerang dan sejenisnya yang menjanjikan peghasilan cukup menggiurkan bagi rekan sejawatnya, Pak Yanto memilih untuk pergi merantau ke Bali. Di sana dia belajar bahasa Perancis yang ketika itu penutur lokal yang menguasainya masih sangat langka.
Ketika Pak Yanto kemudian menguasai bahasa ini, tawaran menjadi pemandu wisatapun langsung menghampirinya. Dan Pak Yantopun merasa nyaman dengan pekerjaannya. Tapi sekali lagi dengan kenyamanan baru inipun, Pak Yanto tidak mau terperangkap dengan kenyamanannya. Suatu saat dia berkenalan dengan seorang klien yang menawarinya bekerja sama membuat restoran, Pak Yantopun segera menyambarnya dan kehidupan Pak Yantopun jadi jauh lebih baik dibanding teman sejawatnya yang lain.
Tapi kali inipun Pak Yanto tidak terperangkap dalam kenyamannya, suatu saat seorang pemilik biro wisata kecil di eropa menjadi pelanggan di restorannya. Saat bercakap-cakap si pelanggan ini mengajak Pak Yanto bekerja sama membuka biro wisata di Bali dan Pak Yantopun tidak menolaknya. Partnernya di eropa mengiriminya turis-turis dalam jumlah kecil untuk ditangani oleh Pak Yanto. Meskipun jumlah turis yang datang relatif kecil, tapi untung dari bisnis ini lumayan juga. Uang Pak Yantopun jadi makin banyak dan Pak Yanto menyimpan Dollarnya di sebuah Bank di Singapura.
Beberapa tahun setelah kerjasama yang baik ini, biro wisata milik partnernya di eropa bangkrut dan dijual kepada sebuah biro wisata besar Jet Tour yang juga sudah punya perwakilan di Bali. Tapi saat mengetahui biro wisata kecil yang merka beli juga punya Partner di Bali, manajemen Jet Tour penasaran ingin mengetahuinya. Dan ketika mereka datang untuk mempelajari partner biro wisata kecil yang baru mereka beli, mereka menamukan fakta kalau manajemen perusahaan kecil ini ternyata jauh lebih rapi dibandingkan partner mereka sebelumnya. Dan Pak Yantopun ketiban durian runtuh. Jet Tour, perusahaan biro wisata besar di perancis yang mengirimkan ribuan turis ke Bali setahunnya memilih perusahaan Pak Yanto sebagai partner barunya.
Akibatnya, tentu saja uang Pak Yanto di rekening banknya di Singapura semakin bertumpuk-tumpuk.
Tahun 1997, Indonesia dihantam krisis keuangan berat yang sampai menurunkan Soeharto dari jabatan presidennya. Pak Yanto yang menyimpan Dollar, tiba-tiba jadi hampir 8 kali lebih kaya.
Saat itulah Pak Yanto mengambil sebuah keputusan penting, uang dari rekeningnya di Singapura dia tarik, lalu dia belikan tanah di Banyuwangi yang harganya naik tidak secepat irama naiknya Dollar. Tanah sawah yang hasilnya tidak terlalu bagus itu dibeli pak Yanto dengan harga hampir dua kali lipat harga pasaran sawah yang berproduksi bagus. Para petani yang ditawari tentu bersukacita, dengan uang penjualan sawahnya mereka membeli sawah lain dnegan luas hampir dua kali lipat sawah sebelumnya dan ditempat yang bisa menghasilkan produksi yang hampir dua kali lipat pula. Ditambah bonus, mereka masih tetap bisa mengerjakan sawah yang mereka jual kepada Pak Yanto dengan hasil bagi tiga.
Di tengah sawah itu terdapat sebuah bukit yang tidak bisa dicapai air irigasi, sehingga dijadikan kebun oleh pemiliknya. Di tempat inilah Pak Yanto membangun Ijen Resort, hotel miliknya. Pohon Jengkol, kemiri, Kelapa dan rambutan yang sudah ada di kebun itu, oleh pak Yanto tetap dibiarkan tumbuh sebagaimana adanya.
Saat membangun hotel di negeri antah berantah itu, hampir semua orang menyebut pak Yanto gila. Karena jumlah turis yang berkunjung ke Banyuwangi sama sekali tidak bisa diandalkan bahkan untuk menghidupi hotel yang sudah ada.
Tapi, apa yang diketahui oleh Pak Yanto dan tidak diketahui oleh orang-orang yang mentertawakannya adalah, sejak Nicolas Hulot menayangkan cerita tentang kawah Ijen di acaranya. Minat orang Perancis untuk berkunjung kesana meningkat pesat. Tapi tidak ada satupun hotel berkelas di Banyuwangi yang mampu menampung ledakan peminat ini. Karena itulah Pak Yanto dengan penuh percaya diri mendirikan Hotelnya.
Perkiraan Pak Yanto terbukti tepat, sekarang, kamar-kamar di Ijen resort yang berjumlah 37 buah, untuk bulan Mei sampai September tahun ini sudah penuh dipesan berbagai biro wisata sejak januari tahun lalu.
Semua cerita kesuksesan Pak Yanto yang seperti cerita sinetron di atas tentu saja telah saya sederhanakan sedemikian rupa, ada banyak sekali detail jatuh bangunnya Pak Yanto yang tidak saya gambarkan di sana.
Tapi yang jelas, saat ini di usianya yang menjelang 50 tahun, Pak Yanto telah memiliki penghasilan bersih dan halal setidaknya beberapa ratus juta perbulan, menghidupi sekitar 60-an Karyawan dan anaknya sebentar lagi akan tamat SMA.
Meskipun Pak Yanto ini adalah orang yang sukses dan terbilang kaya apalagi kalau dinilai dengan kacamata orang kampungnya, tapi penampilan sehari-hari Pak Yanto sangat biasa, malah terlalu biasa. Kadang saya memergokinya sedang jalan-jalan sore dengan VW Safari butut miliknya yang kadang mogok di tengah perjalanan dan kalau itu terjadi Pak Yanto sendiri yang memperbaikinya.
Dari bincang-bincang yang beberapa kali saya lakukan dengannya, saya tahu Pak Yanto ini adalah orang yang tahu persis bahagia itu berasal; dari hati, bukan harta. Dan dari raut wajahnya yang selalu senyum, selalu ramah saat menyapa dan kehangatan yang saya rasakan saat mampir ke rumahnya, saya tahu Pak Yanto ini adalah orang yang berbahagia.
Begitulah cerita saya tentang Pak Yanto yang bisa dikaitkan dengan tulisan Keindahan Kawah Ijen dan Para Superman yang kalah dan Tersenyum. Berdasarkan perkenalan saya dengan Pak Yanto dan para pengangkut belerang, saya tahu, mereka yang sama-sama orang jawa, sama-sama merasa bahagia dan bersyukur dengan hidup yang mereka jalani.
Yang membedakan kebahagiaan Pak Yanto dengan sejawatnya para pengangkut belerang di Ijen sana hanya pada bentuk fisik kebahagiaan itu saja, kalau para pengangkut belerang memilih jadi kuli bangunan atau buruh tani di masa liburnya, maka Pak Yanto memilih berlibur ke Paris dan Kota-kota indah lain di Eropa.
Karena seperti yang saya katakan dan juga banyak ujaran bijak lainnya, ukuran kebahagiaan itu ada di hati yang kaitannya dengan besar kecilnya rasa syukur yang kita punya, bukan di materi atau banyak sedikitnya harta.
Jadi kalau kita ingin bahagia, perlapanglah hati dan perbesarlah rasa syukur, soal bentuknya tidak penting. Mau memilih bahagia model Pak Yanto?...atau bahagia model Pak Agus, Sulaiman, Adi dan Superman-Superman lain para pengangkut belerang di Ijen sana...Semua pilihan ada pada diri kita.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com
Jumat, 06 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Kawah Ijen memang gak ada matinya ternyata resort termahal menyimpan banyak cerita dan saya terkejut memang kayak sinetron ceritanya. thanks bro for sharing
Kisah penambang belerang yang ingin sukseshttp://imamijen.wordpress.com/
Posting Komentar