Minggu, 01 Maret 2009

PKS, Budaya Arab dan Sikap Hegemonistik

Di Blog saya, pada tulisan yang saya beri judul PKS Partai kaum fasis. Saya mendapati sebuah komentar menarik yang mengkritisi tulisan saya yang mempertanyakan soal komentar saya tentang PKS.

Menurut penulis komentar yang mengaku sebagai orang Aceh bernama Boss Achmad bin Umar Basalamah dan sebagai orang Aceh yang mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan Bangsa Arab, Bangsa Eropa yg menjadi bagian dari pemerintahan Islam masa lampau, Boss Achmad cukup heran dengan respon saya yang menurutnya terkesan alergi dengan budaya Arab yg ditampilkan SEBAGIAN anggota PKS. Padahal menurut Boss Achmad, Aceh sebagai entitas regional sangat erat dengan budaya-budaya seperti itu di masa lampau bahkan sampai sekarang, meskipun saat ini lumayan mengalami degradasi yg cukup besar. Lengkapnya silahkan baca http://winwannur.blogspot.com/2009/01/pks-si-partai-kaum-fasis-yang-sedang.html

Ada beberapa hal yang perlu saya luruskan mengenai komentar Boss Achmad ini.

Pertama soal Aceh yang mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan Bangsa Arab, Bangsa Eropa yg menjadi bagian dari pemerintahan Islam masa lampau. Itu memang benar sekali, tapi apakah kemudian dengan itu lalu Aceh mengadopsi budaya Arab secara gebyah uyah seperti yang dilakukan banyak kader PKS belakangan ini?...Tidak.

Soal saya yang terkesan alergi terhadap budaya Arab juga demikian, sebenarnya saya sama sekali tidak pernah alergi terhadap budaya arab atau orang-orang yang memilih untuk menirunya. Tapi jujur saya katakan kalau saya memang sangat anti kepada orang Arab apalagi Arab imitasi yang merasa budaya mereka atau budaya yang mereka tiru itu adalah budaya paling unggul dan memandang rendah setiap orang yang tidak seperti mereka.

Untuk lebih jelas soal permasalahan ini, mari kita mengambil sebuah contoh penanda identitas ke-Aceh-an yang berbau Arab yang paling mudah kita temui sehari-hari. JILBAB misalnya, salah satu cara berpakaian ala arab yang belakangan ini seolah identik dengan setiap perempuan Aceh.

Saat ini jika kita bertemu perempuan muslim di Aceh, kita akan mendapati mereka semua mengenakan jilbab menutupi kepala mereka. Tapi apakah dari dulu gaya berpakaian perempuan Aceh memang seperti itu?...atau malah lebih tertutup lagi dan yang kita lihat sekarang hanyalah sisa-sisanya seperti kata Boss Achmad bin Umar Basalamah "Padahal Aceh sebagai entitas regional sangat erat dengan budaya2 seperti itu di masa lampau bahkan sampai sekarang, meskipun saat ini lumayan mengalami degradasi yg cukup besar".

Saya tidak tahu darimana Boss Achmad bin Umar Basalamah mendapat referensi soal budaya arab yang diadopsi oleh orang Aceh ini karena jika kita perhatikan data-data dan fakta yang ada, penampilan orang Aceh zaman dulu ternyata tidak seperti yang digambarkan oleh Boss Achmad bin Umar Basalamah.

Katakanlah misalnya Cut Nyak Dhien dan Cut Meuthia kita jadikan contoh, apakah dimasa hidup mereka, kedua pahlawan besar Aceh ini mengenakan burqa, berpakaian longgar menutupi seluruh badan kecuali meyisakan mata?, atau setidaknya berpakaian mengenakan jilbab panjang dan longgar seperti gaya para akhwat PKS?.

Ternyata jawabanya Tidak!...dari foto-foto lama, bisa kita lihat Cut Nyak Dhien dalam kesehariannya tidak berjilbab, Cut Meuthia juga demikian. Pada masa mereka hidup, dalam masyarakat Aceh, rambut bukanlah sesuatu yang dianggap dapat mengundang birahi lawan jenis. Karena itulah dalam foto-foto lama, kita bisa melihat Cut Nyak Dhien duduk dengan rambut tergerai tanpa ditutupi Jilbab.

Inen Mayak teri, pahlwan perempuan dari Gayo malah lebih ekstrim lagi, dalam cerita-cerita yang kami dengar dari kakek nenek kami mengenai kisah beliau. Selalu diceritakan kalau Inen mayak teri bersumpah akan tetap membioarkan rambutnya terurai tanpa diikat (i gerbang dalam bahasa Gayo) dan tidak akan menggelung rambutnya sebelum Belanda angkat kaki dari bumi Aceh.

Tapi apakah dengan tidak berpakaian selayaknya perempuan arab seperti itu, kemudian para pahlawan perempuan asal Aceh itu lalu bisa dikatakan bukan perempuan islam?. Saya yakin sekali kalau ada orang yang berani sekedar berteori seperti ini, si orang sok islam itu akan dikejar dan dicincang oleh anak keturunan mereka.

Jilbab seperti yang kita kenal sekarang, setahu saya di Indonesia baru muncul di awal tahun 1980-an. Diperkenalkan oleh mahasiswi-mahasiswi di UI sebagai protes atas larangan pemerintah saat itu terhadap pemakaian jilbab di institusi publik. Sejak diperkenalkan oleh mahasiswi-mahasiswi di UI ini Jilbab mulai menjadi kontroversi, ada anak sekolah yang dipulangkan karena mengenakan jilbab dan berbagai kontroversi lainnya.

Tapi seiring dengan semakin 'hijau'nya pemerintahan negeri ini yang ditandai dengan sikap Soeharto yang mulai meninggalkan para cendekiawan dan petinggi militer beragama kristen yang sejak awal pemerintahannya merupakan pembantu terdekat dan orang kepercayaannya dan Soeharto mulai membangun kedekatan dengan tokoh-tokoh dan cendekiawan muslim dan mulai mengangkat para petinggi militer 'hijau' sebagai penmbantu terdekat orang-orang kepercayaannya, larangan inipun mulai dilonggarkan dan malah kemudian sepertinya dicabut. Lalu tren pemakaian Jilbab sebagai pakaian penanda identitas keislaman mulai merebak ke seluruh Indonesia, termasuk Aceh.

Pada awal tahun 80-an, saya hampir tidak pernah melihat perempuan Aceh berjilbab, bahkan bibi saya yang sekolah di PGA (Pendidikan Guru Agama)-pun saat itu tidak berjilbab, tapi mengenakan kerudung dengan rambut yang tetap terlihat.

Tapi ketika saya masuk SMA di tahun 1989, murid-murid sekolah agama seperti MtsN dan MAN sudah berjilbab, di SMA umumpun sudah mulai banyak siswi yang mengenakan jilbab ke sekolah. Bahkan Di kelas saya sendiri ada dua siswi teman saya yang berjilbab.

Saat saya masuk kuliah di tahun 1992, para perempuan yang kuliah di jurusan agama (IAIN) sudah berjilbab karena sepertinya di kampus ini, penggunaan Jilbab memang diharuskan. Pada masa itu, jilbab juga sudah mulai menjadi trend di kalangan mahasiswi non jurusan agama. Contoh terdekat misalnya di fakultas teknik tempat saya kuliah.

Saat pertama kali masuk di fakultas teknik, saya mendapati ada beberapa teman seangkatan dan kakak leting saya yang berjilbab. Salah satunya yang paling saya ingat adalah kakak kelas saya angkatan 87, bernama Soraya Kamaruzzaman. Kakak kelas saya yang berjilbab ini paling saya ingat karena saat perkenalan dengan para pengurus organisasi kemahasiswaan di kampus kami, di sela-sela penataran P4 yang membosankan,dia adalah satu-satunya perempuan di antara para kakak kelas kami yang memperkenalkan diri sebagai ketua senat dan ketua himpunan mahasiswa bersama para sekretarisnya. Kak Soraya mudah diingat karena waktu itu dialah satu-satunya pemandangan yang menyegarkan mata di antara para abang leting yang berwajah lusuh, berambut kusut dan berpakaian kumal.

Saat itu kak Soraya ada di sana dalam kapasitasnya sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia. Kak Soraya ini adalah perempuan pertama yang menjadi ketua himpunan di Fakultas Teknik yang didominasi laki-laki, sejak fakultas ini pertama kali berdiri di Unsyiah tahun 1963.

Pada waktu itu saya memandang Kak Soraya dengan rasa kagum dan hormat, kagum pada kapasitas dirinya yang sedikitpun tidak menunjukkan rasa inferioritas sebagai perempuan diantara para laki-laki teknik yang dalam bayangan saya saat itu adalah kumpulan manusia yang gahar dan garang. Dan saya rasa hormat saya kepada kakak kelas saya ini semakin besar ketika dalam kapasitasnya yang seperti itu saya lihat dia memilih mengenakan jilbab untuk menunjukkan sikap dan ketaatan pribadinya dalam menjalani ajaran agama yang dia anut. Padahal waktu itu mahasiswi non fakultas agamis, belum terlalu banyak yang mengenakan jilbab. Kakak leting saya yang lain yang seangkatan dengan kak Soraya, rata-rata tidak berjilbab.

Tanpa mengaitkannya dengan kak Soraya. Sejak tahun 1990-an, saya mengamati kalau Jilbab semakin hari Jilbab semakin menjadi trend dalam gaya berpakaian di kalangan para mahasiswi di Aceh.

Di fakultas tekniksendiri, sepertinya ada trend diantara para mahasiswinya untuk mengenakan jilbab ketika semester semakin tinggi. Semakin tinggi semester yang kami jalani, semakin banyak teman-teman saya yang berjilbab. Ketika fenomena jilbab ini saya amati lebih lanjut, saya melihat, saat memasuki semester 5, biasanya seluruh perempuan di angkatan itu akan mengenakan jilbab.

Sampai di sana saya sama sekali tidak melihat ada masalah dengan penggunaan jilbab di kalangan perempuan di Aceh, sampai saat itu saya masih memandang setiap perempuan berjilbab di kampus saya dengan penuh rasa hormat.

Jilbab mulai menjadi masalah di Aceh ketika orang-orang yang merasa dirinya bermoral dan merasa diri sebagai penjaga moral orang Aceh, melihat fenomena maraknya penggunaan Jilbab itu sebagai sesuatu yang positif dan mulai berpikir untuk mengharuskan penggunaannya bagi setiap perempuan muslim di Aceh.

Sejak saat itu Jilbab-pun mulai digunakan sebagai alat intimidasi, yang awalnya dimulai dengan intimidasi secara halus melalui teguran atau sindiran sampai pada puncaknya kemudian dibakukan menjadi sebuah hukum positif yang memaksa setiap perempuan untuk menggunakannya. Bahkan sampai ada razia segala. Saat ini penggunaan Jilbab bagi perempuan di Aceh sudah sama seperti penggunaan helm bagi pengendara motor dan penggunaan sabuk pengaman bagi pengendara mobil.

Fenomena ini saya amati berawal pada paruh akhir tahun 1990-an. Saat itu saya mulai melihat banyak perempuan di Banda Aceh yang mengenakan jilbab dengan perasaan terpaksa, bukan karena keikhlasan dan pilihan pribadi menunjukkan sikap dan ketaatan pribadinya dalam menjalani ajaran agama yang dia anut, tapi karena terpaksa, karena merasa terintimidasi.

Pada masa itu di kampus, di dalam labi-labi atau di pasar sering sekali saya bertemu dengan cewek-cewek anak ekonomi berpakaian ketat, menutupi kepala mereka dengan sepotong kain yang bernama Jilbab.

Pernah satu kali saya tanyakan kepada mereka, kenapa mereka berpakaian seperti itu, mereka menjawab karena ada dosen yang mengharuskannya. Mereka tidak diizinkan masuk ke ruangan kalau tidak mengenakan jilbab.

Lalu pernah pula salah seorang teman baik saya, seorang cewek anak ekonomi yang suka berpakaian ketat bercerita kepada saya, kalau dosen mereka pernah menyindir gaya berpakaian dia dan teman-temannya. "Saya meminta kalian berjilbab untuk menutupi aurat, bukan untuk membalut aurat", begitu kata dosen mereka waktu itu.

Sejak saat itulah saya mulai sinis terhadap Jilbab.

Jika saya sekedar sinis, Kak Soraya, kakak kelas saya yang pernah sangat saya kagumi dan saya hormati karena pilihannya untuk berjilbab ternyata lebih ekstrim lagi. Sejak Jilbab digunakan sebagai alat untuk mengintimidasi perempuan, Kak Soraya memilih untuk menanggalkan jilbabnya. Saya mengetahui ini ketika menjelang akhir tahun 1999 saya yang bekerja sebagai penerjemah untuk New Yorker diminta untuk mewawancarai Kak Soraya dalam kapasitasnya sebagai ketua LSM Flower, sebuah LSM yang bekerja dalam isu-isu perempuan.

Saat saya bertemu Kak Soraya yang saat itu sudah sarj melihat tidak banyak yang berubah dari penampilan kakak kelas saya ini, dia tetap berpakaian sopan, longgar dan tertutup seperti Kak Soraya yang pernah saya kenal dulu. Hanya yang membedakannya, saat itu tidak ada lagi jilbab yang menutupi kepalanya.

Ketika soal itu saya tanyakan, Kakak kelas saya ini bilang itu karena sekarang jilbab tidak lagi digunakan sebagai alat untuk menunjukkan sikap pribadi dalam menjalani ajaran agama tapi sudah dijadikan sebagai alat untuk mengintimidasi perempuan.

Jawaban kakak kelas saya ini membuat saya semakin menghormatinya.

Seperti kakak kelas saya ini, sayapun sebenarnya sangat menghormati perempuan yang berjilbab atas niat sendiri dan keikhlasan atas dasar keyakinan agama yang dia anut. Tapi benar saya tidak suka terhadap orang yang memaksakan pemakaian jilbab dan orang-orang yang memandang rendah para perempuan yang tidak berjilbab. Sebenarnya kepada orang-orang seperti inilah saya ALERGI bahkan ANTI, bukan kepada JILBAB, bukan kepada budaya ARAB.

Sikap saya yang seperti ini juga sama terhadap orang-orang berjenggot dan orang-orang yang mempopulerkan panggilan 'Ikhwan' dan 'Akhwat' sesama mereka, saya bukan alergi pada jenggot, celana gantung atau panggilan 'Ikhwan' dan 'Akhwat' yang mereka populerkan, tapi saya ALERGI bahkan ANTI pada sikap mereka yang memandang rendah orang-orang yang tidak berjenggot, pada sikap mereka yang memandang rendah orang-orang yang sesamanya tidak memanggil 'Ikhwan' dan 'Akhwat'.

Perlu juga di ketahui, sikap yang seperti ini saya tunjukkan bukan hanya eksklusif pada budaya Arab dan orang-orang islam berjenggot saja. Sikap saya ini juga berlaku terhadap budaya atau cara pandang apapun yang sok eksklusif dan merasa paling hebat yang mememandang rendah budaya atau cara pandang lain yang tidak sama dengan mereka.

Saya sama sekali tidak alergi terhadap bahasa Inggris dan budaya barat.

Tapi jika anda membaca tulisan saya di blog saya www.winwannur.blogspot.com yang saya beri judul, 'My Hero Cinta Laura', 'Montessori dan rasisme Kulit Coklat', dan berbagai tulisan lainnya, anda akan mendapati kalau sayapun juga sama ALERGI dan ANTI-nya terhadap orang barat dan para penirunya yang merasa cara pandang, budaya dan gaya hidup mereka atau budaya dan gaya hidup yang mereka tiru itu adalah budaya dan gaya hidup paling unggul lalu memandang rendah setiap orang yang tidak seperti mereka.

Kalau anda membaca tulisan tersebut, anda akan tahu seperti saya yang ANTI kepada orang-orang yang bergaya dan berbicara kearab-araban lalu memandang rendah orang yang tidak seperti mereka, sayapun sangat ANTI kepada orang-orang yang bergaya dan berbicara ke Inggris-inggrisan seperti orang Amerika dan lalu merasa budaya yang mereka tiru itu adalah budaya paling unggul dan memandang rendah setiap orang yang tidak seperti mereka.

Dalam banyak tulisan saya, anda juga bisa mendapati banyaknya sikap sinis dan antipati yang saya tunjukkan kepada orang Jawa dan para peniru Jawa yang merasa budaya mereka atau budaya yang mereka tiru itu adalah budaya paling unggul dan memandang rendah setiap orang yang tidak seperti mereka.

Sama seperti sikap saya terhadap budaya arab dan 'budaya' amerika, sikap saya terhadap Jawa inipun sama sekali bukan karena saya ALERGI apalagi ANTI terhadap orang Jawa. Sama sekali tidak, karena jika dihitung-hitung malah bisa jadi jika dikumpulkan dari seluruh teman yang saya punya, justru yang paling banyak adalah orang Jawa. Bahkan beberapa paman, bibi dan sepupu saya juga menikah dengan orang Jawa.

Sikap ALERGI dan ANTI yang saya tunjukkan kepada mereka itu adalah sikap ALERGI dan ANTI saya terhadap sikap HEGEMONISTIK Jawa yang selama ini menguasai seluruh sendi tata nilai yang berlaku di negeri ini. Saya sangat ANTI dan ALERGI kepada orang-orang Jawa dan dan para peniru Jawa yang merasa budaya mereka atau budaya yang mereka tiru itu adalah budaya paling unggul dan memaksa setiap orang di negeri ini untuk menjadi seperti mereka.
Bahkan dalam beberapa tulisan saya, anda juga bisa menemukan sikap sinis dan antipati yang saya tunjukkan kepada orang dan segelintir pejabat Aceh yang merasa budaya Aceh pesisir adalah budaya paling unggul di provinsi ini dan hanya mau berbahasa Aceh ketika berdialog dengan rakyatnya, memandang rendah setiap orang yang bukan berasal dari suku Aceh pesisir dan tidak bisa berbahasa Aceh.

Sama seperti sikap saya terhadap semua budaya dan cara pandang yang saya sebutkan di atas, sikap saya terhadap Aceh inipun sama sekali bukan karena saya ALERGI apalagi ANTI terhadap orang Aceh pesisir atau karena saya tidak bisa berbahasa Aceh. Sama sekali tidak, bagaimana saya bisa ALERGI terhadap orang Aceh pesisir sementara jika dihitung dari seluruh sahabat dan teman terbaik yang saya punya di dunia ini, mayoritas dari mereka adalah orang Aceh pesisir. Dan karena saya tumbuh dewasa di Banda Aceh, dalam sikap, mentalitas dan keseharian saya sendiripun sekarang sudah banyak sekali yang mirip dengan sikap dan mentalitas orang Aceh pesisir, bahkan sayapun bisa berbicara dalam bahasa Aceh sama fasihnya dengan berbicara dalam bahasa Gayo yang merupakan bahasa ibu saya.

Jadi sikap ALERGI dan ANTI yang saya tunjukkan terhadap para 'Ikhwan' dan 'Akhwat'yang berjenggot dan berjilbab itu sama sekali bukan karena pilihan mereka untuk berjilbab atau berjenggot atau gaya mereka yang kearab-araban lainnya.

Sikap ALERGI dan ANTI yang saya tunjukkan kepada mereka itu adalah sikap ALERGI dan ANTI saya terhadap sikap HEGEMONISTIK yang mereka tunjukkan, sama seperti sikap HEGEMONISTIK yang ditunjukkan para anak gaul dan dan eksekutif muda di Jakarta dengan gaya ke Amerika-amerikaan mereka. Sama seperti sikap HEGEMONISTIK sebagian kalangan di negara ini dengan gaya ke Jawa-jawan mereka. Sama seperti sikap HEGEMONISTIK yang ditunjukkan segelintir pejabat di Aceh yang begitu pongah dengan ke-Aceh-an mereka.

Sikap ALERGI dan ANTI yang saya tunjukkan tersebut adalah sikap ALERGI dan ANTI terhadap sikap mereka yang memandang rendah semua orang yang TIDAK SAMA dengan mereka.

Wassalam

Win Wan Nur

11 komentar:

Bhumi A Sing mengatakan...

satu kata tepat untuk tulisan di blog ini adalah HEBAT. dan dari yang saya baca memang sepatutnya kita menghormati dan meneladani orang2 berimage islam dan bersifat (tidak berprilaku saja) islami. ketika melihat orang yang tidak senada dengan islam merasakan iba bukan benci dan melihat pada diri mereka dengan tatapan kasih sayang.

dan menurut saya kita harus cermat dalam mengkategorikan antara Budaya arab dan budaya islam karena banyak yang menjadikan keduannya adalah satu. budaya islam yang megah tidak bisa kita samakan dengan budaya arab apalagi kalau kita logok sejarah dunia arab pra islam. jadi yang hebat bukan lagi budaya arab tapi budaya islam atau budaya agama-agama samawi yang di bawa adam-hawa.

mundir
www.munij.blogspot.com

Boss Achmad bin Umar Basalamah mengatakan...

Subhanallah...
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara pendapat Pak Win Wan Nur dengan pandangan saya. Saya pun seringkali MUAK dengan TINGKAH orang yang mengklaim dirinya LEBIH BAIK dari orang lain karena tidak mengenakan IDENTITAS sama dgn mereka yang lebih terkesan simbol semata.
Tapi, Win Wan Nur, saudaraku seiman, kuranglah patut jika ORANG2 YG MEMUAKKAN itu serta-merta kita BENCI. Seluruh KOMUNITAS nya kita CAP dengan stempel yg SAMA. Tidaklah elok MEMBUANG seluruh beras persediaan makan kita karena menjumpai beberapa KUTU dan BATU HITAM didalam karungnya. Merekapun aset bangsa, mereka juga aset ummat, mereka juga bagian integral dari bangsa ini, diantara mereka juga ada BERAS BERKUALITAS TINGGI.
Tuhan kita sangat menganjurkan untuk SALING menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Sabarlah, saudaraku, meskipun RASA MUAK sedemikian menggunung di dada kita, karena mereka dan kita saling membutuhkan.
Bisa jadi RASA PERCAYA DIRI yang berlebihan dalam fikiran kita JUGA MEMUAKKAN orang2 di sekeliling kita. Jadi, sangatlah indah jika kita saling menasihati dalam kasih sayang dan kesabaran.

BOSS ACHMAD BASALAMAH

Boss Achmad bin Umar Basalamah mengatakan...

Silahkan baca ya pak winwannur...

sumber: http://forum.detik.com/showthread.php?t=97805

“Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah”
Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan?

Oleh: Adian Husaini

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.

aslata mengatakan...

@win wan nur
jilbab vs kerudung sama halnya sapi dengan lembu
hakekat cerita dalam blog ini saya teliti adalah sama saja, yang beda cuma pemahaman... kadang soal bahasa dan cara pandang saja berbeda...
itu biasa... yang penting tidak keluar prinsip

begini...
apapun organisasinya
apapun budaynya
apapun sukunya
yang penting satu pegangannya yaitu Quran hadits

menurut QS 7 :26 tidak ditentukan apa2 kecuali tiga prinsip berpakaian yaitu menutup, indah, dan taqwa

mau pake burdah kek, pake sarung kek, pakek jilbab kek, kerudung, telkung dsb yang penting prinsipnya menutup, indah, dan taqwa (tidak memmbawa kepada kemaksiatan)

Unknown mengatakan...

Sapi dan lembu jelas beda... ada Sapi perah... bukan lembu perah...

Jilbab bukan kerudung... hijab bukan jilbab.

Surat Al-A'raf ayat 26 jangan di singkat-singkat seenak-enaknya, pelajari Asbabunuzul-nya (mudah-mudahan antum tau artinya)

Hijab tu wajib diseluruh dunia untuk muslimah.
Mau professor S2,S3, aceh,batak,jawa, gayo dll, kalau muslimah WAJIB pakai hijab
Baca dan pelajari (dengan guru jangan sendiri mempelajarinya nanti antum memakai logika bukan ilmunya) pelajari juga Asbabunuzulnya Al-ahzab 59, jangan ketidak tau-an dijadikan alasan untuk menjadi bodoh. Belajar dari yang lebih pintar. Jangan mentang-mentang antum sarjana, trus logika sarjana antum yang selalu antum kedepankan. Siapa pun (muslimah) yang gak mau pake hijab akan mendapatkan balasannya, kalau antum gak setuju jangan serta-merta mempublikasikannya, simpan sendiri, jangan menyebarkan kebodohan.

Unknown mengatakan...

Baca dan pelajari Asbabunuzulnya Al-Ahzab 59, jangan ketidak tau-an dijadikan alasan untuk menjadi bodoh. Berbeda dengan An-Nuur 31 yang tidak berlaku lagi (oh direvisi bisa ya?) dan digantikan Al-Ahzab 59, asal usul terbit ayat Al-Ahzab adalah atas permintaan RA Umar bin Khatab yang risi mempergoki ada seorang perempuan tinggi besar dan tidak cantik sedang BAB di padang pasir maklum saat itu belum ada WC Umum.

Unknown mengatakan...

Pasti Ny Saodah ya. Memang harus berguru meskipun malah menyesatkan karena seorang gurupun punya logika sendiri dan biasanya mengikuti kesepakatan bersama yang dianggap benar

Unknown mengatakan...

Memang Agama islam adalah agama yang sempurna semua diatur mulai dari salat, puasa, zakat dan naik haji sampai hasrat sex dan BAB ditambah lagi sempurnanya adalah ada perintah/boleh membalas dendam dan invasi agar semua manusia di dunia ini mendapat rachmat karena semua telah menjadi muslim

Unknown mengatakan...

Memang Agama islam adalah agama yang sempurna semua diatur mulai dari salat, puasa, zakat dan naik haji sampai hasrat sex dan BAB ditambah lagi sempurnanya adalah ada perintah/boleh membalas dendam dan invasi agar semua manusia di dunia ini mendapat rachmat karena semua telah menjadi muslim

Zamroniblog.blogspot.id mengatakan...

Yang saya tau, cara berpakaian cut muthia dan cut nyak dhien hanya sebuah rekayasa untuk menampilkan ala pakaian yang berbau kartini.

Katakanlah mereka berpakaian seperti itu, jika memang menyalahi syariah, wajib bagi kita untuk tidak ikut. Tapi saya yakin, sejarah indonesia, terlalu banyak yang bengkok. Itulah Indonesia.

salam zamroni - Abu Dhabi

siput mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.