Minggu, 26 Oktober 2008

Tanggapan atas Laskar Pelangi

Di Milis Aceh Institute saya mendapat tanggapan atas tulisan saya yang mengkritisi Laskar Pelangi, intinya tanggapan itu todak sepakat dengan pandangan saya yang mengatakan pentingnya institusi sekolah itu adalah MITOS SESAT. Emir TEF demikian nama yang menanggapi ini menduga pandangan saya tersebut dipengaruhi 'pengalaman buruk' saya yang D.O dari Unsyiah. Penanggap ini juga mengatakan ukuran sukses itu banyak macamnya.

Karena tanggapannya ini disampaikan dengan cara yang sangat baik dan ada beberapa hal yang saya pikir bisa bermanfaat buat direnungkan, saya menjawab tanggapan itu dan membaginya kepada rekan-rekan semua di media ini.

Berikut tanggapan saya atas pandangan Pak Emir TEF.

Senang sekali membaca tanggapan Bapak Emir TEF terhadap tulisan saya yang mengkritisi Laskar Pelangi. Maaf saya baru membalas tanggapan anda sekarang karena belakangan ini saya sibuk sekali.

Saya senang melihat cara anda ketika mengemukakan pandangan yang berseberangan dengan perspektif saya. Anda tidak menunjukkan sikap permusuhan sama sekali. Dalam menganggapi perbedaan pendapat, politisi-politisi kita seharusnya belajar banyak kepada anda. Menurut saya orang-orang seperti anda inilah yang seharusnya menghuni senayan.

Pak Emir, melalui apa yang anda baca dalam tulisan saya sebelumnya. Mungkin terbaca oleh anda di sana bahwa saya ini adalah orang yang sangat membenci institusi sekolah. Padahal faktanya tidaklah demikian. Karena seperti anda, sayapun sebenarnya terlahir dan besar di keluarga yang sangat menilai tinggi kadar kesuksesan dari tinggi rendahnya pendidikan.

Hanya saja, dalam perjalanannya saya melihat pengagungan terhadap pendidikan ini telah berubah menjadi pemujaan terhadap institusi yang bernama sekolah dan selembar kertas yang bernama IJAZAH. Menurut saya, ini sudah terlalu berlebihan. Karena pengagungan yang berlebihan terhadap institusi ini dalam perjalanannya justru malah mengesampingkan bagian paling penting dari pendidikan itu sendiri yaitu 'proses'. Lihatlah pendidikan di Indonesia sekarang yang pengajarannya semua terfokus pada HASIL yang ditandai dengan angka kelulusan UAN. Salah satu akibatnya nyata dari metode seperti ini. SASTRA di sekolah-sekolah diajarkan dengan metode hafalan, bukan apresiasi, karena apresiasi tidak bisa dinilai dengan angka pasti seperti yang dibutuhkan UAN. Hasil dari metode seperti inilah yang membuat apresiasi bangsa ini terhadap SASTRA sangat lemah. Inilah alasan kenapa Novel yang secara kualitas biasa-biasa saja tapi mengusung tema 'seksi' semacam Laskar Pelangi itu bisa laris manis di pasaran.

Pengagungan berlebihan terhadap Institusi bernama sekolah ini akhirnya membuat SEKOLAH menjadi BERHALA yang sangat merusak. Sekolah menghisap potensi ekonomi, mematikan kreatifitas dan membunuh keunikan dan kearifan lokal.

Oleh institusi bernama sekolah ini, isi kepala manusia dari Sabang sampai Merauke diseragamkan. Akibat kepercayaan dan pemujaan terhadap BERHALA bernama SEKOLAH ini banyak potensi yang kita punyai yang seharusnya bisa menjadi modal justru hancur. Salah satunya ya Orang tua yang menjual sawah dan ladang untuk menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi. Padahal hasilnya seringkali anak yang disekolahkan sampai tinggi dengan menghabiskan potensi ekonomi yang seharusnya bisa menghidupi keluarga itu hanya memiliki kemampuan sebagai seorang pengangguran terdidik. Ujung-ujungnya kembali mengolah kebun kopi, atau malah jadi tukang becak.

Maaf, ketika saya menyebut dua profesi ini dengan nada yang kurang layak, itu bukan karena saya merendahkan kedua profesi itu. Tapi maksud saya mengatakan itu adalah "untuk menjalani dua profesi yang saya sebutkan itu adalah MUBAZIR menghabiskan potensi ekonomi keluarga, karena untuk mengolah kebun kopi dan menjadi tukang becak sama sekali tidak dibutuhkan ijazah dan keahlian seorang Sarjana. Juga tidak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan mubazir di bangku kuliah, hanya untuk mendapatkan pengakuan resmi tentang keahlian kita dari BERHALA yang bernama sekolah itu.

Saya cukup gembira melihat perkembangan belakangan ini, sejak reformasi 1998. Banyak ide-ide brilian bermunculan. Salah satunya adalah tumbuh suburnya ide-ide tentang sekolah alternatif semacam Home Schooling yang secara perlahan telah mengembalikan pendidikan ke khitah sebenarnya. Yaitu menekankan pada PROSES bukan HASIL. Pendidikan alternatif semacam ini tidak membutuhkan BERHALA yang bernama sekolah dan pendeta-pendetanya yang bernama GURU yang tidak jarang sebenarnya bodoh tapi sok tau.

Contoh guru bodoh tapi sok tau ini ada di SMP Negeri 99, Sekolah Unggulan untuk wilayah Jakarta Timur yang letaknya tidak jauh dari rumah saya. Di sekolah ini guru bahasa Inggrisnya Killer dan songongnya bukan main, padahal bahasa inggrisnya sendiri hancur-hancuran.

Satu kali di tahun 2005, saya pernah masuk ke lingkungan sekolah itu untuk mengambil raport keponakan saya. Di sana saya melihat seluruh lorong gedung sekolahan itu di penuhi papan-papan gantung yang berisi kata-kata mutiara dalam dua bahasa. Bahasa Inggris dan bahasa Melayu.

Terjemahan bahasa Inggris di papan-papan itu dibuat oleh Guru Bahasa Inggris yang kata keponakan saya ini termasuk salah satu guru Killer. Terjemahan bikinan guru killer ini betul-betul membuat saya ngakak sampai sakit perut karena tidak bisa berhenti. Sampai-sampai keponakan saya itu tidak enak pada gurunya. Salah satu dari terjemahan Guru bodoh tapi Sok Tau ini yang tidak bisa saya lupakan adalah ketika dia mengartikan 'Anak Durhaka Calon Penghuni Neraka' dengan REBEL SON TO BE HELL. Tulisan itu saya foto dan saya berniat akan mewariskan foto itu sampai ke anak cucu saya. Dan di sekolah unggulan itu ada puluhan papan berisi kata-kata mutiara dengan terjemahan bahasa Inggris ajaib semacam itu.

Selain terhindar dari guru-guru bodoh tapi Sok Tau semacam ini. Pendidikan yang benar semacam Home Schooling ini juga tidak terlalu banyak menguras potensi ekonomi keluarga.

Inilah dasar yang membuat saya merasa perlu mengkritisi Laskar Pelangi, karena saya melihat buku Andrea Hirata yang polanya sangat HC Andersen Complex khas sinetron-sinetron tanah air ini kembali menghidupkan PEMUJAAN terhadap BERHALA yang perlahan-lahan mulai ditinggalkan orang itu.

Selanjutnya, saya sangat sependapat dengan anda yang mengatakan "pemahaman dan penilaian (konsep, sistem nilai) kita terhadap segala sesuatu amat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman masa lalu". Tapi jika anda mengaitkan itu dengan keputusan yang saya ambil tahun 1999 dulu dan menurut perkiraan dan pengalaman anda bahwa pemahaman dan penilaian 'miring'/negatif saya terhadap lembaga formal pendidikan/sekolah, tidak terlepas dari 'pengalaman buruk' saya yang DO dari Unsyiah. Maka perlu saya jelaskan bahwa perkiraan anda itu sangat salah. Karena sebenarnya yang terjadi adalah sebaliknya.

Anggapan anda ini salah, pertama karena saya sama sekali tidak menganggap DO itu sebagai pengalaman buruk. Kedua, bukannya pemahaman dan penilaian 'miring'/negatif saya terhadap lembaga formal pendidikan/sekolah itu dipengaruhi oleh DO-nya saya dari Unsyiah. Tapi sebaliknya, justru keputusan yang saya ambil pada tahun 1999 lalu untuk DO dari Jurusan Teknik Sipil Unsyiah (bukan Unsyah, seperti anda dan banyak orang di pulau Jawa menyebut Universitas tempat saya kuliah itu) karena saya tidak terlalu menghargai Institusi sekolah dan segala macam kertas sertifikasinya yang bernama Ijazah, sebagai mana anda menghargainya.

Waktu itu, untuk bisa mendapatkan ijazah dan diakui sebagai 'tukang insinyur' saya harus menjalani banyak ritual yang saya anggap tidak perlu. Ritual yang saya anggap tidak perlu itu diantaranya adalah keharusan untuk menyelesaikan mata kuliah-mata kuliah satu SKS-an semacam Rancangan Baja, Rancangan Kayu dan Rancangan Beton. Padahal saya sudah sangat fasih menguasai materi kesemua jenis rancangan itu, bahkan mungkin sudah sama fasihnya dengan dosen yang akan menguji saya.

Tapi agar kemampuan saya itu bisa secara resmi diakui, setiap menyelesaikan satu bab rancangan, saya harus pontang-panting menjumpai dosen-dosen saya yang mengasuh mata kuliah itu untuk melakukan asistensi dan mendapatkan tanda tangannya. Sebagai syarat agar saya bisa mengerjakan bab selanjutnya. Padahal dosen-dosen saya itu luar biasa sibuknya. Proyek mereka dimana-mana. Seringkali pagi-pagi buta saya disuruh menghadap ke rumah mereka untuk asistensi (HP belum umum waktu itu, saya baru punya HP tahun 2000). Lebih sering lagi janji yang sudah dibuat beberapa minggu sebelumnya dengan seenak perutnya dibatalkan oleh dosen-dosen saya itu.

Sementara pada saat itu saya sedang sangat sibuk dengan usaha kopi yang baru saya bangun. Saat itu saya sedang sering-seringnya mendapat tawaran berbicara di berbagai forum dan konferensi kopi baik di dalam maupun di luar negeri.

Jadi berdasarkan situasi yang saya alami saat itu. Saya menilai, PENGAKUAN itu sama sekali tidak saya butuhkan. Karena kemungkinan besar saya tidak akan bekerja di bidang yang saya pelajari di bangku kuliah itu.
Kalaupun akhirnya nanti saya harus bekerja di bidang yang saya pelajari di bangku kuliah itu, maka saya hanya berminat menjadi pemilik perusahaannya bukan pekerja yang digaji. Tidak seperti pekerja yang membutuhkan sertifikasi untuk meyakinkan orang yang akan membayarnya, pemilik perusahaan sama sekali tidak memerlukan selembar kertas itu. Toh secara kapasitas keilmuan dalam bidang Teknik Sipil, saat itu saya sudah setara dengan insinyur-insinyur lulusan S1.

Jadi ketiadaan waktu untuk menyelesaikan mata kuliah-mata kuliah ber SKS kecil tapi sangat menggangu itu. Ditambah ketiadaan waktu saya untuk melakukan KP, Penelitian dan KKN. Akumulasi dri semua alasan itulah yang membuat saya secara resmi tidak diakui oleh institusi UNSYIAH sebagai tukang Insinyur.

Menurut catatan resmi, saat ini ijazah terakhir saya hanya SMA yang itupun sekarang mungkin sudah tidak diakui lagi. Karena Ijazah SMA itu bersama ijazah beserta raport saya sejak SD sampai lulus SMA semua saya tinggal di rumah bibi saya di Mon Singet. Sekarang semuanya sudah hanyut semua dibawa Tsunami bersama rumah-rumahnya. Untuk dibuat ijazah penggantipun sepertinya sudah sulit, karena sekolah saya SMA Negeri 2 Banda Aceh juga habis hanyut dibawa tsunami lengkap dengan sebagian guru-gurunya. Jadi artinya secara teknis, sekarang saya sama sekali tidak memiliki pendidikan formal apapun, bahkan SD sekalipun.

Tapi apakah dengan tidak adanya pengakuan itu lalu berarti otomatis saya tidak memiliki kemampuan di bidang Teknik sipil dan kemampuan intelektual saya jadi lebih rendah dibandingkan teman-teman saya yang secara resmi diakui sebagai tukang insinyur?...ya tidak!. Kemampuan saya di bidang Teknik Sipil maupun kapasitas intelektual saya ya sama saja dengan teman-teman seangkatan saya yang mendapatkan Ijazah. Kapasitas intelektual sayapun ya 'imbang-imbang lah' sama teman-teman seangkatan saya itu. Toh sewaktu kuliah mereka juga sering mencontek pekerjaan saya dan sebaliknya sayapun sering mencontek pekerjaan mereka.

Benar dan saya sangat setuju jika anda katakan sukses itu ada beragam warna. Misalnya anda yang hanya memiliki sebuah rumah mungil di pedesaan Kabupaten Bogor (itupun diperoleh melalui kredit BTN) dan tidak pernah punya mobil (milik) sendiri seperti si Udin teman saya. Secara ekonomi anda jelas kurang sukses jika dibandingkan Udin teman saya. Tapi jika kesuksesan dilihat dalam cara pandang dan warna lain, anda lebih sukses dari Udin teman saya. Misalnya kalau dilihat dari segi wawasan. Wawasan anda jauh lebih luas dibandingkan Udin, anda mengerti Internet, Udin teman saya itu tidak. Saya bisa berdiskusi seperti ini dengan anda tapi tidak dengan Udin. Di lihat dari segi ini anda jelas lebih sukses dari Udin teman saya.

Tapi jika dibandingkan teman-teman saya yang lain yang menjadi sarjana dengan menghabiskan nyaris seluruh potensi ekonomi keluarga untuk kuliah di IAIN, FKIP, Ekonomi atau Hukum lalu menjadi sarjana hanya untuk kemudian jadi tukang becak dan berencana membuat organisasi bernama 'Ikatan Sarjana Penganggur'. UDIN teman saya yang tidak tamat SD itu tentu beribu kali lebih sukses. Mau sukses itu dinilai dari sudut pandang dan warna apapun.

Senang berdiskusi dengan anda.

Wassalam

Win Wan Nur
Di Milis Aceh Institute saya mendapat tanggapan atas tulisan saya yang mengkritisi Laskar Pelangi, intinya tanggapan itu todak sepakat dengan pandangan saya yang mengatakan pentingnya institusi sekolah itu adalah MITOS SESAT. Emir TEF demikian nama yang menanggapi ini menduga pandangan saya tersebut dipengaruhi 'pengalaman buruk' saya yang D.O dari Unsyiah. Penanggap ini juga mengatakan ukuran sukses itu banyak macamnya.

Karena tanggapannya ini disampaikan dengan cara yang sangat baik dan ada beberapa hal yang saya pikir bisa bermanfaat buat direnungkan, saya menjawab tanggapan itu dan membaginya kepada rekan-rekan semua di media ini.

Berikut tanggapan saya atas pandangan Pak Emir TEF.

Senang sekali membaca tanggapan Bapak Emir TEF terhadap tulisan saya yang mengkritisi Laskar Pelangi. Maaf saya baru membalas tanggapan anda sekarang karena belakangan ini saya sibuk sekali.

Saya senang melihat cara anda ketika mengemukakan pandangan yang berseberangan dengan perspektif saya. Anda tidak menunjukkan sikap permusuhan sama sekali. Dalam menganggapi perbedaan pendapat, politisi-politisi kita seharusnya belajar banyak kepada anda. Menurut saya orang-orang seperti anda inilah yang seharusnya menghuni senayan.

Pak Emir, melalui apa yang anda baca dalam tulisan saya sebelumnya. Mungkin terbaca oleh anda di sana bahwa saya ini adalah orang yang sangat membenci institusi sekolah. Padahal faktanya tidaklah demikian. Karena seperti anda, sayapun sebenarnya terlahir dan besar di keluarga yang sangat menilai tinggi kadar kesuksesan dari tinggi rendahnya pendidikan.

Hanya saja, dalam perjalanannya saya melihat pengagungan terhadap pendidikan ini telah berubah menjadi pemujaan terhadap institusi yang bernama sekolah dan selembar kertas yang bernama IJAZAH. Menurut saya, ini sudah terlalu berlebihan. Karena pengagungan yang berlebihan terhadap institusi ini dalam perjalanannya justru malah mengesampingkan bagian paling penting dari pendidikan itu sendiri yaitu 'proses'. Lihatlah pendidikan di Indonesia sekarang yang pengajarannya semua terfokus pada HASIL yang ditandai dengan angka kelulusan UAN. Salah satu akibatnya nyata dari metode seperti ini. SASTRA di sekolah-sekolah diajarkan dengan metode hafalan, bukan apresiasi, karena apresiasi tidak bisa dinilai dengan angka pasti seperti yang dibutuhkan UAN. Hasil dari metode seperti inilah yang membuat apresiasi bangsa ini terhadap SASTRA sangat lemah. Inilah alasan kenapa Novel yang secara kualitas biasa-biasa saja tapi mengusung tema 'seksi' semacam Laskar Pelangi itu bisa laris manis di pasaran.

Pengagungan berlebihan terhadap Institusi bernama sekolah ini akhirnya membuat SEKOLAH menjadi BERHALA yang sangat merusak. Sekolah menghisap potensi ekonomi, mematikan kreatifitas dan membunuh keunikan dan kearifan lokal.

Oleh institusi bernama sekolah ini, isi kepala manusia dari Sabang sampai Merauke diseragamkan. Akibat kepercayaan dan pemujaan terhadap BERHALA bernama SEKOLAH ini banyak potensi yang kita punyai yang seharusnya bisa menjadi modal justru hancur. Salah satunya ya Orang tua yang menjual sawah dan ladang untuk menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi. Padahal hasilnya seringkali anak yang disekolahkan sampai tinggi dengan menghabiskan potensi ekonomi yang seharusnya bisa menghidupi keluarga itu hanya memiliki kemampuan sebagai seorang pengangguran terdidik. Ujung-ujungnya kembali mengolah kebun kopi, atau malah jadi tukang becak.

Maaf, ketika saya menyebut dua profesi ini dengan nada yang kurang layak, itu bukan karena saya merendahkan kedua profesi itu. Tapi maksud saya mengatakan itu adalah "untuk menjalani dua profesi yang saya sebutkan itu adalah MUBAZIR menghabiskan potensi ekonomi keluarga, karena untuk mengolah kebun kopi dan menjadi tukang becak sama sekali tidak dibutuhkan ijazah dan keahlian seorang Sarjana. Juga tidak perlu menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan mubazir di bangku kuliah, hanya untuk mendapatkan pengakuan resmi tentang keahlian kita dari BERHALA yang bernama sekolah itu.

Saya cukup gembira melihat perkembangan belakangan ini, sejak reformasi 1998. Banyak ide-ide brilian bermunculan. Salah satunya adalah tumbuh suburnya ide-ide tentang sekolah alternatif semacam Home Schooling yang secara perlahan telah mengembalikan pendidikan ke khitah sebenarnya. Yaitu menekankan pada PROSES bukan HASIL. Pendidikan alternatif semacam ini tidak membutuhkan BERHALA yang bernama sekolah dan pendeta-pendetanya yang bernama GURU yang tidak jarang sebenarnya bodoh tapi sok tau.

Contoh guru bodoh tapi sok tau ini ada di SMP Negeri 99, Sekolah Unggulan untuk wilayah Jakarta Timur yang letaknya tidak jauh dari rumah saya. Di sekolah ini guru bahasa Inggrisnya Killer dan songongnya bukan main, padahal bahasa inggrisnya sendiri hancur-hancuran.

Satu kali di tahun 2005, saya pernah masuk ke lingkungan sekolah itu untuk mengambil raport keponakan saya. Di sana saya melihat seluruh lorong gedung sekolahan itu di penuhi papan-papan gantung yang berisi kata-kata mutiara dalam dua bahasa. Bahasa Inggris dan bahasa Melayu.

Terjemahan bahasa Inggris di papan-papan itu dibuat oleh Guru Bahasa Inggris yang kata keponakan saya ini termasuk salah satu guru Killer. Terjemahan bikinan guru killer ini betul-betul membuat saya ngakak sampai sakit perut karena tidak bisa berhenti. Sampai-sampai keponakan saya itu tidak enak pada gurunya. Salah satu dari terjemahan Guru bodoh tapi Sok Tau ini yang tidak bisa saya lupakan adalah ketika dia mengartikan 'Anak Durhaka Calon Penghuni Neraka' dengan REBEL SON TO BE HELL. Tulisan itu saya foto dan saya berniat akan mewariskan foto itu sampai ke anak cucu saya. Dan di sekolah unggulan itu ada puluhan papan berisi kata-kata mutiara dengan terjemahan bahasa Inggris ajaib semacam itu.

Selain terhindar dari guru-guru bodoh tapi Sok Tau semacam ini. Pendidikan yang benar semacam Home Schooling ini juga tidak terlalu banyak menguras potensi ekonomi keluarga.

Inilah dasar yang membuat saya merasa perlu mengkritisi Laskar Pelangi, karena saya melihat buku Andrea Hirata yang polanya sangat HC Andersen Complex khas sinetron-sinetron tanah air ini kembali menghidupkan PEMUJAAN terhadap BERHALA yang perlahan-lahan mulai ditinggalkan orang itu.

Selanjutnya, saya sangat sependapat dengan anda yang mengatakan "pemahaman dan penilaian (konsep, sistem nilai) kita terhadap segala sesuatu amat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman masa lalu". Tapi jika anda mengaitkan itu dengan keputusan yang saya ambil tahun 1999 dulu dan menurut perkiraan dan pengalaman anda bahwa pemahaman dan penilaian 'miring'/negatif saya terhadap lembaga formal pendidikan/sekolah, tidak terlepas dari 'pengalaman buruk' saya yang DO dari Unsyiah. Maka perlu saya jelaskan bahwa perkiraan anda itu sangat salah. Karena sebenarnya yang terjadi adalah sebaliknya.

Anggapan anda ini salah, pertama karena saya sama sekali tidak menganggap DO itu sebagai pengalaman buruk. Kedua, bukannya pemahaman dan penilaian 'miring'/negatif saya terhadap lembaga formal pendidikan/sekolah itu dipengaruhi oleh DO-nya saya dari Unsyiah. Tapi sebaliknya, justru keputusan yang saya ambil pada tahun 1999 lalu untuk DO dari Jurusan Teknik Sipil Unsyiah (bukan Unsyah, seperti anda dan banyak orang di pulau Jawa menyebut Universitas tempat saya kuliah itu) karena saya tidak terlalu menghargai Institusi sekolah dan segala macam kertas sertifikasinya yang bernama Ijazah, sebagai mana anda menghargainya.

Waktu itu, untuk bisa mendapatkan ijazah dan diakui sebagai 'tukang insinyur' saya harus menjalani banyak ritual yang saya anggap tidak perlu. Ritual yang saya anggap tidak perlu itu diantaranya adalah keharusan untuk menyelesaikan mata kuliah-mata kuliah satu SKS-an semacam Rancangan Baja, Rancangan Kayu dan Rancangan Beton. Padahal saya sudah sangat fasih menguasai materi kesemua jenis rancangan itu, bahkan mungkin sudah sama fasihnya dengan dosen yang akan menguji saya.

Tapi agar kemampuan saya itu bisa secara resmi diakui, setiap menyelesaikan satu bab rancangan, saya harus pontang-panting menjumpai dosen-dosen saya yang mengasuh mata kuliah itu untuk melakukan asistensi dan mendapatkan tanda tangannya. Sebagai syarat agar saya bisa mengerjakan bab selanjutnya. Padahal dosen-dosen saya itu luar biasa sibuknya. Proyek mereka dimana-mana. Seringkali pagi-pagi buta saya disuruh menghadap ke rumah mereka untuk asistensi (HP belum umum waktu itu, saya baru punya HP tahun 2000). Lebih sering lagi janji yang sudah dibuat beberapa minggu sebelumnya dengan seenak perutnya dibatalkan oleh dosen-dosen saya itu.

Sementara pada saat itu saya sedang sangat sibuk dengan usaha kopi yang baru saya bangun. Saat itu saya sedang sering-seringnya mendapat tawaran berbicara di berbagai forum dan konferensi kopi baik di dalam maupun di luar negeri.

Jadi berdasarkan situasi yang saya alami saat itu. Saya menilai, PENGAKUAN itu sama sekali tidak saya butuhkan. Karena kemungkinan besar saya tidak akan bekerja di bidang yang saya pelajari di bangku kuliah itu.
Kalaupun akhirnya nanti saya harus bekerja di bidang yang saya pelajari di bangku kuliah itu, maka saya hanya berminat menjadi pemilik perusahaannya bukan pekerja yang digaji. Tidak seperti pekerja yang membutuhkan sertifikasi untuk meyakinkan orang yang akan membayarnya, pemilik perusahaan sama sekali tidak memerlukan selembar kertas itu. Toh secara kapasitas keilmuan dalam bidang Teknik Sipil, saat itu saya sudah setara dengan insinyur-insinyur lulusan S1.

Jadi ketiadaan waktu untuk menyelesaikan mata kuliah-mata kuliah ber SKS kecil tapi sangat menggangu itu. Ditambah ketiadaan waktu saya untuk melakukan KP, Penelitian dan KKN. Akumulasi dri semua alasan itulah yang membuat saya secara resmi tidak diakui oleh institusi UNSYIAH sebagai tukang Insinyur.

Menurut catatan resmi, saat ini ijazah terakhir saya hanya SMA yang itupun sekarang mungkin sudah tidak diakui lagi. Karena Ijazah SMA itu bersama ijazah beserta raport saya sejak SD sampai lulus SMA semua saya tinggal di rumah bibi saya di Mon Singet. Sekarang semuanya sudah hanyut semua dibawa Tsunami bersama rumah-rumahnya. Untuk dibuat ijazah penggantipun sepertinya sudah sulit, karena sekolah saya SMA Negeri 2 Banda Aceh juga habis hanyut dibawa tsunami lengkap dengan sebagian guru-gurunya. Jadi artinya secara teknis, sekarang saya sama sekali tidak memiliki pendidikan formal apapun, bahkan SD sekalipun.

Tapi apakah dengan tidak adanya pengakuan itu lalu berarti otomatis saya tidak memiliki kemampuan di bidang Teknik sipil dan kemampuan intelektual saya jadi lebih rendah dibandingkan teman-teman saya yang secara resmi diakui sebagai tukang insinyur?...ya tidak!. Kemampuan saya di bidang Teknik Sipil maupun kapasitas intelektual saya ya sama saja dengan teman-teman seangkatan saya yang mendapatkan Ijazah. Kapasitas intelektual sayapun ya 'imbang-imbang lah' sama teman-teman seangkatan saya itu. Toh sewaktu kuliah mereka juga sering mencontek pekerjaan saya dan sebaliknya sayapun sering mencontek pekerjaan mereka.

Benar dan saya sangat setuju jika anda katakan sukses itu ada beragam warna. Misalnya anda yang hanya memiliki sebuah rumah mungil di pedesaan Kabupaten Bogor (itupun diperoleh melalui kredit BTN) dan tidak pernah punya mobil (milik) sendiri seperti si Udin teman saya. Secara ekonomi anda jelas kurang sukses jika dibandingkan Udin teman saya. Tapi jika kesuksesan dilihat dalam cara pandang dan warna lain, anda lebih sukses dari Udin teman saya. Misalnya kalau dilihat dari segi wawasan. Wawasan anda jauh lebih luas dibandingkan Udin, anda mengerti Internet, Udin teman saya itu tidak. Saya bisa berdiskusi seperti ini dengan anda tapi tidak dengan Udin. Di lihat dari segi ini anda jelas lebih sukses dari Udin teman saya.

Tapi jika dibandingkan teman-teman saya yang lain yang menjadi sarjana dengan menghabiskan nyaris seluruh potensi ekonomi keluarga untuk kuliah di IAIN, FKIP, Ekonomi atau Hukum lalu menjadi sarjana hanya untuk kemudian jadi tukang becak dan berencana membuat organisasi bernama 'Ikatan Sarjana Penganggur'. UDIN teman saya yang tidak tamat SD itu tentu beribu kali lebih sukses. Mau sukses itu dinilai dari sudut pandang dan warna apapun.

Senang berdiskusi dengan anda.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

Laskar Pelangi di Ubud Writers & Readers 2008

Di hari keduaku di Ubud Writers & Readers Festival 2008, banyak sekali acara menarik. Salah satunya adalah penuturan kisah-kisah rimba oleh Butet Manurung di Pondok Pekak. Istri dan anakku sangat tertarik untuk menghadiri acara yang dimulai jam 2.00 siang itu. Sementara jam 2.30, di tempat lain tepatnya di HSBC juga ada acara yang tidak kalah menariknya .

Acara di HSBC ini membicarakan tentang ketangguhan anak-anak dalam menghadapi hidup. Acara yang dimoderatori oleh Melani Budianta, kritikus sastra yang juga pengajar di fakultas sastra UI ini menghadirkan tiga penulis. Mereka adalah ; Naldo Rei mantan pejuang kemerdekaan Timor Timur yang menceritakan pengalaman traumatisnya dalam sebuah buku autobiografi yang diterbitkan di Australia berjudul 'Resistance: A Childhood Fighting for East Timor. Lalu ada Andrea Hirata Penulis novel fenomenal 'Laskar Pelangi' dan Triyanto Triwikromo penulis kumpulan cerita pendek 'Anak-Anak Mengasah Pisau'.

Karena ada dua acara yang berdekatan dan keduanya terlalu menarik untuk dilewatkan, akhirnya kami sepakat untuk memisahkan diri. Jam 2.00 aku antar anak dan istriku ke pondok pekak. Karena hari Sabtu, Rayhan yang sekarang bekerja di Jungle Joe, sebuah LSM Asing yang bergerak di bidang lingkungan yang berkantor di Ubud, hari ini libur. Karena itu dia juga bisa datang ke acaranya Butet ini dengan membawa anak tertuanya, Hiawatha.
Di pondok pekak, seperti biasa, begitu datang dan Rayhan bertemu dengn istriku, mereka berdua langsung ngobrol panjang lebar. Omongannya nggak jauh-jauh dari soal tumbuh kembang anak, obrolan khas sesama ibu-ibu. Anakku juga begitu, langsung punya kesibukan sendiri main dengan Hiawatha.

Aku tinggal di sana bersama-sama dengan mereka selama 15 menit lalu kemudian berangkat ke HSBC yang letaknya cukup jauh dari pondok pekak untuk menghadiri temu wicara dengan tiga penulis yang kusebutkan di atas.

Dengan membaca biodata ketiga pembicara di buku panduan yang dikeluarkan panitia Ubud Writers & Readers, terlihat jelas biodata Andrea Hiratalah yang paling mentereng secara akademis. Triyanto di biodatanya tertulis saat ini dia mengajar menulis kreatif di Universitas Diponegoro. Tapi di situ tidak dijelaskan statusnya di sana itu dosen tetap atau cuma sekedar diperbantukan. Sayapun agak kesulitan menduga jabatan Triyanto di sana karena di biodatanya Triyanto sama sekali tidak menjelaskan dia lulusan apa dan lulus dengan predikat apa.
Dalam biodata Naldo bahkan sama sekali tidak menjelaskan latar belakang yang ada kaitannya dengan bidang akademis.

Dari ketiga penulis ini, hanya Andrea Hirata yang di biodatanya menuliskan latar belakang akademis pendidikan tingginya secara lengkap dan cukup detail. Di biodatanya itu tertulis bahwa Andrea Hirata adalah Master of Science di bidang ekonomi telekomunikasi dari Sorbonne (France) dan Sheffield (UK), yang keduanya dia selesaikan dengan predikat cum laude. Tapi dengan latar belakang akademis sementereng itu, Andrea sendiri lebih suka disebut sebagai scientist backpacker, ini juga dia sebutkan di biodatanya.

Ketika sampai di hotel dan iseng-iseng kubaca satu persatu biodata para peserta yang diundang untuk menghadiri Ubud Writers & Readers Festival 2008. Nama, foto dan biodata peserta di cetak di buku panduan resmi. Aku menemukan fakta menarik, bahwa ternyata biodata Andrea Hirata bukan hanya paling mentereng jika dibandingkan dengan dua penulis lain yang sama-sama berbicara di acara yang sama dengannya ini. Bahkan ternyata dibandingkan dengan biodata dari seluruh peserta Ubud Writers & Readers Festival 2008 yang berjumlah 96 orang dan berasal dari 21 negara inipun. Secara akademis, biodata Andrea Hiratalah yang paling mentereng. Selain Andrea Hirata, dari ke 96 orang peserta itu, tidak satupun yang menuliskan predikat kelulusannya dari pendidikan tinggi.

Malah, dari ke 96 orang peserta itu, selain Andrea Hirata. Hanya Melanie Budianta yang juga sama-sama berasal dari Indonesia dan sekaligus menjadi moderator acara ini, yang di biodata menyebutkan latar belakang pendidikan tingginya. Yaitu Ph.D dari Cornell University. Gelar akademis ini didapatkan Melanie pada tahun 1992.

Peserta lain, di buku panduan resmi Ubud Writers & Readers Festival 2008. Pada kolom biodata hanya memaparkan karya-karya yang sudah pernah mereka buat.Peserta lain ini salah satunya adalah Helena Norberg-Hodge dari USA, seorang analis terkemuka mengenai ekonomi global yang merupakan peraih Alternative Nobel Prize berkat karya-karyanya semacam 'Ancient Future' dan 'Bringing The Economy Food Home'. Di biodatanya, Helena Norberg-Hodge sama sekali tidak menjelaskan dia lulusan universitas mana dan lulus dengan predikat apa.
Sampai di HSBC yang merupakan pusat dari semua kegiatan Ubud Writers & Readers Festival, kulihat suasana sangat ramai. Banyak penulis-penulis yang cukup dikenal berkumpul di sana.

Tapi tampaknya dari sekian banyak orang yang ada di sana, yang paling menonjol dan paling banyak menyedot perhatian adalah Andrea Hirata yang saat itu mengenakan jaket 'Army Look' dan topi baret warna hitam. Di sana, kulihat Andrea begitu sibuk, tidak henti-hentinya melayani permintaan foto dan tanda tangan di buku maupun di kaos penggemarnya yang rata-rata cewek ABG yang diantar oleh orang tua mereka. Melihat gaya berpakaian dan logat bahasanya sepertinya para ABG ini berasal dari Jakarta.

Melihat ramainya kerumunan itu, iseng-iseng 'cok manfaat' aku juga masuk kedalam kerumunan para ABG kinyes-kinyes dan wangi itu dan ikut minta foto bersama dengan Andrea. Di foto itu aku bergaya sok kenal sok dekat dengan Andrea Hirata. Aku merangkul bahu Andrea sambil tersenyum dengan senyum palsu yang dipaksakan, Andrea juga sama. Persis seperti pose khas seorang fans yang mendapat kesempatan langka sekali seumur hidup untuk berfoto dengan artis idolanya.

Aku sengaja masuk kekerumunan ABG itu dan ikut minta berfoto bersama dengan Andrea, selain 'cok manfaat' juga karena kupikir foto sok akrabku bersama Andrea Hirata sang penulis karya fenomenal ini lumayan juga buat dipamerkan ke beberapa temanku yang merupakan penggemar buku Laskar Pelangi dan sangat mengagumi kehebatan Andrea Hirata penulisnya.
Selesai berfoto dengan Andrea, aku langsung masuk ke dalam ruangan utama HSBC, tempat acara temu wicara akan dilangsungkan. Dalam ruangan ini, kulihat sebagian besar isinya adalah orang asing. Orang Indonesia hanya sekitar sepertiganya. Aku mencari-cari tempat yang strategis untuk duduk. Di deretan kursi paling depan, di samping seorang ibu berambut pirang.

Aku melihat ada satu kursi kosong, tapi ada kertas di atasnya. Aku segera menuju ke sana, lalu bertanya kepada seorang ibu setengah baya berambut pirang yang duduk disebelahnya apakah sudah ada orang yang menempati kursi yang kuincar itu. Ketika ibu itu menjawab belum, aku langsung duduk.

Lima menit kemudian, ketiga pembicara bersama moderator sudah duduk di sofa di depan kami, dengan latar belakang banner Ubud Writers & Readers Festival 2008. Tidak lama kemudian acara dibuka oleh Melani Budianta dengan memperkenalkan satu persatu pembicara. Dimulai dari Triyanto Triwikromo dan diakhiri dengan Andrea Hirata. Naldo mendapat giliran pertama untuk berbicara dilanjutkan dengan Triyanto dan diakhiri Andrea. Melanie memilih Andrea menjadi pembicara terakhir karena dia menganggap Andrea Hirata merupakan sosok paling terkenal diantara ketiga penulis ini.

Ketika acara sudah berjalan, terlihat jelas kalau popularitas di dalam ruangan ini tidak sama dengan popularitas di luar ruangan tadi. Jika di luar ruangan tadi Andrea Hirata yang menjadi bintang dan paling banyak menyedot perhatian pengunjung, maka di dalam ruangan ini justru Naldo yang sosoknya paling tidak dikenal dan asing jika dibandingkan Andrea dan Triyanto yang paling banyak mendapat atensi.

Meskipun di kalangan peserta dewasa dalam ruangan ini Laskar Pelangi-nya Andrea kurang mendapat atensi, tapi sebenarnya dalam ruangan ini penggemar Andrea banyak sekali. Hanya saja, mungkin karena bahasa yang dipakai dalam acara ini adalah Bahasa Inggris, fans Andrea dalam ruangan ini yang kebanyakan adalah ABG Jakarta yang rata-rata mengaku sangat terinspirasi oleh optimisme yang diusung Andrea dalam Laskar Pelangi itu kurang bisa terlibat aktif. Sehingga dalam acara temu wicara ini Andrea Hirata terlihat jadi agak terisolasi.

Penuturan Naldo tentang pengalaman pribadinya sebagai pejuang kemerdekaan Timor Timur yang sejak umur 6 bulan sudah dibawa orang tuanya bergerilya di dalam hutan, tumbuh besar bersama gerilyawan Fretilin dan mendapatkan nilai-nilai perjuangan langsung dari pelaku perjuangan, sangat menarik perhatian para pengunjung yang hadir.

Dalam bukunya Naldo juga mengisahkan pengalamannya selama 15 kali masuk penjara selama masa pendudukan Indonesia atas negaranya . Yang membuat buku Naldo menjadi sangat menarik adalah karena pengalaman traumatisnya yang nyata berhasil dengan jujur dia tuangkan ke dalam buku. Padahal jelas dalam proses penulisannya tentu dia harus mengorek kembali luka-luka batin yang pernah dia alami dan rasakan.

Latar belakang proses penulisan seperti itu membuat buku karya Naldo ini menjadi sangat menarik untuk dijadikan kajian psikologis post-traumatis pasca konflik. Sehingga tidaklah mengherankan kalau sekarang banyak fakultas psikologi di beberapa universitas luar negeri yang menjadikan buku Naldo yang dilarang beredar di Indonesia ini sebagai bacaan wajib.

Dalam sesi tanya jawab, dari ketiga penulis yang ada, Naldo pulalah yang paling banyak mendapat pertanyaan dari pengunjung, disusul oleh Triyanto.
Ketika sampai di sesi tanya jawab, seorang penanya menanyakan kepada Naldo apakah menulis buku itu merupakan salah satu proses dalam caranya melakukan penyembuhan dari trauma yang dia alami, Naldo menjawab iya. Menurut Naldo cara penyembuhan trauma tidaklah efektif dengan cara melupakan apa yang pernah dialami, tapi trauma hanya bisa disembuhkan dengan cara menerima semua kenangan buruk masa lalu itu sebagai bagian dari proses yang menjadikan dirinya seperti hari ini.

Di awal ceritanya, Naldo mengatakan dia baru berumur 6 bulan saat Timor Timur diekspansi oleh Indonesia. Mendengar penuturan itu, maka aku pikir Naldo yang umurnya kurang lebih sama seperti aku. Karenanya, Naldo yang menjalani masa pendidikannya di Timor Timur, tentu juga seperti aku. Mendapatkan pendidikan dengan sistem dan kurikulum standar Indonesia.

Ketika pada masa itu aku menerima doktrin tentang nilai-nilai luhur budaya Bangsa Indonesia yang jika dianalisa secara jernih dan tanpa prasangka akan terlihat jelas sangat didominasi oleh nilai-nilai adiluhung suku Jawa. Naldopun pasti juga juga demikian. Nilai-nilai itu kami terima terutama melalui mata pelajaran PMP yang kami dapatkan sejak SD dan penataran P4 yang wajib kami ikuti di setiap jenjang pendidikan mulai dari SMP, SMA sampai Kuliah.

Karena itu aku sangat tertarik untuk mengetahui apakah tata nilai dan doktrin yang dijejalkan ke kepalanya secara sistematis melalui kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia itu ada 'tersangkut' atau tertinggal dalam pribadinya setelah negaranya tidak lagi menjadi bagian dari 'Wawasan Nusantara'. Dan itu pulalah yang kutanyakan kepada Naldo.

Lalu karena Naldo yang berambut panjang ala Eurico Guteres ini mengawali sesi bicara dengan membaca mantra-mantra asli Timor dalam bahasa tetun tampaknya begitu bangga dengan statusnya sebagai warga Timor Timur. Aku jadi penasaran, jadi aku juga bertanya, apakah selama masa dia mengalami pendidikan Indonesia itu, pernah, sekali saja dia merasa sebagai orang Indonesia?

Jawaban Naldo ketika merespon pertanyaan-pertanyaanku itu sangat menarik, menurut Naldo sejak dia pertama kali bisa mengingat dia sudah berada di dalam hutan di bawa bergerilya oleh orang tuanya. Ketika dia masih sangat kecil bapaknya tertembak oleh TNI, luka yang dia dapatkan dari masa pendudukan Indonesia itu terlalu dalam untuknya untuk dapat membuat dirinya merasa sebagai orang Indonesia.

Soal pendidikan Indonesia yang dia dapatkan, itu adalah karena suruhan dari seniornya sesama pejuang kemerdekaan Timor Timur, supaya nanti kalau Timor-timur merdeka dia bisa lebih berguna dalam hal-hal yang ada hubungannya dengan diplomatik, supaya dia bisa mengerti bahasa Indonesia dan bisa mempelajari kelemahan Indonesia. Oleh seniornya Naldo disarankan untuk sementara mengesampingkan rasa benci terhadap pemerintah dan tentara Indonesia yang telah membunuh bapaknya. Yang penting menurut seniornya bagaimana Naldo bisa mengambil manfaat sebanyak mungkin dari musuh mereka, sekalian mempelajari kelemahan mereka.

Dengan cara pandang yang seperti itu, meskipun sejak kecil secara sistematis dia didoktrin tentang wawasan nusantara, Indonesia tanah pusaka dan segala doktrin standar lainnya. Naldo seumur hidupnya tidak pernah sekalipun merasa dirinya sebagai orang Indonesia. Oleh Naldo, segala macam nilai dan doktrin ideologi yang sangat Njawani yang dia dapatkan melalui pelajaran PMP dan penataran P4 itu hanya dianggap sebagai sebuah hapalan, nilai-nilai doktrinal itu tidak sedikitpun yang sangkut apalagi sampai mempengaruhi tata nilai pribadinya.

Triyanto, dalam bukunya 'anak-anak mengasah pisau' juga mengusung tema yang tidak konvensional yang juga tidak kalah menariknya dibandingkan tema yang diusung Naldo dalam bukunya. sepertinya Naldo mendapat atensi lebih dibandingkan Triyanto, hanya karena Triyanto bercerita dalam bahasa Melayu. Cerita Triyanto dalam bahasa Melayu itu diterjemahkan oleh seorang wanita bule yang mengerti bahasa Melayu. Sayangnya penerjemah yang sudah agak berumur ini sepertinya agak kesulitan menerjemahkan ide-ide Triyanto ke dalam bahasa Inggris, lengkap dengan spiritnya. Padahal spirit itulah yang merupakan kekuatan utama buku Triyanto.

Dalam cerita fiksinya ini Triyanto menceritakan dunia anak-anak dengan cara pandang yang terbalik dengan pandangan umum tentang dunia dan cara pandang anak-anak yang polos, ceria dan penuh optimisme memandang masa depan.

Di bukunya yang berlatar belakang sebuah kawasan di Salatiga di awal tahun 80-an ini, Triyanto bercerita tentang anak-anak yang tumbuh di daerah 'pinggiran peradaban' dalam artian anak-anak yang tumbuh di lingkungan kriminal, di lingkungan tempat tinggal para jambret, perampok, pencuri dan pelacur. Anak-anak yang tumbuh besar dengan pemandangan sehari-hari melihat mayat bertato tergeletak di pinggir jalan karena ditembak oleh petrus, atau anak-anak pelacur yang terbiasa melihat ibunya ditiduri sembarang lelaki.

Dengan jujur dan apa adanya Triyanto menggambarkan bagaimana wajah dunia dilihat dari kacamata anak-anak ini adalah sama sekali tidaklah polos, tapi penuh warna dan sangat berbeda dengan pandangan umum masyarakat 'normal' atau 'yang mengaku normal' yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas keberadan lingkungan seperti itu. Cita-cita tertinggi dan nilai prestise dari anak-anak yang tumbuh di lingkungan ini bukanlah cita-cita dan nilai prestise yang sama seperti yang dimiliki oleh anak-anak yang tinggal di lingkungan 'normal', yang bercita-cita standar ingin menjadi dokter, insinyur atau astronot.

Di kisah-kisah dalam bukunya, Triyanto menuliskan bahwa cita-cita anak-anak yang besar di lingkungan seperti ini adalah bagaimana supaya setelah besar bisa menjadi rampok yang hebat atau menjadi pelacur sukses. Prestise dalam kacamata anak-anak ini adalah menjadi perampok tidak pernah bisa tertangkap dan menjadi pelacur yang banyak didatangi pelanggan.

Triyanto juga banyak mendapat pertanyaan, bukunya yang isinya sangat pesimistik berkebalikan dengan optimisme yang diusung oleh Laskar Pelanginya Andrea Hirata juga mendapat banyak atensi, banyak pertanyaan menarik yang diajukan pengunjung pada Triyanto yang dijawab oleh Triyanto dengan jawaban-jawaban yang sangat cerdas dan logis.

Misalnya ketika ditanya apakah buku yang dia tulis itu sepenuhnya berdasarkan cara pandang atau perspektif anak kecil yang besar di lingkungan itu di awal tahun 80-an, atau sebenarnya cara pandang di buku itu telah dipengaruhi dan telah bercampur opini dan perspektif orang dewasa di tahun 2000-an.

Triyanto menjawab, tentu saja dalam buku itu disamping perspektif anak kecil juga berisi beberapa opini dan cara pandangnya sebagai orang dewasa. Tapi menurut Triyanto dia percaya kalau pengalaman masa lalu itu sekecil apapun tetap akan berpengaruh terhadap cara pandang hari ini. Masalahnya, masa lalu dari perspektif anak-anak yang sebenarnya sangat ingin dia ungkapkan, tidak semua rahasia masa lalu itu mampu dia munculkan dalam buku. Karena menurut Triyanto setiap kali dia ingin mengungkapkan rahasia masa lalu terutama yang berhubungan dengan luka batin selalu saja dia menemui hambatan dan keterhalangan. Menurut Triyanto lagi, keterhalangan itu menimbulkan kekosongon, kekosongan inilah yang diisi oleh opini dan perspektif orang dewasa.

Triyanto juga menjelaskan, melalui bukunya ini dia juga ingin menunjukkan kalau di tempat yang menjadi latar belakang tulisannya itu 'Agama', baik itu kristen ataupun Islam. Sama sekali tidak bisa diandalkan untuk menolong anak-anak yang tumbuh di lingkungan itu untuk tumbuh menjadi lebih baik.

Di tempat itu, agama sama sekali tidak bisa menolong anak-anak itu keluar dari kemiskinan. Untuk bisa hidup anak-anak itu tidak bisa mengandalkan agama, untuk bertahan hidup mereka harus menjadi penjahat dan pelacur. Karena itu menurut Triyanto puncak spiritual tertinggi anak-anak itu bukanlah menjadi ustadz atau pendeta, tapi sukses menjadi penjahat atau pelacur.
Ketika ditanya apakah dengan terbitnya buku yang dia tulis, dia berharap akan ada perubahan yang signifikan terhadap situasi yang dialami masyarakat di tempat yang dia jadikan latar belakang tulisannya. Triyanto menjawab dengan jujur "tidak ada sama sekali".

Menurut Triyanto ketika menulis, dia sama sekali tidak berharap yang muluk-muluk. Tujuannya menulis buku itu semata-mata hanya untuk menulis dan memaparkan apa yang dia rasakan dan apa yang pernah dia lihat, hanya itu saja. Alasannya kenapa buku itu tidak membawa perubahan apapun bagi masyarakat yang jadi latar belakang tulisannya. Kata Triyanto, budaya membaca bukanlah bagian dari budaya masyarakat yang dia jadikan latar belakang bukunya demikian juga dengan PEMDA yang sebenarnya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas keberadaan lingkungan seperti itu. Masalah dengan PEMDA adalah, di samping aparatnya tidak memiliki minat baca, sastra dan khususnya buku yang ditulis oleh Triyanto ini sama sekali tidak ada nilainya jika 'di proyekkan', jadi buku ini ya sama sekali tidak ada pengaruhnya kata Triyanto. Hari ini anak-anak itu tetap seperti itu dan besokpun tetap begitu.

Triyanto juga mengaku ketika menulis itu dia juga sadar sepenuhnya buku yang mengusung pesimisme seperti bukunya tidak akan terlalu banyak menarik minat pembaca, sebagaimana Laskar pelangi milik Andrea Hirata.
Selain kepada kedua penulis yang saya sebutkan, tentu saja ada juga beberapa pertanyaan yang diajukan oleh pengunjung pada Andrea Hirata, salah satu pertanyaan itu mirip dengan pertanyaan yang diajukan kepada Triyanto tentang perspektif anak dan prespektif orang dewasa itu, Triyanto menjawab pertanyaan ini setelah sebelumnya pertanyaan itu dijawab oleh Andrea dengan jawaban versinya sendiri.

Mungkin karena dua hari sebelumnya di sesi yang lain Andrea yang banyak dikritik karena bukunya itu terlalu 'smart' bahkan sampai nama-nama pohonpun ditulis dalam bahasa latin, yang akibatnya jadi terasa janggal kalau itu cerita seperti itu diceritakan melalui kacamata anak-anak yang masih SD.

Maka, hari ini Andrea mengawali pembicaraannya dengan mengatakan bahwa sebenarnya Novel Laskar pelangi ini sama sekali tidak dia maksudkan untuk diterbitkan. Menurut Andrea, sebenarnya Novel ini dia maksudkan hanyalah sebagai hadiah buat gurunya Ibu Mus. Dengan jujur pula Andrea mengakui kalau Laskar Pelangi adalah Novel karya penulis pemula.

Ketika pada acara ini ada lagi seorang pengunjung menanyakan pertanyaan yang mirip seperti dua hari sebelumnya, tentang kejanggalan Laskar Pelangi yang maksudnya menggambarkan suasana dalam perspektif anak tapi yang keluar malah prespektif orang dewasa berpendidikan tinggi. Andrea mengatakan dia agak kesulitan menggambarkan keadaan dalam novelnya semata dari kacamata masa kecilnya tanpa terpengaruh pandangan masa dewasa.

Berdasarkan komentar Andrea dua hari sebelumnya itu pula, seorang penanya menanyakan kenapa Andrea tidak menulis otobiografi saja seperti Naldo, karena kalau Laskar Pelangi bukan fiksi adalah sah-sah saja pandangan masa kecil bercampur dengan pandangan ketika dewasa, tidak terlihat aneh seperti di Laskar Pelangi yang merupakan cerita fiksi.

Pertanyaan ini dijawab oleh Andrea dengan sangat diplomatis "Laskar Pelangi itu biografi tapi menurut orang lain itu fiksi, saya katakan fiksi kata orang itu auto biografi". Lalu ketika jawaban itu dikejar oleh penanya lain dengan menanyakan kira-kira berapa persen komposisi fiksi dan berapa persen komposisi biografinya dalam Laskar Pelangi. Andrea menjawab "Laskar Pelangi bukanlah akuntansi sehingga kita tidak bisa membuat persentasi-persentasi seperti itu dengan ukuran yang tepat".

Dari sedikit pertanyaan yang diajukan untuk Andrea, yang paling menarik adalah pertanyaan yang diajukan oleh perempuan asal Belitong bernama Linda Christanti, seorang aktivis HAM dan aktivis gerakan perempuan yang juga penulis cerita pendek yang pernah memenangkan penghargaan dari KOMPAS untuk cerita pendek terbaik dan juga pemenang penghargaan prestisius 'Khatulistiwa Award' untuk kategori cerita Fiksi.

Linda yang sekarang tinggal di Neusu Banda Aceh, mempertanyakan bagaimana asal-usulnya Andrea mendapatkan komentarnya yang dimuat di sampul belakang buku ketiga Andrea yang berjudul 'Edensor'. Di sampul belakang 'Edensor' tertulis komentar dari Linda Christanti yang berbunyi "Andrea Hirata mebuatku mabuk kepayang". Linda merasa penting untuk menanyakan itu di forum ini karena dia merasa sama sekali tidak pernah menulis komentar apapun untuk buku Andrea manapun apalagi sampai membuatnya mabuk kepayang.

Pertanyaan Linda yang memiliki ciri fisik kulit putih bersih, bermata sipit dan berumur kurang lebih sama dengan Andrea ini dijawab dengan sangat unik, puitis dan cenderung 'ganjen' oleh Andrea Hirata. "soal yang Linda tanyakan itu, apakah di masa lalu Linda pernah mabuk kepayang kepada saya atau tidak?... silahkan Linda sendiri yang menjawab, jangan tanyakan pada saya ", kata Andrea dengan gestur yang romantis .

Jawaban dan bahasa tubuh Andrea saat menjawab pertanyaan ini tak pelak membuat ingatan saya langsung melayang kepada adegan film Laskar Pelangi, saat Ikal 'keracunan kuku' ketika oleh Bu Mus dia disuruh membeli kapur ditoko kelontong milik pedagang cina yang diperankan oleh Robby Tumewu. Dan bukan hanya saya yang berpikiran seperti itu. Tepat setelah habis acara, Linda langsung mendapat telepon dari Nyata, sebuah tabloid gosip terbitan Jakarta, untuk meminta wawancara.

Ketika sehabis acara kami berbincang-bincang bersama para pembicara, moderator dan pengunjung acara tadi di bawah tenda di luar gedung HSBC. Linda mengatakan dia menolak permintaan wawancara Tabloid Nyata itu. Saat kami menggodanya jangan-jangan memang benar bahwa dia adalah tokoh 'Aling' dalam Laskar Pelangi, Linda menunjukkan wajah kurang senang, lalu secara tegas dia menolak spekulasi itu.

Malam harinya, ketika aku bersama anak dan istri makan malam di Warung Padang milik orang Bali, di persimpangan Jalan Hanuman. Aku bertemu kembali dengan Linda yang datang bersama Naldo, Azhari 'komunitas tikar pandan' serta seorang wartawan tempo dan seorang lagi yang aku lupa nama dan profesinya. Karena temanya masih hangat, kami kembali membicarakan soal spekulasi bahwa Aling adalah Linda. Istriku menggoda Linda dengan meminta Linda menunjukkan kukunya.

Linda yang kebetulan belum menonton film Laskar Pelangi karena di Banda Aceh, kota tempatnya berdomisili yang pemerintahnya menerapkan Syariat Islam tidak memperbolehkan adanya gedung bioskop dalam kota, sama sekali tidak mengerti apa maksud permintaan istriku yang memintanya untuk menunjukkan kuku.

Yang jelas menurut Linda, dia baru sekali bertemu Andrea Hirata dalam sebuah pesawat dalam perjalanan dari Banda Aceh. Saat itu Andrea memintanya membaca bukunya yang kemudian diberi judul 'Edensor' itu, tapi Linda belum sempat membacanya. Bahkan menurut Linda, sebelumnya dia sama sekali belum pernah saling kenal dengan Andrea Hirata. Karena itulah

Linda merasa sangat heran dan terganggu dengan komentar norak yang mengatasnamakan dirinya, seperti hantu tiba-tiba muncul di sampul belakang 'Edensor'.
Selesai makan kami masih terus mengobrol dengan tema yang lari kemana-mana, Naldo bercerita tentang pergolakan politik di Timor Timur saat ini, bagaimana sekarang Australia sedang berusaha menancapkan kuku di Timor Timur dengan mempengaruhi tokoh politik di sana. Menurut Naldo Australia pulalah yang bertanggung jawab dalam pendongkelan Mar'ie Alkatiri yang sangat peduli pada nasib warga Timor Timur dari kursi PM. Menurut Naldo, tujuan utama pendongkelan ini tentu saja untuk menguasai minyak di celah Timor. Australia tahu persis Alkatiri yang orang kiri sama sekali tidak bisa diajak kompromi dengan mengorbankan kepentingan rakyat Timor Timur, beda dengan Xanana Gusmao yang sangat kanan dan sekarang beristrikan orang Australia.

Tidak terasa kami ngobrol sampai lama sekali sampai anakku tertidur sendiri di pangkuanku. Kami baru berhenti waktu pegawai warung makan ini memberi isyarat kalau warungnya akan tutup. Melihat isyarat itu kami segera berinisiatif untuk membayar makanan, tapi Azhari yang tampaknya sedang berkelimpahan duit dengan sigap melarang. Azhari memaksa untuk mentraktir kami semua, 'paksaan' yang tentu saja dengan senang hati kami terima dengan lapang dada.

Setelah Azhari membayar semua yang kami makan dan kami minum, lalu kamipun kembali ke Hotel masing-masing. Sebelum berpisah, kepada Linda dan Azhari aku berjanji akan mengontak mereka untuk ngobrol lagi sambil ngopi di Solong kalau nanti satu saat aku berkesempatan pulang ke Banda Aceh. Dan kalau itu benar terjadi, mudah-mudahan Azhari lagi-lagi berkelimpahan duit dan memaksa lagi untuk membayari 'sanger' dan 'asoe kaya'.

Akhirnya aku berharap, semoga tahun depan aku punya waktu luang dan berkesempatan hadir kembali di Ubud Writers & Readers Festival 2009.

Seba-Serbi Ubud Dan Nostalgia Masa Lalu

Dari sekian banyak festival dan acara budaya yang sering diselenggarakan di Bali, Ubud Writers & Readers Festival adalah favoritku. Kalau kesempatan memungkinkan, biasanya aku tidak akan pernah melewatkan festival ini. Sayangnya tahun ini aku cukup sibuk sehingga tidak memiliki waktu luang untuk hadir di acara yang dimulai sejak 14 September ini. Beruntungnya hari Jum'at tanggal 17 September kemarin, akhirnya waktu luang itu ada. Kalau aku berangkat hari itu juga, aku masih dapat menghadiri acara itu selama tiga hari, lumayan.

Repotnya anakku yang baru berumur 3 tahun 8 bulan yang selama 12 hari belakangan ini kutinggal bekerja pasti tidak senang kalau aku pergi lagi tepat di hari saat aku pulang, tapi aku juga sangat ingin pergi ke acara ini. Akhirnya daripada bingung, kuusulkan saja pada istri dan anakku bagaimana kalau kita berangkat saja sekeluarga. Sekalian berlibur pikirku, karena sudah lama sekali kami tidak pernah liburan sekeluarga. Anak dan istriku kegirangan mendengar usulku, terutama anakku yang sekarang sudah sangat mandiri sejak masuk sekolah 3 bulan yang lalu. Anakku meloncat-loncat kegirangan lalu mengambil tas liburannya dan langsung menuju ke lemari pakaiannya sendiri dan dengan bersemangat mengemasi pakaian-pakaian yang akan dia bawa ke Ubud.

Akhirnya kami sekeluarga berangkat, rencananya sebelum ke Ubud kami mampir ke Kuta Permai dulu untuk meminjam motor dari seorang teman yang tinggal di sana. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, aku tahu kalau kita berada di Ubud, alat transportasi pribadi sangat dibutuhkan. Ubud tidak memiliki Taksi seperti di Kuta. Dan di Ubud yang jalanannya rata-rata sempit, motor adalah alat transportasi paling praktis.

Jum'at jam 12 siang kami sudah ada di Kuta Permai yang cuma 10 menit dari Bandara Ngurah Rai. Di sana kami berbasa basi sebentar sambil berlebaran. Tidak berapa lama kemudian, dengan mengendarai Yamaha Vega warna merah milik temanku itu. Kami langsung berangkat ke Ubud, yang jauhnya sekitar satu jam perjalanan dari Kuta.

Di Ubud, kami menginap di Hotel Sahadewa tempat aku biasa menginap kalau sedang bekerja di bisnis travel yang baru kugeluti. Hotel Sahadewa yang terletak di jalan Pengosekan yang tidak terlalu jauh dari Monkey Forest ini, tempatnya cukup bagus dan tidak terlalu mahal serta terutama dan yang paling penting, lokasinya dekat dengan pusat kota Ubud dimana venue-venue kegiatan Ubud Writers & Readers Festival terkonsentrasi.

Hari pertama di Ubud kami menghadiri acara peluncuran buku Debra Yatim yang menceritakan tentang keadaan di Taman Nasional Gunung Leuser. Acara ini dilangsungkan di Restoran Tutmak yang terletak di jalan Dewi Sita. Oleh Debra, acaranya ini dipadukan dengan konser biola. Kami di sana sampai acara berakhir dan di akhir acara aku berbincang-bincang dan sedikit berbasa-basi dengan Debra, menanyakan pendapatnya soal ALA dan konsekwensinya terhadap TNGL itu jika calon provinsi sempalan Aceh itu jadi terbentuk. Setelah itu kami bertiga mampir ke Pondok Pekak, lokasi paling favorit anakku dibandingkan tempat apapun di seluruh Ubud.

Anakku menyukai tempat ini karena Pondok Pekak ini adalah warung sekaligus tempat berbagai kegiatan budaya dan juga perpustakaan yang sangat banyak memiliki koleksi buku anak-anak . Dalam acara Ubud Writers & Readers Festival 2008 ini Pondok Pekak yang terletak di belakang Tutmak, oleh panitia dipilih sebagai venue acara anak-anak yang kali ini disponsori oleh Freeport.

Dari Pondok Pekak, kami berkeliling-keliling, mampir ke 'Smile Shop', milik yayasan senyum yang banyak menjual barang-barang bagus dengan harga murah. Barang-barang yang dijual di 'Smile Shop' yang terletak di jalan Sriwedari ini bisa murah karena barang-barang itu adalah barang-barang bekas yang dihibahkan ke Yayasan Senyum oleh pemiliknya yang pulang ke luar negeri.

Kalau kebetulan sedang berada di Ubud dan memiliki sedikit waktu luang, aku sering kesana. Di 'Smile Shop' aku sering menemukan buku dan CD bagus.
Hari ini di 'Smile Shop', anakku yang sekarang sedang terobsesi menjadi 'princess' menemukan topi yang sangat bagus terbuat dari bahan rajutan berwarna ungu. Ketika menemukan topi itu, anakku langsung meminta uang pada istriku. Lalu membayar sendiri topi ungu pilihannya ke kasir yang dijaga oleh seorang ibu tua asal Irlandia yang berumur sekitar 60-an tahun dan berniat menghabiskan masa tuanya di Bali. Anakku membayar topi pilihannya itu seharga 3000 rupiah.

Setelah beberapa lama di Smile Shop kami mulai merasa lapar. Lalu kami semua pergi makan siang di restoran murah meriah bernama Mangga Madu yang terletak di jalan Gunung Sari, sekitar 1 kilometer ke arah timur 'Smile Shop'.

Malamnya kami mampir ke Nyuh Kuning, ke rumah Dandy Montgomery, teman lama sewaktu di Banda Aceh dulu. Sekalian berlebaran maksudnya. Tapi sayangnya saat kami datang Dandy sedang tidak di rumah. Waktu kutelpon katanya di sedang di Jakarta dan akan berangkat ke Berastagi untuk mengerjakan proyek film dokumenternya.

Tampaknya Dandy yang sekarang bekerja sebagai kameramen freelance, belakangan ini sibuk sekali. Sebelumnya, lebaran kemarin waktu aku di Banyuwangi aku juga menelpon Dandy. Waktu itu, katanya dia sedang jalan juga, disewa oleh Lonely Planet untuk membuat liputan di pulau Menjangan. Kemudian beberapa minggu yang lalu waktu aku menginap di Ubud untuk menemani grup turisku selama tour di Bali, dia kutelpon lagi. Kali ini katanya dia sedang ada proyek dengan Green Peace di Pontianak. Sekarang waktu aku sekeluarga mampir ke rumahnya, dia malah ada di Jakarta karena mau berangkat ke Medan untuk membuat film dokumenter tentang petani jeruk di Berastagi.

Meskipun Dandy tidak di rumah kami tetap pergi ke Nyuh Kuning. Di sana kami bertemu dengan Rayhan, istri Dandy yang juga teman lama yang juga dulu cukup akrab denganku. Saking akrabnya, tahun 2000 waktu banjir besar di Banda Aceh. Kepada Rayhan aku bahkan sempat menghibahkan beberapa potong pakaian milikku. Pakaian-pakaian yang berupa baju, jaket dan sarung itu kuberikan karena baju yang dipakai Rayhan basah dan dia tidak punya pakaian lagi akibat rumah kosnya di Peuniti, tepat diujung jembatan Simpang Surabaya terendam banjir sampai ke atap.

Pengalaman itu yang sering kuceritakan ke Dandy ketika sedang membicarakan istrinya dan pengalaman itu pula yang sering diceritakan Rayhan ke istriku ketika mereka berdua sedang membicarakanku.

Sejak kejadian banjir tahun 2000 itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Rayhan. Karena tidak lama setelahnya, aku berangkat ke Bangkok dan Rayhan ditarik oleh Detik.com ke Jakarta. Bahkan kami sempat lama hilang kontak akibat account e-mailku dan e-mail Rayhan di Eudoramail sama-sama hangus karena Eudoramail ditutup oleh Lycos. Waktu itu baik aku maupun Rayhan belum mengenal Dandy.

Dandy baru kukenal waktu dia mulai siaran di Flamboyant sekitar tahun 2001. Awalnya aku mulai kenal Dandy karena dia yang saat itu selain menjadi penyiar di Flamboyant, Radio FM paling Top se Banda Aceh. Juga sering bekerja sambilan sebagai penyanyi Cafe dan pengamen pinggir jalan. Untuk kepentingan dua pekerjaan sambilannya itu, Dandy memintaku untuk menerjemahkan arti lirik lagu 'Corazon Espinado' milik Santana. Rayhan sendiri baru kenal dengan Dandy setelah dia ditugaskan kembali ke Banda Aceh oleh detik.com tempatnya bekerja, sekitar tahun 2003 lalu.

Ketika kami hilang kontak, aku pernah beberapa kali membaca tulisan Rayhan di detik.com. Bahkan menjelang pemilu tahun 2004 lalu, di sebuah acara. Aku pernah menonton sebuah film dokumenter karya Rayhan bersama Dandy yang mereka beri judul 'Politik Tengku'. Tapi sejak kejadian banjir tahun 2000 itu, kami baru benar-benar bertemu kembali sekitar 5 bulan yang lalu, di rumah mereka di Nyuh Kuning, saat kami sama-sama sudah berkeluarga dan masing-masing sudah punya anak.

Di Nyuh Kuning, istriku langsung akrab dengan Rayhan. Mungkin karena otak mereka yang sama-sama mantan penyiar radio ini 'mengudara' di 'frekwensi' yang sama, obrolan mereka berdua langsung nyambung. Akibatnya aku yang jadi terisolasi.
Anakku juga begitu, langsung akrab dengan Hiawatha, anak tertua Rayhan dan Dandy. Anakku yang umurnya 9 bulan lebih tua, mengajari Hiawatha lagu-lagu kesukaannya, semacam 'Nu Nak Nu Kekulit Jantar Lumu', 'Incey Wincey Spider' dan 'Pate a Cake'.

Kami berada di rumah Rayhan sampai jam 9.00 malam, lalu kembali ke hotel. Sebelum pulang, Istriku membuat janji bertemu dengan Rayhan besok harinya di Pondok Pekak untuk menghadiri acara dongeng rimba yang dipandu oleh Butet Manurung. Seorang wanita Batak kelahiran Jakarta yang dikenal luas karena usaha kerasnya untuk memberantas buta aksara dan buta angka bagi penduduk asli hutan Jambi.

Sabtu, 04 Oktober 2008

Bali, Pariwisata dan Ritual Kelahiran di Gayo

Ketika saya mempost tulisan saya yang saya beri judul 'Antara Gayo dan Bordeaux', saya mendapat sebuah tanggapan menarik di media online Super Koran, dari seorang pengamat budaya yang juga kontributor superkoran bernama Iwan Piliang.

Menanggapi tulisan saya dalam kaitannya dengan Pariwisata Bali, Iwan mengatakan kalau pariwisata Bali sudah jenuh dalam artian Bali sudah tidak mampu lagi menampung kedatangan wisatawan mancanegara akibat kekurangan infrastruktur pendukung, karenanya Iwan menyarankan agar daerah lain di Indonesia juga mengembangkan pariwisatanya dengan mengeksplorasi keunikan adat daerah masing-masing termasuk Gayo, karena secara alam menurut Iwan daerah lain tidak kalah indahnya.

Saya setuju dengan pendapat Iwan pertama, pariwisata Bali sudah jenuh secara kuantitas dalam artian Bali sudah tidak mampu menampung kunjungan wisatawan dengan jumlah yang lebih banyak lagi, saat inipun sudah sering terjadi kemacetan saat kita mengunjungi situs-situs wisata populer seperti Tanah Lot misalnya, apakah itu karena Bali kekurangan infrastruktur jalan?...saya pikir tidak. Infrastruktur jalan di Bali adalah salah satu kalau tidak bisa dikatakan yang terbaik di Indonesia, saking baiknya infrastruktur jalan di Bali, saat ini perusahaan travel yang mengkhususkan diri menjual jasa Jeep 4x4 untuk Tour ke pedalaman Bali banyak yang sudah gulung tikar, akibat tidak ada lagi jalanan rusak yang hanya bisa dilewati Jeep. Masalah sebenarnya dari jenuhnya kuantitas kunjungan wisatawan ke Bali adalah Ukuran Pulau Bali yang memang cuma sebegitu dan dengan ukuran sebegitu daya tampung pulau Bali atas kunjungan wisatawan memang sudah maksimal, kalau ditingkatkan lagi malah hanya akan merusak Bali sendiri. Jadi saat ini kunjungan wisatawan ke Bali sebaiknya sudah harus mulai dibatasi, bukan ditingkatkan dengan cara dipromosikan secara massif seperti yang dilakukan Malaysia (dengan catatan tidak ada Bom lagi).

Dengan begitu apakah berarti kita bisa menciptakan 'Bali' lain di daerah lain di Indonesia seperti usul Iwan?...saya pikir tidak!, alasannya adalah seperti Bumi yang diciptakan Tuhan secara unik pas sebagai satu-satunya tempat untuk tinggal berbagai makhluk hidup diantara milyaran benda angkasa, Bali juga demikian, pulau ini memang sepertinya sengaja diciptakan Tuhan untuk menjadi surga Pariwisata, dan tidak ada lagi satu pulau lainpun seperti itu di dunia.

Pulau ini memiliki ukuran yang sempurna, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, komposisi alamnya lengkap, ada sungai, gunung , danau, sawah, pantai, lokasi penyelaman dan hutan. Kondisi seperti ini membuat wisatawan yang berkunjung dalam satu hari yang sama di pulau ini bisa berada di puncak Gunung berapi, di tepi Danau yang sejuk dan dan berjemur sinar matahari sambil menunggu sunset di tepi pantai. Di sepanjang perjalanan kita bisa mengunjungi dan menyaksikan keindahan berbagai hasil karya manusia entah itu kerajinan atau bangunan-bangunan Pura yang eksotik, kadang masih diselingi bonus melewati rombongan orang yang sedang melakukan upacara adat atau agama. Pendeknya di pulau yang panjangnya dari Barat ke Timur sekitar 150 Km dan Lebarnya dari Utara ke Selatan sekitar 80 km ini, kita bisa menemukan seluruh aspek eksotisnya ASIA komplit dalam satu paket. Jadi bohong kalau orang Malaysia bilang MalaysiaTruly Asia, karena sebenarnya Balilah yang benar-benar alias TRULY ASIA. Malaysia hanya mampu menjual wisata artifisial, mereka tidak memiliki alam, budaya dan karya seni yang eksotis, sesuatu yang pertama kali terlintas di benak turis eropa atau amerika ketika membayangkan wisata di ASIA.

Karakter khas yang dimiliki Bali ini yang tidak mungkin bisa didapatkan di tempat lain, bandingkan dengan pulau Jawa misalnya. Setelah mengunjungi Borobudur dan Prambanan untuk ke Gedong Songo kita harus menghabiskan waktu sehari penuh pulang pergi dan tidak ada sesuatu yang istimewa yang bisa kita saksikan di jalan. Apalagi jika kemudian kita melanjutkan ke Bromo, kita harus menghabiskan waktu seharian penuh di jalan, baru hari berikutnya bisa menikmati keindahan Bromo.

Apalagi kalau kita bicara Sumatera, katakanlah Sumatera Utara, sehabis mengunjungi Danau Toba di Prapat, untuk bisa ke Bukit Lawang di Langkat, seharian penuh kita harus menghabiskan waktu dalam perjalanan yang membosankan. Mau diajak ke pantai?...pantai mana?..Belawan yang penuh kapal dan airnya tercemar tumpahan minyak itu?. Melihat peristiwa Budaya?...Memang benar Sumatera Utara juga punya budaya khas yang bisa kita saksikan setiap hari sebagaimana halnya budaya khas Bali yang juga bisa kita saksikan setiap hari. Budaya khas Sumatera Utara yang bisa kita saksikan setiap hari itu adalah budaya premanisme yang telanjang di setiap sudut kota Medan, sayangnya budaya khas seperti ini kurang begitu menarik untuk dijual sebagai tontonan wisata.

Sebenarnya jika kita ingin mencari daerah yang jika ditilik dari kondisi alamnya pariwisatanya bisa dikembangkan mendekati Bali maka daerah itu adalah Aceh. Meski secara wilayah Aceh lebih luas, tapi karakteristik alam Aceh mirip Bali, ada danau, ada gunung, ada pantai, ada lokasi penyelaman dalam satu paket. Meski jarak antar lokasinya agak lebih jauh dibandingkan jarak antar lokasi di Bali tapi itu bisa disiasati. Katakanlah untuk mencapai Danau Laut Tawar dari pantai Iboih yang asri atau dari pantai Lhoknga yang mirip pantai Kuta, kita bisa menggunakan pesawat untuk menghemat waktu. Infrastrukturnya sudah ada.

Masalahnya selama konflik berkepanjangan antara Aceh dengan RI, pemerintah Indonesia saat itu telah sukses mencitrakan pada dunia, bahwa penduduk Aceh adalah sekumpulan muslim fanatik dan fundamentalis, sesuatu yang sangat ditakuti oleh warga di pasar terbesar pariwisata, Eropa, Jepang dan negara-negara berpenduduk mayoritas non-muslim lainnya. Apalagi sekarang di Aceh sudah diterapkan Syariat Islam, orang Arab aja malas berwisata ke Aceh dan lebih memilih Bali untuk tempat berlibur di Indonesia (disamping Puncak dengan daya tarik wisata kawin kontrak jangka pendeknya tentunya). Jadi saat ini omongan soal urusan pariwisata Aceh yang menargetkan kunjungan wisatawan yang berasal dari pasar potensial itu seharusnya sudah ditutup rapat.

Soal saran Iwan untuk mengembangkan adat atau budaya setempat termasuk Gayo untuk pengembangan pariwisata juga tidak mungkin dilakukan, karena terkendala dengan Agama.

Bali bisa tetap melestarikan adat warisan nenek moyang mereka yang telah berusia ribuan tahun adalah karena mereka menganut agama Hindu Dharma, agama yang sebenarnya tidak dapat dikatakan Agama Hindu jika kita mengasosiasikan Hindu itu dengan agama yang dianut oleh penduduk yang tinggal di wilayah Hindustan alias India.

Hindu Dharma, agama yang dianut orang Bali memang mengandung komposisi Hindu sebagaimana halnya dalam ajaran agama orang Hindustan. Tapi sebenarnya porsi terbesar dalam kepercayaan agama orang Bali adalah ajaran nenek moyang mereka yang oleh para ahli dikategorikan sebagai animisme dan dinamisme. Ini bisa dilihat dari prosesi upacara Agama di Bali, satu-satunya upacara agama di Bali yang dihitung dengan kalender Hindu (saka) hanyalah nyepi, sisanya upacara besar lainnya, Galungan, Kuningan, Melasti, Pager Wesi, Odalan dan lain-lain dilaksanakan berdasarkan perhitungan kalender Bali yang setahunnya hanya berisi 6 bulan dan masing-masing bulan berisi 35 hari. Agama orang Bali juga mengandung porsi kecil ajaran Buddha. Karena alasan inilah setiap usaha atau gerakan pemurnian Agama Hindu di Bali kurang begitu kencang gaungnya, usaha ini pernah dilakukan aliran Hare Krishna yang berusaha memurnikan ajaran Hindu Bali dengan Kiblat India, atau Arya Weda intelektual muda Bali yang sekarang menjadi ketua DPD PNI Marhanenisme pimpian Sukmawati dengan organisasi pemuda Hindu Internasionalnya yang juga berkiblat ke India, organisasi ini dulu memprotes film opera Jawanya Garin karena menggambarkan kisah ramayana tidak sesuai versi India, tapi kedua jenis usaha itu hanya kencang bersuara di koran saja tanpa pernah bisa menyentuh kepercayaan orang Bali di akar rumput.

Saya melihat agama orang Bali disebut Hindu hanyalah karena kategorisasi dari pemerintah yang hanya mengakui adanya lima agama. Dan agama menurut kategori pemerintah Indonesia ini adalah agama dengan cara pandang penganut agama Ibrahim yang lahir di timur tengah, ciri khas agama-agama Ibrahim adalah memiliki kitab suci. Ciri inilah yang dipakai oleh pemerintah Indonesia dalam pengkategorisasian sebuah kepercayaan untuk bisa disebut agama atau bukan. Dengan kategorisasi seperti ini dalam agama Bali tentu saja yang ada kitabnya adalah bagian Hindunya, bagian terbesar dari Agama Bali yaitu animisme dan dinamisme tidak memiliki kitab, karena itulah agama orang Bali disebut Hindu.

Cerita yang hampir sama juga dialami oleh orang Tengger yang sebelum tahun 1976 agama mereka sempat disebut Buddha Tengger, tapi setelah departemen agama menurunkan ahli dari dirjen Hindu-Buddha ditemukan kalau dalam kitab-kitab orang Tengger dan praktek upacara dan mantra-mantra yang digunakan dalam ritual keagamaan mereka banyak memiliki kesamaan dengan Hindu Bali. Maka sejak saat itu agama orang Tengger secara resmi disebut Hindu. Dan sejak saat itu pula pemerintah mulai mengirimkan guru-guru agama Hindu yang berasal dari Bali untuk mengajar pelajaran agama Hindu kepada anak-anak Tengger di sekolah. Bahkan sejak saat itu yang menjadi camat di Tenggerpun digilir antara orang islam penduduk setempat dengan camat beragama Hindu asal Bali (orang Hindu Tengger sendiri belum pernah menjadi camat di daerahnya sendiri) dan sejak saat itu pula orang Tengger merasa bahwa mereka adalah Hindu dan merekapun mulai meniru adat dan cara hidup orang Bali, karena menurut mereka Hindu itu ya seperti di Bali. Ketika saya beberapa kali mengunjungi Tengger, saya saksikan hasil tiru-meniru itu seringkali terlihat lucu. Salah satu hasil tiru meniru yang tampak lucu ini adalah ketika orang Tengger mulai meniru orang Bali dengan membuat gerbang khas Bali (candi bentar) di depan rumah mereka, ini menjadi lucu karena bangunan gerbang hasil tiruan itu tidak menyatu dengan arsitektur keseluruhan rumah, berbeda dengan arsitektur rumah Bali yang terintegarasi penuh dalam setiap detailnya.

Dengan cara pandang pemerintah dalam mengkategorisasikan sebuah kepercayaan untuk bisa disebut agama seperti inilah yang membuat Pelbegu (agama asli orang Batak) dan Kaharingan (agama asli orang Dayak), secara resmi tidak diakui sebagai AGAMA, karenanya di KTP, orang Batak penganut Pelbegu dan Orang Dayak penganut Kaharingan harus memilih salah satu dari lima agama resmi.

Soal daya tarik ritual keagamaan dan adat, sebenarnya selain Bali setiap daerah di Indonesia juga memiliki ritual adat dan budaya yang sangat menarik, seperti Bali yang memiliki ritual kelahiran dan kematian, daerah lainpun begitu, Gayo suku saya misalnya.

Seperti Bali yang punya ritual khusus saat pemberian nama Bayi yang dinamakan upacara 'telu bulanan' , kamipun di Gayo memiliki ritual semacam itu, 'Turun Mani' namanya, seperti di Bali, di kampung sayapun bayi dipercaya lemah dan rawan terserang roh jahat saat baru lahir, karena itu sebelum si Bayi dianggap cukup kuat Bayi dilarang untuk dibawa keluar rumah. Dulu saat saya masih kecil kepercayaan seperti ini masih hidup di Gayo. Ritual 'turun mani' seperti yang saya sebutkan sering saya saksikan di kampung saya di Isaq. Bedanya jika di Bali bayi baru boleh keluar rumah saat sudah berumur 105 hari, maka di tempat saya cukup 7 hari saja.

Seperti ritual 'telu bulanan' di Bali yang sangat menarik buat disaksikan, ritual 'turun mani' di kampung saya juga menarik. 'Turun Mani' secara harfiah bisa diartikan turun untuk dimandikan, dan dulu*, Bayi berumur 7 hari itu dimandikan di sungai.

*Sebenarnya dibandingkan menggunakan bahasa Melayu, saya lebih suka menggunakan bahasa asli saya untuk menyebut kata 'dulu', karena makna kata ini dalam bahasa Gayo lebih detail dan presisi tidak seperti dalam bahasa Melayu yang kita pakai dalam berkomunikasi ini, dimana makna kata 'dulu' terlalu luas dan kurang bisa diandalkan untuk menjelaskan rentang waktu. Dalam bahasa Gayo kata 'dulu' dibagi tiga :

1. Inia artinya 'dulu' dalam waktu yang tidak terlalu lama, biasanya masih dalam tahun yang sama
2. Tengaha atau Tengahna artinya 'dulu' dalam waktu yang agak lama, beberapa tahun atau puluh tahun yang lalu dan
3. Pudaha atau Pudahna artinya 'dulu' dalam pengertian beberapa generasi yang lalu.

'dulu' yang saya maksud dalam tulisan saya di atas adalah Tengaha atau kadang juga disebut Tengahna, tergantung selera si pengucap.

Karena itu supaya penggambaran saya lebih mudah dipahami detailnya berdasarkan rentang waktu, selanjutnya dalam tulisan ini dalam penggunaan terminologi kata 'dulu' saya akan menggunakan istilah dalam bahasa asli saya*.

Ide 'turun mani' dalam budaya Gayo adalah untuk memperkenalkan realitas dunia nyata kepada bayi yang baru lahir. Dalam acara ritual 'turun mani' ada dua hal yang akan diperkenalkan kepada bayi. Pertama memperkenalkan Bayi pada empat unsur (angin, air, api dan tanah) dan membiasakan bayi terhadap rasa dingin dan suara bising.

Supaya bisa dibayangkan seperti apa prosesi 'turun mani' di kampung saya 'tengaha', di bawah ini saya gambarkan prosesi selama ritual 'turun mani' di kampung saya.

'Tengaha' dan juga 'Pudaha', dalam setiap ritual 'turun mani' di kampung saya selalu kaum wanitalah yang berperan penting dalam ritual itu. Biasanya dalam ritual turun mani ada tiga wanita yang berperan penting dalam prosesi ditambah beberapa orang wanita lain yang bertugas memainkan alat musik. Perempuan pertama bertugas untuk melaksanakan setiap prosesi ritual 'turun mani' biasanya adalah keluarga dekat yang sudah agak berumur yang juga tinggal di kampung yang sama dengan si bayi. Wanita kedua bertugas menggendong bayi yang sedang di 'turun mani'kan (iturun manin dalam bahasa Gayo), membuai si Bayi dalam gendongannya sepanjang ritual 'turun mani'. Wanita ketiga bertugas membawa beras yang nantinya akan diberikan kepada wanita yang menggendong bayi, sedangkan wanita-wanita lainnya memainkan alat musik berupa canang yang dipukul bertalu-talu selama prosesi 'turun mani'.

'Tengaha', orang di kampung saya menganggap perjalanan membawa bayi dari rumah menuju ke sungai, berpotensi membahayakan keselamatan si bayi. Karena alasan rawannya keselamatan si bayi itulah sejak 7 hari sebelumnya si bayi selalu ditempatkan di dekat ibunya. Tidak jarang dalam rumah yang memiliki bayi yang baru lahir diletakkan beragam jimat untuk menolak roh jahat, jimat-jimat itu digantungkan di setiap penjuru rumah. Sebab itulah perjalanan menuju ke sungai benar-benar harus dipersiapkan dengan baik, karena dalam perjalan itu bayi masih rawan diserang roh jahat maka dari itu persiapan untuk membawa bayi ke sungai harus benar-benar matang.

Ketika akan berangkat, wanita yang bertugas menggendong bayi akan mengambil sejumput kapas lalu menjepitnya dengan alat pembelah pinang yang kami sebut 'kelati' lalu membakarnya. Menurut apa yang dipercaya orang kampung saya pada saat itu, 'kelati' yang terbuat dari besi itu memberikan unsur logam yang bersifat keras sehingga bisa menahan gangguan roh jahat. Api yang membakar kapas membuat takut roh jahat yang ingin mendekat. Lalu canang yang dipukul bertalu-talu akan menjauhkan roh jahat dari si bayi. Kemudian sepanjang ritual 'turun mani' banyak sekali dipakai tanaman yang kami sebut 'batang teguh'. Dalam kebudayaan kami tanaman ini dipercaya sebagai tanaman pertama yang tumbuh di planet ini. Penggunaan tanaman ini dalam ritual 'turun mani' dipercaya akan menguatkan si bayi. Karena itulah ketika akan keluar dari rumah di depan pintu wanita pertama yang akan melakukan semua prosesi dan wanita kedua yang menggendong bayi sama-sama menginjakkan kakinya ke atas seikat tanaman batang teguh yang diletakkan di depan pintu rumah si bayi. Lalu wanita yang menggendong bayi akan memegang payung untuk melindungi si bayi dari rumah sampai ke tepi sungai.

Setibanya di sungai, para wanita yang terlibat dalam ritual ini menghamparkan tikar berwarna-warni yang terbuat dari sejenis tanaman rawa yang kami sebut 'kertan' di atas batu. Kemudian wanita pertama yang bertugas untuk melaksanakan setiap prosesi ritual 'turun mani' menaburkan beras empat warna dengan bentuk lingkaran di atas selembar daun pisang. Di bagian tengah lingkaran diletakkan empat buah dari apa yang kami sebut 'selensung' yaitu lembaran daun sirih yang dibentuk menjadi bungkusan kecil berisi buah kemiri dan jeruk nipis. Daun pisang tersebut kemudian diangkat ke atas kepala si bayi, wanita pertama kemudian menyebutkan nama roh penunggu sungai lalu memutar daun pisang berisi beras dan 'selengsung' itu dengan arah berlawanan jarum jam di atas kepala si bayi dan menghitung dari satu sampai tujuh. Prosesi ini gunanya untuk menjauhkan si bayi dari segala penyakit dan nasib buruk yang disebabkan oleh empat unsur yang saya sebutkan sebelumnya, dalam bahasa gayo empat unsur itu kami sebut 'anasir opat'.

Nama-nama roh yang disebutkan wanita pertama yang bertugas untuk melaksanakan setiap prosesi ritual 'turun mani' saat melakukan prosesi ini bisa bermacam-macam, tergantung siapa orangnya yang melakukan ritual itu. Kadang dalam ritual ini si wanita pertama menyebutkan nama-nama roh penjaga sungai. Dalam prosesi 'turun mani' yang lain yang disebut adalah nama empat roh yang mewakili empat unsur (anasir opat), satu di hulu, satu di hilir dan masing-masing satu di setiap tepi sungai. Dalam prosesi yang lain yang disebut dalam prosesi itu adalah nama nabi-nabi yang oleh orang kampung saya masa itu dipercaya merupakan penguasa unsur-unsur alam, mereka adalah Nabiolah Nuh penguasa kayu, Nabiolah Yakub penguasa batu, Nabiolah Yati penguasa air dan Nabiolah Kedemat penguasa tanah.

Kemudian daun pisang berisi beras empat warna dan empat 'selensung' itu dihanyutkan di sungai sambil mengatakan pada roh penjaga sungai "Ini anak kami, jangan ganggu dia atau kami akan menjewer kupingmu".

Setelah prosesi itu selesai barulah sekarang giliran si bayi yang menjadi sasaran ritual. Si Wanita pertama mula-mula beberapa kali melumuri tubuh si bayi dengan tepung, lalu juga beberapa kali menyiramnya dengan air jeruk purut dan kemudian dengan air sungai. Lalu wanita itu akan membelah buah kelapa di atas kepala si bayi maksud ritual ini supaya nantinya si bayi tidak takut mendengar suara petir, lalu membiarkan air kelapa membasahi wajah si bayi, maksud ritual ini supaya nantinya si bayi nantinya tidak takut pada hujan. Kemudian si wanita pertama tadi memegang cermin di depan wajah si bayi, maksudnya untuk menunjukkan kepada si bayi NUR nya sendiri. Di Gayo pada masa itu (dan sekarangpun diantara beberapa orang tua di kampung-kampung) kami percaya bahwa manusia itu berasal dari NUR Allah dan NUR Muhammad. Cermin juga masa itu dipercaya akan memantulkan empat warna yang membentuk tubuh si bayi. Cermin yang diletakkan di depan wajah si bayi juga berguna untuk memberi kesempatan kepada empat unsur (anasir opat) dalam tubuh si bayi untuk melihat seperti apa rupa makhluk baru ini, supaya keempat unsur itu tahu bahwa makhluk baru ini adalah manusia dan karenanya harus dilindungi. 'Pudaha' sebelum ada cermin, dalam prosesi ini bayi dipegang menghadap ke air sungai supaya dia bisa melihat pantulan bayangannya.

Acara 'turun mani' ini diakhiri dengan prosesi si wanita pertama yang bertindak mewakili ibu si bayi memberikan sejumlah beras yang tadinya dibawa oleh wanita ketiga kepada wanita kedua yang selama prosesi 'turun mani' menggendong si bayi, beras yang diberikan ini kadang juga ditambahi dengan gula dan kelapa. Maksud pemberian ini adalah untuk memisahkan si bayi secara spiritual dari si wanita yang menggendongnya sepanjang ritual 'turun mani'. Pemberian ini adalah sebagai kompensasi atas resiko yang ditanggung si wanita penggendong selama prosesi 'turun mani' dan yang paling penting adalah untuk memisahkan si bayi dari resiko serangan roh jahat yang bisa jadi harus dihadapi oleh wanita yang menggendongnya tadi karena telah melindungi si bayi selama ritual 'turun mani' itu.

Begitulah prosesi 'turun mani' di tempat kami yang terjadi 'TENGAHA', berbeda dengan di Bali yang prosesi 'telu bulanan' tetap bisa kita saksikan sekarang bahkan juga sampai nanti. Prosesi 'turun mani' seperti yang saya ceritakan di atas, sekarang sudah punah dan tidak dapat lagi kita temui di Tanoh Gayo. Penyebabnya seperti yang saya sebutkan sebelumnya adalah Agama.

Jika di Bali adat adalah unsur yang dominan dalam relasi antara adat dan agama sehingga agama Hindu yang diimpor dari India ketika berhadapan dengan adat Bali, prakteknya dibuat mengikuti adat Bali yang sudah lebih dulu eksis. Sebaliknya dengan di Gayo dalam relasi antara adat dan agama, di daerah kami agamalah yang lebih dominan. Sehingga di Gayo adat hanya bisa dijalankan sejauh jika adat itu tidak bertentangan dengan Islam, agama yang kami anut.

'Tengaha' ritual 'turun mani' seperti yang saya gambarkan bisa ada, karena pada zaman itu transformasi ide-ide agama kepada warga kampung saya belum begitu mudah seperti sekarang. Saat itu buku masih jadi barang langka, televisi belum ada, informasi agama yang sampai ke warga kampung saya pada masa itu banyak bercampur atau diinterpretasikan oleh warga kampung saya dengan cara pandang kepercayaan pra Islam yang sebelumnya dianut oleh nenek moyang kami.

Interpretasi Ide Islam berdasarkan cara pandang kepercayaan lama ini contohnya adalah seperti penyebutan nama-nama nabi penguasa empat unsur dalam prosesi 'turun mani' seperti yang saya ceritakan tadi. Ide tentang nabi penguasa empat unsur itu adalah hasil interpretasi orang Gayo 'Pudaha' atas ide-ide Islam tentang nabi-nabi Allah. Ketika menerima Ide-ide itu nenek moyang kami, orang Gayo 'Pudaha' yang alam pikirannya masih belum sepenuhnya lepas dari kepercayaan lama, lalu 'mengislamkan' ide-ide kepercayaan lama yang mereka anut dengan mengganti nama roh-roh yang dipercaya menguasai alam dengan mengganti namanya dengan nama nabi-nabi Islam. Dalam proses 'pengislaman' ide ini bahkan terkadang nama nabinyapun tidak kita temui dalam literatur Islam yang asli. Contohnya bisa dilihat dari nama-nama nabi penguasa empat unsur yang saya sebutkan di atas, di sana ada nama Nabiolah Yati dan Nabiolah Kedemat yang tidak kita temui dalam literatur Islam yang berasal dari Timur Tengah.

Sebagai gambaran sulitnya transformasi ide di masa yang saya ceritakan itu (sekitar akhir 1979 atau awal 1980-an, sebelum saya masuk SD), Isaq kampung saya yang merupakan ibukota kecamatan Linge, saat itu masih relatif terisolasi ide yang berkembang di Isaq lebih banyak ide-ide yang berkembang diantara orang Isaq sendiri. Orang luar seperti orang-orang Gayo yang tinggal di Takengon* (Ibukota kabutapen Aceh Tengah) misalnya masih b,anyak yang takut berkunjung ke kampung kami. Karena di Takengon banyak beredar kabar, yang juga banyak dipercaya oleh penduduk Takengon masa itu kalau penduduk kampung saya banyak yang memiliki ilmu gaib.

* Nama Kota Takengon ini sendiri, menurut analisa saya sebenarnya adalah pengindoseniaan dari nama asli kota ini yaitu TAKINGEN. Takingen disebut Takengon menurut saya adalah karena mode latah masa awal kemerdekaan, ketika orang Gayo ramai-ramai meninggalkan adat Gayo dan menggantinya dengan sesuatu yang dianggap modern dan keren di masa itu yaitu ide tentang Indonesia. Saat itu banyak nama tempat di Gayo yang di indonesiakan, Bebesen pernah diganti menjadi BOBASAN tapi tidak berlanjut, Kebet menjadi KOBAT, Kebayaken menjadi KEBAYAKAN, Janarata menjadi PONDOK BARU. Salah satu akibat atau bisa juga disebut korban dari mode latah ini adalah munculnya nama Sukur KOBAT (Maaf Cik Sukur) dan Abu TAKENGON. Meskipun pengindonesiaan itu telah dicoba dipas-paskan atau lebih tepat disebut dipaksakan dengan menciptakan cerita yang tidak jelas asal-usulnya yang menyebutkan kata TAKENGON itu berasal dari bahasa Gayo yang berbunyi beTA KuENGON, tapi yang jelas sampai hari ini saya tidak pernah mendengar ada orang Gayo yang menyebut nama kota ini dengan nama TAKENGON ketika sedang berbicara dalam bahasa Gayo. Saat berbicara dalam bahasa Gayo, orang Gayo pasti selalu menyebut nama kota ini TAKINGEN *

Zaman sekarang, ketika transformasi ide sudah demikian mudah, ide-ide keagamaan (islam) ditransformasikan demikian mudahnya, melalui buku, koran, radio bahkan televisi. Orang-orang di tanah Gayo semakin banyak yang menyadari kalau praktek-praktek ritual semacam yang saya ceritakan tadi banyak mengandung unsur bid'ah, khurafat bahkan syirik, sehingga praktek seperti itu semakin hari semakin ditinggalkan.

Saat ini saya yakin sekali kalau sudah tidak ada lagi wanita Gayo di generasi saya yang mampu melaksanakan prosesi turun mani seperti yang saya ceritakan di atas.

Wassalam

Win Wan Nur

Banyuwangi Menjelang Lebaran

Sebagai konsekwensi dari bisnis yang baru kurintis, bulan Ramadhan tahun ini akhirnya benar-benar kuhabiskan di jalan. Setelah makan malam terakhir di pantai Jimbaran tanggal 24 September lalu, aku akhirnya menyelesaikan pekerjaanku menemani 15 orang anggota grup yang kujemput beberapa waktu yang lalu di Yogyakarta.

Tapi besok harinya sebelum sempat pulang ke rumah, aku harus langsung bekerja kembali karena aku mendapat kiriman klien baru dari Gilles yang harus kujemput di Bali untuk dibawa ke Jawa. Sejak tanggal 25 sampai hari ini aku masih terus bersama dua orang tamu ini, Jean-Marc dan Annick Jubault, suami istri berumur 50 tahunan yang berasal dari Paris.

Bersama Jean-Marc dan Annick aku memulai perjalanan dengan mengunjungi situs wisata di sekitar Ubud dan Kintamani, mulai dari mengunjungi Pura Gunung Kawi di Tampak Siring, Danau Batur di Kintamani, Pemahat Patung Kayu di Kemenuh, Pura Taman Ayun di Mengwi, Tanah Lot di Tabanan dan Pura Ulun Danu Bratan di Bedugul, selanjutnya kami menginap dua hari di Munduk, melakukan tracking di tengah sawah dengan pemandangan ke arah Singaraja, mengunjungi air terjun Munduk yang bertingkat-tingkat melalui kebun cengkeh yang sedang dipanen, lalu menginap semalam di Lovina untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan menyeberang kapal ke Banyuwangi.

Waktu akan meninggalkan Lovina tanggal 29 september pagi, sebenarnya Annick ingin terlebih dahulu melihat lumba-lumba dengan menyewa kapal nelayan setempat. Tapi Kadek, sopir bergaya modis berumur 26 tahun asal Bajera, Tabanan yang kusewa dalam perjalanan ini menyarankan agar kami berangkat ke Banyuwangi pagi-pagi sekali. Kami harus berangkat lebih awal supaya kami bisa mendapatkan antrian terdepan, soalnya seperti diberitakan di TV dan juga informasi yang diterima Kadek dari temannya sesama sopir angkutan pariwisata, sehari sebelumnya antrian pemudik yang ingin menyeberang dari Bali ke Jawa di pelabuhan Gilimanuk sangat panjang sampai mencapai 5 kilometer, sampai-sampai ada bayi yang meninggal akibat kepanasan karena terlalu lama menunggu dalam antrian.

Annick bisa mengerti alasan Kadek dan diapun mengakui kalau momen yang mereka pilih untuk berlibur kali ini agak kurang tepat dan tidak keberatan untuk berangkat pagi-pagi tanpa sempat melihat lumba-lumba. Setelah semua koper dan barang belanjaan dinaikkan ke mobil, Kadek lalu memacu Suzuki APV Arena warna hitamnya menuju arah Gilimanuk dan untungnya jalur yang kami lalui, jalur Singaraja yang terletak di bagian utara pulau ini, hari ini tidak terlalu banyak dilalui kendaraan. Mungkin sepinya jalur ini disebabkan karena perantau dari Jawa yang akan mudik ke pulau asalnya hampir seluruhnya tinggal di bagian selatan pulau Bali, lebih khusus lagi sekitar Denpasar dan Kuta. Situasi lengang ini lebih memudahkan Kadek untuk memacu mobil dengan kecepatan tinggi, kulihat speedo meter di depan setir menunjukkan angka di atas 100.

Hanya 1 jam 20 menit kami sudah sampai di Gilimanuk, dan setibanya di sana ternyata pelabuhan Gilimanukpun sepi. Rupanya kemarin, hari minggu tanggal 28 september yang merupakan H -2 Lebaran adalah puncak arus mudik dari Bali ke Jawa. Hari ini jumlah pemudik sudah sangat jauh menurun, karena tidak ada hambatan kami langsung masuk ke pelabuhan membayar karcis penyeberangan sebesar 96.000 rupiah dan langsung masuk ke kapal. Aku dan juga Kadek minta maaf pada Jean-Marc dan Annick karena telah salah perkiraan soal arus mudik, baik Jean-Marc maupun Annick sangat memahami situasi yang kami hadapi dan tidak menyalahkan Kadek atas gagalnya rencana Annick untuk melihat lumba-lumba.

Sampai di pelabuhan Ketapang waktu masih menunjukkan pukul 9.00 WIB, kami langsung menuju kota Banyuwangi, sesuai program yang aku buat, kami akan berkeliling kota Banyuwangi mengunjungi pasar tradisional dan selanjutnya mengunjungi kelenteng Hoo Tong Bio, tempat persembahyangan tiga agama Cina (Kong Hu Cu, Tao dan Buddha) dengan naik becak. Aku menyewa 3 buah becak masing-masing satu untukku, Annick dan Jean-Marc, Kadek langsung dengan mobil menunggu kami di Kelenteng.

Saat naik becak Annick sangat antusias, karena ini adalah pengalaman pertamanya naik becak. Dia tidak henti-hentinya menjepret kamera Canonnya saat becak yang kami tumpangi melewati jembatan, lalu melintasi alun-alun Kota di depan Kodim Banyuwangi yang memampang spanduk dengan gambar anggota TNI angkatan darat sedang latihan tempur berlatar belakang beberapa tempat dan pulau-pulau di Indonesia termasuk ada gambar Mesjid Raya Baiturrahman, disamping gambar itu tertulis ANGKATAN DARAT BENTENG TERAKHIR NKRI. Spanduk ini digantungkan di atas patung ABRI Manunggal yang terbuat dari beton, karakter patung-patung ini digambarkan dengan tentara yang memegang senjata berdampingan dengan petani bertelanjang dada yang mengenakan celana 4/5 warna hitam dan topi caping menutupi kepala sambil memegang cangkul, di samping patung petani ada patung ulama yang berpakaian putih-putih ala Pangeran Diponegoro, lengkap dengan jenggot putihnya memegang Al Qur'an di tangan kiri dengan tangan kanan dan jari telunjuk mengacung ke atas dengan mimik wajah yang mengingatkanku pada Rhoma Irama ketika sedang berkhotbah di sela-sela konser dangdut Soneta Grup. Jean-Marc suami Annick juga tidak henti-hentinya mengarahkan lensa handycam Sonynya ke segala arah sambil mulutnya berkomat-kamit menjelaskan apa yang dia rekam.

Becak yang kami tumpangi berhenti di depan pasar Banyuwangi, kami turun untuk melihat-lihat suasana pasar. suasana di pasar hari ini berbeda dengan biasanya, jika pada hari biasa jalanan di depan pasar yang menghubungkan Mesjid Agung Banyuwangi dengan Alun-alun meskipun dipinggirnya dipenuhi pedagang sayur, rempah-rempah, daging dan ikan tapi masih menyisakan ruang yang luas di tengahnya untuk dilalui mobil dan kendaraan lainnya, hari ini tidak. Jalanan yang membelah pasar sekarang dipenuhi tenda-tenda dadakan tempat orang berjualan kue lebaran, sehingga jalan itu hanya bisa dilewati sepeda motor, atau becak dengan sedikit memaksa. Jenis kue yang dijual di tenda-tenda itu seragam, bermacam kacang dan kue kering olahan berbahan dasar tepung terigu dan margarin. Kepada Annick dan Jean-Marc aku menjelaskan bahwa kue-kue itu adalah kue lebaran yang nantinya akan disajikan pada tamu-tamu yang berkunjung. Kepada mereka aku juga menjelaskan bahwa lusa yang merupakan hari lebaran adalah hari libur paling penting di Indonesia, saat itu setiap orang akan saling berkunjung ke tetangga, teman dan tentu saja keluarga. Mendengar penjelasanku mereka berdua manggut-manggut karena sebelumnya ketika berada dalam kapal saat menyeberang aku juga sudah menjelaskan betapa istimewanya hari ini bagi orang Indonesia.

Di belakang tenda itu seperti hari biasa dipenuhi deretan penjual sayur dan kebutuhan dapur lainnya, seperti bumbu , rempah-rempah dan tidak ketinggalan daging, ayam dan ikan dengan segala variannya, mulai dari ikan asin, ikan segar, kepiting, udang, cumi-cumi dan lain-lain, semuanya dijual di pinggir jalan tepat di depan toko-toko emas, toko elektronik, toko plastik dan toko kain milik pedagang keturunan Cina maupun Arab.
Kepada Jean-Marc dan Annick aku menjelaskan 'peta ekonomi' seperti yang mereka lihat ini bisa dilihat hampir di semua kota di Indonesia, dimana toko-toko di tempat strategis hampir pasti dimiliki pedagang keturunan Cina, sementara yang berjualan sayur dan hasil bumi kelas emperan hampir pasti pribumi alias PS (penduduk setempat), pengecualian antara lain ada di Kota Banda Aceh dan Kota Padang. Sayangnya kedua kota yang saya sebutkan itu terhitung kota kecil yang pengaruhnya kurang diperhitungkan dalam peta ekonomi nasional, sehingga tidak heran kalau perekonomian negara ini hampir 90% dikuasai oleh pengusaha keturunan Cina.

Toko-toko emas yang berjejer disepanjang jalan itu semuanya sesak dipenuhi pembeli. Di kota ini dan di kota-kota lain yang banyak penduduk suku Maduranya memang ada tradisi membeli emas di hari lebaran, biasa untuk pamer ke tetangga dan kerabat, untuk menunjukkan keberhasilan usaha selama setahun, biasanya sehabis lebaran toko emas kembali dipenuhi orang, tapi kali ini untuk menjual.

Setelah berkeliling di pasar, kami kembali naik ke becak untuk menuju klenteng Hoo Tong Bio, sambil melintasi kota aku memperhatikan depan, kanan dan kiri jalan. Ketika kuperhatikan baik-baik aku merasa hari ini suasana di Banyuwangi sangat religius karena di sepanjang jalan kulihat bertebaran spanduk dan umbul-umbul dari berbagai produk, banyaknya spanduk dan umbul-umbul itu kutemui bukan hanya di kota ini tapi sejak akan menyeberang di Gilimanuk tadi, di kiri kanan jalan di dalam pelabuhan dipenuhi oleh iklan berbagai produk untuk berpromosi, mulai dari kain sarung, mie instant, operator selular, motor, mobil, rokok sampai partai politik. Beberapa produk malah mendirikan posko khusus di pelabuhan, di pelabuhan Ketapang ada posko Pop Mie, Motor Suzuki, Toyota dan tentu saja operator selular.

Yang membuat suasana kota tampak religius adalah karena kata-kata yang tertulis dalam iklan produk-produk itu. Semuanya sangat indah, bijaksana, menyentuh dan menyejukkan hati. Menjelang lebaran ini kuperhatikan semua produk yang mengiklankan diri itu tiba-tiba menjadi sangat islami. Di Pelabuhan Ketapang dalam papan reklame berukuran besar milik kartu bebas dari operator selular XL, kulihat Luna Maya tersenyum manis seperti seorang gadis salihah lulusan pesantren yang tidak pernah mengenal pergaulan dengan lawan jenis, rambut indah Luna yang biasanya tergerai kali ini ditutupi dengan Jilbab oranye yang merupakan warna khas XL. Di pojok lain pelabuhan yang sama dalam papan iklan ukuran yang sama besarnya pula, Sandra Dewi gadis keturunan Cina asal Bangka yang sama sekali bukan penganut islam tampak anggun dengan kerudung dan baju kurung berwarna merah terlihat tertawa lepas dan dengan tangan mengembang terbuka saat mengiklankan produk Telkomsel, Kartu Simpati.

Produk rokok seperti Jarum milik keluarga Cina kristen taat dan Sampoerna yang sekarang dimiliki oleh Raksasa rokok Philip Morris asal Amerika, yang sekarang produknya sedang jadi kontroversi soal Fatwa haram dari MUI, setelah kemunculan sajak Taufik Ismail yang membandingkan bahaya rokok dengan bahaya daging babi memenuhi jalanan dengan berbagai umbul-umbul dan spanduk yang berisi kata-kata sejuk yang menenangkan hati, kata-kata yang tertulis di situ mirip isi khotbah AA Gym atau Ustadz Jeffry, alias UJE yang mencitrakan dirinya sebagai seorang Ustadz Gaul. Di bawah tulisan-tulisan yang penuh hikmah dan menenangkan jiwa itu tertulis MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN, semuanya ditulis dalam huruf kapital.

Iklan produk partai politik juga bertebaran di mana-mana, misalnya iklan dari PKS yang sekarang tampaknya sedang mengalami masa puber, kuperhatikan sekarang PKS sedang gemar berpantun mengikuti tren gaul anak muda sekarang yang banyak terpengaruh pergaulan ala sinetron. Tapi dari sekian banyak iklan produk partai politik di kota ini, yang kulihat paling menonjol adalah ucapan selamat Idul Fitri dari Abdullah Azwar Anas, yang di bagian kanan spanduk ucapan selamatnya terpampang foto dirinya mengenakan kopiah hitam sedang tersenyum manis, di bawah foto itu tertulis, Abdullah Azwar Anas, Anggota Komisi (saya lupa nomornya) DPR RI Fraksi Kebangkitan Bangsa dari Dapil VII Jawa Timur. Saya tidak tahu apakah Abdullah Azwar Anas yang mewakili PKB dari daerah pilihan Banyuwangi ini ada hubungannya dengan Azwar Anas seorang Soehartois dedengkot Golkar yang mantan gubernur Sumbar dan mantan ketua umum PSSI itu.

Iklan lain dari produk partai politik yang kulihat juga terlihat menonjol di kota ini adalah ucapan selamat hari raya dari dua pasang calon gubernur Jawa Timur yang memenangkan pemilihan geubernur dan wakil gubernur Jatim pada putaran pertama dulu, pasangan Soekarwo dan Syaifullah Yusuf yang menyingkat panggilannya dengan Karsa yang diusung oleh PAN dan Khofifah Indar Parawansa dan Mayjend (pur) Mudjiono yang menyingkat panggilan mereka dengan KaJi yang diusung oleh PPP.

Di antara lautan spanduk ucapan klise selamat Idul Fitri, mohon ma'af lahir batin lainnya yang biasa kulihat di mana-mana ada beberapa spanduk yang menarik perhatianku. Spanduk-spanduk itu adalah spanduk milik pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Soekarwo dan Syaifullah Yusuf, meskipun isi spanduknya juga klise mengucapkan selamat hari raya dengan berbagai pilihan kata-kata indah yang tampaknya oleh si pemilik spanduk ucapan itu diucapkan dengan tulus dari lubuk hati mereka yang terdalam, sebagai mana tulusnya perusahaan rokok, otomotif dan operator selular ketika mengucapkan selamat hari raya hanya sayangnya dari sekian banyak ucapan indah dan tulus di spanduk itu tidak satupun yang kuingat persis isinya. Justru yang menarik perhatianku dan yang paling kuingat adalah sebuah tulisan di bawah foto pasangan calon gubernur yang disingkat Karsa itu, dalam foto itu terlihat calon Gubernur dan Wakilnya ini sedang tersenyum ramah keduanya berkumis (Soekarwo berkumis tebal ala Pak Raden sedangkan Gus Ipul berkumis tipis). Tulisan yang menarik perhatianku itu berbunyi Ojo Lali Coblos Brengose Rek!...Brengos adalah kumis dalam bahasa Jawa Timuran.

Demikianlah suasana menjelang lebaran di Banyuwangi, tempat aku merayakan hari kemenangan Umat Islam sedunia pada tahun ini.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriyah, mohon maaf lahir dan bathin.


Win Wan Nur