Selasa, 20 Januari 2009

Alasanku Menulis dan Situasi di Aceh Saat Ini

Dua hari belakangan itu saya sebegitu emosinya menyaksikan ketololan seorang manusia yang menjadikan PKS sebagai saluran politiknya. Saya emosi karena ketololannya itu melibatkan saya di dalamnya dan membuat jiwa saya terancam pula karenanya. Tapi setelah saya baca-baca kembali, ketika emosi saya sudah menurun tensinya, saya melihat ada sesuatu yang menarik di dalam tuduhan bodoh simpatisan PKS ini.

Dari tulisan yang memancing emosi saya itu, satu yang saya dapatkan. Betapa dari dulu sampai sekarang, dari zaman kuda gigit besi sampai masa ketika dunia larut dalam zaman teknologi informasi. Manusia masih tetap sama, perkembangan teknologi tidak mengubah banyak cara berpikirnya. Dari dulu sampai hari ini, tetap begitu banyak manusia yang tidak bisa menilai dunia lepas dari dirinya.

Zaman dulu, orang Bali berpikir seluruh sapi di dunia adalah sapi berbulu kuning dangan warna putih di pantatnya persis seperti sapi Bali hari ini yang seumur hidup dan sepanajang sejarah nenek moyang mereka memang sudah begitu bentuknya. Karena penapilan sapi di Bali yang seperti itulah itulah dalam legenda Lembu Nandini versi Bali dikatakan; Saat manusia pertama butuh makan, Lembu Nandinilah yang memasakkan. Saat memasak, karena kaget kepanasan, Lembu Nandini terduduk di depan tungku, abu dapur kena pantatnya dan meninggalkan bekas putih di sana sehingga sampai hari ini begitulah rupa anak keturunannya.

Pada zaman yang kurang lebih sama, orang Gayo berpikir ukuran kerbau selalu lebih besar dari sapi, seperti realita sehari-hari yang disaksikannya. Karena itulah di Gayo ada cerita, kalau zaman dulu Sapi dan Kerbau itu sahabat karib. Suatu saat mereka mandi ke sungai berdua, di tepi sungai mereka menganggalkan bajunya. Saat mereka mandi Harimau datang, kedua sahabat ini kaget dan ketakutan, bergegas keluar dari sungai dan dengan cepat menyambar pakaian, baju siapa yang dikenakanpun tidak lagi diperhatikan. Saat sudah lari jauh dan selamat dari kejaran sang Macan. Baru mereka perhatikan ternyata Kerbau dan Sapi sudah tertukar pakaian. Saat mau dilepaskan pakaian itu sudah berubah menjadi kulit. Sehingga sampai hari ini kita saksikan, sapi berjalan kemana-mana dengan kulit yang kedodoran, sementara Kerbau dengan susah payah berjalan dengan kulit yang kesempitan.

Kalau zaman dulu orang menilai dunia dengan cara seperti itu, kebanyakan manusia masa kinipun sama saja, masih berpikir seperti apa dirinya, orang lainpun pasti demikian pula. Simpatisan PKS yang menuduhku dibayar Isra'el untuk menulis itu adalah salah satunya. Logika yang dikemukakannya untuk melegitimasi tuduhannya itu adalah "tidak mungkin ada orang yang mau menulis sebegitu intens-nya kalau tidak ada yang membayar atau maksud lain dibaliknya, apalagi menulis di berbagai milis dan media online yang jelas butuh biaya paling tidak untuk membayar tagihan internet".

Yang tidak disadari oleh Bagudung PKS ini adalah, ketika dia mengatakan TIDAK MUNGKIN, saat Bagudung simpatisan PKS ini berkata begitu, sebenarnya ketika itu pula dia sedang membuka jati diri dan isi kepalanya. Saat berkata seperti itu sebenarnya dia sedang menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya yaitu bahwa dia adalah seorang manusia yang bermental Jongos dan Kuli yang hanya mau berbuat kalau ada yang menggaji.

Orang yang bermental Jongos dan Kuli semacam ini dalam memandang duniapun tidak bisa dia lepaskan dari kacamata seorang Jongos dan Kuli. Baginya adalah tidak mungkin ada manusia yang mau membuang-buang waktu, uang dan energi semata hanya untuk menyalurkan hobi. Padahal bagi saya sendiri, menulis adalah sebuah sarana buat menyehatkan diri, menyalurkan ide, membuang kegelisahan sekaligus melepaskan emosi.

Bagi saya menulis adalah sebuah kebutuhan. Seperti mamalia betina yang baru melahirkan, yang memproduksi susu yang setiap hari harus dikeluarkan, agar tidak menjadi penyakit di badan. Soal kemudian ide yang saya keluarkan itu bermanfaat atau tidak bagi yang membaca. Itu soal lain lagi. Tergantung siapa yang mengkonsumsi dan bagaimana ide yang saya keluarkan itu diolah lagi. Sama seperti susu yang dikeluarkan oleh sapi, bermanfaat kalau langsung diberikan kepada orang dewasa atau anak sapi. Tapi akan menjadi penyakit kalau di berikan langsung tanpa pengolahan lebih lanjut kepada seorang bayi.

Kemajuan teknologi informasi sepuluh tahun belakangan ini sangat membantu saya menyalurkan hobi ini. Di media online yang berkembang saat ini, mulai dari milis, blog sampai facebook. Saya benar-benar bisa menulis dengan gaya yang sesuka hati. Menulis di media ini tidak seperti menulis di media cetak yang memiliki banyak rambu-rambu ketat yang haruskan kita patuhi. Ada aturan kaku tentang jumlah huruf, pemakaian etika bahasa, batas-batas penggunaan isu SARA dan aturan-aturan penulisan lainnya.

Aturan-aturan semacam inilah yang membuat hampir semua tulisan opini di media cetak apapun, membuat mengantuk kita yang membacanya. Itu karena penulis opini di media cetak, gaya menulisnya nyaris seragam semua, sok ilmiah, kering dan garing tak berjiwa karena ditulis lebih banyak dengan mengikuti aturan teknis bukan emosi.

Inilah alasannya, kenapa saya lebih suka membaca opini di blog dan di milis-milis. Itu karena di sini orang menulis opini lebih jujur, lebih apa adanya sehingga lebih menyentuh realita yang sebenarnya.

Untuk menulis di media cetak, kita harus bicara pula tentang kebijakan redaktur dan sesuai tidaknya ide kita dengan visi dan misi media yang dikirimi tulisan. Belum lagi ketika kita harus berhadapan dengan redaktur opini yang karena merasa medianya besar, kadang jadi merasa angkuh dan arogan. Pokoknya untuk menulis di media cetak, apalagi untuk mendapatkan bayaran, terlalu banyak tetek bengek urusan tai burung yang tidak boleh kita lewatkan.

Itulah sebabnya, karena tujuan saya menulis bukanlah untuk mendapat bayaran, satu-satunya publikasi tulisan saya yang pernah dibayar adalah tulisan saya tentang 'konferensi interpeace' yang dimuat di website resmi Aceh Institute. Itu saya lakukan karena seorang teman yang bekerja di lembaga itu yang juga mengikuti konferensi yang sama meminta saya untuk membuat tulisan. Selebihnya tidak pernah lagi, meskipun si teman ini minta saya mempublikasikan tulisan saya yang lain di media mereka yang teregister itu dan mendapatkan bayaran, saya tidak pernah mau lagi. Alasan saya adalah karena untuk menulis di media teregister semacam itu, seperti yang telah saya sebutkan di atas, terlalu banyak aturan yang harus saya penuhi dan aturan-aturan itu membuat buntu ilham dan inspirasi.

Memang, saya pernah menulis di media cetak, tepatnya di harian Aceh Independen. Tapi itu juga tidak dibayar, kebetulan redaktur opini di koran ini adalah adik kelas saya semasa kuliah di Fakultas Teknik Unsyiah dulu. Ketika diterbitkan di sini, oleh si redaktur, tulisan saya tidak diatur harus seperti apa malah saat diterbitkan tidak diedit sama sekali.

Mengikuti saran beberapa teman, saya juga pernah terpikir untuk mencoba untuk menulis di media yang lebih besar Serambi Indonesia. Saat itu, ketika teman-teman saya menganjurkan, maksud mereka supaya ide-ide saya lebih banyak dibaca orang. Tapi untuk koran Serambi yang sebetulnya cuma koran kecil dalam skala nasional. Para pengelola koran ini merasa di Aceh, mereka adalah media terbesar. Jadi redaktur opininyapun tidaklah seramah adik kelas saya tadi.

Di Serambi, redakur opininya yang bernama Ampuh Devayan lagaknya bak orang penting, mau ketemu susahnya bukan main. Di SMS tidak pernah dibalas, ditelpon tidak mau diangkat, dikirimi e-mail tidak ditanggapi, diajak ketemu apalagi. Beberapa teman lama diantaranya Murizal Hamzah yang dulu bersama saya pernah meliput berita sampai ke Pasee bersama Almarhum Harry Burton pernah menganjurkan saya untuk menemui si Ampuh itu dengan menyebutkan namanya, dan mengatakan kepada Ampuh kalau Murizal adalah teman saya. Murizal memberi saran seperti ini karena Ampuh Devayan dan Murizal teman saya ini pernah bersama-sama menjadi editor sebuah buku. Tapi ketika anjuran Murizal saya praktekkanpun hasilnya sama saja, menemui redaktur kita ini jauh lebih susah daripada minta proyek ke pemerintah atau bertemu pejabat tinggi...sehingga sayapun berkata dalam hati "Ko makan lah koran ko itu, macam hebat kalipun ko pikir serambi bengakmu itu" (Seperti biasa, kalau sedang emosi logat yang saya pakai adalah logat Simalungun asli)

Tentang menerbitkan buku, sekarang menjelang berakhirnya masa tugas BRR dan NGO Asing di Aceh, kegiatan itu seolah menjadi tren. Tiba-tiba semua orang di Aceh jadi bisa menulis buku. Hal remeh-temeh apapun tentang Aceh, oleh siapapun bisa ditulis dan dijadikan sebuah buku. Buku-buku yang ditulis semacam itu kemudian dibagi-bagikan secara gratis kepada siapa saja yang meminatinya bahkan kadang kepada yang sama sekali tidak berminatpun diberikan juga. Rata-rata penerbitan buku-buku semacam ini disponsori oleh sebuah lembaga atau NGO Asing yang butuh menghabiskan dana di kas mereka sebelum kontrak kerja mereka berakhir.

Saya pernah menghadiri sebuah acara launching buku semacam ini, buku yang saya hadiri acara peluncurannya ini covernya begitu bagus dan mewah, diisi dengan kontribusi dari nama-nama terkenal yang sudah lama mengharu biru dalam pergerakan dan penegakan HAM di Aceh. Tapi setelah buku itu saya baca, isinya sampah semua dan yang paling menjengkelkan... basi!

Di Aceh, selain menerbitkan buku, tren lain yang berkembang saat ini adalah mengadakan seminar dengan skala lokal, nasional maupun internasional. Di semua hotel berbintang di Banda Aceh, setiap hari ada seminar yang membahas bermacam-macam masalah. Bahkan kadang di satu hotel seperti Hermes Palace atau Oasis, dalam satu hari ada dua sampai tiga seminar.

Dan sama seperti penerbitan buku tadi, seminar-seminar yang disponsori oleh berbagai lembaga donor dan NGO asing itupun kuat sekali kesan untuk menghabiskan dana kasnya. Karena setelah semua masalah selesai dibahas dalam seminar. Kemudian tidak ada tindak lanjut lagi sesudahnya. Termasuk dalam kategori ini adalah seminar yang diselenggarakan Interpeace yang pernah saya hadiri.

Ironis...karena saat begitu banyak lembaga dan NGO Internasional di Aceh yang kesulitan menghabiskan dana kasnya. Kita baca di koran dan kita saksikan di televisi, menjelang habisnya masa tugas BRR dan NGO Internasional di Aceh ini. Masih ada lebih dari 3000 keluarga korban tsunami yang belum mendapatkan rumah yang menjadi haknya dan sampai hari ini masih tinggal di barak pengungsi.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

Tidak ada komentar: