Sabtu, 17 Januari 2009

Ulang Tahun di Montessori dan Rasisme Kulit Coklat

Tadi siang aku menghadiri acara ulang tahun Lyndon, teman sekelas anakku yang punya bapak Argentina dan ibu Italia. Acara di rumah Lyndon ini adalah pesta ulang tahun lanjutan setelah sebelumnya diadakan sebuah perayaan sederhana di Montessori.

Perayaan ulang tahun anak-anak yang diadakan di Montessori itu, meski sederhana tapi sangat bermakna. Anak-anak yang merayakan pesta di larang membawa makanan-makanan yang tidak sehat. Kue yang dibawa untuk merayakan ulang tahun di Montessori, biasanya kalau bukan kue wortel ya kue pisang. Ini untuk membiasakan anak-anak makan makanan sehat.

Tapi yang paling menarik dari perayaan ulang tahun di Montessori adalah prosesinya, seperti yang kusaksikan dalam rekaman perayaan ulang tahun Matahari Kecil tanggal 7 Desember yang lalu (aku sendiri tidak hadir di sana karena ada di Banda Aceh pada waktu itu).

Dalam prosesi itu, anak yang berulang tahun berdiri di tengah lingkaran dengan dikelilingi teman-temannya. Di pusat lingkaran itu ada selembar kertas bundar bertuliskan matahari, lalu ada dua kertas bundar lain berukuran lebih kecil bertuliskan bumi dan bulan. Lalu si anak yang berulang tahun mengitari lingkaran-lingkaran di tengahnya bulan perbulan sampai genap setahun. Setiap satu langkah mereka bernyanyi yang lirik nyanyiannya berbunyi bulan telah selesai melingkari bumi dan setiap menylesaikan langkah ke dua belas tepat di 7 Desember. Mereka menyanyikan bumi telah selesai mengitari matahari.

Saat mengitari lingkaran itu, anak yang berulang tahun memegang album foto yang berisi foto-fotonya sejak lahir sampai hari ulang tahunnya itu. Setiap satu langkah dia berhenti dan menunjukkan foto-foto di album itu kepada teman-temannya. Sehingga dia dan teman-temannya bisa merasakan pertambahan umurnya. Mereka bisa menyaksikan perubahan bentuk tubuh dan wajahnya dalam setiap kurun waktu perputaran bulan dan tahun yang digambarkan dengan kertas-kertas bertuliskan bulan, bumi dan matahari yang dikelilinginya.

Cara perayaan seperti ini bermakna, karena dengan cara itu, dengan melihat fotonya selama waktu-waktu yang dilewatinya. Anak-anak betul-betul menghayati pertambahan usianya dan juga sekaligus pertambahan usia bumi, planet yang menjadi tempat tinggalnya ini. Satu-satunya planet yang sejauh ini diketahui cocok untuk menjadi tempat segala bentuk kehidupan, mulai dari kehidupan terendah makhluk bersel satu sampai ke kehidupan tertinggi Manusia, makhluk yang memiliki kesadaran dan kemampuan intelektual.

Dengan kemampuan intelektualnya manusia bisa menentukan hitam putihnya planet ini. Dengan kemampuan intelektualnya Manusia bisa menyebabkan kepunahan suatu spesies atau juga mempertahankannya. Dengan kesadaran dan kemampuan intelektualnya Manusia bisa menetukan sejauh mana planet ini bisa bertahan sebagai tempat yang nyaman bagi kehidupan.

Perayaan ulang tahun semacam ini bagiku sangat bermakna, karena anak yang berulang tahun itu adalah anak manusia. Makhluk yang beberapa tahun ke depan akan mejadi sosok-sosok yang bertanggung jawab atas kelangsungan planet ini. Dengan perayaan semacam itu ditambah dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Tanpa sadar dalam diri para calon KHALIFAH ini telah tertanamkan rasa cinta terhadap BUMI, planet biru tempat tinggalnya ini. Kesadaran ini penting karena tanpa ada rasa cinta dan sayang terhadap planet ini, beberapa tahun ke depan planet ini bisa musnah. Sebagai gambaran betapa riskannya keadaan bumi saat ini. Hanya dalam waktu kurang dari seabad manusia, makhluk yang memiliki akal budi ini sudah berhasil menciptakan sebegitu banyak senjata nuklir sehingga dengan kekuatannya cukup untuk menghancurkan planet ini sampai TIGA PULUH KALI. Belum lagi kita bicara tentang kehancuran yang disebabkan manusia terhadap atmosfer yang untuk bisa nyaman kita hirup seperti sekarang ini, sebelumnya harus melalui proses poanjang yang milyaran tahun lamanya (sementara manusia belum ada 100 ribu tahun menghuni planet ini)

Perayaan ulang tahun sederhana seperti ini menurut pandanganku jauh lebih bermakna dibandingkan ulang tahun ala kaum hedonis yang kadang juga dirayakan di rumah karena keinginan orang tua. Perayaan ulang tahun ala hedonis semacam itu salah satunya seperti acara ulang tahun Lyndon yang kuhadiri kemarin.

Acara ulang tahun Lyndon diadakan di rumahnya yang khas rumah kaum ekspatriat. Bertembok tinggi, berhalaman luas dan dilengkapi kolam renang. Di acara itu ada badut, pesulap, acara menembak dan lain-lain. Berbagai jajanan tidak sehat juga tersedia, mulai dari potato chips sampai goreng-gorengan berminyak. Untuk minuman tersedia mulai dari yang sehat semacam jus jeruk, jus apel sampai ke yang berbahaya coca cola, fanta dan sejenisnya. Untuk orang tua disediakan minuman beralkohol, Wine, Champaigne sampai Vodka.

Dalam acara di rumah Lyndon, yang diundang bukan hanya anak-anak Montessori tapi juga anak-anak tetangga dan teman orang tuanya yang bersekolah di sekolah-sekolah internasional lainnya, di pesta itu mereka semua berbaur bersama dan tidak kelihatan lagi bedanya.

Tapi pada saat acara pembagian kue, atau acara rebutan mainan. Anak-anak dalam kerumunan itu langsung terlihat berbeda. Sementara anak-anak lain yang rata-rata berkulit putih, berhidung mancung dan berambut pirang langsung menyerobot antrian, meraup semua mainan yang diperebutkan. Anak-anak Montessori tidak peduli kewarga negaraan dan warna kulitnya apa. Lyndon orang Argentina-Italia yang putih, Matahari Kecil orang Gayo yang coklat, Karuna orang Jepang yang berkulit kuning atau Niluh Inggris-Indonesia yang putih kecoklatan. Terlihat tertib dalam antrian dan hanya memilih apa yang mereka perlukan saat mengambil mainan.

Aku, Ian, Mike dan Cybill para orang tua anak-anak Montessori yang hadir dan duduk santai di atas rumput di samping kolam renang. Geleng-geleng kepala memperhatikan adegan di depan kami, lalu kemuadian mengatakan betapa beruntungnya kami, anak-anak kami diterima di Montessori.

Melihat pemandangan itu aku jadi teringat pula pada tulisan dalam buku-buku antropologi karangan penulis-penulis eropa abad ke 19 yang pernah kubaca. Dalam tulisan-tulisan ini mereka masih memahami teori evolusi dengan begitu naif dan sederhananya. Saat mereka memahami kalau proses evolusi manusia dalam jangka yang pendek sekali dan percaya kalau proses evolusi yang sederhana itu masih berlangsung sampai sekarang. Dalam salah satu buku yang kubaca ada tertulis mengenai begitu bervariasinya peradaban di Nusantara. Dalam buku itu dikatakan, di sebagian daerah peradaban dan penampilan fisik orangnya sudah sedemikian majunya sampai sudah mendekati orang eropa. Sementara di bagian lain yang masih begitu primitif karena baru saja mengalami evolusi dari Orang Utan berubah jadi Manusia.

Pemahaman zaman itu, bahwa proses evolusi diawali dari titik terendah makhluk bersel satu sampai menuju proses tertinggi menjadi makhluk berperadaban tinggi, yaitu manusia dengan ciri fisik berkulit putih dan berhidung mancung. Pemahaman seperti ini cukup lama bertahan, pemahaman seperti ini pula yang nyaris memusnahkan ras Aborigin di Australia sana yang dibantai tanpa ampun oleh kulit putih eropa karena hanya dianggap sebagai sub-human alias setengah manusia yang proses evolusinya dari orang utan belum sepenuhnya sempurna.

Tapi penelitian selanjutnya dan terus menerus membuktikan bahwa meskipun indikasi yang ada menunjukkan kalau sepertinya proses evolusi itu pernah ada, tapi prosesnya tidaklah sesederhana bayangan kaum ilmuwan abad ke 19 dan abad-abad sebelumnya. Penelitian lanjutan menunjukkan kalau manusia dari ras apapun kulit berwarna apapun adalah satu spesies yang sama. Yang mebedakan tingkat peradaban bukanlah ras atau warna kulit tapi pola asuh dan pola prestise yang berlaku di lingkungannya.

Bukti kebenaran penelitian terbaru ini kemarin ada di depan mata saya. Anak-anak Montessori dengan warna kulit yang berwarna-warni tapi dibesarkan dalam pola asuh dan pola prestise yang sama jelas terlihat jauh lebih beradab dibandingkan anak-anak berkulit putih, berhidung mancung dan berambut pirang yang bersekolah di sekolah internasional lainnya yang seringkali justru lebih mahal bayarannya.

Karena pemahaman tentang evolusi itu awalnya berkembang di eropa dan penelitian lanjutannyapun juga lebih dulu dipahami di eropa dan negara-negara yang memiliki kebudayaan eropa sehingga di eropa sendiri, yang pernah menjadi pusat rasisme dunia. Sebenarnya pemikiran seperti abad ke 19 itu sudah nyaris tidak ada lagi kalau tidak bisa dikatakan sudah punah.

Tapi justru di Indonesia, negara yang katanya punya peradaban tinggi yang adi luhung ini pemikiran ala ilmuwan abad ke 19 itu masih tetap eksis. Di sini anggapan bahwa kulit berwarna adalah makhluk yang lebih rendah dari kulit putih itu masih subur berkembang. Adalah pemandangan biasa kita melihat orang berkulit coklat yang minta berfoto dengan orang kulit putih yang ditemuinya yang gunanya seringkali cuma buat dipameran ke teman-teman di kampungnya. Foto yang ditunjukkan dengan rasa bangga itu biasanya dipandangi dengan iri oleh teman sekampungnya.

Perlakuan rasis berkaitan dengan warna kulit justru lebih sering kuterima di Indonesia. Ketika berjalan bersama kolega berkulit putih yang menganggap aku sebagai teman yang setara. Justru orang berkulit coklat yang melihatnya yang biasanya menganggap kami tidak setara. Biasanya aku selalu dianggap anak buah teman kulit putihku itu. Sifat rasis seperti ini kadang terasa sangat mengganggu karena saat melayani pesananan di satu restoran atau malah dalam angkutan umum, selalu teman kulit putihku itu yang didahulukan.

Seringkali sifat rasis yang bersifat rendah diri di kalangan kulit coklat ini begitu parahnya, pemujaan mereka terhadap makhluk dengan spesies yang sama dengan dirinya sendiri tapi berkulit putih sedemikian tingginya. Di Indonesia ini segala sesuatu yang berbau impor dianggap sebegitu hebatnya. Sampai pernah suatu saat, ketika aku mem-post di facebook foto-foto Matahari Kecil bersama teman-temannya. Ada sebuah komentar dari orang berkulit coklat yang ironisnya memiliki pendidikan tinggi dan berasal dari keluarga terhormat pula. Hebat ya si Matahari Kecil, temannya 'impor' semua...begitu katanya.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: