Rabu, 21 Januari 2009

PKS,Leuser dan Bibit-Bibit Fasisme Dalam Diri Saya

Di samping di blog dan berbagai milis diskusi lainnya, tulisan saya tentang "PKS Partai Kaum Fasis", juga saya post di milis internal UKM-PA Leuser tempat saya bergabung sebagai anggota.

Di milis ini juga bergabung seorang teman yang sebetulnya junior saya di UKM itu dan bahkan selama pendidikan dasar dulu, sayalah yang membuatnya jungkir balik dengan berbagai macam latihan fisik dan mental. Tapi karena di UKM kami hirarki praktis berlaku hanya selama pendidikan dasar saja, begitu resmi menjadi anggota hak dan kewajiban langsung sama. Sehingga anak yang paling barupun tidak segan mengkritik senior yang paling tua. Karena situasi di Leuser yang seperti itu, sayapun sejak lama sudah tidak pernah lagi menganggapnya sebagai seorang Junior, tapi benar-benar sebagai seorang teman.

Teman yang nama lengkapnya Abdillah Imran Nasution yang di Leuser memiliki banyak sekali nama julukan ini, sampai saat ini adalah pemegang rekor sebagai pemilik nama julukan terbanyak di Leuser. Dari sekian banyak nama julukannya itu saya biasa memanggilnya Macan.

Saat membaca tulisan saya "PKS Partai Kaum Fasis". Teman yang biasa saya panggil Macan ini menanggapi tulisan saya tersebut dengan sebuah tanggapan dan disusul sebuah pertanyaan yang sederhana "Aku setuju dengan tulisan kee Cek Wen, tapi kutanyak dulu arti fasis itu apa dikaitkan dengan tulisan kee yang dulu-dulu", Katanya.

Pertanyaannya yang sederhana ini membuat saya tersentak. Saya teringat kembali tulisan-tulisan saya beberapa waktu yang lalu. Ketika saya begitu suntuk dan muak melihat gaya anak-anak dari luar Aceh yang datang bekerja mengais rezeki di Aceh pasca tsunami tapi merasa seolah mereka yang paling tahu tentang Aceh bahkan dibandingkan orang Aceh sendiri.

Akibat sentilan kecil dari Macan ini, tadi malam saya membaca kembali arsip tulisan-tulisan lama yang pernah saya post di berbagai milis, terutama tulisan-tulisan saya dalam sebuah debat dengan seseorang yang bernama Roysepta Abimanyu, seorang mantan anggota LMND dan PRD yang waktu itu bekerja di Aceh untuk sebuah lembaga milik pemerintah Canada.

Dulu saya pernah terlibat dalam debat panjang dengan orang yang bernama Roysepta ini. Saat itu, ketika mendebatku, dia berbicara dengan gaya sok tau khas orang-orang dari Jakarta yang tidak pernah benar-benar bergelut dengan permasalahan sosial di Aceh dan mengalami sendiri masalah-masalah gesekan etnis serta tidak pernah merasakan betapa tidak menyenangkannya kami orang Aceh diperlakuan diskriminatif yang ironisnya terjadi di tanah moyang kami sendiri.

Saya yang menyaksikan sendiri betapa seorang kerabat saya yang berkali-kali gagal melamar bekerja sebagai karyawan di PT. KKA, sebuah perusahaan nasional yang beroperasi di daerah kami. Akhirnya bisa diterima di perusahaan tersebut setelah memalsukan nama asli di Ijazahnya dengan menambahkan nama 'Hadibowo' di belakang nama aslinya, benar-benar kesal ketika Roysepta Abimanyu yang belajar geopolitik di Perancis yang baru tinggal setahun atau dua tahun di Aceh untuk mengais rezeki pasca tsunami ini. Dengan memakai teori-teori Geopolitik yang dia pelajari di eropa sana, dengan meng copy-paste apa yang dia pelajari di Perancis dan menyamakan situasi di Aceh dengan yang terjadi di Afrika sana. Berdasarkan perbandingan yang dia lakukan terhadap apa yang terjadi di Afrika, Roysepta tidak mengakui kalau diskriminasi etnis yang menguntungkan Jawa yang terjadi di Aceh selama ini benar-benar ada.

Saya menuliskan tulisan itu dalam suasana ketika serombongan kepala desa asal Gayo dengan difasilitasi oleh Iwan Gayo menghadap DPR RI dengan mengenakan blangkon. Saat itu, beberapa kepala desa yang menghadap DPR RI itu dengan menggunakan bahasa Jawa 'kromo inggil' yang maksa dan belepotan logat Gayo berkata dengan takzimnya dihadapan para anggota dewan yang terhormat itu "kulo gelem pemekaran".

Ketika itu saya yang orang Gayo benar-benar merasa terhina melihat aksi yang diliput berbagai media secara nasional yang terang-terangan merendahkan martabat suku saya dihadapan Jawa ini. Dan aksi para kepala desa yang saya tahu dikompori dan didanai oleh beberapa elit lokal dan elit nasional yang terganggu kepentingannya di Aceh akibat perkembangan situasi perpolitikan 'Aceh Baru' pasca MoU Helsinki itu benar-benar membuat amarah saya memuncak.

Saya juga semakin merasa kesal dengan sikap inferioritas terhadap Jawa yang ditunjukkan oleh kepala desa-kepala desa asal Gayo itu, apalagi mereka melakukannya dengan berlagak seolah-olah mereka adalah representasi seluruh orang gayo di muka bumi. Kekesalan saya semakin memuncak karena saya yang cukup paham karakter dan budaya Jawa tahu persis kalau dalam perkembangan situasi dunia saat ini karakter asli suku Gayo yang bersifat 'republik' justru jauh lebih bisa diandalkan untuk bersaing di pentas global dibandingkan karakter asli suku Jawa yang 'feodal'.

Dalam suasana seperti itulah, ketika debat berlangsung panas dan sayapun sepenuhnya dikuasai emosi, tanpa sadar saya terpancing oleh sebuah jebakan yang rupanya telah dipersiapkan oleh Roysepta dengan cermat. Setelah sebelumnya dia berhasil memancing emosi saya dengan mengatakan 'perbedaan antara Jawa dan Gayo itu sebenarnya sama sekali tidak ada melainkan hanya hasil kategorisasi kolonial' dan untuk menegasikan adanya ketidak adilan terhadap orang Gayo di tanah Gayo sendiri. Dalam tulisan-tulisannya terdahulu Roysepta mengatakan " tidak seorangpun yang bisa mengklaim TANAH GAYO sebagai milik ORANG GAYO". Pernyataan-pernyataan provokatif dari Roysepta Abimanyu itu berhasil dengan sukses memancing emosi saya dan sayapun terjebak ketika Roysepta yang sebelumnya telah dengan cermat memasang perangkapnya menanyakan " Jadi menurut anda apakah ada orang yang berhak mengusir orang Jawa dari Aceh?". Dalam emosi yang memuncak saya katakan "ya tentu saja ada, yang bisa mengusir mereka adalah kami...orang Aceh pemilik sah tanah ini".

Saat itu saya tidak merasa ada yang salah dengan jawaban saya itu, karena saya pikir memang seperti itulah keadaan yang sebenarnya dan itu pula yang harus dilakukan. Tapi sekarang setelah pikiran saya jernih kembali dan bebas dari kungkungan emosi. Saya baru menyadari betapa berbahayanya konsekwensi dari tulisan saya yang bernada sangat fasis waktu itu seandainya dibaca dan diikuti oleh konstituen saya dengan semangat dan kebencian yang sama seperti yang saya rasakan waktu itu.

Kalau itu terjadi dan kalau apa yang saya katakan itu benar-benar dilakukan. Pasti yang terjadi masalah di Tanoh Gayo yang saya cintai bukannya selesai dan suasana menjadi tenag tapi sebaliknya justru yang akan terjadi adalah masalah-masalah baru dan kebencian yang tak berujung.

Karena, belum benar-benar menyadari kesalahan yang saya buat waktu itu. Tanpa sadar, hal itu saya ulangi kembali ketika saya begitu emosinya saat bereaksi terhadap komentar seorang simpatisan PKS yang menyebut saya menulis karena dibayar oleh 'Agen-agen Israel'.

Tapi, sentilan pelan 'Macan' teman saya di Leuser ini telah mengingatkan saya dan mengembalikan kejernihan di otak saya. Dan sayapun kemudian menyadari betapa dengan tulisan saya yang penuh emosi itu, dengan menyebutkan kata-kata "memisahkan kepala dan tubuhnya" tanpa saya sadari ternyata sayapun telah menjadi sama Fasis-nya dengan PKS yang saya cerca.

Sama seperti ketika saya dulu dengan mengedepankan emosi, saat saya merasa suku saya diperlakukan tidak adil oleh Jawa. Tanpa sadar dalam reaksi saya yang emosional waktu itu, sayapun telah bersikap tidak adil terhadap Jawa.

Mengutip apa yang tertulis dalam kata-kata di iklan A Mild beberapa tahun yang lalu "susah jadi manusia". Apa yang dikatakan oleh iklan itu memang benar adanya. Memang sulit sekali menjadi manusia.

Tulisan saya yang lalu yang saya baca kembali dengan pikiran yang jernih telah menyadarkan saya bahwa saya yang dengan keras mengecam sikap fasis dan marah besar saat menjadi korban fasisme, tanpa sadar ternyata juga menyimpan bibit-bibit fasis dalam diri saya.

Dan yang seperti itu mungkin bukan hanya saya yang mengalaminya, bisa jadi hal itu juga terjadi pada setiap diri kita . Saat kita begitu berlebihan membenci suatu hal, seringkali di saat bersamaan tanpa sadar kitapun menanggalkan pikiran jernih dan rasionalitas yang menjadi pelindung setia kita. Sehingga kitapun terjebak dalam sikap emosional yang berlebihan. Di saat itu terjadi, saat kita begitu larut dalam suasana kebencian itu, tanpa sadar kitapun telah berubah menjadi sesuatu yang kita benci itu sendiri.

Kenyataan ini telah pula menyadarkan saya tentang fakta bahwa betapa lemah dan betapa penuh kekurangannya manusia. Betapa sebagai manusia ternyata sehebat apapun kita berpikir tentang diri kita. Ternyata kita tetap butuh orang lain untuk mengingatkan. Agar kita tidak terperosok dalam lubang yang tidak kita lihat keberadaannya.

Dalam setiap langkah dan tindakan kita, ternyata kita tetap butuh orang lain dari luar, yang bisa dengan jernih melihat segala permasalahan kita tanpa ikut larut di dalamnya. Yang bisa menilai segala sesuatunya dengan segala kejernihan akalnya.

Dan akhirnya saya sangat bersyukur mendapati kenyataan bahwa ternyata di dunia ini saya benar-benar masih memiliki kawan, yang bukan hanya bisa menyanjung dan mendorong saya untuk meluapkan segala kemarahan. Yang pasti akan membawa saya ke jurang kehancuran. Saya bersyukur, karena saya masih punya seorang sahabat yang seperti keahliannya sebagai seorang 'Speleologist' handal, dalam situasi kritis bisa menarik saya dari emosi yang mendekati kegilaan kembali kepada kejernihan.

Terima kasih kawan...terima kasih Macan...

Wassalam

Win Wan Nur

2 komentar:

Abdul Mun'im Kholil mengatakan...

Alangkah indah bila kita saling menabur senyum dan cinta, Bukan kebencian dan cerca.

Boss Achmad bin Umar Basalamah mengatakan...

Salut buat Pak Win wan Nur....
Menyadari, mengakui dan memperbaiki kesalahannya sendiri...
Semoga saya dan kita semua punya kelapangan hati seperti ini.