Sebelum hari pelantikan Obama kemarin, saya membaca sebuah tulisan di facebook yang berisi nada pesimis yang ditulis di profil seorang temanku. Katanya " aku heran sama orang Indonesia yang begitu berharap dengan Obama, padahal padahal dalam hati Obama..Indonesia? sapa elu...:)".
Saya tidak sepakat dengan pendapat teman saya ini, karena menurut saya masa kecilnya di sini jelas meninggalkan pengalaman dan kesan kuat tentang negara ini bagi Obama. Terbukti dari apa yang dia tulis dalam bukunya, dia bercerita tentang Bali, Jakarta dan segala kenakalannya selama tinggal di sini. Apalagi waktu SBY menelpon untuk mengucapkan selamat saat dia resmi terpilih jadi Presiden, apa yang dikatakan Obama pada SBY?..."Gue kangen Nasi Goreng, Bakso dan Rambutan". Jadi jelas teman saya ini salah ketika dia mengatakan "begitu dia jadi Presiden mana dia ingat lagi Indonesia", karena faktanya adalah sebaliknya, Obama tidak pernah lupa Indonesia.
Terus apa implikasi dari kenangan pribadi masa kecil Obama ini terhadap posisi Indonesia di mata Amerika selama masa kepemimpinannya nanti?...Nah kalau ini pertanyaannya, baru jawabannya TIDAK ADA.
Amerika bukanlah tipe negara dakocan yang menjalankan politik luar negerinya berdasarkan pada perasaaan sentil mentil masa kecil presidennya. Sebagai sebuah negara, mereka sudah punya satu peta besar negara-negara yang dibagi dalam skala prioritas dalam menjalankan hubungan internasionalnya. Mulai dari negara yang paling penting seperti Israel, Irak dan Afghanistan sampai ke negara yang paling tidak penting sama sekali semacam Vanuatu dan Tonga.
Siapapun presiden Amerika, dalam mengambil setiap kebijakannya dia tidak akan bisa melepaskan pertimbangan kebijakan luar negerinya dari peta yang sudah ada ini. Secara garis besar, siapapun presiden Amerika, negara-negara yang dianggap teman, musuh sampai yang biasa saja oleh Amerika ya itu-itu saja. Tidak berubah.
Siapapun presidennya, musuh Amerika ya tetap Kuba, Iran dan Korea Utara. Temannya?...untuk di Asia tinggal kita lihat saja dimana Amerika menempatkan pangkalan-pangkalan militernya. Philipina, Korea Selatan dan Jepang. Kalau di Timur tengah ya jelas Israel. Siapapun presiden Amerika, kenyataan ini tidak akan bisa diubah karena kuatnya lobi Yahudi sebagai hasil kuatnya kontrol mereka atas ekonomi Amerika.
Biarpun mungkin secara pribadi seorang Presiden Amerika sangat benci Israel dan yahudi, tapi secara institusi adalah mustahil seorang presiden Amerika untuk mengubah secara ekstrim kebijakan nasional mereka yang pro negara Yahudi di Timur Tengah itu. Kalaupun ada perbedaan antara kebijakan antara satu presiden dengan presiden lain. Itu cuma masalah tingkatan keras dan lunaknya saja. Tapi secara garis besar yang namanya Amerika siapapun presidennya ya Pro Israel.
Untuk negara arab teman-teman Amerika ya bakalan tetap, Mesir, Arab Saudi, Kuwait sama Jordania. Iran dan Suriah dianggap lawannya. Sama Libya udah rada baikan.
Di Eropa jelas sama NATO, sama Rusia yang sekarang udah mulai lagi menyusun kekuatan pasca bubarnya Uni Sovyet, Amerika juga mulai hati-hati dan nggak mau salah perhitungan.
Untuk mengamati pola kebijakan luar negeri Amerika, perlu kita tahu pula kalau Amerika ini adalah sebuah negara yang dijalankan dengan pemikiran filsafat Pragmatisme hasil pemikiran William James dan kawan-kawan. Pragmatis sendiri kurang lebih berarti hanya melakukan apa yang menguntungkan diri sendiri saja. Biarpun di kalangan kaum filsuf, filsafat yang dianut Amerika ini dicibir dan dihina kanan kiri dibilang kampungan lah atau dibilang sebagai pemikiran yang 'menaruh otak di bokong' lah dan dan lain sebagainya. Tapi apa boleh buat, faktanya dengan filsafat kampungan inilah Amerika menguasai dunia.
Dengan semua paparan saya di atas, kalau mau melihat posisi Indonesia di mata Amerika, kita tidak perlu melihat siapa yang menjadi presiden di sana. Karena siapapun presidennya kebijakan luar negeri yang dia ambil tidak akan bisa dilepaskan dari cara pandang Amerika yang seperti yang saya gambarkan itu.
Jadi untuk melihat apa seberapa berartinya Indonesia di mata Amerika, bukan dengan melihat fakta bahwa di masa kecilnya Obama pernah tinggal di Jakarta, melainkan dengan melihat apa untungnya keberadaan Indonesia bagi kepentingan nasional Amerika. Cara pandang yang sama juga berlaku buat Kenya, negara asal Bapak kandung Barack Obama.
Sebagai sekutu misalnya, seperti yang saya katakan, untuk kawasan ini secara tradisional Amerika itu kawan dekatnya ya Australia, Philipina, Korea Selatan dan Jepang.
Memang kalau dilihat dari posisi geografis, posisi Indonesia yang terletak di antara dua samudra dan dua benua ini sangat strategis baik untuk militer apalagi ekonomi. Tapi seperti yang saya katakan di atas tadi, untuk kepentingan militer dalam memanfaatkan posisi strategis kawasan ini Amerika berpartner dengan Philipina. Untuk ekonomi? siapa di kawasan ini yang dianggap paling penting oleh Amerika?...ya Singapura.
Kenapa Singapura?...itu karena meskipun Singapura itu negara kecil yang bahkan bisa tenggelam cukup dengan kita ludahi saja dan orangnyapun berbicara dengan logat bicara yang jauh lebih jelek dibandingkan logat kita. Tapi negara kecil dengan orang-orang berlogat jelek inilah yang secara empiris bisa memanfaatkan segala keuntungan ekonomi dari strategisnya posisi geografis nusantara ini.
Singapura yang baru 9 Agustus 1965 memerdekakan diri dari Malaysia ini adalah tempat transit paling penting dalam jalur laut dan penerbangan di kawasan Asia Tenggara. Untuk jalur laut malah bisa dikatakan sebagai salah satu tempat transit terpenting di dunia, mengingat Selat Malaka adalah jalur laut tersibuk di dunia.
Sementara Indonesia adalah sebuah nama yang dikenal sebagai negara yang gemar menyia-nyiakan seluruh potensi yang dia punya. Ya potensi alam, potensi melimpahnya penduduk yang seharusnya bisa diolah menjadi pasar yang sangat strategis, dan terutama potensi letak geografisnya yang luar biasa strategis itu.
Mentalitas pengelola negara ini rata-rata seperti Kosasih Bakar, Ceh amatiran yang secara genetik berasal dari Gayo, sama dengan saya. Pengelola negara ini bisa dikatakan adalah sekumpulan ahli yang sangat ahli mencari alasan. Seperti Kosasih Bakar yang ketika saya katakan, andai 30 Tahun yang lalu kita seperti Cina atau Korea selatan yang benar-benar membangun kekuatan hingga sekarang sudah setara eropa dan Cina bahkan Amerikapun bergetar dibuatnya. Yang pertama kali terpikir di kepalanya saat saya mengatakan itu adalah apa yang dipunyai negara-negara yang saya sebutkan tadi tapi tidak dipunyai negara ini...Oh Cina itu tidak dapat disamakan dengan kita, mereka komunis bisa maju karena buruh dibayar murah, Korea itu dibiayai IMF dari awalnya. Indonesia tidak punya itu semua dan dengan alasan seperti itu selesailah semua masalahnya. Ketertinggalan Indonesia sudah bisa dimaklumi.
Seperti Kosasih Bakar, di kepala pengelola negara ini tidak pernah muncul apa yang tidak dipunyai Korea dan Cina tapi bisa ditemukan melimpah di negara ini, misalnya negara ini punya potensi pertanian sedemikian besarnya, garis pantai yang sedemikian panjangnya, posisi geografis yang sedemikian strategisnya dan pasar domestik yang sedemikian besarnya (sekarang ada dalam taraf wacana ditawarkan oleh beberapa partai peserta pemilu, tapi saya sendiri tidak tahu persis seperti apa konsep matang mereka).
Konsekwensi dari mentalitas seperti ini apa?, tidak muncul inisiatif melobi ICAA misalnya untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat transit pesawat udara yang melintasi Amerika menuju Eropa dan sebaliknya, Eropa menuju Australia, Timur Jauh menuju Timur Tengah. Tidak ada inisiatif untuk membangun sebuah pelabuhan transit besar di Banda Aceh yang terletak tepat di mulut Selat Malaka. Akibatnya apa?...Semua potensi besar itu akhirnya dimakan habis oleh Singapura.
Sehingga seperti yang saya gambarkan di atas, di kawasan ini, Singapura, negara kecil dengan orang-orang berlogat jelek itulah yang mengambil segala manfaat dari semua keuntungan itu, kita cukup makan ampasnya saja.
Selain potensi geografis, kita juga masih banyak punya potensi lain, diantaranya Hutan, Perikanan dan Pertambangan. Tapi karena kita punya banyak potensi seperti itu dan negara ini adalah negara yang murah hati pula. Sehingga potensi hutan dimakan sama Malaysia, potensi perikanan dimakan sama Thailand dan potensi pertambangan dimakan sama Amerika.
Karena kita cuma bisa mencari-cari apa yang dipunyai oleh orang lain, bukan apa yang kita punya, jadilah tidak dapat memanfaatkan segala potensi kita, akibatnya sejak 30 tahun yang lalu sampai sekarang, kita ya begini-begini saja. Tidak dipandang dalam pergaulan dunia, tidak terlalu serius dianggap oleh bangsa-bangsa lain bahkan dipandang sebelah mata oleh negara sesama Melayu, Malaysia atau Singapura, negara yang cuma sekecil upil kalau dibandingkan dengan kita.
Dengan cara pandang ini jelas kita bisa melihat kalau Indonesia di mata Amerika adalah negara yang biasa-biasa saja. Bukan negara yang terlalu penting buat dirangkul, bukan juga buat dijauhi. Alasannya tidak ada yang terlalu penting di Indonesia ini untuk menjadikannya sebagai pusat perhatian Amerika dalam arti positif seperti Singapura atau dalam arti negatif seperti Myanmar misalnya.
Kalau kita buat peta yang lebih jelas, untuk kawasan Asia tenggara. Negara-negara mana saja yang dianggap penting oleh Amerika. Maka kita akan melihat kalau yang dianggap penting oleh Amerika secara militer adalah Philipina dan Australia, kalau secara ekonomi ya Singapura. Lalu dalam peta yang sama akan kita lihat skala prioritas kebijakan luar negeri Amerika di kawasan ini, secara positif posisi Indonesia juga masih di bawah Thailand, Vietnam dan Malaysia. Tapi Masih di atas Brunei, Laos dan Kamboja dan jauh di atas Myanmar yang junta militernya dimusuhi Amerika yang sebaliknya kalau secara dilihat secara negatif, bisa jadi merupakan salah satu prioritas hubungan luar negeri mereka di kawasan ini.
Di Asia, secara umum yang belakangan menjadi perhatian Amerika dan dianggap strategis untuk ditingkatkan hubungan luar negerinya, jelas Cina dan India yang belakangan ini sangat luar biasa pertumbuhan ekonominya yang didukung jumlah penduduk dengan skala raksasa.
Siapapun yang menjadi Presiden Amerika, prioritas kebijakan luar negeri negara itu tidak akan jauh bergeser dari faktor-faktor yang saya sebutkan itu. Jadi, meskipun mungkin ada sedikit pengaruhnya, tapi adalah tidak relevan mengaitkan masa kecil Obama di Jakarta dengan potensi peningkatan hubungan luar negeri antara Indonesia dan USA secara drastis.
Tapi meskipun terpilihnya Obama sebagai Presiden Amerika tidak akan berpengaruh terlalu signifikan terhadap peningkatan hubungan luar negeri Indonesia-Amerika. Seharusnya orang Indonesia mesti berbesar hati dan berbangga dengan terpilihnya Obama. Karena dengan keberadaannya sekarang sebagai Presiden Amerika. Orang-orang sedunia jadi tahu kalau Bali adalah sebuah bagian dari Indonesia, bukan sebaliknya.
Tapi bagi siapa saja yang dulu sangat bersemangat mendukung Obama di saat pemilihannya, yang berharap dengan terpilihnya dia akan ada perubahan drastis kebijakan Amerika atas Israel-Palestina. Saran saya, sekarang anda sudah boleh menyiapkan beberapa keranjang yang berisi segala macam variasi kata makian baru.
Ini sangat perlu anda siapkan sebab sebentar lagi anda akan segera bosan dengan variasi makian yang itu-itu saja karena dalam waktu-waktu ke depan, kata-kata itu akan banyak sekali anda gunakan. Cacian terhadap Amerika dan presidennya nantinya akan tetap sama saja, tapi dengan mengganti kata 'Bush' yang delapan tahun belakangan ini sangat familiar di telinga kita dengan kata 'OBAMA' tentunya.
Wassalam
Win Wan Nur
Ketua Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar