Singapura adalah sebuah negara yang sangat teratur, sebuah antitesis bahwa kemajuan demokrasi berbanding lurus dengan kemakmuran rakyat. Singapura, negara paling modern di Asia Tenggara ini adalah negara yang pemerintahnya sangat otoriter dan sangat ketat mengatur perilaku warganya. Tidak ada yang namanya demokrasi di negara ini. Dengan ketiadaan demokrasi ini tapi pemerintahan dipegang oleh orang yang tepat. Singapura justru maju pesat di bidang ekonomi.
Ada banyak hal yang aku kagumi dari Singapura tapi ada pula hal yang sangat kubenci. Yang paling kubenci dari Singapura adalah "Singlish" alias "Singaporean English". Bahasa Inggris dialek melayu yang dipakai sehari-hari oleh penduduk Singapura di negaranya ini benar-benar membuat aku sakit kuping setiap kali aku mendengarnya.
Jika "Singlish" yang mengucapkan bahasa Inggris dengan dialek melayu itu saja terdengar sangat mengganggu apalagi bahasa Melayu Logat Jakarta yang diberbagai pembicaraan pengucapnya sering menyelipkan berbagai kata-kata bahasa Inggris yang tidak penting. Sialnya logat bahasa yang membuat pusing inilah yang seringkali harus saya hadapi dalam tahun-tahun belakangan ini. Yang membuat aku pusing mendengar bahasa melayu campur ingris yang diselipkan secara serampangan ini adalah kata-kata bahasa Inggris yang mereka selipkan ke dalam bahasa yang mereka ucapkan itu sebenarnya sangat mudah ditemukan padanannya dalam bahasa Melayu versi Indonesia dan dengan menggunakan versi melayunya justru kalimat yang mereka ucapkan lebih mudah dimengerti karena lebih tepat digunakan dalam konteks yang mereka maksud saat berbicara.
Di Jakarta, entah kenapa orang suka sekali mencampurkan bahasa inggris amburadul itu ke dalam bahasa melayu yang mereka pergunakan sehari-hari. Kata-kata semacam "which is", "reckon" dan lain sebagainya sengaja disisipkan dalam setiap ucapan mereka dan aku melihat sepertinya mereka begitu bangga dengan mengucapkan bahasa yang amburadul itu. Ada rasa minder di kalangan anak-anak Jakarta kalau bahasa yang mereka gunakan dalam bergaul tidak seperti itu.
Tanpa perlu penjelasan yang njlimet dari seorang ahli antropologi jempolan. Kita dapat menyimpulkan kalau fenomena ini muncul tidak lain adalah karena 'mentalitas inlander' yang sedemikian kuatnya mengakar dalam diri orang-orang Jakarta. Orang dengan 'mentalitas inlander' ini memandang barat sebagai sebuah peradaban super yang tak tertandingi sehingga bagi mereka bisa mirip sedikit saja dengan orang baratpun sudah menjadi sebuah kebanggaan. Dalam masyarakat yang memiliki mentalitas yang menyedihkan seperti ini orang yang berbahasa melayu dengan baik justru dilecehkan karena dianggap kampungan.
Biasanya aku selalu menghindar jika bertemu dengan lawan bicara yang bahasanya aneh seperti itu. Tapi ketika aku akhirnya benar-benar berdomisili di Jakarta dan aku mulai masuk ke dalam atmosfer dan suasana pergaulannya, aku tidak bisa menghindar lagi. Kupingku mau tidak mau terpaksa harus menerima siksaan setiap kali aku dan seringkali bersama keluargaku pergi ke mall-mall yang bertebaran di setiap sudut Jakarta. Secara di Jakarta hampir tidak ada tempat rekreasi lain selain mall. Frekwensi kunjunganku ke mall-mall ini cukup sering juga.
Jadi ketika sedang berada di Kelapa Gading, PS atau Citos misalnya. Kupingku tidak bisa menghindar dari mendengarkan percakapan antar ABG dan Eksmud yang nongkrong di satu sudut kedai kopi. Percakapan yang mereka lakukan itu tentu saja mempergunakan bahasa melayu yang dicampur secara tidak bertanggung jawab dengan bahasa Inggris yang amburadul seperti yang aku sebutkan tadi. Sebegitu parahnya fenomena ini sampai aku sempat berpikir kalau orang-orang Jakarta ini memang sudah tidak tertolong lagi.
Tapi beberapa tahun yang silam, secara tiba-tiba muncullah Cinta Laura. Seorang gadis indo yang beribu sunda (kalau tidak salah) dan berayah Jerman . Cinta yang masih muda belia ini hadir di jagat hiburan Indonesia dengan mentalitas khas Indo-nya yang sejak zamannya Mingke (tokoh utama dalam tetralogi pulau burunya Prameodya) dulu memang sudah sangat memuakkan.
Cinta Laura yang sampai hari ini tidak pernah aku pahami di mana letak keindahan dalam estetika bentuk wajahnya yang berahang persegi dan berbibir monyong dengan mimik wajah menggoda seolah minta ditabok itu muncul dengan bahasa melayu berlogat barat yang berlebihan dan Norak. Sebegitu berlebihan dan noraknya sampai betul-betul ingin membuat muntah orang yang mendengarkannya.
Gaya berbicara Cinta Laura yang bikin mual itu kontan mendapat cibiran dimana-mana. Ucapan terkenalnya "hujan...becek...nggak ada ojek", langsung jadi bahan olok-olok secara nasional, bahkan sampai jadikan musik dan dijadikan nada dering segala.
Aku sempat bingung menyaksikan fenomena Cinta Laura yang dijadikan bahan olok-olok nasional ini. Orang-orang tampak sangat geram dan gregetan menyaksikan dan mendengarkannya berbicara. Dalam beberapa komentar yang saya dengar kalau mereka tidak suka dengan logat bicara Cinta laura karena dia merusak bahasa nasional. Aku bingung karena yang mengolok-olok dan yang paling terlihat geram saat menghujat Cinta Laura itu kebanyakan justru adalah orang Jakarta yang bahasa melayunya amburadul juga. Aku sama sekali tidak paham dengan fenomena ini sampai satu saat istriku menjelaskan melalui pandangnya.
Menurut istriku, Cinta Laura diolok-olok dan dihujat sedemikian parahnya oleh orang Jakarta sebenarnya bukan karena orang-orang Jakarta itu tidak rela bahasa nasional dirusak. Tapi mereka membenci Cinta Laura karena akibat bahasa melayu aksen baratnya yang sangat norak dan berlebihan itu. Bahasa melayu amburadul kebanggaan orang Jakarta, bahasa kebanggaan yang mereka ucapkan sehari-hari yang membuat mereka sedikit terlihat mirip orang barat tiba-tiba terlihat tidak keren lagi.
Entah karena terpengaruh pandangan istriku atau memang faktanya demikian. Ketika terakhir kali aku ke Kino Kuniya di PS. Saat iseng-iseng kudengarkan orang sekelilingku berbicara, memang frekwensi penggunaan kata-kata Bahasa Inggris yang amburadul dalam bahasa mereka cukup banyak berkurang.
Kenapa ini bisa terjadi?...Jawabnya CINTA LAURA!!!...Berkat si gadis indo yang masih belia ini sekarang kupingku tidak terlalu sakit lagi mendengarkan celotehan bahasa melayu sok gaul yang biasa diucapkan anak-anak Jakarta.
Jadi meskipun banyak orang menghujatnya, menyebutnya perusak bahasa nasional dan lain sebagainya bagiku Cinta Laura yang memiliki rahang persegi dan berbibir monyong ini adalah PAHLAWAN.
Wassalam
Win Wan Nur
Kamis, 08 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar