Jumat, 16 Januari 2009

Laki-laki paling bahagia di Dunia dan 'petite Amie'-nya

Kalau saat ini ada sebuah lembaga semacam Miss Universe mengadakan pemilihan laki-laki yang paling berbahagia di dunia. Aku yakin aku akan termasuk menjadi salah satu kandidat kuat pemenangnya.

Bagaimana tidak, saat ini di umurku yang menjelang 35 ini aku sudah mendapatkan segala aspek puncak kebahagiaan yang mungkin bisa diberikan Tuhan kepada makhluknya.

Aku memiliki seorang anak yang sedemikian sempurna. Sesempurna-sempurnanya seorang anak yang bisa dibayangkan oleh orang tua manapun, cantik, pintar, lucu dan yang paling penting sangat menyayangi aku bapaknya.

Istri juga demikian, meskipun menurut banyak orang yang pernah lama mengenalku dan juga menurutku dan juga menurut istriku sendiri, secara fisik istriku tidaklah secantik dan semenarik perempuan-perempuan lain yang dulu pernah dekat denganku. Tapi istriku yang sangat tidak menguasai urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan menyetrika ini adalah sesempurna-sempurnanya seorang istri yang mungkin bisa diberikan Tuhan untukku.

Aku merasa istriku demikian sempurna karena hanya bersama istri yang sekaligus sahabat terbaik yang pernah kupunya inilah aku bisa merasa bebas, sebebas-bebasnya. Aku merasa kalau aku dan istriku seperti dua tubuh yang memiliki satu jiwa.

Aku sama sekali tidak pernah merahasiakan apapun pada istriku. Dia juga tidak pernah merasa harus menyembunyikan sesuatu padaku. Kadang naluri hewaniah dalam diriku membuat aku birahi melihat perempuan lain yang tidak bisa aku tolak daya tarik seksualnya yang seringkali memang secara provokatif sengaja dipamerkan untuk menyiksa laki-laki normal yang melihatnya.

Kalau itu terjadi padaku, aku sama sekali tidak segan untuk mengatakannya pada istriku, dan istrikupun menanggapinya tanpa sedikitpun merasa cemburu, karena dia memang memahami naluri itu dan diapun tahu persis naluri manusiawi tetap lebih dominan dan lebih berkuasa dibandingkan naluri hewaniah dalam diriku.

Dia bahkan tahu saat aku masih memiliki perasaan khusus terhadap mantan pacarku. Dan begitu juga sebaliknya. Maka ketika tidak setitik pun aku rahasiakan padanya, aku merasa hidup tanpa beban, tanpa tekanan. Hanya ada cinta kasih tanpa tuntutan dan tanpa mengharap imbalan.

Betapa banyak pasangan menikah bagaikan air dan minyak dalam satu gelas, sebagian pasangan menikah seperti air dan pasir dalam gelas, tetapi hanya sedikit pasangan menikah seperti air dan gula. Menyatu dan larut sepenuhnya. Tidak ada lagi “aku” dan “kamu”, tetapi hanya ada “kita”. Seperti aku dan istriku, kami adalah jenis pasangan yang terakhir.

Sehingga begitulah, di umurku yang menjelang 35 ini bagiku hidup terasa begitu lega, bebas dan lepas. Badan terasa ringan dan jiwa terasa lapang.

Tapi itu semua tidak kudapatkan secara instant, semua berawal dari kegagalan yang disusul kegagalan demi kegagalan yang tidak sanggup lagi kuhitung jumlahnya.

Kalau mau diurut-urutkan, semua kebahagiaan yang kudapatkan sekarang bisa jadi berawal dari Bioskop Gajah di Banda Aceh 13 tahun yang lalu. Ketika itu aku yang baru pulang dari sebuah ekspedisi pendakian gunung. Saat itu pertama kalinya aku bertemu seorang perempuan yang saat pertama kali melihatnya saja langsung membuatku marasakan rasa hangat dalam hatiku.

Saat itu aku sama sekali tidak tahu dimana letak ke istimewaan perempuan itu sehingga membuat aku sedemikian tertarik dan terseret oleh pesonanya. Dia memang cantik, tapi kalau diperhatikan dengan seksama, meskipun cantik tapi dia tidak lebih cantik dibanding banyak perempuan lain yang pernah kukenal.

Saat pertama kulihat, dia memakai baju kuning dan memakai topi bisbol berwarna pink untuk menutupi kepalanya. Umurnya waktu itu baru menjelang 17 tahun. Kulitnya putih, tubuhnya tidak terlalu tinggi untuk ukuran perempuan Aceh dan rambutnya dipotong pendek, lebih pendek dari rambutku yang gondrong sebahu. Entah di bagian mana, wajahnya mengingatkanku pada Agnes Monica penyanyi cilik yang memandu acara Tralala trilili yang saat itu menjadi idola kami bersama di Leuser, kelompok pecinta alam Unsyiah dimana aku merupakan salah satu anggotanya.

Tapi sepertinya yang paling kusuka dari seluruh penampilannya saat itu adalah wajahnya yang sama sekali bersih dari make-up sehingga dia tampak begitu alami, meskipun di wajah putihnya saat itu dihiasi beberapa bekas jerawat, dia tidak berusaha menutupinya. Aku sangat senang ketika dia menyambut dengan ramah saat aku mencoba mengajaknya bicara. Sesudah itu yang terjadi adalah kejadian standar saat laki-laki tertarik pada perempuan pujaannya. Aku minta nomer telponnya.

Saat aku minta nomer telponnya, waktu itu sebenarnya aku sama sekali tidak berharap dia mau meberikannya. Tapi ketika ternyata dia memberikannya aku begitu gembira meskipun aku tidak begitu yakin kalau nomer yang dia berikan itu benar-benar nomer teleponnya. Ketidak yakinanku ini didasari oleh pengalaman teman-temanku yang lebih fasih berurusan dengan perempuan. Ketika itu di Banda Aceh, saat seorang perempuan yang baru dikenal memberikan nomer telepon. Seringkali yang dia berikan bukan nomer telepon rumahnya. Tapi nomer telepon pemadam kebakaran atau rumah sakit jiwa.

Meskipun tidak yakin, malamnya aku tetap menelpon nomer yang diberikannya, menggunakan fasilitas gratis pesawat telepon di kantor SMPT alias Senat Mahasiswa. Dan aku betul-betul terlonjak gembira saat mengetahui ternyata nomer telepon yang dia berikan itu benar-benar nomer telepon rumahnya.

Sejak saat itu, aku tidak tahu dan tidak merasa perlu tahu kenapa. Secara naluriah aku merasa tertantang untuk berusaha terus ‘memburunya’. Dalam proses perburuan yang panjang itu kamipun menjadi akrab. Tapi setiap kali aku mencoba membujuk dan merayunya untuk kujadikan pacarku, aku selalu ditolaknya. Begitu sering aku ditolaknya sampai aku lupa sudah berapa kali aku mencoba. Tapi entah kenapa setiap penolakannya itu tidak pernah sampai membuatku merasa hampa. Tiap kali aku pulang dari perjalanan atau ekspedisi ke luar daerah aku selalu rindu untuk menemuinya .

Sampai 3 tahun kemudian entah terjadi keajaiban apa, di lapangan bola di samping gelanggang mahasiswa Unsyiah di acara Turnamen Sepk Bola tahunan Fakultas Teknik, Piston Cup. Saat aku masih berkeringat sehabis bermain bola sebagai penjaga gawang di tim Sipil 92. Tanpa angin tanpa hujan sebelumnya, tiba-tiba dia mengatakan mau menerimaku sebagai pacarnya. Saat itu aku begitu gembira, serasa melambung di udara dan merasa seluruh planet bumi dan segala isinya ini diciptakan oleh Tuhan khusus hanya untuk Win Wan Nur seorang saja.

Tapi apa yang tidak kusadari saat itu bahwa ternyata kejaiban yang kudapatkan itu adalah awal dari bencana. Aku yang seumur-umur baru pertama kali dekat dengan perempuan ternyata benar-benar belum siap untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengannya.

Sejak kami pacaran entah kenapa tingkahku di hadapannya tiba-tiba menjadi aneh. Tidak seperti sebelumnya yang apa adanya. Saat kami benar-benar pacaran entah kenapa aku tidak bisa lagi menampilkan diriku seperti diriku yang pernah dikenalnya.

Mungkin karena terlalu gembira, mungkin karena terlalu takut kehilangan dia. Yang terjadi saat kami pacaran adalah aku selalu berusaha menyenangkannya. Aku seperti kehilangan jati diriku. Tanpa bisa kucegah dan kurencanakan, sejak kami pacaran entah kenapa diriku yang selalu kutampilkan di depannya adalah diriku yang secara ‘artifisial’ kubuat supaya terlihat sempurna. Sikapku yang aneh tapi nyata itu membuatnya merasa tidak merasa nyaman dan kepadaku diapun menyatakan ketidak nyamanannya.

Aku merenung dan berusaha berubah dan mencoba kembali seperti biasa, sesekali mengkritiknya. Tapi sialnya karena mungkin dibawah tekanan. Saat mengkritikpun aku melakukannya tidak pada tempatnya, sehingga bukannya membantu dia malah merasa terhina karena dia merasa aku merendahkannya. Dia marah besar dan hubungan kamipun hancur sehancur-hancurnya.

Waktu itulah aku merasakan apa yang namanya hampa, sore itu juga aku mengambil ransel dan peralatan mendaki gunungku dan berangkat seorang diri ke Goh Leumo. Duduk sendirian di puncak tugu trianggulasinya menatapi bintang yang jutaan tahun cahaya jaraknya. Saat itu aku merasa seolah tidak ada seorangpun di dunia ini kecuali aku sendiri yang merasa hampa.

Tapi kehampaan yang kurasakan waktu itu ternyata baru tahap awal dan perkenalan saja. Mungkin entah karena dia merasa hampa juga, sepertinya dia ingin kembali juga. Sepertinya karena ingin membuatku cemburu dia menyatakan kekagumannya pada seorang temanku yang juga dikenalnya. Kebetulan temanku ini yang tidak tahu kami pacaran juga suka padanya. Bukannya cemburu atau malah karena aku lagi-lagi ingin menyenangkannya, aku malah memberikan nomer telponnya pada temanku itu dan apa yang kulakukan itu kembali memantik kemarahannya.

Berdasarkan pengalaman itu, lalu akupun menanamkan sebuah keyakinan yang kubuat sendiri di kepalaku kalau dia memang sama sekali tidak cocok untukku. Aku benar-benar mempercayai keyakinan itu. Suatu ketika dia mengatakan pada seorang teman dekatku kalau dia ingin kembali menjalin hubungan denganku. Tapi karena kepercayaan yang sudah kutanamkan di kepalaku, dengan menahan perasaan sakit di hati aku menolaknya.

Kehampaan yang sebenarnya datang saat suatu ketika dia menemukan orang lain yang benar-benar bisa menjadi tambatan jiwanya yang bisa dia mengerti dan bisa mengerti dirinya. Mereka pacaran dan tidak lama kemudian menikah. Saat itulah aku merasakan hampa yang sebenar-benarnya hampa. Bagiku saat itu dunia terasa hampa secara permanen, bahkan aku sempat merasa hidupku selanjutnya sudah tidak ada lagi gunanya. Setiap saat menyaksikan kemesraan mereka berdua, jantungku serasa seperti direnggut paksa secara kasar keluar dari tempatnya.

Saat itu aku punya seorang teman asal Canada, bukan hanya teman tapi sudah seperti abangku sendiri. Dialah yang saat itu selalu menyemangatiku dan menunjukkanku banyak hal yang menarik di dunia.

Lalu akupun mulai mencoba menjalin hubungan dengan perempuan lain. Dalam menjalin hubungan, berbagai jenis dan tipe perempuan sudah kucoba. Mulai dari perempuan Gayo sampai perempuan mancanegara. Aku pernah mencoba menjalin hubungan dengan segala tipe perempuan yang menjadi impian laki-laki kebanyakan. Mulai dari yang cantik dan menarik secara fisik, yang pintar masak dan fasih mengerjakan segala urusan rumah tangga. Sampai yang sangat alim dan mengerti agama yang menutup rapat dengan jilbab bukan hanya aurat tapi seluruh tubuhnya. Bahkan ada yang merupakan perpaduan dari semuanya. Tapi entah kenapa tidak satupun dari perempuan-perempuan itu yang bisa membuatku merasakan kehangatan yang sama seperti yang aku rasakan pada pacarku yang pertama.

Aku sempat merasa frustasi dan sempat merasa ada yang tidak normal dalam diriku sampai suatu waktu secara tidak disengaja aku bertemu seorang perempuan. Mahasiswi di HI Unpar, seorang penyiar yang sekaligus menjadi Music Director di SKY FM, sebuah stasiun radio swasta dengan segmen perempuan kelas menengah di Bandung sana.

Saat bertemu dan berbincang dengannya, aku langsung merasakan kehangatan yang sama seperti yang kurasakan di Bioskop Gajah di Banda Aceh 8 tahun sebelumnya. Cukup tiga bulan mengenalnya, aku langsung melamarnya dan mengajaknya menikah dan diapun tidak menolaknya. Sehingga jadilah dia Istriku yang sekarang juga menjadi ibu Matahari Kecilku.

Sampai detik ini aku merasa bahwa keputusanku mangajaknya menikah waktu itu adalah keputusan terbaik yang pernah kuambil sepanjang hidupku.

Selama ini aku tidak pernah tahu, kenapa tidak pada perempuan lain tapi justru pada perempuan yang sekarang menjadi istriku aku bisa merasakan kehangatan seperti yang kurasakan pada pacar pertamaku dulu. Aku tidak paham dan tidak pernah peduli kenapa, aku cukup menikmatinya saja.

Aku baru paham setelah aku kembali ke Banda Aceh beberapa waktu yang lalu. Saat itu aku bertemu pacar pertamaku, bukan bertemu sebenarnya, tapi hanya melihat sekilas dan diapun melihatku tanpa sempat bicara.

Saat melihatnya kembali setelah sekian lama. Aku baru menyadari betapa mirip dia dengan istriku. Bukan secara fisik tapi Jiwa. Kedua orang yang aku cintai ini adalah orang yang sangat apa adanya. Tidak ber make-up yang berguna untuk menutupi keburukan wajahnya. Saat melihatnya aku baru menyadari kalau dia dan istriku, mereka berdua adalah perempuan yang jujur pada diri dan pasangannya. Keduanya adalah jenis perempuan yang tidak merasa perlu menyembunyikan sisi negatif dirinya. Entah itu melalui make-up ataupun melalui sikap artifisial yang dibuat bagaikan abdi dalem keraton Jawa.

Saat melihatnya itu pula aku baru menyadari kalau ternyata aku bukanlah tipe laki-laki yang cukup merasa puas dan bahagia hanya dengan kenikmatan hedonis semata. Ternyata aku adalah tipe laki-laki yang baru bisa puas dan bahagia setelah menemukan tambatan jiwa.

Dan kenapa aku baru bisa menemukan tambatan Jiwa pada diri istriku. Jawabnya adalah itu karena di dunia ini memang hanya ada dua perempuan yang punya segala syarat untuk menjadi tambatan jiwaku. Pacar pertamaku dan yang kedua tentu saja istriku.

Karena itulah meski begitu banyak perempuan dengan segala kelebihan dan keindahan fisiknya yang hadir dalam perjalanan dan petualangan hidupku tapi hanya dua yang benar-benar pernah menjadi ‘Petite Amie’ ku. Petite Amie, kata pacar dalam bahasa Perancis yang secara harfiah berarti teman kecil. Teman yang sebegitu kecilnya hingga bisa masuk dan bersemayam di hati.

‘Petite Amie’ yang menjadi istriku hidup bahagia menjalani hidupnya dan berbagi jiwanya denganku. Dan satu hal yang membuatku hari ini sangat-sangat bahagia. Waktu di Banda Aceh kemarin, saat aku sekilas melihat ‘Petite Amie’-ku yang lain. Yang kulihat di wajahnya saat itu adalah dia begitu bahagia, sama seperti diriku. Aku melihat saat ini diapun benar-benar telah menemukan dan akan menghabiskan hidup bersama belahan jiwanya.

Karena itulah kalau sekarang ada pemilihan Laki-laki paling berbahagia di dunia, mungkin terlalu optimis kalau kukatakan aku akan menjadi juaranya. Tapi bukan mau narsis kalau kukatakan aku pasti ada dalam sepuluh besar Laki-laki paling berbahagia di antara hampir 3 milyar laki-laki penghuni planet yang sedang bermasalah dengan kenaikan suhu rata-ratanya ini.

Wassalam

Win Wan Nur
Pria Paling Bahagia di Dunia

Tidak ada komentar: