Rabu, 14 Januari 2009

Norma di Masyarakat Aceh dan Moralitas SELANGKANGAN

Setelah beberapa hari tidak pernah mengakses internet, saya sama sekali tidak tahu perkembangan yang terjadi di milis-milis yang saya ikuti. Hari ini saya kembali mengakses dan membaca pelbagai diskusi di milis-milis tersebut. Dari sekian banyak yang saya baca, saya sangat tertarik membaca sebuah tulisan di milis Arigayo. Tulisan tersebut adalah tulisan seorang teman yang menanggapi tulisan saya beberapa hari yang lalu yang saya beri judul 'Ukuran Moral di Negeri Pengusung Syari'at Islam' yang menyoroti penjualan lahan Panti Asuhan Budi Luhur oleh Bupati Aceh Tengah Ir.Nasaruddin, MM. Saat kejadian penjualan lahan panti asuhan oleh bupati seperti yang saya tulis dalam tulisan saya itu terjadi, teman saya ini kebetulan bekerja sebagai staf di BRR Takengen

Dalam tulisannya tersebut, si teman ini menyatakan penyesalannya atas ketidak tahuannya dan ketiadaan reaksinya terhadap masalah penjualan lahan panti asuhan itu. Padahal saat itu terjadi dia berada di kota yang sama dengan tempat kejadian. Atas pernyataan penyesalan si teman tersebut saya menjawab seperti di bawah ini :

Ketidak tahuan anda itu sama sekali tidak mengherankan bu...ketidak tahuan anda itu adalah cerminan moralitas masyarakat kita. Gayo secara khusus dan Aceh secara umum.

Masyarakat kita adalah sebuah masyarakat yang menempatkan norma dan ukuran moralitas dengan berfokus pada SELANGKANGAN. Dalam masyarakat kita ini hanya urusan selangkanganlah yang bisa dengan cepat mendapat perhatian, menggugah emosi dan kemarahan massa. Seorang warga biasa atau seorang pejabat dalam masyarakat kita yang seperti ini akan dikatakan tidak bermoral jika dan hanya jika si warga biasa atau pejabat itu bermasalah dengan SELANGKANGANNYA.

Bagi masyarakat kita yang menempatkan moralitas di SELANGKANGAN, urusan pembantu yang disiksa majikannya, suami yang menyiksa istrinya, orang tua yang menyiksa anaknya bukanlah termasuk kategori melanggar aturan moral. Hal-hal seperti itu dianggap adalah urusan pribadi yang bersangkutan, baik itu urusan pribadi dengan hukum maupun urusan pribadi dengan Tuhan. Jika tetangga kita melakukan hal-hal seperti yang saya sebutkan di atas. Maka kita sebagai tetangga merasa hal itu adalah urusan pribadi tetangga kita tersebut. Karena negara kita adalah negara hukum, maka jika hal seperti itu terjadi kita cukup menyerahkan penyelesaian masalahnya kepada hukum yang berlaku. Dan karena kita juga adalah orang-orang yang beragama Islam dan sangat percaya pada keadilan Tuhan, maka kitapun sudah cukup puas dengan menyerahkan penyelesaian masalah tetangga kita itu kepada keputusan Tuhan yang maha adil di akhirat kelak.

Berbeda halnya jika kita menemui satu saja anggota masyarakat kita, orang yang berlainan jenis dan bukan muhrim berduaan di tempat sunyi. Saat itu juga, tanpa perlu penjelasan detail. Informasi seperti itu akan segera menyulut kemarahan kita dan orang sekampung. Urusan berkhalwat adalah urusan SELANGKANGAN. Sehingga dengan sendirinya menjadi urusan seluruh warga. Khalwat apalagi zina adalah aib besar yang akan membuat wajah setiap warga di kampung-kampung kita merasa tercoreng. Tidak perduli kapan waktu kejadiannya, entah itu siang, malam, pagi, sore bahkan dini hari. Ketika urusan moralitas a.k.a SELANGKANGAN ini terjadi. Detik itu juga setiap warga akan tersulut emosinya dan segera bergerak detik itu juga untuk menangkap orang yang dituduh berkhalwat tersebut.

Menangkap pasangan berkhalwat itu sedemikian pentingnya karena perbuatan laknat nan tercela yang dilakukan pasangan yang berkhalwat itu membuat setiap warga merasa kampungnya dikotori dan dicemari sehingga adalah tanggung jawab sosial setiap warga untuk membersihkannya.

Dalam kasus yang melibatkan SELANGKANGAN ini negara hukum tinggal negara hukum. Hukum?... itu urusan jaksa, hakim dan segala tetek bengek birokrasi lembaga peradilan lainnya. Urusan kita beragama Islam dan keputusan Tuhan yang maha adil?... itu urusan di akhirat kelak. Yang jelas saat ini perbuatan dua insan yang berlainan jenis ini telah membuat aib besar bagi kampung dan mencoreng wajah semua warga...Karenanya harus dibersihkan dengan segera bahkan harus SAAT ITU JUGA.

Cara membersihkan aib ini biasanya adalah pertama-tama pasangan berlainan jenis ini dimandikan dengan air got. Kemudian diarak keliling kampung sambil diiringi caci maki dari yang mengarak maupun orang-orang yang berdiri di pinggir jalan yang dilewati arak-arakan. Anak-anak kecil yang meyaksikan arak-arakan itu melempari pasangan yang dituduh berkhalwat ini dengan kerikil. Anak-anak kecil yang sama akan bertepuk tangan dan berteriak gembira setiap kali ada orang yang menampar wajah si laki-laki atau ketika rambut si perempuan dijambak oleh ibu-ibu berjilbab yang merasa gemas setelah mengetahui perbuatan mereka. Ibu-ibu yang menjambak rambut si perempuan itu mungkin juga ibu dari salah satu anak yang berteriak menyemangatinya. Buat 'khalwater' (meminjam istilah gaul anak Jakarta) yang laki-laki biasanya masih ada bonus tambahan yaitu hadiah berupa beragam jenis pukulan dan tendangan ala senior STPDN terhadap juniornya seperti yang beberapa waktu yang lalu sering kita saksikan di layar TV-TV swasta. Semua tendangan dan pukulan itu harus diterima oleh si 'khalwater' laki-laki dengan ikhlas tanpa boleh mengatakan tidak apalagi melawan, karena itu semua merupakan hadiah yang diberikan dengan tulus oleh orang sekampung yang peduli padanya. Setelah semua proses itu rampung, pasangan 'khalwaters' itu kemudian diserahkan kepada aparat WH. Dengan harapan nantinya mereka akan dicambuk di depan umum.

Yang saya gambarkan di atas adalah cara masyarakat kita dalam memandang moral dan memperlakukan warga biasa yang dianggap melanggar aturan moral di lingkungannya.

Dalam menilai moralitas seorang pejabat publik, cara pandang masyarakat kita tidak berbeda. Parameternya tetap SELANGKANGAN. Pejabat publik yang melakukan, korupsi, memperkaya keluarga dan kroninya, memasukkan kerabatnya sebagai pegawai negeri dan segala bentuk penyelewengan lain dengan memanfaatkan jabatan yang dia sandang. Oleh masyarakat kita sama sekali tidak dianggap melanggar aturan moral. Apalagi kalau si pejabat publik itu hanya sekedar mengeksploitasi dan berbuat culas terhadap Anak Yatim, seperti yang dilakukan oleh Nasaruddin di Takengen sana.

Dalam pandangan masyarakat kita, jika seorang Pejabat publik yang melakukan hal-hal tercela seperti itu. Sama seperti cara pandang terhadap warga biasa yang melakukan perbuatan buruk biasa. Itu adalah urusan pribadi si pejabat publik yang bersangkutan dengan institusi hukum dan dengan Tuhan di akhirat kelak, sama sekali tidak ada urusannya dengan kita.

Lain halnya kalau si pejabat publik yang bersangkutan melakukan pelecehan seksual yang adalah urusan SELANGKANGAN . Maka masalah semacam ini akan segera menjadi urusan seluruh komponen masyarakat. Seorang pejabat publik yang tidak bisa mengontrol SELANGKANGANNYA dengan baik akan membuat moralitas seluruh komponen masyarakat yang dia pimpin terluka, seluruh komponen masyarakat yang dia pimpin akan merasakan aib besar dan merasa wajah mereka tercoreng. Jika masalah SELANGKANGAN yang dituduhkan kepada pejabat publik itu terbukti. Bisa dipastikan si pejabat akan langsung dilengserkan dari kursi kekuasaannya saat itu juga.

Fatalnya akibat dari tidak bisa mengontrol SELANGKANGAN dengan baik ini pernah dirasakan oleh T.M Yusuf Zainoel, Bupati Aceh Tengah yang dilantik tahun 1991. Dia hanya sempat merasakan empuknya kursi bupati yang baru didudukinya sampai awal tahun 1992. Penyebab singkatnya masa jabatannya ini adalah karena dia dituduh berselingkuh dengan istri wakapolres. Masyarakat (terlebih lawan politik si bupati) yang merasa jengah dengan isu tersebut, rupanya sengaja mengamati gerak-gerik sang bupati dan istri wakapolres setiap harinya. Satu saat keduanya terjebak, masyarakat menemukan mereka sedang berduaan di Hotel Renggali.

Sampai hari ini saya tidak pernah mendapatkan informasi yang jelas apakah bupati dan istri wakapolres itu dipergoki berada dalam satu kamar, apakah mereka ada di lobi dan hanya kebetulan saja berada di hotel yang sama atau memang benar melakukan zina, saya tidak pernah tahu sampai hari ini. Yang jelas opini publik saat itu mengarah ke informasi terakhir. Akibatnya gampang ditebak, T.M Yusuf Zainoel yang baru saja menggantikan Bupati M. Jamil yang juga suku Aceh langsung ditendang dari kursi bupati dan digantikan oleh sekda-nya Drs. Buchari Isaq (waktu itu jabatan wakil bupati belum dikenal).

Begitu pentingnya urusan seperti ini sehingga cerita tentang masalah SELANGKANGAN yang melibatkan T.M Yoesoef Zainoel ini tidak berakhir hanya sampai kisah pelengserannya dari jabatan bupati. Setelah T.M Yoesoef Zainoel lengser masalah SELANGKANGAN yang melibatkan dirinya ini jadi merembet jauh kemana-mana, masalah ini bahkan tidak lagi hanya sekedar masalah lokal dinamika perpolitikan di Aceh Tengah saja. Malah sampai ke hal-hal lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dunia politik. masalah SELANGKANGAN yang melibatkan T.M Yoesoef Zainoel ini berimbas sampai ke Banda Aceh. Kusut masai urusan SELANGKANGAN di Takengen ini masuk sampai ke ranah kampus dan urusan masa depan mahasiswa yang menuntut ilmu di Universitas Syiah Kuala, universitas negeri yang disebut-sebut sebagai Jantong Hatee rakyat Aceh. Padahal para mahasiswa itu sama sekali tidak tahu menahu apalagi terlibat dengan urusan SELANGKANGAN bupati di tempat asalnya.

Masalah ini bisa melebar sedemikian jauh karena kebetulan salah seorang adik kandung sang mantan bupati yang suku Aceh ini bekerja sebagai dosen di jurusan Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala. Si Adik yang bernama depan Cut ini rupanya tidak terima abangnya yang terhormat dan merupakan kebanggaan keluarga besarnya dipermalukan oleh orang-orang Aceh Tengah di Takengen, kota pegunungan yang dingin di utara bukit barisan sana.

Si Adik yang seorang dosen dan berkuasa penuh atas nilai-nilai mahasiswa yang mengikuti mata kuliah yang dia asuh ini ikut merasa terhina atas perlakuan orang-orang Aceh Tengah terhadap abangnya. Dalam interpretasi si adik yang dosen Teknik Kimia ini, orang Aceh Tengah artinya orang Gayo. Lalu diapun menjadikan seluruh mahasiswa Gayo yang menjadi anak didiknya sebagai sasaran kemarahannya.

Beberapa hari pasca kejadian yang menimpa abangnya itu, si Ibu yang berukuran tubuh Jumbo ini dengan lantang mengatakan di depan ruang kelas (Aula Lama Fakultas Teknik) saat dia mengajar mata kuliah yang diasuhnya. "Selama saya masih menjadi dosen mata kuliah ini, siapapun orang Gayo ('O' dalam kata Gayo, diucapkan oleh ibu dosen ini seperti ucapan 'O' dalam kata BOTOL) yang mengambil mata kuliah saya...jangan pernah berharap akan saya luluskan".

Kebetulan pada saat ibu Cut berkata seperti itu, di ruangan itu ada seorang mahasiswi angkatan 91 asal Gayo yang mengambil mata kuliahnya. Mendengar 'deklarasi' sang dosen, mahasiswi ini jadi kecut hatinya tapi dia tetap mengikuti proses perkuliahan seperti biasa. Tapi saat pembagian KHS tiba, si mahasiswi ini harus menerima kenyataan bahwa dia mendapat nilai E untuk mata kuliah yang diasuh ibu Cut. Padahal mahasiswi asal Gayo ini merasa dia sangat menguasai mata kuliah yang diasuh oleh ibu dosen ini. Mendapati kenyataan ini mahasiswi asal Gayo inipun langsung shock dan langsung paham kalau ternyata si Ibu dosen yang tubuhnya berukuran Jumbo ini tidak main-main dengan ucapannya dan benar-benar menepati janjinya.

Kenyataan itu membuat mahasiswi Gayo ini frustasi, dia yang kebetulan bukan berasal dari keluarga berada kemudian membayangkan bagaimana susahnya orang tuanya di Takengen mengumpulkan uang sedikit-demi sedikit menghemat pengeluaran sehari-hari untuk biaya kuliahnya. Dia tidak tahu sampai kapan fakultas mempercayai ibu Cut untuk mengajar mata kuliah itu. Dia khawatir sampai habis uang orang tuanya dia tidak akan pernah lulus mata kuliah itu yang artinya tidak dia tidak akan pernah bisa mengambil mata kuliah lanjutan yang mensyaratkan kelulusan mata kuliah yang diasuh oleh ibu Cut. Sementara masa kuliah yang diberikan oleh Unsyiah maksimal hanya 7 tahun. Memikirkan hal ini, si mahasiswi inipun kemudian dengan sadar memilih men D.O-kan diri dari jurusan Teknik Kimia Unsyiah dan melanjutkan kuliahnya di Fakultas Pertanian Universitas Gajah Putih Takengon.

Begitulah kondisi masyarakat kita, itulah sebabnya saya sangat memaklumi ketidak tahuan anda saat Bupati Nasaruddin dengan memanfaatkan kekuasaan melalui jabatan publik yang dia sandang menjual sebagian lahan panti asuhan dan membangun gedung baru untuk memperkaya koleganya. Padahal saat kejadian itu berlangsung, kantor anda hanya berjarak 2 kilometer dari Panti Asuhan Budi Luhur. Saya benar-benar maklum dengan sikap anda. Berbeda dengan misalnya kalau yang dilakukan Nasaruddin adalah mencabuli sekretarisnya. Saya akan sangat marah jika anda tidak tahu berita seperti itu, karena masalah seperti itu adalah masalah MORALITAS yang mencoreng wajah kita, semua orang Gayo yang hidup di planet bumi ini. Jika ini terjadi dan anda tidak tahu, saya tidak akan bisa menerima alasan apapun dari anda, meskipun anda yang orang Gayo mengatakan saat hal itu terjadi anda tidak tinggal di Takengen.

Tapi sekali lagi yang dilakukan oleh Nasaruddin ini kan hanya kesalahan biasa yang merupakan urusan pribadi Nasaruddin dengan Hukum dan Tuhan di akhirat kelak. Adalah sangat wajar jika anda dan orang Gayo lain tidak menganggap hal itu sebagai masalah anda dan masalah mereka.

Alasan lain yang membuat saya bisa memaklumi ketidak tahuan anda adalah karena setelah saya renungkan, kalau posisinya dibalik. Saya yang berada di posisi anda dan anda di posisi saya, saya yakin kalau sayapun akan bersikap seperti anda. Itu bisa terjadi karena seperti juga anda, harus saya akui bahwa saya sendiripun adalah produk dari masyarakat seperti ini, masyarakat yang menilai ukuran moral dengan berfokus pada SELANGKANGAN.

Rasa marah saya yang saya tumpahkan pada tulisan saya sebelumnya dalam kaitannya dengan kasus penjualan Panti Asuhan oleh Bupati ini. Setelah saya pikir-pikir sebenarnya bukan karena saya merasa apa yang dilakukan bupati Nasaruddin telah melanggar ukuran moralitas masyarakat kita yang juga menjadi ukuran moralitas saya. Saat itu saya marah, itu lebih karena saya adalah bagian dari Panti Asuhan yang sebagian lahannya telah dijual oleh Nasaruddin itu. Saya marah karena saya punya hubungan emosional yang sangat kuat dengan panti asuhan Budi Luhur. Saya merasa marah atas tindakan Nasaruddin karena saya pernah sangat lama menghuni panti asuhan itu. Panti Asuhan Budi Luhur adalah salah satu bagian terpenting dari sejarah hidup saya. Jiwa dan nilai-nilai yang saya anut banyak yang dibentuk di dan oleh Panti Asuhan Budi Luhur. Dulu, tubuh dan jiwa saya ada di Panti Asuhan Budi Luhur. Hari ini dan sampai kapanpun sebagian dari jiwa saya tetap dan akan tetap tinggal di panti asuhan itu.

Jadi, misalkan ada seorang psikolog yang iseng-iseng meneliti asal-muasal kemarahan saya. Saya tidak akan kaget kalau si psikolog itu menyimpulkan bahwa kemarahan saya atas tindakan Nasaruddin, si Bupati penjual lahan anak yatim itu adalah kemarahan yang egoistik berkaitan dengan luka permanen yang dibuat oleh Nasaruddin terhadap bagian sejarah hidup saya yang juga merupakan bagian penting dari sejarah hidup anak keturunan saya kelak.

Berdasarkan atas apa yang saya paparkan di atas, melalui tulisan ini saya meminta maaf kepada berbagai pihak yang tidak tahu menahu tentang masalah ini. Tapi secara sepihak telah saya libatkan dalam kasus ini. Saya perlu meminta maaf karena dalam kemarahan egoistik saya waktu itu saya telah menyeret nama-nama besar yang terkenal dan terhormat semacam Irwandi, Nazar dan Abu Bakar Ilyasak yang merupakan pejabat terhormat dan ulama agung di negeri Aceh yang mulia ini.

Melalui tulisan ini perlu saya jelaskan pula kalau yang sudah sangat saya maklumi sekarang bukan hanya sikap anda dan ketiga nama-nama agung dan terhormat yang saya sebutkan di atas. Tapi yang saya maklumi juga mencakup sikap dari seluruh komponen masyarakat Aceh secara umum dan Gayo secara khusus. Seluruh komponen masyarakat artinya mulai dari ulama, pejabat, politikus, cendekiawan, ahli hukum, pegiat LSM, Budayawan, Kenek labi-labi, Tukang Becak sampai Tukang Sayur yang tidak memiliki ikatan emosional apapun dengan panti asuhan Budi Luhur, yang sama sekali tidak tergugah emosinya dengan apa yang dilakukan Nasaruddin terhadap panti asuhan itu beserta seratusan anak yatim penghuninya.

Saya memaklumi sikap anda semua karena sekarang saya tahu persis bahwa urusan penjualan lahan panti dan eksploitasi pembangunan gedung panti asuhan untuk menyenangkan tim sukses Nasaruddin ini adalah sebuah urusan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan SELANGKANGAN yang menjadi fokus utama dari ukuran moralitas kita semua.

Masalah penjualan lahan Panti Asuhan Budi Luhur oleh Nasaruddin adalah murni urusan pribadi saya dan orang-orang yang secara emosional terikat dengan panti asuhan itu. Sama sekali bukan aib yang mencoreng muka masyarakat kita sehingga perlu kita bersihkan bersama-sama.

Wassalam

Win Wan Nur
Mantan Penghuni Panti Asuhan Budi Luhur

1 komentar:

Gay Indonesia mengatakan...

Bagus tulisan anda. Saya adalah salah seorang korban penyiksaan dan pemukulan dari massa dan polisi hanya karena saya gay.

Ketika itu saya membuat habis harapan hidup di Banda Aceh. Dan sekarang saya harus pergi ke Jakarta.


Salam

TOyo