Jumat, 23 Januari 2009

Situasi Aceh di Tahun 90-an dan Kini

Kemarin, iseng-iseng saya pergi ke perpustakaan. Saya membaca koran-koran dan majalah lama edisi tahun 90-an. Sangat menarik sekali membaca artikel dan berita yang tertulis dalam media cetak itu. Saat kita menilainya dengan situasi sekarang, ada perasaan aneh ketika saya membaca sebuah iklan komputer canggih yang begitu bombastis. Dalam iklan itu dikatakan IBM telah memasarkan sebuah komputer PC tercanggih yang pernah ada dengan kapasitas hard disk 2 Gigabytes yang dipasarkan dengan harga hanya $ 8150 saja.

Saat itu Soeharto sedang lucu-lucunya, dalam beberapa foto yang dipublikasikan di media-media itu, saya melihat tiga orang menteri diantaranya Mar'ie Muhammad dan Tungky Aribowo yang sedang meyerahkan map dan menghadap beliau dengan takzimnya.

Berita dalam negeri saat itu didominasi oleh berita penculikan yang dilakukan GPK Irja yang dipimpin Kelly Kwalik dan tenggelamya kapal Gurita di hari Meugang (sehari menjelang Ramadhan) di perairan Sabang. Membaca itu, saya teringat kembali betapa 5 hari sebelum kejadian itu saya baru saja dari Sabang bersama rombongan Pecinta Alam dari seluruh Indonesia dengan menumpang kapal yang sama.

Saat saya baca koran edisi januari 1996, saya membaca saat itu APBN tahun 1996 yang baru disahkan mendapat tanggapan positif, bukan hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar. Pujian itu misalnya datang dari Michel Camdessus, direktur IMF untuk Asia yang belakangan menjadi Ketua IMF. Dalam tulisannya di Gatra, Michel mengatakan keyakinannya kalau kurang dari sepuluh tahun lagi Indonesia akan menjadi salah satu negara penting di kawasan ini.

Saat itu Michel Camdessus, seperti juga kita semua yang tinggal di negara ini, sedikitpun tidak bisa menduga atau bahkan membayangkan kalau dua tahun setelah nada-nada penuh optimistis itu akan ada kejadian luar biasa di negara ini. Seperti Michel Camdessus yang tidak pernah membayangkan kalau beberapa tahun kemudian wajahnya akan dilempar kue pie di depan umum oleh Robert Naiman, seorang aktivis anti globalisasi. Saat itu, tidak seorangpun bahkan dengan fantasi yang paling liar sekalipun yang bisa membayangkan, kalau dua tahun setelah nada-nada penuh optimisme itu, Soeharto presiden kita tercinta yang begitu berkuasa dan sangat ditakuti, yang bahkan harus menjadi idola seluruh penduduk negara ini yang berminat menjadi pegawai negeri akan turun tahta dengan cara yang sangat hina.

Saya sendiri saat itu masih menjadi Mahasiswa di Fakulas Teknik, Jurusan Teknik Sipil Unsyiah. Masih belum begitu terkoneksi dengan berita-berita dan perkembangan yang terjadi di luar provinsi. Kami di Aceh saat itu terbilang masih terisolasi, jangankan berita di luar bahkan adanya operasi militer bersandi jaring merah untuk membasmi GAM yang saat itu masih disebut dengan istilah GPK Aceh saja tidak benar-benar kami ketahui. Kecuali hanya dari kabar-kabar burung tidak resmi dari orang-orang yang tinggal di Aceh Utara atau Pidie. Imajinasi terliar siapapun saat itu akan bisa membayangkan saat ini Aceh akan dipimpin oleh seorang Gubernur yang anggota GAM bernama Irwandi dan wakilnya Nazar anak IAIN yang lahir persis di tahun yang sama dengan saya.

Waktu itu saya sedang tergila-gila main batu, sebutan kami untuk permainan domino. Dua senior saya yang sudah tamat bernama Jojo dan Syuhada (sekarang sudah almarhum), tiap malam datang ke kost-an saya di Jalan Cumi-Cumi, Lamprit. Di sana apalagi yang kami lakukan kalau bukan main batu, bertarung dan berjudi kecil-kecilan, dengan Sprite, Nasi Goreng atau Martabak sebagai taruhan. Karena sudah malam siapapun yang kalah harus membeli apa yang kami pertaruhkan ke Jambo Tape yang buka sampai pagi . Sementara untuk pergi ke Jambo Tape yang jaraknya sekitar 2 kilo meteran dari Jalan Cumi-Cumi, satu-satunya kendaraan yang ada adalah Motor Honda GL Pro keluaran tahun 1982 milik Jojo yang lebih sering bukannya membantu tapi malah menjadi masalah baru karena tidak bisa dihidupkan. Akibatnya lengkaplah penderitaan bagi yang kalah main batu, sudah kalah berjudi, membawa macam-macam barang malam-malam masih ditambah harus mendorong motor butut pula. Tapi untungnya Banda Aceh pada waktu itu benar-benar sangat aman, di kota ini tidak ada preman, sehingga jalan kaki di malam hari yang sepi dari Jambo Tape ke Lamprit pun kita tidak merasa was-was.

Saat itu di Banda Aceh belum ada internet, obrolan di kalangan anak muda baru sekedar membahas, tadi Devi Padiana ngomong apa aja waktu siaran pagi di Flamboyan, ada festival musik apa di taman budaya, siapa nama cewek mahasiswa baru asal Lhokseumawe yang sekarang kost di Jalan Pari dan pembicaraan-pembicaraan sejenisnya. Hampir tidak pernah saya mendengar pembicaraan yang menyangkut politik dan sejarah. Apalagi Filsafat dan Sastra yang keduanya adalah benda asing bagi kami di Aceh waktu itu. Politik paling-paling menjadi bahan omongan di kalangan anak-anak HMI yang eksklusif dan pergaulan mereka secara politis terpisah dari budaya keseharian anak muda di Aceh.

Novel yang kami baca saat itu masih model Mira W, Lupus, Gola Gong dengan Balada Si Roy-nya. Karya Pramoedya masih jadi barang haram. Kalaupun membaca novel luar paling banter bacaan kami Sidney Seldon, Mario Puzzo, Agatha Christie, Michael Crichton atau John Grisham. Tidak ada novel dari pengarang-pengarang semacam Paulo Coelho, Arundhati Roy apalagi George Orwell.

Seperti juga tidak ada yang menduga akan terjadi sesuatu yang luar biasa tahun 1998, lebih tidak ada yang menduga lagi akan terjadi sesuatu yang lebih luar biasa bagi Aceh dan dunia. Akhir tahun 2004 terjadi bencana Tsunami yang menewaskan lebih dari 300 ribu penduduk provinsi ini. Sebuah bencana dahsyat yang kedahsyatannya melebihi imajinasi manusia manapun yang hidup di tahun 90-an itu.

Bencana itu benar-benar membawa kesedihan bagi orang-orang Aceh yang tersisa. Tapi seperti biasa, saat terjadi suatu musibah pasti juga ada hikmah di baliknya.

Pasca tsunami, Aceh jadi terbuka berbagai lembaga asing dan nasional berdatangan. Orang Aceh yang karakternya memang berjiwa bebas dengan cepat menyerap segala informasi dan peradaban yang dibawa oleh orang-orang yang datang.

Sebagaimana sebuah produksi yang pasti akan banyak menghasilkan limbah. Efek dari keterbukaan inipun demikian, yang paling banyak terserap oleh masyarakat Aceh adalah limbah-limbah yang dibawa oleh keterbukaan itu, diantaranya perilaku hedonis yang terlihat nyata di antara para OKB yang mendapat keutungan besar selama proses rehap rekon terbesar yang pernah dilakukan sepanjang sejarah manusia, lalu dengan mudah pula ditemui orang Aceh dengan gaya sok pamer, gaya bahasa yang meniru logat Jakarta dan sejenisnya.

Tapi tentu saja bukan hanya limbah yang dihasilkan oleh keterbukaan itu, keterbukaan Aceh juga menghasilkan banyak produk paten. Keterbukaan itu membuat Aceh menjadi tempat bergumulnya aneka pemikiran dan aneka semangat yang bersifat membebaskan.

Empat tahun sesudah tsunami saya kembali ke Aceh, masuk ke masyarakatnya dan merasakan sendiri dinamikanya.

Begitulah, saat di Aceh kemarin, saya menyaksikan dan merasakan sendiri betapa dinamisnya pergumulan pemikiran yang terjadi di Aceh saat ini. Anak-anak muda di Aceh sekarang dengan fasih berdiskusi tentang sastra, filsafat, sejarah, politik dan ekonomi global sampai ke isu-isu lingkungan. Partai-partai lokal baru yang mengusung semangat yang bersifat membebaskan juga bermunculan. Yang menariknya rata-rata partai baru itu dipimpin dan diisi oleh anak-anak muda seumuran atau lebih muda dari saya.

Permainan yang digemari anak muda di Aceh sekarang juga sudah berbeda. Jika mahasiswa jaman kami dulu berjudi di meja domino, dengan modal meja atau triplek yang jika dipukul bisa mengeluarkan bunyi yang keras. Dalam permainan itu kami beradu ketangkasan berpikir dan kekuatan menganalisa permainan dengan taruhan Sprite, Nasi Goreng atau Martabak. Mahasiswa Aceh sekarang tidak lagi seperti kami. Sekarang mereka berjudi Valas, menggunakan perangkat laptop dan fasilitas IM2 dari Indosat sambil duduk di warung kopi. Yang mereka analisa juga bukan sekedar batu apa dipegang kawan sehingga harus diberi jalan dan batu apa yang dipunyai lawan dan harus dihambat agar tidak bisa keluar. Tapi yang mereka analisa adalah setiap detail isu internasional mulai dari Argentina sampai Afrika Selatan yang kemungkinan bisa mempengaruhi sentimen di pasar uang. Taruhannya juga Dollar betulan.

Sementara itu pemerintahan Irwandi-Nazar masih terlihat gamang dengan peran barunya. Irwandi seperti Lech Walesa ketika memimpin Polandia pasca berhasilnya gerakan Solidarity, terlihat masih kesulitan melepaskan perannya dari seorang pemberontak menjadi orang yang mengurusi negeri. Irwandi tidak terlalu bisa berbasa-basi dengan bawahan. Semua birokrat lama yang berpengalaman yang jauh lebih paham keadaan dan situasi di pemerintahan, semua dia curigai dan dia musuhi. Sehingga tidak jarang kita lihat Irwandi uring-uringan, karena dia tidak percaya yang namanya pendelegasian. Mulai dari menyopiri mobil sampai berhadapan dengan wartawan semua dia urusi sendiri.

Diplomasi Irwandi dengan menteri di Jakarta juga buruk sekali. Hal sekecil apapun oleh Irwandi dilaporkan ke Jusuf Kalla sehingga menimbulkan antipati dari menteri-menteri, padahal menteri-menteri itulah pelaksana taktis, yang mengeluarkan dana dan sebagainya sehingga seharusnya dengan merekalah Irwandi lebih banyak berhubungan, bukan dengan Jusuf Kalla.

Kebijakan pemerintahan di Aceh saat ini juga tidak jelas arah dan prioritasnya. Semua hal berbau 'cet langit' disikat, mulai dari eksplorasi panas bumi sampai konsep lingkungan yang diberi nama Aceh Green yang cuma besar di media tapi tidak pernah jelas seperti apa pelaksanaan konkretnya.

Uang APBA (APBD versi Aceh), semua ditumpuk di provinsi, sehingga sampai akhir tahun 2008 sedikit sekali yang bisa tersalurkan. Akibatnya muncul ketidak puasan di daerah-daerah tingkat dua. Di daerah-daerah yang bupatinya punya agenda politik sendiri seperti di Aceh Tengah dan Bener Meriah, kelemahan Irwandi ini dieksploitasi sampai ke kampung-kampung. Yang oleh mereka digunakan sebagai senjata untuk mendorong berdirinya provinsi Aceh Leuser Antara.

Di Banda Aceh sendiri, Irwandi tampak mulai tersudut dan mulai kehilangan dukungan. Rakyat yang dulu memilihnya dan menaruh harapan besar di pundaknya mulai merasa kecewa. Lalu Irwandi yang mulai mengalami krisis kepercayaan, atas anjuran team asistensinya yang dipimpin oleh Teuku Rafli yang mantan suami Tamara, mulai terbiasa memasang iklan di koran-koran yang menyatakan bahwa dia adalah Gubernur Pilihan Rakyat dan berkali-kali menyebut MoU Helsinki sebagai pegangannya.

Padahal kalau kita analisa dengan pikiran jernih, pegangan Irwandi ini sangat rentan sekali. Sangat bergantung pada niat baik pemerintahan saat ini. Seandainya kepemimpinan Nasional berganti, katakanlah yang paling sial yang nantinya terpilih sebagai presiden adalah Megawati. Yang sejak awal sudah bilang tak akan mau sejengkalpun mendiskusikan soal kedaulatan dengan kelompok separatis. Meskipun dalam pelaksanaan MoU itu ada dukungan internasional, tapi jika Indonesia dipimpin oleh Presiden semacam itu, apakah Irwandi masih bisa dengan gagah mengatakan berpegang pada amanat MoU Helsinki?.

Saat membaca majalah dan koran-koran lama itu saya juga bertanya-tanya dalam hati, seperti apakah Aceh dua tahun lagi?...Apakah di pemilu 2009 ini Partai Lokal bisa meraih kemenangan?. Apakah nanti kalau itu terjadi, kemenangan itu akan benar-benar merupakan solusi?. Saya bertanya begitu karena terus terang dalam hati saya menyimpan kekhawatiran, yang saya takutkan justru kemenangan partai lokal di Aceh nanti akan menjadi bumerang, karena dengan itu tidak akan ada kambing hitam lagi seperti sekarang. Saat itu semua kebijakan adalah tanggung jawab kita, kita tidak lagi bisa menyalahkan Jakarta.

Atau jangan-jangan di depan ini sudah menanti sebuah kejadian luar biasa yang tidak kita perkirakan seperti apa yang terjadi di tahun 1998.

Dan terakhir yang tidak kalah membuat saya penasaran adalah, dua tahun lagi bagaimana perspektif saya, jika saya masih hidup dan membaca kembali tulisan yang saya post sekarang ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: